Sudah 1 bulan lebih sejak menghilangnya Riehla yang membuat beberapa orang sampai hari ini tidak mengerti dengan hal tiba-tiba seperti itu. Karena Ibu-nya Riehla tidak tahu tepatnya di mana anak-nya berada, bukan Ellio namanya jika hanya diam. Ellio bahkan menyewa beberapa orang untuk menemukan Riehla. Hanya sekedar memantau perempuannya tanpa berniat menghampiri.Hari-hari Ellio berbeda. Kehilangan Riehla yang ia tahu keadaannya baik-baik saja, tetap saja membuat Ellio bersikap seperti dahulu kala. Ellio yang nampak sangat dingin dan sulit didekati. Wajahnya terlihat tidak berseri-seri lagi.Terduduk di kursi kerja dengan tablet yang ia pegang. Menatap serius layar tablet yang menampakkan foto-foto Riehla yang diambil seseorang yang ia suruh untuk mengikuti Riehla. Rasanya ingin berlari, membawa Riehla ke dalam pelukannya. Namun, Ellio merasa bahwa ia perlu memberi waktu pada Riehla. Sampai kapan? Mungkin sampai Riehla mau menjelaskan sendiri tentang kenapa tiba-tiba pergi.Tok tok t
Ellio yang tengah menikmati makanannya mendadak terdiam dengan sendok dan garpu yang masih berada di masing-masing tangan. Mengangkat kepala, menatap Lily yang berada di hadapannya sebentar, lalu menoleh ke arah lelaki paruh baya yang berada di samping Lily yang tidak lain adalah Papa dari Lily."Maaf, Om. Biar saya pertegas kalau saya sudah menikah!" Dengan nada suara dan tatapan sedingin es di Kutub Utara."Kakek kamu bilang kalau kalian akan segera bercerai."Sontak Ellio menoleh ke arah sang Kakek yang menatap ke arah lain. Ellio sungguh tidak terima dengan apa yang sedang terjadi detik ini! Tidak tahukah mereka jika Ellio sedang berusaha mengembalikan Riehla ke dalam hidupnya. Ellio melangkah pergi dari sana.Lily dan Yura menoleh ke arah Ellio yang perlahan menghilang dari pandangan. Yura nampak sangat mengkhawatirkan Sepupu-nya itu. "Sehabis makan sebaiknya kita pulang, Pa." Sembari menyendok makanan yang ada di piringnya, memasukkan ke dalam mulut."Pembicaraan ini belum seles
Bukannya sudah menikah, tetapi mereka sudah bertunangan. Sudah sejauh itu, lantas Ellio harus menyerah? Tidak. Ia tidak akan meninggalkan Riehla yang sudah sangat ia cinta. Sudah pernah kehilangan seseorang tercinta di mana tiba-tiba harus merelakan, saat ini Ellio juga harus merasakannya kembali?Hari ini Ellio tidak sedikit pun mengalihkan pandangan dari Riehla. Dari berpura-pura menjadi orang lain saat mengunjungi Cafe, sampai berjam-jam di dalam mobil hingga langit menggelap. Ya. Telah memasuki malam.Menjalankan pelan mobil, mengikuti Riehla yang berjalan jauh di depan sana. Sampai terlihat langkah kaki Riehla yang berjalan di trotoar, terhenti. Ellio pun mau tidak mau menghentikan laju mobil. Memperhatikan Riehla yang membalikan tubuh, berjalan ke arah belakang dengan tatapan mata jelas ke arah Ellio."Apa aku ketahuan?" tanya Ellio pada dirinya sendiri dengan nada suara pelan.Ellio perhatikan Riehla sampai perempuan itu berhenti di depan pintu kaca mobil. Mengetuknya dengan wa
"Papa ingin kalian bersama lagi. Papa yakin kali ini Kakek akan menerima kamu dengan baik." Sembari menatap Lily dari samping."Pa!" Sembari menatap Papa-nya wajah seperti tidak suka dengan ucapan sang Papa."Kenapa? Kamu masih memiliki perasaan padanya.""Sebaiknya kita pulang. Aku menolak membicarakan hal ini!" Lalu, menoleh ke arah Riehla yang duduk di sofa. Berpamitan. Membawa pergi pria paruh baya itu dari sana.Riehla tatap Ellio. Bukannya menganggap seperti angin lalu apa yang baru saja ia dengar, Riehla justru memikirkannya. Riehla selalu ingin membantu sesosok yang ia cinta.FLASHBACK OFFSeperti itulah awal mula dari pemikiran Riehla yang tiba-tiba memutuskan pergi dari hidup Ellio. Ia ingin melakukan yang terbaik untuk masa depan Ellio. Selagi ada yang bisa ia lakukan, Riehla akan melakukannya.Namun, lihatlah akhir dari keputusan demi kebaikan Ellio. Riehla yang tengah menangis dengan salah satu tangan memegangi dada itu terlihat sangat menyedihkan. Hatinya hancur. Semakin
