Jika tak salah mengingat, sudah dua bulan berlalu sejak Jovie kembali bersama dengan Jace. Selama itu pula, Jace benar-benar membuktikan bahwa dirinya adalah sosok kekasih yang sangat baik bagi Jovie. Hampir setiap hari Jace akan menjemput Jovie—asalkan tak ada jadwal yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.Seperti saat ini, Jace telah memberi kabar sebelumnya kalau dia akan sibuk karena harus menghadiri meeting bersama para pemegang saham, dan kemungkinan akab berlangsung sampai malam. Oleh karena itu, hari ini Jovie pulang sendiri menggunakan taksi.Tidak ada rencana khusus bagi Jovie untuk malam ini. Dia hanya akan mandi, kemudian memesan makan malam, dan beristirahat sampai pagi.Tunggu. Bukankah itu Jace?Jovie merekahkan senyum, bersamaan dengan tangan Jace yang melambai, berdiri di depan apartemen Jovie sambil membawa buket bunga.“Hai, Honey,” sapa Jace. “Something beautiful for the most beautiful woman in the world.”Jovie menerima buket bunga, lalu menatap Jace sambil ters
Langkah Jace terhenti. Satu kalimat yang memang dia harapkan telah terucap dari bibir Jovie. Bagaimana mungkin dia menolaknya, jika senyuman Jovie saja kembali membuatnya bergairah.Coat yang telah dia kenakan, kembali ditanggalkan. Kedua tangannya merengkuh cepat tubuh Jovie.“Begitukah? Apakah lebih baik aku menginap malam ini?” tanya Jace, dengan seringai tipis.Tangan Jace kembali menjelajah rahang Jovie, melewati tulang selangka, dan menelusup ke belakang leher, membawa desiran ke seluruh tubuh. Meremang, perlahan menghilangkan kesadaran.“If you want it,” ucap Jovie tercekat. “Please….”Seringai nakal mengembang dari bibir Jace. Wajahnya menunduk, menuju pada bibir ranum Jovie yang telah sedikit terbuka, menunggu Jace melumatnya.Saat Jovie mulai meninggi, Jace mengangkat tubuh seksi itu, menggendongnya dengan tetap saling menyesap dan membelitkan lidah. Sofa di ruang santai adalah tujuannya.Napas mereka semakin memburu. Jace telah duduk bersandar di sofa, sementara Jovie duduk
Corey berlari dari parkiran rumah sakit, langsung menuju ke Emergency Room, tempat di mana Jovie sekarang mendapat pertolongan pertama karena keluhan nyeri di perutnya tadi. Sekitar setengah jam yang lalu, dia mendapat pesan dari sahabatnya itu untuk menemaninya karena harus ada wali yang membantu urusan administrasi di rumah sakit.Pandangan Corey menyapu deretan ranjang di dalam Emergency Room yang hampir semuanya terisi oleh pasien darurat. Setelah melintasi empat ranjang dari pintu masuk, dia menemukan Jovie di sana, terbaring dengan mendengarkan penjelasan dari dokter.“Jovie?” sapa Corey.Dokter menoleh, tersenyum tipis untuk menyapa. “Suami dari pasien?”Corey mengerutkan kening, terlihat bingung dengan tebakan dokter tersebut. “Bukan, Dok. Saya sahabat dari Jovie. Apa yang terjadi padanya?”Dokter menoleh sebentar pada Jovie, memastikan bahwa pria yang ada di hadapannya itu adalah benar-benar wali dari pasiennya. Jovie mengangguk, mengkonfirmasi sang dokter dan memberi kuasa u
“Silakan ditunggu di poli kandungan, Anda akan dipanggil sesuai dengan urutan,” ucap petugas rumah sakit Hangkook University sambil menunjuk ke arah lorong yang menuju ke ruangan poli kandungan.Jovie tersenyum, menganggukkan kepalanya sebagai bentuk hormat masyarakat Korea pada sesama. “Terima kasih.”Sudah hampir dua bulan Jovie pindah ke Seoul, Korea Selatan. Hari-harinya disibukkan dengan perkerjaan meskipun kandungannya dinyatakan lemah. Namun, dia tidak terlalu memaksa dirinya sendiri. Jika mulai terasa lelah, dia akan beristirahat sejenak. Membuat tubuhnya rileks, sebelum kembali melanjutkan pekerjaan.Malam ini, dia memiliki jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Sebuah keajaiban ketika pekeriksaan terakhir bulan lalu menyebutkan bahwa letak placenta mulai bergesar semakin ke atas. Dengan begitu, harapan tipis yang sebelumnya sempat dinyatakan pada kehamilannya, sekarang sudah semakin membaik.Sementara mengenai hubungannya dengan Jace, Jovie tentu saja masih sering memikirk
