Albert benar-benar merealisasikan rencananya. Tidak hanya mempekerjakan Akira sebagai sekretaris di kantor, dia juga mewujudkan keinginannya untuk menyelenggarakan sebuah pesta. Sebagaimana yang sudah ia katakan di hadapan seluruh karyawan, pesta itu diadakan untuk meresmikan hubungan pernikahannya dengan Akira sekaligus memperkenalkan anak pertama mereka.Sebelum melakukan berbagai persiapan, Albert terlebih dahulu bertanya persetujuan Akira. Sebab pada saat mengumumkan di hadapan seluruh karyawan, sesungguhnya pelaksanaan pesta itu baru merupakan rencana Albert pribadi. Albert harus mengkonfirmasi kepada Akira terlebih dahulu.“Apa kamu yakin akan mengumumkan pernikahan kita pada publik? Setelah semua orang tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya maka secara tidak langsung kita akan semakin terikat. Kamu mau terus terikat denganku? Maksudku, setelah menobatkan diri sebagai suami seseorang, maka kamu mungkin akan kehilangan wanita-wanita penggemarmu itu. Kamu tidak bisa bebas bers
Saat tiba di salon, Albert langsung bertanya keberadaan sang istri pada salah seorang pekerja. Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. Berharap Akira sudah siap sehingga mereka tidak terlambat untuk datang ke pesta.Albert tahu bagaimana seorang perempuan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merias diri. Sementara mereka adalah bintang utamanya malam itu. Semua orang pasti akan menanti kedatangan mereka sebelum acara dimulai.Tak lama kemudian, Akira pun datang dengan didampingi oleh seorang perempuan yang baru saja meriasnya. Akira tampak sangat cantik dan anggun dalam balutan gaun berwarna ungu muda. Gaun model front short long back dengan aksen flower lace itu tampak melekat sempurna di tubuh Akira.Tatanan rambut, make up dan perhiasan yang tidak berlebihan berpadu membuat Akira begitu mempesona. Albert yang melihatnya bahkan sampai tak berkedip. Dia terperangkap pada kecantikan perempuan yang berdiri di hadapannya. Seolah tak percaya bahwa perempuan itu adalah istr
“Ayah?”Albert dan Akira jelas terkejut dengan pengakuan laki-laki di hadapan mereka. Bahkan Albert menganggap laki-laki bernama Adrian itu hanya sedang bercanda. Albert sama sekali tidak percaya.“Jangan bermain-main dengan saya, Pak. Katakan dengan jelas siapa anda sebenarnya!” desak Albert mulai tidak tenang.“Aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku ini adalah ayah kamu, Albert. Kamu adalah anakku dengan Tiana Cahya Dewi.”Albert semakin gusar ketika nama ibunya disebut. Bahkan laki-laki itu tahu dengan baik nama lengkap sang ibu.“Dasar pembohong!” umpat Albert pada Adrian. “Kamu bukan ayahku karena ayahku adalah...”Perkataan Albert terpotong saat memandang Akira di sampingnya. Dia sadar dia sudah tidak berhak lagi mengakui Adi Hutama sebagai ayahnya. Sebab kenyataannya, Adi Hutama adalah ayahnya Akira.“Siapa, Albert? Laki-laki mana yang mamamu kenalkan padamu sebagai seorang ayah? Laki-laki mana yang sudah Tiana ajak berkompromi untuk menggantikan posisiku?” ujar Adrian.“Diam
Perkataan dan dukungan Akira menjadi kekuatan tersendiri bagi Albert. Dia setuju dengan saran Akira tentang keberanian menghadapi kenyataan. Hal itu pula yang mendorongnya untuk memenuhi ajakan Adrian. Seperti yang sudah dijanjikan, saat jam makan siang dia mendatangi Resto D’Star dekat kantornya.Baru saja menginjakkan kaki di pintu masuk, salah seorang pelayan langsung menyambut hangat kedatangan Albert. Pelayan itu mengatakan bahwa Albert sudah ditunggu oleh salah seorang pengunjung bernama Adrian.Sang pelayan juga menunjukkan nomor meja makan Adrian dan mempersilahkan Albert untuk ke sana. Albert cukup terkesan karena Adrian sepertinya begitu mempersiapkan segala sesuatunya. Albert tak sabar apalagi yang akan dia dengar dari laki-laki itu nantinya.Jelas sebelum datang ke sana dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Dia masih ingat dengan jelas pesan terakhir Akira di kantor sebelum Albert pergi. Akira mewanti-wanti Albert agar tidak memperturutka
