Kedua mata Jovie memejam erat, menahan rasa kesal yang mulai meledak. Tangannya mengepal kencang, sebelum akhirnya menjatuhkan diri pada kasur sambil menggeram kasar. Beberapa kali terlihat berguling-guling, kemudian duduk lagi dengan tatapan mata tajam yang mengarah ke pintu.“Corey!” tuduhnya.Secepatnya dia mengambil ponsel yang masih berada di tas. Tak ada tersangka lain selain Corey. Hanya temannya itu yang menjadi satu-satunya orang yang tahu di mana keberadaannya sekarang.Sambungan jarak jauh telah tersambung, satu kata pertama yang diucapkan oleh Jovie adalah :“Corey, What have you done?!”“Hei, kenapa kau tiba-tiba marah? Apa yang telah kulakukan?” “Jangan berpura-pura tidak tahu, Corey! Kenapa kau memberi tahu Jace tentang keberadaanku saat ini?!”Corey terdengar terkekeh. “Nikmati saja liburanmu, Jovie. Anggaplah aku membawakan kejutan untukmu.”“Kejutaan with this shit? Oh, come on, Corey! Kau bahkan ingin sekali menghajarnya. Kenapa sekarang jadi bersekongkol dengannya
Jace masih setia mengikuti Jovie, bahkan sampai hari beranjak malam. Suhu udara di puncak musim gugur menjadi semakin dingin. Jace mulai khawatir dengan Jovie yang terlihat beberapa kali mengusap kedua tangannya untuk menghalau dingin.Jace kembali mendekat, berjalan di sebelah Jovie yang masih dengan keputusannya untuk tidak menghiraukan keberadaan Jace. Di sudut mata Jace, dia melihat ada sebuah bar yang berjarak tiga toko dari tempatnya sekarang.“Jovie, kau butuh menghangatkan badan, kan? Ayo kita masuk ke bar di depan untuk minum wine,” ajak Jace.Jovie menggelengkan kepalanya. “Masuk saja kalau kau mau, tidak perlu repot-repot mengajakku.”Jace menghela napasnya. Dia harus mengakui bahwa pendirian Jovie sangatlah kuat. Namun kali ini, dia harus berinisiatif untuk mendapatkan waktu yang tepat agar bisa mengajak Jovie berbicara lebih lama, dan mendalam.Tanpa menghiraukan penolakan Jovie, Jace telah menarik tangan wanita itu dan membawanya masuk ke dalam bar. Jovie tersentak, beru
Jovie terduduk di tepi ranjang, memandang Jace yang sedang menatapnya dalam. Sentuhan yang tadi sempat dirasakan olehnya, kini membuat hatinya menjadi bimbang. Bolehkah dia merasakannya lagi? jujur dari dalam hatinya, dia juga menginginkan Jace. Namun kenapa saat ini dia menjadi bimbang?Seakan tahu dengan apa yang dipikirkan oleh Jovie, Jace semakin mendekat, merengkuh tubuh wanita itu dan memeluknya erat. “Aku benar-benar mencintaimu, Jovie.”Ciuman kembali membungkam bibir Jovie, tak memberi kesempatan pada wanita itu untuk membalas pernyataan cinta yang baru saja dilontarkan oleh Jace. Pada akhirnya, Jovie menyerah. Dia kembali jatuh pada pelukan Jace, dan memutuskan untuk membuka hatinya lagi, memberi kesempatan kedua.Keduanya terjatuh di ranjang. Tubuh Jovie berada di bawah, tertindih oleh Jace yang menatapnya liar. Kerinduan yang mendalam, membuatnya menjadi tak tertahankan.Dalam sekejap, tubuh mereka telah polos, tak tampak sehelai benang pun. Jace mulai memainkan permainann
Liburan yang menyenangkan, dan juga mengharukan bagi seorang Jovie. Siapa sangka, dia yang berniat untuk memudahkan move on dari Jace dengan cara liburan, justru saat ini malah saling menggenggam dan berjalan menuju ke apartemennya bersama.Saat keduanya telah berada di dalam apartemen, Jace meletakkan koper Jovie di dalam kamar sebelum dia duduk di sofa, menarik tangan Jovie sampai wanita itu duduk di pangkuannya.“Kenapa kau memandangku seperti itu, Jace?” Jovie salah tingkah melihat tatapan Jace yang terlihat dalam padanya.Kedua tangan Jace melingkar di pinggang Jovie, semakin membuat tubuh wanita itu menjadi tak berjarak. “Salahkan dirimu karena selalu terlihat cantik di mataku.”Jovie terkekeh, kedua tangannya mengalung di leher Jace. “Aku penasaran dari mana kau belajar untuk merayu seperti itu. Apakah kau memiliki sertifikasi untuk itu?”Tak menjawab, Jace justru membenamkan kepalanya pada dada Jovie. Tangannya semakin erat di pinggang Jovie. “Sayang, bisakah kau tinggal di pe
