Alih-alih melihat Lily untuk terakhir kalinya, Riehla berdiri cukup jauh dari orang-orang yang sedang menaruh Lily di tempat peristirahatan terakhirnya. Langit sore itu menjadi saksi kepergian Lily sebagai istri pertama Ellio.Walau Riehla tidak dekat dengan Lily, walau dengan kepergian Lily mungkin hubungannya dengan Ellio akan lebih mudah, tetap saja bukan seperti ini yang Riehla inginkan."Kenapa kamu pergi secepat ini ...." gumam Riehla dengan sorot mata sendu.Satu persatu orang pergi dari sana hingga hanya menyisakan Lusi, Ellio dan Papa-nya Lusi yang tengah berjongkok memegang batu nisan Lily dengan mata sembab."Terima kasih," ucap Lusi sembari menatap Ellio yang berdiri di sampingnya, sedikit jauh."Saya belum bisa menjadi suami yang baik.""Walau seperti itu Kak Ellio sudah bersedia menerima kembali Kak Lily. Menjadikannya seorang istri, di mana itu harapan Kak Lily.""Saya sempat marah dengan Lily, tapi bukan berarti saya membencinya. Lily memiliki tempat tersendiri di inga
"Zena itu anak aku."Alih-alih mengajak Ellio berbicara di suatu tempat seperti Restaurant atau taman untuk memberitahu hal penting seperti itu Riehla mengajak Ellio bertemu di Rooftop Kantor.Menoleh ke arah Ellio yang tidak terdengar suara. Ternyata Ellio yang berdiri di samping Riehla, tengah menatap dalam Riehla."Zena anak kamu juga."Melihat Ellio yang terus diam, membuat Riehla heran. "Kamu diam percaya kalau Zena anak aku sama kamu atau nggak?"Ellio balikan tubuh Riehla ke arahnya dengan perlahan. Menyentuh kedua tangan Riehla, menatapnya. "Aku percaya.""Bagaimana bisa kamu langsung percaya?" Riehla bersyukur tetapi juga sedikit tidak menyangka bahwa Ellio akan secepat itu percaya.Ellio tatap Riehla dengan masih memegang kedua tangan Riehla. "Kamu gak akan mengecewakan aku. Aku kenal sekali kamu, Rie."Terharu. Saking sampai ke hati Riehla ingin meneteskan air mata. Ternyata semudah itu memberitahu Ellio tentang Zena."Terima kasih, El." Dengan mata yang berkaca-kaca.Ellio
"Beberapa kali mereka main bareng. Tapi, gak terlalu dekat juga karena Jaehyun itu sibuk."Salah satu tangan Ellio terulur menyentuh tangan Riehla. Menggenggamnya lembut. "Mulai hari ini Zena cuma boleh dekat dengan aku." Lalu, menoleh ke arah Riehla. Tersenyum manis."Zena memang cuma dekat sama kamu.""Oh ya, Zena suka kue apa?" Sembari menatap jalanan."Kue tart cokelat.""Kalau gitu kita mampir beli kue tart cokelatnya."Beberapa saat kemudian...Riehla melangkah masuk ke dalam Rumah dengan Ellio yang mengikuti. Nampak Zena yang duduk sendirian di sofa dengan retina mata yang tertuju pada layar televisi."Mama," ucap Zena. Berjalan santai ke arah Zena yang menghentikan langkah kaki."Nenek mana?" Dengan salah satu tangan yang memegang kepala Zena."Kamar Mandi.""Oh ya. Ada yang mau Om Ellio berikan loh sama Zena," kata Riehla.Zena menoleh ke arah Ellio yang tersenyum penuh kasih sayang pada gadis kecil itu. Ellio berjongkok. Memperlihatkan isi kantong kresek putih yang terdapat
Alih-alih membicarakan di Ruang Tamu, Kakek menyuruh Riehla ke Ruang Kerja-nya. Di dalam ruangan yang cukup luas itu hanya ada Kakek dan Riehla yang duduk saling berhadapan."Ada hal penting yang mau Kakek sampaikan." Dengan wajah serius."Sebelum itu, boleh Riehla katakan sesuatu? Riehla juga memiliki hal penting yang perlu Kakek tahu.""Katakan saja.""Sebenarnya Zena itu anak Riehla dan Ellio. Maaf Riehla sudah menyembunyikannya selama ini."Kakek nampak tenang-tenang saja. "Ellio sudah memberitahu Kakek. Kakek senang kalau ternyata Zena adalah cicit Kakek. Terima kasih sudah mau jujur."Riehla menggelengkan kepala. "Kakek gak perlu berterima kasih." Mengetahui Ellio mau pun Kakek yang tidak marah akan apa yang ia lakukan, Riehla merasa semakin bersalah.Pria lansia itu terlihat membuka salah satu meja kerja. Mengambil sesuatu. Meletakkan dua buah foto di atas meja tepat di hadapan Riehla.Riehla lihat ada sesosok Ayah-nya di kedua foto bersama Kakek. Foto yang terlihat diambil saa
