Sejak saat itu, Albert menjadi lebih sering mengunjungi rumah Clarissa. Dia terus menemui Akira dengan menggunakan berbagai alasan. Terkadang membawa makanan, buah-buahan dan lainnya. Semakin hari Akira semakin merasa risih dengan sikap Albert yang patut dipertanyakan.“Aku bilang juga apa. Pasti si Albert itu suka sama kamu,” kata Clarissa mengutarakan pendapatnya pada suatu ketika.“Selalu itu saja yang kau katakan tentang dia,” jawab Akira ketus.“Aku serius, Akira. Apa semua sikap yang dia tunjukkan selama ini tidak mampu membuatmu memahami?”“Sebenarnya dugaan yang sama juga terbersit dalam pikiranku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Apa sebaiknya aku menghindar dan menjauhi Pak Albert?” tanya Akira meminta saran.“Gadis bodoh!” keluh Clarissa sembari melempar Akira dengan bantal. “Kenapa kamu harus menjauh dari orang yang menyukaimu? Baru kali ini aku menyaksikan ada orang yang berusaha menghindar dari kebahagiaan,” imbuh Clarissa tak habis pikir.“Tapi keadaanku saat ini
“Apa yang bapak pikirkan tentang sebuah pernikahan? Bapak tahu sendiri bagaimana keadaan saya sejak awal. Saya perempuan yang buruk. Bahkan saat ini saya sedang mengandung. Hubungan saya sebelumnya berakhir karena kekasih saya tahu bahwa saya sudah tidak virgin. Lantas hari ini atas alasan apa bapak ingin menikahi saya?” tanya Akira setelah dia berusaha menguasai diri karena terkejut atas tawaran yang baru didengarnya dari Albert.“Apakah sangat penting bagi saya untuk memberikan jawaban?” tanya Albert justru mengundang kekesalan.“Tentu saja saya butuh pertimbangan, Pak” ujar Akira“Kalau kamu bertanya alasan, saya tidak bisa memberikan jawaban konkret, Akira. Hanya saja yang saya tahu, saya merasa begitu peduli padamu. Bahkan setelah mengetahui tentang kehamilan itu, entah mengapa pikiranku semakin tidak tenang dan ingin selalu mengetahui keadaanmu dan memastikan kamu baik-baik saja. Entah bagaimana aku merasa ikut bersedih jika melihatmu menangis dan terluka seperti saat kamu diper
“Bagaimana? Apakah kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik? Apakah Akira akan menyetujui pernikahan itu?” tanya Albert saat berbicara dengan seseorang di telepon.“Tenang saja, Bos. Keahlianku tidak perlu diragukan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kau akan segera melihat hasilnya,” jawab seseorang dari seberang terdengar begitu yakin.“Baiklah, aku tunggu. Lanjutkan tugasmu dengan baik. Aku tidak mau sampai ada kesalahan,” ujar Albert memberi peringatan sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.Laki-laki itu tersenyum licik di dalam kamarnya. Tangannya masih refleks memutar-mutar ponsel dalam genggamannya. Albert membayangkan satu persatu rencana yang akan ia jalankan. Ya. Dia masih Albert yang licik dan sangat ahli dalam bermuka dua. Kelembutan dan kasih sayang yang dia tunjukkan pada Akira hanyalah pemanis buatan agar gadis itu percaya.“Entah kau itu gadis yang terlalu polos atau terlalu bodoh, Akira. Mudah sekali terjebak dalam perangkapku. Aku bisa melihat bahwa dia mulai terk
Hari penting itu pun tiba. Hari itu Akira akan menikah dengan Albert. Dia sendiri tidak bisa menggambarkan perasaannya antara bahagia atau perasaan lain yang tak mudah untuk dijelaskan. Rasa cinta jelas belum ada. Dia hanya berusaha mengikuti alur dari jalan yang ia anggap sebagai takdir hidup. Seperti yang dikatakan Clarissa, mungkin cinta akan tumbuh secara perlahan dalam hubungan mereka nantinya.Akira sedang duduk di depan cermin. Clarissa sibuk meriasnya sedemikian rupa. Tak lupa baju pengantin kiriman Albert juga sudah ia kenakan. Hari itu mereka akan menikah tapi tanpa melibatkan kehadiran banyak orang. Hanya beberapa orang yang terdiri dari penghulu, saksi, dan petugas KUA.Tidak ada pihak keluarga atau pun kerabat yang hadir. Akira mengetahi bahwa Albert sudah yatim piatu dan tidak memiliki satu pun keluarga dekat. Sementara dirinya sendiri sudah tak memiliki seorang ayah sehingga perwaliannya diserahkan pada wali hakim. Mungkin dia hanya akan datang dengan didampingi oleh Cl