Kabar tentang Jace yang telah terlihat di Blue Corner membuat Cassy bergegas untuk menemui pria tersebut. Semua penolakan yang akhir-akhir ini dilakukan oleh Jace padanya, rupanya tidak membuat wanita itu menyerah, justru semakin membuatnya tertantang untuk merebut kembali Jace ke dalam pelukannya.Cassy baru saja mendapat informasi dari bartender kalau saat ini Jace sedang berada di ruangan pribadinya yang berada di lantai tiga. Tak membuang waktu, dia langsung menuju ke sana, dan sedikit mengendap saat telah dekat pada pintu masuk ruangan. Tangannya menarik gagang pintu, berusaha tidak mengeluarkan derit.Cassy menghela napas saat melihat Jace sedang memunggungi posisinya, terlihat fokus dengan beberapa berkas di atas meja kerja. Seringai dalam terlihat di wajah wanita itu, didukung dengan sorot matanya yang terlihat tajam, seakan ingin menyergap sosok tegap di depannya.“Jace, aku merindukanmu.”Cassy memeluk Jace dari belakang, tanpa memedulikan gestur tak nyaman yang ditegaskan o
Jika tak salah mengingat, sudah dua bulan berlalu sejak Jovie kembali bersama dengan Jace. Selama itu pula, Jace benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah sosok kekasih yang sangat baik bagi Jovie. Hampir setiap hari Jace akan menjemput Jovie—asalkan tak ada jadwal yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.Seperti saat ini, Jace telah memberi kabar sebelumnya kalau dia akan sibuk karena harus menghadiri meeting bersama para pemegang saham, dan kemungkinan akab berlangsung sampai malam. Oleh karena itu, hari ini Jovie pulang sendiri menggunakan taksi.Tidak ada rencana khusus bagi Jovie untuk malam ini. Dia hanya akan mandi, kemudian memesan makan malam, dan beristirahat sampai pagi.Tunggu. Bukankah itu Jace?Jovie merekahkan senyum, bersamaan dengan tangan Jace yang melambai, berdiri di depan apartemen Jovie sambil membawa buket bunga.“Hai, Honey,” sapa Jace. “Something beautiful for the most beautiful woman in the world.”Jovie menerima buket bunga, lalu menatap Jace sambil ters
Langkah Jace terhenti. Satu kalimat yang memang dia harapkan telah terucap dari bibir Jovie. Bagaimana mungkin dia menolaknya, jika senyuman Jovie saja kembali membuatnya bergairah.Coat yang telah dia kenakan, kembali ditanggalkan. Kedua tangannya merengkuh cepat tubuh Jovie.“Begitukah? Apakah lebih baik aku menginap malam ini?” tanya Jace, dengan seringai tipis.Tangan Jace kembali menjelajah rahang Jovie, melewati tulang selangka, dan menelusup ke belakang leher, membawa desiran ke seluruh tubuh. Meremang, perlahan menghilangkan kesadaran.“If you want it,” ucap Jovie tercekat. “Please….”Seringai nakal mengembang dari bibir Jace. Wajahnya menunduk, menuju pada bibir ranum Jovie yang telah sedikit terbuka, menunggu Jace melumatnya.Saat Jovie mulai meninggi, Jace mengangkat tubuh seksi itu, menggendongnya dengan tetap saling menyesap dan membelitkan lidah. Sofa di ruang santai adalah tujuannya.Napas mereka semakin memburu. Jace telah duduk bersandar di sofa, sementara Jovie duduk
Corey berlari dari parkiran rumah sakit, langsung menuju ke Emergency Room, tempat di mana Jovie sekarang mendapat pertolongan pertama karena keluhan nyeri di perutnya tadi. Sekitar setengah jam yang lalu, dia mendapat pesan dari sahabatnya itu untuk menemaninya karena harus ada wali yang membantu urusan administrasi di rumah sakit.Pandangan Corey menyapu deretan ranjang di dalam Emergency Room yang hampir semuanya terisi oleh pasien darurat. Setelah melintasi empat ranjang dari pintu masuk, dia menemukan Jovie di sana, terbaring dengan mendengarkan penjelasan dari dokter.“Jovie?” sapa Corey.Dokter menoleh, tersenyum tipis untuk menyapa. “Suami dari pasien?”Corey mengerutkan kening, terlihat bingung dengan tebakan dokter tersebut. “Bukan, Dok. Saya sahabat dari Jovie. Apa yang terjadi padanya?”Dokter menoleh sebentar pada Jovie, memastikan bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah benar-benar wali dari pasiennya. Jovie mengangguk, mengkonfirmasi sang dokter dan memberi kuasa u