Malam itu Akira menginap di hotel bersama Albert. Akira merasa gugup tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di antara mereka berdua. Albert memesan makan malam dan meminta di antar ke kamar. Laki-laki itu menyuapi Akira dengan manisnya. Akira sempat merasa terlena.Namun berbeda dengan apa yang dirasakan Albert. Baginya tak ada satu pun dari momen itu yang terasa berkesan. Dia hanya sedang menikmati perannya dalam bersandiwara. Seperti seorang aktor yang menjalan aktingnya dengan begitu sempurna. Dia ingin membuat Akira menjadi lemah sehingga dapat dihancurkan dengan lebih mudah.“Kamu harus makan yang banyak. Tubuhmu pasti butuh lebih banyak energi selama masa kehamilan,” ucap Albert sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akira.“Terima kasih banyak untuk semua perhatian yang kamu berikan padaku,” kata Akira sembari memandangi wajah Albert. Seperti tak menyangka jika dirinya kini sudah bersuami.“Eh, tidak perlu ada kata terima kasih,” ujar Albert sembari menempelkan jari t
“Selamat pagi, Sayang” ucap Albert saat Akira baru membuka mata di hari pertamanya sebagai seorang istri. “Aaa…apa yang kau lakukan di sini?” teriak Akira refleks. Dia begitu terkejut karena langsung melihat wajah Albert untuk pertama kali saat bangun di pagi hari. Dia juga kebingungan mendapati Albert berada satu ranjang dengannya. “Ada apa, Akira? Kita sudah menikah. Sekarang aku sudah resmi menjadi suamimu,” tutur Albert membuat Akira kembali memutar ingatannya tentang kejadian hari kemarin. Akira mendapatkan memori saat terjadi janji suci antara dirinya dengan Albert. “Oh, maaf. Aku lupa kalau kita sudah menikah,” kata Akira merasa tidak enak dan malu atas tingkahnya pada sang suami. “Mudah sekali kamu melupakan peristiwa penting di antara kita berdua. Apa karena aku tidak menunaikan hakmu semalam?” ucap Albert sengaja menggoda. “Hakku? Maksudnya?” tanya Akira sempat mendapat protes dalam benak Albert karena memiliki istri yang begitu polos. “Hakmu untuk mendapatkan nafkah ba
Malam itu adalah malam kedua Albert dan Akira setelah pernikahan. Akira tak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tempat baru. Terlebih lagi para pekerja di rumah Albert juga bersikap baik padanya. Hampir semua kebutuhannya mereka layani.Akira masih merasa segan karena harus tinggal satu kamar dengan Albert. Tapi dia berusaha menepis perasaan itu karena menyadari statusnya sebagai istri. Meski canggung, Akira pun memposisikan diri di samping Albert yang sudah merebahkan diri lebih dulu. Rasa tidak nyaman itu membuat Akira kesulitan untuk memejamkan mata.“Kenapa kau belum tidur juga?” tanya Albert sembari melirik gadis di sampingnya.“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak merasa mengantuk saja,” jawab Akira.“Hmm…baiklah. Bagaimana kalau kita merubah rencananya?” ujar Albert.“Maksudnya?” tanya Akira tak mengerti. Tanpa menjawab, Albert pun beranjak dari tidurnya. Sementara Akira hanya merasa kebingungan sendiri.Tak lama setelah itu, Albert kembali ke kamar dengan membawa dua buah c
Akira mulai belajar mengurus keperluan sang suami. Pada waktu pagi, ia membantu menyiapkan Albert sebelum berangkat ke kantor. Memilihkan pakaian, sepatu dan juga tas kerjanya. Meski masih sedikit kebingungan karena dia belum hafal letak barang-barang di rumah itu, tapi Akira tidak membiarkan tugas-tugas itu dikerjakan oleh pembantu. Ia merasa itu adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang istri.Setelah melihat sang suami sudah siap, Akira mengajaknya untuk sarapan. Tapi Albert menolak karena dia tidak terbiasa makan terlalu pagi. Albert juga mengatakan harus datang ke kantor lebih awal. Banyak pekerjaan yang sudah ia tinggalkan karena sudah tidak masuk kerja selama dua hari.“Ayo, Al. Sedikit saja. Kalau kamu tidak mau makanan berat, setidaknya makan roti sebagai pengganjal perut,” bujuk Akira.“Tidak perlu, Akira. Aku sudah terbiasa tidak sarapan,” tolak Albert dengan halus.“Albert, kamu pasti memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Kamu butuh banyak tenaga u