Malam itu Akira menginap di hotel bersama Albert. Akira merasa gugup tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di antara mereka berdua. Albert memesan makan malam dan meminta di antar ke kamar. Laki-laki itu menyuapi Akira dengan manisnya. Akira sempat merasa terlena.Namun berbeda dengan apa yang dirasakan Albert. Baginya tak ada satu pun dari momen itu yang terasa berkesan. Dia hanya sedang menikmati perannya dalam bersandiwara. Seperti seorang aktor yang menjalan aktingnya dengan begitu sempurna. Dia ingin membuat Akira menjadi lemah sehingga dapat dihancurkan dengan lebih mudah.“Kamu harus makan yang banyak. Tubuhmu pasti butuh lebih banyak energi selama masa kehamilan,” ucap Albert sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akira.“Terima kasih banyak untuk semua perhatian yang kamu berikan padaku,” kata Akira sembari memandangi wajah Albert. Seperti tak menyangka jika dirinya kini sudah bersuami.“Eh, tidak perlu ada kata terima kasih,” ujar Albert sembari menempelkan jari t
“Selamat pagi, Sayang” ucap Albert saat Akira baru membuka mata di hari pertamanya sebagai seorang istri. “Aaa…apa yang kau lakukan di sini?” teriak Akira refleks. Dia begitu terkejut karena langsung melihat wajah Albert untuk pertama kali saat bangun di pagi hari. Dia juga kebingungan mendapati Albert berada satu ranjang dengannya. “Ada apa, Akira? Kita sudah menikah. Sekarang aku sudah resmi menjadi suamimu,” tutur Albert membuat Akira kembali memutar ingatannya tentang kejadian hari kemarin. Akira mendapatkan memori saat terjadi janji suci antara dirinya dengan Albert. “Oh, maaf. Aku lupa kalau kita sudah menikah,” kata Akira merasa tidak enak dan malu atas tingkahnya pada sang suami. “Mudah sekali kamu melupakan peristiwa penting di antara kita berdua. Apa karena aku tidak menunaikan hakmu semalam?” ucap Albert sengaja menggoda. “Hakku? Maksudnya?” tanya Akira sempat mendapat protes dalam benak Albert karena memiliki istri yang begitu polos. “Hakmu untuk mendapatkan nafkah ba
Malam itu adalah malam kedua Albert dan Akira setelah pernikahan. Akira tak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tempat baru. Terlebih lagi para pekerja di rumah Albert juga bersikap baik padanya. Hampir semua kebutuhannya mereka layani.Akira masih merasa segan karena harus tinggal satu kamar dengan Albert. Tapi dia berusaha menepis perasaan itu karena menyadari statusnya sebagai istri. Meski canggung, Akira pun memposisikan diri di samping Albert yang sudah merebahkan diri lebih dulu. Rasa tidak nyaman itu membuat Akira kesulitan untuk memejamkan mata.“Kenapa kau belum tidur juga?” tanya Albert sembari melirik gadis di sampingnya.“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak merasa mengantuk saja,” jawab Akira.“Hmm…baiklah. Bagaimana kalau kita merubah rencananya?” ujar Albert.“Maksudnya?” tanya Akira tak mengerti. Tanpa menjawab, Albert pun beranjak dari tidurnya. Sementara Akira hanya merasa kebingungan sendiri.Tak lama setelah itu, Albert kembali ke kamar dengan membawa dua buah c
Akira mulai belajar mengurus keperluan sang suami. Pada waktu pagi, ia membantu menyiapkan Albert sebelum berangkat ke kantor. Memilihkan pakaian, sepatu dan juga tas kerjanya. Meski masih sedikit kebingungan karena dia belum hafal letak barang-barang di rumah itu, tapi Akira tidak membiarkan tugas-tugas itu dikerjakan oleh pembantu. Ia merasa itu adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang istri.Setelah melihat sang suami sudah siap, Akira mengajaknya untuk sarapan. Tapi Albert menolak karena dia tidak terbiasa makan terlalu pagi. Albert juga mengatakan harus datang ke kantor lebih awal. Banyak pekerjaan yang sudah ia tinggalkan karena sudah tidak masuk kerja selama dua hari.“Ayo, Al. Sedikit saja. Kalau kamu tidak mau makanan berat, setidaknya makan roti sebagai pengganjal perut,” bujuk Akira.“Tidak perlu, Akira. Aku sudah terbiasa tidak sarapan,” tolak Albert dengan halus.“Albert, kamu pasti memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Kamu butuh banyak tenaga u