Akira mulai belajar mengurus keperluan sang suami. Pada waktu pagi, ia membantu menyiapkan Albert sebelum berangkat ke kantor. Memilihkan pakaian, sepatu dan juga tas kerjanya. Meski masih sedikit kebingungan karena dia belum hafal letak barang-barang di rumah itu, tapi Akira tidak membiarkan tugas-tugas itu dikerjakan oleh pembantu. Ia merasa itu adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang istri.Setelah melihat sang suami sudah siap, Akira mengajaknya untuk sarapan. Tapi Albert menolak karena dia tidak terbiasa makan terlalu pagi. Albert juga mengatakan harus datang ke kantor lebih awal. Banyak pekerjaan yang sudah ia tinggalkan karena sudah tidak masuk kerja selama dua hari.“Ayo, Al. Sedikit saja. Kalau kamu tidak mau makanan berat, setidaknya makan roti sebagai pengganjal perut,” bujuk Akira.“Tidak perlu, Akira. Aku sudah terbiasa tidak sarapan,” tolak Albert dengan halus.“Albert, kamu pasti memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Kamu butuh banyak tenaga u
Akira mulai terbiasa menjalani perannya sebagai istri Albert. Sehari-hari dia rutin menyiapkan keperluan Albert saat akan berangkat bekerja. Di samping itu, dia hanya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Albert tidak membiarkannya mengerjakan banyak hal. Bahkan Akira harus selalu diantar jika ingin pergi ke luar rumah. Entah itu menyuruh Bibi Lastri atau Dewi.Kedua pembantu itu mulai menangkap gelagat aneh saat mendapati Akira yang sering muntah-muntah. Mereka belum tahu jika Akira sudah hamil. Pada suatu hari, Bibi Lastri pun tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada tuannya.“Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan tuan,” ujar Bibi Lastri ketika memiliki kesempatan berbicara berdua dengan Albert.“Ada apa, Bi? Apa ada masalah dengan pekerjaan di rumah ini?” tanya Albert.“Bukan itu, Tuan. Tapi ini tentang Nona Akira,” jawab Bibi Lastri sedikit ragu.“Kenapa dengan Akira? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?”“Begini, Tuan. Apa tuan tidak sadar jika belakangan ini
“Albert, ayo bangun!” ujar Akira sembari menepuk-nepuk pundak Albert yang sedang tidur pulas di sampingnya. Namun laki-laki itu hanya menggeliat dan tak membuka mata.“Ayo bangunlah, Albert. Bantu aku,” kata Akira masih terus berusaha.“Ada apa, Akira? Kenapa kamu mengangguku tengah malam seperti ini?” tanya Albert terpaksa membuka mata dengan malas.“Aku ingin makan mie ayam,” ucap gadis itu sontak membuat Albert heran.“Baiklah. Besok aku belikan,” jawab Albert singkat dan kembali menarik selimut berniat meneruskan tidurnya.“Tapi aku maunya sekarang, Al. Aku lapar,” paksa Akira.“Bukannya tadi kamu sudah makan banyak saat perayaan,” timpal Albert.“Ya tidak tahu. Intinya sekarang aku lapar dan ingin makan mie ayam.”“Tapi jam segini mana ada tempat makan yang buka, Akira” ujar Albert pelan. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Tunggu sampai besok ya. Aku pasti akan membelikannya untukmu,” imbuh laki-laki itu.Akira tak menjawab. Tidak menolak dan tidak jug
“Sial! Kenapa aku merasa aneh seperti ini saat berdekatan dengan Akira. Big no, Albert. Kamu harus fokus dengan tujuanmu untuk balas dendam. Kamu harus membuat perempuan itu merasakan sakit dan tersiksa seperti yang pernah ibumu rasakan dulu,” ucap Albert dengan tangan mengepal pada pagar pembatas balkon.Malam itu dia tidak bisa tidur setelah apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan Akira. Dia menghabiskan waktu malam yang tersisa dengan termenung di balkon kamarnya. Berharap tempat itu dapat memupuk kembali dendamnya yang membara agar tidak pernah padam.Albert melakukan itu karena bayang-bayang Akira mulai terasa mengganggunya. Melihat tubuh gadis itu saat menggantikan bajunya cukup membuat getaran aneh bergejolak dalam jiwanya. Albert menjadi teringat pada kejadian malam itu saat dia merenggut hal berharga dalam hidup Akira. Albert tidak mau hal itu melemahkan dirinya.“Jika kau membutuhkan wanita, kau bisa saja mencari perempuan lain di luar sana yang bisa kau bayar untuk
Sepanjang perjalan, Akira merasa tidak tenang. Dia belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Clarissa. Hanya saja kecemasan dalam suara sahabatnya itu tergambar nyata. Akira begitu peduli pada Clarissa sama seperti Clarissa peduli padanya. Dia tidak akan lupa bagaimana kebaikan yang pernah dilakukan Clarissa terutama ketika ia sedang dalam kesulitan.Albert sempat mempertanyakan keinginan Akira untuk pergi ke rumah sahabatnya itu sebab Akira sedang tidak begitu sehat. Tapi kecemasan gadis itu terlalu besar dan tidak bisa dikalahkan dengan bujukan Albert. Dia tetap bersi keras untuk pergi menemui Clarissa. Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di sana.Akira mengetuk pintu dengan panik. Sebuah pelukan langsung menyambutnya saat pintu terbuka. Clarissa menangis dalam dekapan Akira.“Kenapa kamu menangis, Cla? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Akira melihat wajah kusut Clarissa.“Aku tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa, Ra. Semua berubah
Akira memperkenalkan Clarissa pada kedua pembantu di rumah Albert. Dia kemudian meminta Dewi untuk menyiapkan sebuah kamar untuk Clarissa. Satpam juga ia perintahkan untuk membawakan barang-barang Clarissa ke dalam rumah. Sementara Albert hanya menatap malas semua adegan yang sedang terjadi di rumahnya sendiri.Akira mengantar Clarissa ke kamar tamu yang sudah disiapkan. Dia bahkan ikut membantu Clarissa menata barang-barangnya di ruangan itu. Terakhir sebelum pergi, Akira mengucapkan ungkapan semoga Clarissa betah tinggal di sana. Akira pun berlalu dan membiarkan Clarissa untuk beristirahat.Akira kemudian menyusul Albert yang sudah pergi ke kamarnya lebih dulu. Ia bisa merasakan bahwa suaminya itu masih merasa kesal. Dugaan Akira benar, Albert sedang duduk pada sebuah kursi di balkon kamarnya. Akira pun menghampiri dan berdiri tepat di belakang laki-laki itu.“Kamu masih merasa kesal?” tanya Akira.“Lupakan saja. Semua juga sudah terjadi,” jawab Albert ketus menyiratkan tidak suka.
Albert dan Akira tiba di rumah saat matahari tepat berada di tengah-tengah langit. Panas yang begitu terik membuat mereka langsung merebahkan diri di sofa ruang depan. Albert meminta Bibi Lastri membawakan barang belanjaan mereka yang masih ada di mobil. Sementara pada Dewi dia memerintahkan untuk dibuatkan minuman dingin untuknya dan Akira.“Oh ya, di mana Clarissa?” tanya Akira saat Dewi membawakan minuman untuk mereka berdua. Akira tidak melihat keberadaan temannya itu.“Mbak Clarissa baru saja keluar. Katanya ada urusan dengan temannya sebentar,” tutur Dewi membuat Akira mengernyitkan kening. Teman yang mana yang dimaksud oleh Clarissa dan ada urusan apa mereka bertemu.“Ada apa, Akira?” tanya Albert saat melihat Akira terdiam.“Hanya merasa aneh. Sebenarnya teman yang mana yang sedang ditemui oleh Clarissa.”“Sudahlah. Tidak perlu selalu memikirkan banyak hal. Temanmu itu juga bukan anak kecil lagi yang harus selalu kamu perhatikan gerak-geriknya. Ingat kesehatanmu dan anak kita,
Sejak Clarissa dirawat di rumah sakit, hampir setiap hari Akira menjadi pengunjung setia ke tempat itu. Dia merasa bertanggung jawab sebab tidak ada keluarga Clarissa yang lain yang bisa merawatnya. Tak jarang Akira juga membawakan makanan dari rumah. Ia tahu temannya itu pasti merasa bosan jika terus menyantap makanan rumah sakit yang seringkali terasa hambar.Seperti hari itu, Akira kembali menjalani rutinitasnya untuk menjenguk Clarissa. Albert sudah berangkat ke kantor sejak beberapa jam yang lalu. Akira hanya meminta sopir keluarga untuk mengantarnya. Kehamilannya yang sudah semakin membesar membuat gadis itu mulai merasa kesulitan untuk melakukan banyak aktivitas.Sesampainya di rumah sakit, Akira begitu bersemangat mendatangi kamar Clarissa. Dia melangkah ringan dengan senyum yang tak pernah surut. Namun saat membuka pintu kamar itu, Akira dibuat terkejut karena melihat pemandangan yang tidak terduga.Ada perasaan tidak nyaman saat Akira mendapati Albert tengah menyuapi sahabat