"Papa ingin kalian bersama lagi. Papa yakin kali ini Kakek akan menerima kamu dengan baik." Sembari menatap Lily dari samping."Pa!" Sembari menatap Papa-nya wajah seperti tidak suka dengan ucapan sang Papa."Kenapa? Kamu masih memiliki perasaan padanya.""Sebaiknya kita pulang. Aku menolak membicarakan hal ini!" Lalu, menoleh ke arah Riehla yang duduk di sofa. Berpamitan. Membawa pergi pria paruh baya itu dari sana.Riehla tatap Ellio. Bukannya menganggap seperti angin lalu apa yang baru saja ia dengar, Riehla justru memikirkannya. Riehla selalu ingin membantu sesosok yang ia cinta.FLASHBACK OFFSeperti itulah awal mula dari pemikiran Riehla yang tiba-tiba memutuskan pergi dari hidup Ellio. Ia ingin melakukan yang terbaik untuk masa depan Ellio. Selagi ada yang bisa ia lakukan, Riehla akan melakukannya.Namun, lihatlah akhir dari keputusan demi kebaikan Ellio. Riehla yang tengah menangis dengan salah satu tangan memegangi dada itu terlihat sangat menyedihkan. Hatinya hancur. Semakin
Bagaimana mungkin seseorang terlihat baik-baik saja, tidak ada yang berusaha, tetap sama seperti hari-hari biasanya setelah kehilangan salah seorang yang begitu berarti dalam hidup.Randy rebahkan tubuh Ellio di kasur yang sudah tidak sadarkan diri. Membenarkan posisi tidur Ellio, bahkan membuka dasi yang masih berada di sana serta beberapa kancing kemeja. Tidak lupa menyelimuti tubuh Ellio. Lagi-lagi sorot mata Randy menampilkan hal yang sama. Ia sangat kasihan pada Ellio.Melangkah keluar dari dalam Kamar. Saat di Ruang Tengah, mendudukkan diri di sofa panjang. Mengeluarkan handphone dari dalam saku jaket kulit hitam-nya. Layar handphone menampilkan bahwa Randy melakukan panggilan keluar pada Riehla.Apakah Randy lupa jika ini waktu orang tengah tertidur pulas? Tidak. Randy hanya ingin menelepon Riehla tidak peduli tidak diangkat."Hallo," ucap Riehla di seberang sana dengan suara khas orang habis bangun tidur. Randy kira akan diabaikan."Sepertinya saya ganggu. Maaf.""Gakpapa. Ada
Riehla dan Yura terlihat sedang mengaduk-aduk ramyeon. Yura makan ramyeon miliknya yang terlihat pedas dari kuah merah. Menatap Riehla yang sedang memakan mie dengan sorot mata ke arah bawah. "Kalau Kak Ellio berakhir dengan Kak Lily, kamu sudah gak ada kesempatan. Gakpapa?""Aku gak mau merusak kebahagiaan siapa pun.""Kata siapa kamu gak merusak kebahagiaan siapa pun?""Kebahagiaan siapa yang sudah aku rusak?" Lalu, memakan mie."Kebahagiaan kamu sendiri."Sontak perkataan itu membuat Riehla terdiam. Yura benar. "Kebahagiaan kamu Kak Ellio, La."Alih-alih mengucapkan sesuatu Riehla memilih fokus memakan mie-nya. Yura yang melihat itu pun hanya bisa menghela nafas. Jika Riehla tidak sekeras kepala itu untuk pergi dari hidup Ellio, rasanya tidak akan sesulit ini.Menoleh ke arah luar di mana sedikit jauh dari tempatnya berada. Ada begitu banyak kenangan indah yang Riehla rasa tidak akan pernah bisa ia hapus dari ingatannya. Kenangan saat dirinya bersama Ellio.Ellio yang memperlakukan
Tidak bisakah pikiran ini tetap pada tempatnya? Riehla sungguh tidak berharap ada hal tidak menyenangkan yang harus ia dengar di tengah keheningan malam."Hallo, Ra."Terdengar helaan nafas di seberang sana. "Maaf ya sudah ganggu malam-malam.""It's okay. Ada apa? Semua baik-baik saja kan?""Mm. Aku telepon karena Kakek terus menanyakan kamu. Terus minta aku buat minta kamu datang. Padahal sudah aku jelaskan kalau kamu gak bisa datang.""Iya. Aku gak bisa.""Tuh, dengar kan?" ucap Yura pada seseorang di seberang sana yang tentu saja bukanlah Riehla."Kakek lagi mendengarkan?" tanya Riehla."Iya. Kenapa? Ada yang mau dibicarakan?""Mm. Kakek, Riehla benar-benar minta maaf karena gak bisa berada di samping Kakek saat ini." Dengan suara yang terdengar merasa bersalah dan sedih."Gakpapa. Kakek gak marah atau kecewa kok. Satu hal yang harus kamu tahu, walau hubungan kamu dengan Ellio sudah berakhir, kamu akan tetap jadi Cucu, Kakek."Untuk kesekian kalinya Riehla dibuat tersentuh dengan k