Riehla yang menempati salah satu meja sebuah Restaurant Jepang itu tengah menatap Ellio yang berada di depan sana, memesan makanan. Riehla nampak bingung. Ia masih belum tahu harus seperti apa.Apa tidak apa memiliki hubungan dengan Sepupu sendiri? Walau hal itu bukan dosa dan lagi pula semua terjadi sebelum Riehla tahu bahwa Ellio adalah Sepupunya.Ellio duduk di kursi tepat di hadapan Riehla. "Riehla," ujar Ellio."Iya?""Kamu tahu kan kalau aku gak mau kehilangan kamu lagi?""Iya.""Aku gak mau buang-buang waktu lagi. Aku ingin segera melakukannya. Biarkan aku menjadi suami kamu dan Papa Zura."Seharusnya Riehla sangat bahagia. Tetapi, kenyataan itu menahan perasaannya. Bagaimana Riehla mengatakannya pada Ellio jika mereka Sepupu?Melihat respon Riehla yang nampak tidak senang, Ellio sentuh salah satu tangan Riehla yang berada di meja. "Kali ini aku gak akan membiarkan kamu pergi. Apa pun yang terjadi aku akan mempertahankan kamu dan Zura."Lagi-lagi Riehla hanya diam. Sungguh tida
"Aku tahu kamu di sini dari Ibu," ucap Ellio yang sudah duduk di kursi tepat di hadapan Riehla."Kamu tahu apa yang aku lakukan di sini?""Aku akan tunggu sampai kamu siap buat cerita."Riehla ambil tas yang berada di kursi samping, berdiri dari duduk. "Aku sudah harus ke Kantor.""Biar aku antar." Sembari berdiri dari duduk."Aku bawa motor." Melangkah meninggalkan Ellio.Ellio balikan tubuh, menatap kepergian Riehla dengan perasaan sedih. Mau sampai kapan Riehla mengabaikannya? Seperti itulah yang tengah Ellio pikirkan.Yura yang ternyata belum pergi, tengah memesan kopi. Menatap kasihan Ellio. Selalu ada yang terjadi dengan hubungan mereka. Tidak bisakah baik-baik saja?Mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang dan berhenti saat lampu merah. Di depan sana ada wanita dan pria yang menyeberang dengan seorang anak kecil laki-laki yang dituntun pria itu.Riehla ingin seperti itu juga. Hidup bahagia bersama Ellio dan Zura tanpa mengkhawatirkan apa pun. Namun, selalu ada yang t
Duduk saling berhadapan dengan suasana Restaurant yang tenang, Riehla tampak serius. Apa yang akan perempuan itu katakan? Mungkinkah Riehla akan mengatakan bahwa semua cukup sampai di sini?"Kamu gak seperti biasanya lebih banyak diam," ujar Ellio."Aku—"Riehla menghentikan ucapannya saat pelayan perempuan datang membawa pesanan mereka. "Apa yang mau kamu katakan?" tanya Ellio saat pelayan itu telah pergi."Terima kasih karena selama ini kamu selalu mengerti. Kamu selalu berusaha memahami aku.""Kamu terus berterima kasih. Kamu tahu? Aku terlalu takut dengan ucapan terima kasih kamu. Aku takut kalau ucapan terima kasih kamu akhir dari hubungan kita, Rie.""Aku cuma ingin menjadi istri yang baik buat kamu nanti, kamu tahu itu kan? Aku gak pernah berharap lebih dari sekedar menjadi nyonya Ellio.""Aku sangat tahu.""Tapi ... haruskah kita lanjutkan hubungan ini? Aku terus memikirkannya, El."Tiba-tiba Ellio berpindah duduk menjadi di samping Riehla. Menggenggam kedua tangan Riehla. Men
Riehla yang nampak lebih cantik dari biasanya dengan dress biru muda selutut berlengan panjang terlihat diarahkan masuk ke dalam suatu Restaurant dengan Ellio yang menuntunnya.Sampainya di tempat yang sudah ditentukan, Ellio yang berdiri di depan Riehla, perlahan membuka penutup mata yang dipakai Riehla. Betapa terharu dan tidak menyangkanya Riehla atas kejutan yang diberikan Ellio.Saat manik mata Riehla tertuju pada Ellio, Ellio memperlihatkan senyum manisnya. Tiba-tiba Ellio berjongkok. Mengeluarkan sebuah kotak kecil putih dari saku mantel cokelat tuanya. Memperlihatkan sebuah cincin berlian yang indah."Cincin yang kamu kasih kan masih ada.""Mengingat apa yang terjadi sebelumnya bukankah kita harus mengganti dengan yang baru? Terlalu banyak menyimpan momen yang sedih cincin itu, Rie.""Benar. Kita perlu mengukir kenangan indah yang baru." Lalu, tersenyum manis.Ketika Ellio mengeluarkan cincin itu spontan Riehla mengulurkan tangan kanannya. Ellio pasang cincin itu pada jari man
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa