Liburan yang menyenangkan, dan juga mengharukan bagi seorang Jovie. Siapa sangka, dia yang berniat untuk memudahkan move on dari Jace dengan cara liburan, justru saat ini malah saling menggenggam dan berjalan menuju ke apartemennya bersama.Saat keduanya telah berada di dalam apartemen, Jace meletakkan koper Jovie di dalam kamar sebelum dia duduk di sofa, menarik tangan Jovie sampai wanita itu duduk di pangkuannya.“Kenapa kau memandangku seperti itu, Jace?” Jovie salah tingkah melihat tatapan Jace yang terlihat dalam padanya.Kedua tangan Jace melingkar di pinggang Jovie, semakin membuat tubuh wanita itu menjadi tak berjarak. “Salahkan dirimu karena selalu terlihat cantik di mataku.”Jovie terkekeh, kedua tangannya mengalung di leher Jace. “Aku penasaran dari mana kau belajar untuk merayu seperti itu. Apakah kau memiliki sertifikasi untuk itu?”Tak menjawab, Jace justru membenamkan kepalanya pada dada Jovie. Tangannya semakin erat di pinggang Jovie. “Sayang, bisakah kau tinggal di pe
Kabar tentang Jace yang telah terlihat di Blue Corner membuat Cassy bergegas untuk menemui pria tersebut. Semua penolakan yang akhir-akhir ini dilakukan oleh Jace padanya, rupanya tidak membuat wanita itu menyerah, justru semakin membuatnya tertantang untuk merebut kembali Jace ke dalam pelukannya.Cassy baru saja mendapat informasi dari bartender kalau saat ini Jace sedang berada di ruangan pribadinya yang berada di lantai tiga. Tak membuang waktu, dia langsung menuju ke sana, dan sedikit mengendap saat telah dekat pada pintu masuk ruangan. Tangannya menarik gagang pintu, berusaha tidak mengeluarkan derit.Cassy menghela napas saat melihat Jace sedang memunggungi posisinya, terlihat fokus dengan beberapa berkas di atas meja kerja. Seringai dalam terlihat di wajah wanita itu, didukung dengan sorot matanya yang terlihat tajam, seakan ingin menyergap sosok tegap di depannya.“Jace, aku merindukanmu.”Cassy memeluk Jace dari belakang, tanpa memedulikan gestur tak nyaman yang ditegaskan o
Jika tak salah mengingat, sudah dua bulan berlalu sejak Jovie kembali bersama dengan Jace. Selama itu pula, Jace benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah sosok kekasih yang sangat baik bagi Jovie. Hampir setiap hari Jace akan menjemput Jovie—asalkan tak ada jadwal yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.Seperti saat ini, Jace telah memberi kabar sebelumnya kalau dia akan sibuk karena harus menghadiri meeting bersama para pemegang saham, dan kemungkinan akab berlangsung sampai malam. Oleh karena itu, hari ini Jovie pulang sendiri menggunakan taksi.Tidak ada rencana khusus bagi Jovie untuk malam ini. Dia hanya akan mandi, kemudian memesan makan malam, dan beristirahat sampai pagi.Tunggu. Bukankah itu Jace?Jovie merekahkan senyum, bersamaan dengan tangan Jace yang melambai, berdiri di depan apartemen Jovie sambil membawa buket bunga.“Hai, Honey,” sapa Jace. “Something beautiful for the most beautiful woman in the world.”Jovie menerima buket bunga, lalu menatap Jace sambil ters
Langkah Jace terhenti. Satu kalimat yang memang dia harapkan telah terucap dari bibir Jovie. Bagaimana mungkin dia menolaknya, jika senyuman Jovie saja kembali membuatnya bergairah.Coat yang telah dia kenakan, kembali ditanggalkan. Kedua tangannya merengkuh cepat tubuh Jovie.“Begitukah? Apakah lebih baik aku menginap malam ini?” tanya Jace, dengan seringai tipis.Tangan Jace kembali menjelajah rahang Jovie, melewati tulang selangka, dan menelusup ke belakang leher, membawa desiran ke seluruh tubuh. Meremang, perlahan menghilangkan kesadaran.“If you want it,” ucap Jovie tercekat. “Please….”Seringai nakal mengembang dari bibir Jace. Wajahnya menunduk, menuju pada bibir ranum Jovie yang telah sedikit terbuka, menunggu Jace melumatnya.Saat Jovie mulai meninggi, Jace mengangkat tubuh seksi itu, menggendongnya dengan tetap saling menyesap dan membelitkan lidah. Sofa di ruang santai adalah tujuannya.Napas mereka semakin memburu. Jace telah duduk bersandar di sofa, sementara Jovie duduk
Corey berlari dari parkiran rumah sakit, langsung menuju ke Emergency Room, tempat di mana Jovie sekarang mendapat pertolongan pertama karena keluhan nyeri di perutnya tadi. Sekitar setengah jam yang lalu, dia mendapat pesan dari sahabatnya itu untuk menemaninya karena harus ada wali yang membantu urusan administrasi di rumah sakit.Pandangan Corey menyapu deretan ranjang di dalam Emergency Room yang hampir semuanya terisi oleh pasien darurat. Setelah melintasi empat ranjang dari pintu masuk, dia menemukan Jovie di sana, terbaring dengan mendengarkan penjelasan dari dokter.“Jovie?” sapa Corey.Dokter menoleh, tersenyum tipis untuk menyapa. “Suami dari pasien?”Corey mengerutkan kening, terlihat bingung dengan tebakan dokter tersebut. “Bukan, Dok. Saya sahabat dari Jovie. Apa yang terjadi padanya?”Dokter menoleh sebentar pada Jovie, memastikan bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah benar-benar wali dari pasiennya. Jovie mengangguk, mengkonfirmasi sang dokter dan memberi kuasa u
“Silakan ditunggu di poli kandungan, Anda akan dipanggil sesuai dengan urutan,” ucap petugas rumah sakit Hangkook University sambil menunjuk ke arah lorong yang menuju ke ruangan poli kandungan.Jovie tersenyum, menganggukkan kepalanya sebagai bentuk hormat masyarakat Korea pada sesama. “Terima kasih.”Sudah hampir dua bulan Jovie pindah ke Seoul, Korea Selatan. Hari-harinya disibukkan dengan perkerjaan meskipun kandungannya dinyatakan lemah. Namun, dia tidak terlalu memaksa dirinya sendiri. Jika mulai terasa lelah, dia akan beristirahat sejenak. Membuat tubuhnya rileks, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan.Malam ini, dia memiliki jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Sebuah keajaiban ketika pekeriksaan terakhir bulan lalu menyebutkan bahwa letak placenta mulai bergesar semakin ke atas. Dengan begitu, harapan tipis yang sebelumnya sempat dinyatakan pada kehamilannya, sekarang sudah semakin membaik.Sementara mengenai hubungannya dengan Jace, Jovie tentu saja masih sering memikirk
Situasi yang tercipta di ruangan kerja Corey tidak bisa dibilang baik-baik saja. suasana tegang mendominasi, mencekam, berusaha saling mengatur emosi untuk tidak meledak.“Sekali lagi aku tidak akan memberi tahu di mana Jovie saat ini berada.” Suara Corey sedingin es, tidak ada niatan sedikit pun untuk membocorkannya lagi.Namun Jace juga tidak menyerah begitu saja. Dia terus dalam pendiriannya untuk mencari tahu di mana Jovie saat ini berada. “Corey, please! Ada hal yang harus kuperbaiki dengannya!”Shit!Corey tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kata-kata Jace dari tadi terdengar seperti gonggongan yang hanya menyakitkan telinganya. Cukup satu kali dia memberikan jalan untuk pria itu memperbaiki kesalahan. Nyatanya? Justru semakin membuat Jovie terpuruk sampai di titik saat ini.“Berengsek!” Corey melayangkan tinjunya pada wajah Jace.Jace ambruk, terjatuh ke belakang karena tidak siap dengan pukulan Corey yang tiba-tiba. Meskipun begitu, dia tidak berusaha membalas. Sejatinya, dia j
Sepanjang perjalanan Jace untuk menemui Jovie, dia mendapatkan tekanan yang cukup menghantam sisi egonya untuk berkompetisi sebagai seorang pria. Ada pertanyaan yang muncul tentang, mungkinkah Corey menyukai Jovie?Perkataan Corey sebelum dia menutup telpon terakhirnya dengan Jace, membuatnya merasa harus lebih dulu untuk kembali meyakinkan pada Jovie bahwa semua masalah yang terjadi di antara mereka adalah salah paham.Tujuan awal Jace setelah keluar sampai di Seoul adalah Luxio Hotel. Kamar Predisen Suite telah di-booking tanpa sepengetahuan dari Jovie. Setelah memastikan bahwa barang-barangnya telah aman berada di kamar, dia kembali turun ke lobby untuk menunggu Jovie pulang kerja.Sementara itu, Jovie yang tidak menaruh curiga sedikit pun, malam ini turun dengan tenang setelah memastikan semua pekerjaannya selesai. Baby bump di perutnya mulai terlihat. Sesekali dia mengusap perutnya setiap kali dia merindukan Jace. Bahkan hari ini pun dia masih memikirkannya.Berkali-kali Jovie me