Berhenti tepat di depan sebuah Rumah sederhana yang tetap sama dengan 4 tahun lalu. Rumah yang sekali pun selama 4 tahun tidak pernah Riehla kunjungi. Sebuah Rumah yang ia rindukan karena penuh dengan kehangatan. Diketuknya pintu, lalu menoleh ke arah gadis kecil-nya, membelai singkat puncak kepala sang anak.CeklekTatapan mata yang saling merindukan bertemu. Ani langsung membawa Riehla ke dalam pelukan. Ani bersyukur bahwa selama 4 tahun tidak pernah bertemu secara langsung putri-nya baik-baik saja."Wehalmeoni," ucap Zenata Zia.Sontak Ani melepas pelukan, menoleh ke arah samping Riehla. Tersenyum lembut dan penuh kasih sayang pada Zena. Berjongkok, dipeluknya sang Cucu yang untuk pertama kalinya bertemu secara langsung.Melihat sorot mata Ibu-nya, Riehla merasa bersalah karena selama ini tidak memberi kesempatan untuk Nenek dan Cucu-nya saling bertemu.Ani lepas pelukan Zena. Menggenggam kedua tangan mungil itu. "Cucu Nenek apa kabar?" Dengan nada lembut."Baik." Dengan nada suara
Sementara Riehla melakukan wawancara kerja, Zena pergi bersama Yura yang mengajak ke sebuah tempat bermain yang ada di Mall. Saat sedang memperhatikan Zena mandi bola, Yura pikir Kakek dan Ellio pasti akan sama bahagianya dengannya saat tahu ada Zena di tengah-tengah mereka. Yura tidak bisa berbuat apa-apa, keputusan ada di tangan Riehla.Zena sedikit berlari ke arah Yura. "Ante. Aku lapar, mainnya sudah.""Mm. Kita cari makan."Ketika sedang berjalan, sebelum sempat bersembunyi. Ellio sudah keburu melihat Yura yang nampak panik. Namun, berusaha untuk terlihat biasa saja. Zena dan Ellio bertemu lebih cepat dari perkiraan.Ellio berhenti tepat di hadapan Yura. Pandangan Ellio tertuju pada Zena yang menatap datar Ellio. "Anak siapa?" Sembari menoleh ke arah Yura."Seorang kenalan." Tenang, Ra. Tenang."Bukan anak dari laki-laki yang diam-diam kamu kencani kan?""Apaan sih, Kak. Nggak! Pikiran macam apa itu."Yura pikir Ellio akan melangkah pergi, nyatanya Ellio berjongkok di hadapan Zen
Hari pertama kerja dan terjadilah hal tak terduga. Riehla turun dari atas motor, menatap bingung. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba motor-nya mati. Jelas-jelas beberapa saat lalu Riehla baru mengisi bensin.Menoleh ke setiap arah, mencari apakah ada bengkel, namun tidak ada. Riehla pikir ada baiknya ia bertanya pada seseorang letak bengkel terdekat. Belum melangkahkan kaki, terdapat sebuah mobil sport biru tua yang berhenti tepat di belakang motor Riehla.Tentu Riehla tidak memedulikannya. Mencoba melihat dahulu orang yang akan ia hampiri untuk bertanya. "Riehla."Suara berat itu membuat Riehla menoleh dan manik matanya bertemu dengan manik mata milik Ellio. Untuk pertama kalinya lagi mereka bertemu. "Kamu kenapa berdiri saja di sini? Apa ada masalah dengan motor kamu?"Perasaan Riehla masih sama. Tentu sedikit tidak baik-baik saja bertemu Ellio seperti itu. "Gak tahu kenapa tiba-tiba mati.""Aku gak terlalu paham, tapi aku bisa menelepon bengkel langganan aku. Gimana?"Terima atau t
Bukannya melanjutkan perkataan di mana Randy sudah menunggu, Ellio malah meneguk habis wine di dalam gelas yang tinggal sedikit. Menyandarkan kepala ke kepala sofa. Menatap lurus ke depan yang terlihat belum terlalu mabuk.***Riehla nampak sedang berjalan membawa beberapa tumpuk kertas yang berada di salah satu tangan. Saat ia fokus pada jalanan, manik matanya menangkap seseorang yang ia kenal. Menghentikan langkah kaki, menatap Ellio yang berjalan masuk gedung Kantor dengan sorot mata ke arah Riehla."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Riehla dengan wajah heran."Menemui kamu.""Ellio! Aku lagi kerja. Kamu gak bisa seenaknya masuk ke sini.""Bagaimana kalau aku bisa masuk semau aku?"Riehla semakin dibuat tak habis pikir dengan kelakukan Ellio. Ellio benar-benar masih sama seperti dahulu. Tidak mudah menyerah walau sudah tidak dipedulikan."Sebaiknya ka—""Pak Ellio," ucap Kepala Editor. Berhenti di antara Ellio dan Riehla."Apa ada yang salah sampai Bapak datang tanpa mengabari?