Situasi yang tercipta di ruangan kerja Corey tidak bisa dibilang baik-baik saja. suasana tegang mendominasi, mencekam, berusaha saling mengatur emosi untuk tidak meledak.“Sekali lagi aku tidak akan memberi tahu di mana Jovie saat ini berada.” Suara Corey sedingin es, tidak ada niatan sedikit pun untuk membocorkannya lagi.Namun Jace juga tidak menyerah begitu saja. Dia terus dalam pendiriannya untuk mencari tahu di mana Jovie saat ini berada. “Corey, please! Ada hal yang harus kuperbaiki dengannya!”Shit!Corey tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kata-kata Jace dari tadi terdengar seperti gonggongan yang hanya menyakitkan telinganya. Cukup satu kali dia memberikan jalan untuk pria itu memperbaiki kesalahan. Nyatanya? Justru semakin membuat Jovie terpuruk sampai di titik saat ini.“Berengsek!” Corey melayangkan tinjunya pada wajah Jace.Jace ambruk, terjatuh ke belakang karena tidak siap dengan pukulan Corey yang tiba-tiba. Meskipun begitu, dia tidak berusaha membalas. Sejatinya, dia j
Sepanjang perjalanan Jace untuk menemui Jovie, dia mendapatkan tekanan yang cukup menghantam sisi egonya untuk berkompetisi sebagai seorang pria. Ada pertanyaan yang muncul tentang, mungkinkah Corey menyukai Jovie?Perkataan Corey sebelum dia menutup telpon terakhirnya dengan Jace, membuatnya merasa harus lebih dulu untuk kembali meyakinkan pada Jovie bahwa semua masalah yang terjadi di antara mereka adalah salah paham.Tujuan awal Jace setelah keluar sampai di Seoul adalah Luxio Hotel. Kamar Predisen Suite telah di-booking tanpa sepengetahuan dari Jovie. Setelah memastikan bahwa barang-barangnya telah aman berada di kamar, dia kembali turun ke lobby untuk menunggu Jovie pulang kerja.Sementara itu, Jovie yang tidak menaruh curiga sedikit pun, malam ini turun dengan tenang setelah memastikan semua pekerjaannya selesai. Baby bump di perutnya mulai terlihat. Sesekali dia mengusap perutnya setiap kali dia merindukan Jace. Bahkan hari ini pun dia masih memikirkannya.Berkali-kali Jovie me
“Kita akan kembali ke Amerika, kan?” Jace kembali mencoba untuk membujuk Jovie agar mau kembali pulang bersamanya.Jovie tak langsung menjawab. Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali mencari baju di gantungan lemari. “Jika kau kembali menanyakan hal yang sama berulang kali, aku akan membatalkannya dan melanjutkan kontrak di sini selama beberapa tahun ke depan.”Mendengar itu, membuat Jace langsung melempar majalah yang tadi dia bolak-balik tanpa berniat untuk membacanya. Secepatnya, dia berdiri di belakang Jovie, kemudian memeluknya dari belakang.“Jangan, aku tidak bisa jauh lagi dari kalian,” ucap Jace sambil mengelus perut Jovie lembut.‘Tapi,” ujar Jovie. “Aku harus pergi ke suatu tempat dulu hari ini.”“Ke mana?” tanya Jace.Jovie tersenyum. “Ke acara penting dari orang yang sangat kusayangi.”Jace memicingkan kedua matanya. “Orang yang kau sayang? Ada orang lain lagi selain diriku?”Jovie terkekeh sambil mengangguk. “Kau nanti akan tahu. Bersiap-siaplah, jam enam sore kita
“Bisakah sore ini aku ke tempatmu?” tanya Jace, dengan raut wajah serius dengan ponsel menempel di telinganya. Sementara sorot kedua matanya tetap fokus pada laporan penjualan yang tertera di layar monitor.“Oh, great! Aku akan ke sana sekarang. See you soon!”Jace menghela napas, kemudian berdiri dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di dekat gagang telpon interkom ruang kerjanya. Langkahnya bergegas cepat, seakan sedang mengejar hal penting yang tidak boleh sampai dilewatkan.Tak lama kemudian, Jace telah sampai di halaman sebuah mansion. Helaan napas kembali terdengar, mengawali raut gelisahnya yang semakin terlihat. Meskipun begitu, kakinya terlihat tegas saat mulai memasuki pintu masuk mansion.“Kalian sudah berada di sini semua?!” Jace tak percaya melihat Zayn dan Andre yang telah duduk santai di sofa ruang santai.Kedua rekannya itu melambai singkat, tanpa beranjak dari posisi duduknya masing-masing. Dari arah dapur, Vintari menyapa Jace sambil membawa satu nampan penuh ber