“Papa tidak akan memberiku ampun jika dia tahu putrinya sudah hamil di luar nikah,” ucap Tiana sembari memperhatikan bayangan dirinya di depan cermin. Wajahnya tampak pucat. Belakangan dia bahkan sering merasa mual dan muntah secara sembunyi-sembunyi.Tiana melewati hari-harinya dalam kecemasan dan penantian. Dia cemas terus menyembunyikan kehamilannya. Apalagi gejala-gejala tak biasa mulai muncul dan membuatnya tidak nyaman. Dia takut lama-kelamaan orang tuanya akan merasa curiga.Bagai menyimpan sebuah bangkai, Tiana sadar lama kelamaan fakta kehamilannya pasti akan terbongkar. Tapi sebelum itu terjadi, sebisa mungkin dia sudah mendapatkan kepastian sikap dari Adrian. Dia harus mendesak laki-laki itu.Jika berbicara perihal kesiapan, sebenarnya Tiana juga tidak siap secepat itu untuk menjadi seorang istri lebih-lebih seorang ibu. Tapi keadaan benar-benar sudah memaksanya. Mau tidak mau dia harus menjadi ibu. Janin itu sudah terlanjur ada dalam rahimnya. Tiana jelas tidak mau jika ha
Adrian membawa Tiana ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dia menunggu dengan cemas di depan ruangan saat dokter melakukan pemeriksaan. Sebenarnya dia tidak berniat untuk menjadi laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab. Hanya saja di usianya dia belum siap untuk membangun rumah tangga apalagi menjadi seorang ayah.Terlebih lagi tuntutan keluarga agar dia menjadi sukses terlebih dahulu semakin membuatnya punya alasan untuk menghindar. Ya. Dia hanya berniat untuk menghindar sementara waktu. Bukan untuk meninggalkan apalagi mengabaikan Tiana dan sang anak untuk selamanya.Bagaimana pun juga Adrian masih sangat mencintai Tiana. Tapi di sisi lain dia juga masih bisa berpikir logis bahwa menikah dan membangun sebuah keluarga tidak cukup hanya dengan cinta. Pada akhirnya dia setuju dengan pemikiran orang tuanya agar tidak menikah sebelum dirinya mapan dan mandiri secara ekonomi.Pertimbangan tersebut yang membuat Adrian setuju untuk dikirim ke luar negeri. Malam itu dia
Sepi memeluk diri. Itulah yang dirasakan Tiana saat membuka mata. Dia tidak mendapati seorang pun di dalam kamar, termasuk laki-laki yang begitu ia cintai.Dia tahu pasti Adrian yang sudah membawanya ke rumah sakit. Tapi entah ke mana laki-laki itu pergi sekarang. Tiana tidak melihatnya lagi.Tubuhnya terasa begitu lemah. Dengan susah payah Tiana menjangkau bel untuk memanggil suster datang ke kamarnya. Benar saja, hanya dalam hitungan menit seorang perempuan berpakaian putih mendatanginya.“Ada yang bisa dibantu?” tanya suster itu dengan ramah.“Suster, bukankah tadi ada seorang laki-laki yang membawa saya ke sini? Apa suster melihat ke mana dia pergi?” tanya Tiana.“Saya kurang tahu. Tapi sejak dokter keluar dari ruangan untuk memberitahukan hasil pemeriksaan, laki-laki itu memang sudah tidak ada,” jelas suster.“Baiklah kalau begitu. Terima kasih,” ucap Tiana. Dia tidak menyangka Adrian akan pergi meninggalkannya begitu saja.Tiana berusaha menepis pikiran negatifnya. Dia berpikir
Tiana merasa frustasi. Dia sudah pulang dari rumah sakit. Tapi kembali ke rumah rasanya tak lebih baik. Dia justru merasa masuk ke dalam ruang pengadilan. Dirinya harus menghadapi kemarahan orang tua yang tiada henti.Sang ayah bahkan menantang Tiana untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Tiana sudah memberitahu identitas laki-laki yang sudah menghamilinya. Namun dia meminta waktu dan kesempatan untuk membuat laki-laki itu bertanggung jawab atas dirinya. Tiana masih berharap pada Adrian.“Baiklah. Papa beri kamu waktu tiga hari untuk menyeret laki-laki itu kemari dan menikahimu. Kalau sampai tidak terjadi apa-apa selama waktu itu, maka jangan salahkan apa pun keputusan papa nantinya,” tegas sang ayah.Waktu tiga hari terasa sangat singkat bagi Tiana. Dia tidak mau membuang waktu dan mulai memikirkan berbagai cara untuk membuat Adrian kembali kepadanya. Dia harus mencari di mana laki-laki itu berada. Dia hanya berharap semoga Adrian belum berangkat ke luar negeri.Tiana mengambil pons