Akira mulai terbiasa menjalani perannya sebagai istri Albert. Sehari-hari dia rutin menyiapkan keperluan Albert saat akan berangkat bekerja. Di samping itu, dia hanya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Albert tidak membiarkannya mengerjakan banyak hal. Bahkan Akira harus selalu diantar jika ingin pergi ke luar rumah. Entah itu menyuruh Bibi Lastri atau Dewi.Kedua pembantu itu mulai menangkap gelagat aneh saat mendapati Akira yang sering muntah-muntah. Mereka belum tahu jika Akira sudah hamil. Pada suatu hari, Bibi Lastri pun tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada tuannya.“Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan tuan,” ujar Bibi Lastri ketika memiliki kesempatan berbicara berdua dengan Albert.“Ada apa, Bi? Apa ada masalah dengan pekerjaan di rumah ini?” tanya Albert.“Bukan itu, Tuan. Tapi ini tentang Nona Akira,” jawab Bibi Lastri sedikit ragu.“Kenapa dengan Akira? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?”“Begini, Tuan. Apa tuan tidak sadar jika belakangan ini
“Albert, ayo bangun!” ujar Akira sembari menepuk-nepuk pundak Albert yang sedang tidur pulas di sampingnya. Namun laki-laki itu hanya menggeliat dan tak membuka mata.“Ayo bangunlah, Albert. Bantu aku,” kata Akira masih terus berusaha.“Ada apa, Akira? Kenapa kamu mengangguku tengah malam seperti ini?” tanya Albert terpaksa membuka mata dengan malas.“Aku ingin makan mie ayam,” ucap gadis itu sontak membuat Albert heran.“Baiklah. Besok aku belikan,” jawab Albert singkat dan kembali menarik selimut berniat meneruskan tidurnya.“Tapi aku maunya sekarang, Al. Aku lapar,” paksa Akira.“Bukannya tadi kamu sudah makan banyak saat perayaan,” timpal Albert.“Ya tidak tahu. Intinya sekarang aku lapar dan ingin makan mie ayam.”“Tapi jam segini mana ada tempat makan yang buka, Akira” ujar Albert pelan. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Tunggu sampai besok ya. Aku pasti akan membelikannya untukmu,” imbuh laki-laki itu.Akira tak menjawab. Tidak menolak dan tidak jug
“Sial! Kenapa aku merasa aneh seperti ini saat berdekatan dengan Akira. Big no, Albert. Kamu harus fokus dengan tujuanmu untuk balas dendam. Kamu harus membuat perempuan itu merasakan sakit dan tersiksa seperti yang pernah ibumu rasakan dulu,” ucap Albert dengan tangan mengepal pada pagar pembatas balkon.Malam itu dia tidak bisa tidur setelah apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Akira. Dia menghabiskan waktu malam yang tersisa dengan termenung di balkon kamarnya. Berharap tempat itu dapat memupuk kembali dendamnya yang membara agar tidak pernah padam.Albert melakukan itu karena bayang-bayang Akira mulai terasa mengganggunya. Melihat tubuh gadis itu saat menggantikan bajunya cukup membuat getaran aneh bergejolak dalam jiwanya. Albert menjadi teringat pada kejadian malam itu saat dia merenggut hal berharga dalam hidup Akira. Albert tidak mau hal itu melemahkan dirinya.“Jika kau membutuhkan wanita, kau bisa saja mencari perempuan lain di luar sana yang bisa kau bayar untuk
Sepanjang perjalan, Akira merasa tidak tenang. Dia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Clarissa. Hanya saja kecemasan dalam suara sahabatnya itu tergambar nyata. Akira begitu peduli pada Clarissa sama seperti Clarissa peduli padanya. Dia tidak akan lupa bagaimana kebaikan yang pernah dilakukan Clarissa terutama ketika ia sedang dalam kesulitan.Albert sempat mempertanyakan keinginan Akira untuk pergi ke rumah sahabatnya itu sebab Akira sedang tidak begitu sehat. Tapi kecemasan gadis itu terlalu besar dan tidak bisa dikalahkan dengan bujukan Albert. Dia tetap bersi keras untuk pergi menemui Clarissa. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di sana.Akira mengetuk pintu dengan panik. Sebuah pelukan langsung menyambutnya saat pintu terbuka. Clarissa menangis dalam dekapan Akira.“Kenapa kamu menangis, Cla? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Akira melihat wajah kusut Clarissa.“Aku tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa, Ra. Semua berubah