Bagaimana mungkin seseorang terlihat baik-baik saja, tidak ada yang berusaha, tetap sama seperti hari-hari biasanya setelah kehilangan salah seorang yang begitu berarti dalam hidup.Randy rebahkan tubuh Ellio di kasur yang sudah tidak sadarkan diri. Membenarkan posisi tidur Ellio, bahkan membuka dasi yang masih berada di sana serta beberapa kancing kemeja. Tidak lupa menyelimuti tubuh Ellio. Lagi-lagi sorot mata Randy menampilkan hal yang sama. Ia sangat kasihan pada Ellio.Melangkah keluar dari dalam Kamar. Saat di Ruang Tengah, mendudukkan diri di sofa panjang. Mengeluarkan handphone dari dalam saku jaket kulit hitam-nya. Layar handphone menampilkan bahwa Randy melakukan panggilan keluar pada Riehla.Apakah Randy lupa jika ini waktu orang tengah tertidur pulas? Tidak. Randy hanya ingin menelepon Riehla tidak peduli tidak diangkat."Hallo," ucap Riehla di seberang sana dengan suara khas orang habis bangun tidur. Randy kira akan diabaikan."Sepertinya saya ganggu. Maaf.""Gakpapa. Ada
Riehla dan Yura terlihat sedang mengaduk-aduk ramyeon. Yura makan ramyeon miliknya yang terlihat pedas dari kuah merah. Menatap Riehla yang sedang memakan mie dengan sorot mata ke arah bawah. "Kalau Kak Ellio berakhir dengan Kak Lily, kamu sudah gak ada kesempatan. Gakpapa?""Aku gak mau merusak kebahagiaan siapa pun.""Kata siapa kamu gak merusak kebahagiaan siapa pun?""Kebahagiaan siapa yang sudah aku rusak?" Lalu, memakan mie."Kebahagiaan kamu sendiri."Sontak perkataan itu membuat Riehla terdiam. Yura benar. "Kebahagiaan kamu Kak Ellio, La."Alih-alih mengucapkan sesuatu Riehla memilih fokus memakan mie-nya. Yura yang melihat itu pun hanya bisa menghela nafas. Jika Riehla tidak sekeras kepala itu untuk pergi dari hidup Ellio, rasanya tidak akan sesulit ini.Menoleh ke arah luar di mana sedikit jauh dari tempatnya berada. Ada begitu banyak kenangan indah yang Riehla rasa tidak akan pernah bisa ia hapus dari ingatannya. Kenangan saat dirinya bersama Ellio.Ellio yang memperlakukan
Tidak bisakah pikiran ini tetap pada tempatnya? Riehla sungguh tidak berharap ada hal tidak menyenangkan yang harus ia dengar di tengah keheningan malam."Hallo, Ra."Terdengar helaan nafas di seberang sana. "Maaf ya sudah ganggu malam-malam.""It's okay. Ada apa? Semua baik-baik saja kan?""Mm. Aku telepon karena Kakek terus menanyakan kamu. Terus minta aku buat minta kamu datang. Padahal sudah aku jelaskan kalau kamu gak bisa datang.""Iya. Aku gak bisa.""Tuh, dengar kan?" ucap Yura pada seseorang di seberang sana yang tentu saja bukanlah Riehla."Kakek lagi mendengarkan?" tanya Riehla."Iya. Kenapa? Ada yang mau dibicarakan?""Mm. Kakek, Riehla benar-benar minta maaf karena gak bisa berada di samping Kakek saat ini." Dengan suara yang terdengar merasa bersalah dan sedih."Gakpapa. Kakek gak marah atau kecewa kok. Satu hal yang harus kamu tahu, walau hubungan kamu dengan Ellio sudah berakhir, kamu akan tetap jadi Cucu, Kakek."Untuk kesekian kalinya Riehla dibuat tersentuh dengan k
Berhenti tepat di depan sebuah Rumah sederhana yang tetap sama dengan 4 tahun lalu. Rumah yang sekali pun selama 4 tahun tidak pernah Riehla kunjungi. Sebuah Rumah yang ia rindukan karena penuh dengan kehangatan. Diketuknya pintu, lalu menoleh ke arah gadis kecil-nya, membelai singkat puncak kepala sang anak.CeklekTatapan mata yang saling merindukan bertemu. Ani langsung membawa Riehla ke dalam pelukan. Ani bersyukur bahwa selama 4 tahun tidak pernah bertemu secara langsung putri-nya baik-baik saja."Wehalmeoni," ucap Zenata Zia.Sontak Ani melepas pelukan, menoleh ke arah samping Riehla. Tersenyum lembut dan penuh kasih sayang pada Zena. Berjongkok, dipeluknya sang Cucu yang untuk pertama kalinya bertemu secara langsung.Melihat sorot mata Ibu-nya, Riehla merasa bersalah karena selama ini tidak memberi kesempatan untuk Nenek dan Cucu-nya saling bertemu.Ani lepas pelukan Zena. Menggenggam kedua tangan mungil itu. "Cucu Nenek apa kabar?" Dengan nada lembut."Baik." Dengan nada suara
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa