“Bagaimana? Apakah kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik? Apakah Akira akan menyetujui pernikahan itu?” tanya Albert saat berbicara dengan seseorang di telepon.“Tenang saja, Bos. Keahlianku tidak perlu diragukan. Semua akan berjalan sesuai rencana. Kau akan segera melihat hasilnya,” jawab seseorang dari seberang terdengar begitu yakin.“Baiklah, aku tunggu. Lanjutkan tugasmu dengan baik. Aku tidak mau sampai ada kesalahan,” ujar Albert memberi peringatan sebelum akhirnya mengakhiri panggilan.Laki-laki itu tersenyum licik di dalam kamarnya. Tangannya masih refleks memutar-mutar ponsel dalam genggamannya. Albert membayangkan satu persatu rencana yang akan ia jalankan. Ya. Dia masih Albert yang licik dan sangat ahli dalam bermuka dua. Kelembutan dan kasih sayang yang dia tunjukkan pada Akira hanyalah pemanis buatan agar gadis itu percaya.“Entah kau itu gadis yang terlalu polos atau terlalu bodoh, Akira. Mudah sekali terjebak dalam perangkapku. Aku bisa melihat bahwa dia mulai terk
Hari penting itu pun tiba. Hari itu Akira akan menikah dengan Albert. Dia sendiri tidak bisa menggambarkan perasaannya antara bahagia atau perasaan lain yang tak mudah untuk dijelaskan. Rasa cinta jelas belum ada. Dia hanya berusaha mengikuti alur dari jalan yang ia anggap sebagai takdir hidup. Seperti yang dikatakan Clarissa, mungkin cinta akan tumbuh secara perlahan dalam hubungan mereka nantinya.Akira sedang duduk di depan cermin. Clarissa sibuk meriasnya sedemikian rupa. Tak lupa baju pengantin kiriman Albert juga sudah ia kenakan. Hari itu mereka akan menikah tapi tanpa melibatkan kehadiran banyak orang. Hanya beberapa orang yang terdiri dari penghulu, saksi, dan petugas KUA.Tidak ada pihak keluarga atau pun kerabat yang hadir. Akira mengetahi bahwa Albert sudah yatim piatu dan tidak memiliki satu pun keluarga dekat. Sementara dirinya sendiri sudah tak memiliki seorang ayah sehingga perwaliannya diserahkan pada wali hakim. Mungkin dia hanya akan datang dengan didampingi oleh Cl
Malam itu Akira menginap di hotel bersama Albert. Akira merasa gugup tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di antara mereka berdua. Albert memesan makan malam dan meminta di antar ke kamar. Laki-laki itu menyuapi Akira dengan manisnya. Akira sempat merasa terlena.Namun berbeda dengan apa yang dirasakan Albert. Baginya tak ada satu pun dari momen itu yang terasa berkesan. Dia hanya sedang menikmati perannya dalam bersandiwara. Seperti seorang aktor yang menjalan aktingnya dengan begitu sempurna. Dia ingin membuat Akira menjadi lemah sehingga dapat dihancurkan dengan lebih mudah.“Kamu harus makan yang banyak. Tubuhmu pasti butuh lebih banyak energi selama masa kehamilan,” ucap Albert sembari menyuapkan sesendok nasi ke mulut Akira.“Terima kasih banyak untuk semua perhatian yang kamu berikan padaku,” kata Akira sembari memandangi wajah Albert. Seperti tak menyangka jika dirinya kini sudah bersuami.“Eh, tidak perlu ada kata terima kasih,” ujar Albert sembari menempelkan jari t
“Selamat pagi, Sayang” ucap Albert saat Akira baru membuka mata di hari pertamanya sebagai seorang istri. “Aaa…apa yang kau lakukan di sini?” teriak Akira refleks. Dia begitu terkejut karena langsung melihat wajah Albert untuk pertama kali saat bangun di pagi hari. Dia juga kebingungan mendapati Albert berada satu ranjang dengannya. “Ada apa, Akira? Kita sudah menikah. Sekarang aku sudah resmi menjadi suamimu,” tutur Albert membuat Akira kembali memutar ingatannya tentang kejadian hari kemarin. Akira mendapatkan memori saat terjadi janji suci antara dirinya dengan Albert. “Oh, maaf. Aku lupa kalau kita sudah menikah,” kata Akira merasa tidak enak dan malu atas tingkahnya pada sang suami. “Mudah sekali kamu melupakan peristiwa penting di antara kita berdua. Apa karena aku tidak menunaikan hakmu semalam?” ucap Albert sengaja menggoda. “Hakku? Maksudnya?” tanya Akira sempat mendapat protes dalam benak Albert karena memiliki istri yang begitu polos. “Hakmu untuk mendapatkan nafkah ba
Malam itu adalah malam kedua Albert dan Akira setelah pernikahan. Akira tak mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan tempat baru. Terlebih lagi para pekerja di rumah Albert juga bersikap baik padanya. Hampir semua kebutuhannya mereka layani.Akira masih merasa segan karena harus tinggal satu kamar dengan Albert. Tapi dia berusaha menepis perasaan itu karena menyadari statusnya sebagai istri. Meski canggung, Akira pun memposisikan diri di samping Albert yang sudah merebahkan diri lebih dulu. Rasa tidak nyaman itu membuat Akira kesulitan untuk memejamkan mata.“Kenapa kau belum tidur juga?” tanya Albert sembari melirik gadis di sampingnya.“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak merasa mengantuk saja,” jawab Akira.“Hmm…baiklah. Bagaimana kalau kita merubah rencananya?” ujar Albert.“Maksudnya?” tanya Akira tak mengerti. Tanpa menjawab, Albert pun beranjak dari tidurnya. Sementara Akira hanya merasa kebingungan sendiri.Tak lama setelah itu, Albert kembali ke kamar dengan membawa dua buah c
Akira mulai belajar mengurus keperluan sang suami. Pada waktu pagi, ia membantu menyiapkan Albert sebelum berangkat ke kantor. Memilihkan pakaian, sepatu dan juga tas kerjanya. Meski masih sedikit kebingungan karena dia belum hafal letak barang-barang di rumah itu, tapi Akira tidak membiarkan tugas-tugas itu dikerjakan oleh pembantu. Ia merasa itu adalah bagian dari tugasnya sebagai seorang istri.Setelah melihat sang suami sudah siap, Akira mengajaknya untuk sarapan. Tapi Albert menolak karena dia tidak terbiasa makan terlalu pagi. Albert juga mengatakan harus datang ke kantor lebih awal. Banyak pekerjaan yang sudah ia tinggalkan karena sudah tidak masuk kerja selama dua hari.“Ayo, Al. Sedikit saja. Kalau kamu tidak mau makanan berat, setidaknya makan roti sebagai pengganjal perut,” bujuk Akira.“Tidak perlu, Akira. Aku sudah terbiasa tidak sarapan,” tolak Albert dengan halus.“Albert, kamu pasti memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Kamu butuh banyak tenaga u
Akira mulai terbiasa menjalani perannya sebagai istri Albert. Sehari-hari dia rutin menyiapkan keperluan Albert saat akan berangkat bekerja. Di samping itu, dia hanya menghabiskan lebih banyak waktu di rumah. Albert tidak membiarkannya mengerjakan banyak hal. Bahkan Akira harus selalu diantar jika ingin pergi ke luar rumah. Entah itu menyuruh Bibi Lastri atau Dewi.Kedua pembantu itu mulai menangkap gelagat aneh saat mendapati Akira yang sering muntah-muntah. Mereka belum tahu jika Akira sudah hamil. Pada suatu hari, Bibi Lastri pun tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya pada tuannya.“Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan tuan,” ujar Bibi Lastri ketika memiliki kesempatan berbicara berdua dengan Albert.“Ada apa, Bi? Apa ada masalah dengan pekerjaan di rumah ini?” tanya Albert.“Bukan itu, Tuan. Tapi ini tentang Nona Akira,” jawab Bibi Lastri sedikit ragu.“Kenapa dengan Akira? Apa ada sesuatu yang terjadi padanya?”“Begini, Tuan. Apa tuan tidak sadar jika belakangan ini
“Albert, ayo bangun!” ujar Akira sembari menepuk-nepuk pundak Albert yang sedang tidur pulas di sampingnya. Namun laki-laki itu hanya menggeliat dan tak membuka mata.“Ayo bangunlah, Albert. Bantu aku,” kata Akira masih terus berusaha.“Ada apa, Akira? Kenapa kamu mengangguku tengah malam seperti ini?” tanya Albert terpaksa membuka mata dengan malas.“Aku ingin makan mie ayam,” ucap gadis itu sontak membuat Albert heran.“Baiklah. Besok aku belikan,” jawab Albert singkat dan kembali menarik selimut berniat meneruskan tidurnya.“Tapi aku maunya sekarang, Al. Aku lapar,” paksa Akira.“Bukannya tadi kamu sudah makan banyak saat perayaan,” timpal Albert.“Ya tidak tahu. Intinya sekarang aku lapar dan ingin makan mie ayam.”“Tapi jam segini mana ada tempat makan yang buka, Akira” ujar Albert pelan. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. “Tunggu sampai besok ya. Aku pasti akan membelikannya untukmu,” imbuh laki-laki itu.Akira tak menjawab. Tidak menolak dan tidak jug