Daxon bangun perlahan-lahan, mulutnya terasa aneh dan anggota tubuhnya juga terasa begitu berat. Dia menghadap ke arah samping dan berharap melihat … yang jelas bukan bantal kosong. Dengan kepala yang terasa pening, pria itu mengangkat sedikit beban tubuhnya dengan siku seraya melihat ke sekeliling ruangan. Dia berada di kamar pribadinya, ‘kan? Melihat ada laptop dan beberapa situasi yang familiar Daxon langsung berasumsi bahwa dia betul-betul ada di kediamannya.
Dia memperhatikan sekitar sebelum bola matanya memperhatikan ada dua gelas yang berisi sedikit anggur, botolnya bahkan terguling di atas karpet yang menyebabkan nodanya berada disana. Tapi yang menarik perhatian justru adalah sepasang sepatu bertali yang teronggok dan tak pas diantara seluruh kemewahan rumahnya.Seketika ingatannya mengalir kembali.Dia membawa pulang seorang gadis semalam, dia juga mengingat bagaimana wanita itu meleleh hanya dengan sedikit sentuhan darinya. Bagaimana rasa bibirnya ketika Daxon membawanya dalam sebuah ciuman. Ya, ciuman yang begitu hangat dari sekian banyaknya ciuman yang pernah dia rasakan seumur hidupnya.Perempuan yang dia bawa agak sedikit berbeda dengan tipe-nya. Dia lebih pada tipe yang petite, tapi Daxon bersumpah bersedia melakukan apa saja untuknya. Waktu mereka selesai saja dia masih bisa berguling seraya menggodanya untuk ronde tambahan. “Mau melakukannya lagi?”Tentu saja jawabannya adalah “Jelas, iya.”Tapi siapa dia dan siapa namanya. Daxon berusaha keras mengingatnya.Tepat dalam kesulitan itu, pintu kamar mandi terbuka dan seorang gadis melangkah keluar dalam kondisi telah berpakaian lengkap seperti semalam. Celana jeans sobek di bagian lutut dan kaos oblong bergambar metalica dengan kemeja kotak-kotak sebagai outer. Gadis itu tersenyum padanya.Lagi-lagi kilat itu menyambar Daxon lagi.“Lizzie,” sebut Daxon tiba-tiba tanpa bisa sadari.“Halo, Om tampan,” sahut Lizzie mendekat, lalu dengan acuh tak acuhnya dia mengangkat tangan seperti meminta sesuatu, menodong Daxon tidak peduli dengan tatapan tanya yang pria itu arahkan kepadanya. “Mana uangku?”“Kau mau langsung pergi sepagi ini?”Sebuah kernyitan muram melintasi wajah mungil gadis itu. “Aku ada kewajiban yang perlu dilakukan. Harusnya aku pergi sejak semalam, jika saja kau sudah memberikanku bayaran.”“Ah,” kata Daxon dilanda kekecewaan yang tidak terjelaskan. Tapi kemudian dia sadar akan sesuatu hal yang penting. Tiba-tiba saja dia bisa membaca bahasa tubuh Lizzie yang tegang. Pria itu menyadari betul bahwa tidak ada gunanya mengulur waktu. Dia kemudian menyeret tubuhnya untuk mengambil sesuatu dari celana yang dia kenakan semalam. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya tanpa dihitung terlebih dahulu.Lizzie langsung memberinya sebuah ekspresi riang. Diberinya Daxon kecupan singkat sebelum mengambil lembaran uang itu. “Kau tahu? Tadi malam itu malam yang sangat panas, tapi aku tidak berniat untuk memulai sebuah hubungan. Bahkan hubungan kasual sekali pun. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin memikirkanmu sebagai imajinasiku … dan bukan orang sungguhan yang akan berpapasan denganku di tempat umum.”Itu yang pertama. Daxon merasa kagum untuk sesaat. Biasanya dialah yang berusaha untuk meloloskan diri setelah sebuah one night stand sementara para perempuan akan mencoba mengorek informasi pribadinya. Daxon sebetulnya tidak suka dengan situasi terbalik ini, tetapi harga diri yang dia miliki cukup untuk menahan seruan dan meloloskan Lizzie meskipun dirinya masih sangat penasaran pada gadis itu.“Aku lumayan suka dengan idemu,” sahut Daxon.Lizzie melemparkan kepalanya ke belakang sebelum akhirnya tertawa, seluruh ketegangan akhirnya mereda. Tapi sebelum benar-benar pergi, wanita itu menyempatkan untuk memberinya sebuah ciuman selamat tinggal yang panas.“Terima kasih untuk yang tadi malam dan tips-nya. Percayalah itu malam yang luar biasa yang pernah aku rasakan seumur hidupku.”Daxon tersenyum. “Aku juga,” katanya. Sesungguhnya saat itu dia betul-betul sedang bersungguh-sungguh.Beberapa saat setelahnya Lizzie mengambil sebuah tas selempang dan mengenakannya sambil meniupkan sebuah kiss bye. “Dah, Om tampan.”“Dah, baby girl.”Kemudian Lizzie menghilang dari balik pintu kamarnya.“Selamat datang kembali ke realita, kalau begitu,” kata Daxon untuk dirinya sendiri.***Lizzie menjatuhkan tas selempangnya dengan malas ke lantai. Tubuhnya begitu tidak bertenaga ketika membaringkan diri di atas ranjang. Suara detik jarum jam berdetak konstan, menghipnotis dirinya untuk bergulir menutup mata. Ada hela napas mengisi jeda sebelum kantuk menyerang. Dia betul-betul lelah setelah digempur nyaris semalaman oleh si om-om tampan yang dia temui untuk mendapatkan uang dengan cara mudah di bar.Padahal hari ini dia ada kelas, tapi tubuhnya terasa lunglai begini. Mungkin saja bolos bisa jadi opsi pilihan. Lagipula sekarang Lizzie punya cukup uang untuk bertahan lebih dari satu bulan. Pria yang dia temui lumayan royal, bahkan Lizzie kaget bukan main saat dia menyodorkan uang dengan jumlah fantastis untuk satu malam.“Baru pulang kau?”Setengah mati Lizzie berusaha untuk tidak marah, tapi tetap saja dia menggeram pada akhirnya. Kantuk yang ada jadi memudar, memaksa kedua kelopak mata membuka melirik pada sosok pria yang menjadi teman sekamarnya.“Ya, Armant?”Pemuda itu menghela napas, menggosok batang hidungnya dengan sedikit emosional. “Kenapa kau harus bertingkah begini? Ketika kuberi kau kelonggaran kau malah bersikap makin seenaknya.”“Maksudmu apa? apa tidur dipagi hari tidak diperkenankan?”“Lizzie, kau tahu betul aku sedang membicarakan hal lain. Kau pergi ke bar semalaman dan baru pulang di pagi buta. Aku mengkhawatirkanmu. Kau bisa saja terluka, Lizzie. Kau bahkan tidak menelepon salah satu dari kami untuk mengatakan lokasimu. Kau bisa saja mengalami hal-hal buruk. Tolong kurangi kebiasaanmu itu! tidak baik bagimu untuk keluar malam apalagi kau itu perempuan. Kejahatan kali ini sedang—”“Oh ayolah Armant!” Lizzie tidak tahan untuk mengeluarkan suara rintihan panjang dan agak keras. Dia seorang pria tapi kenapa omelannya melebihi ibunya sendiri? terkadang ada dimana Lizzie merasa tak tahan dengan sikap Armant yang seperti seorang kepala di rumah ini. Dia tidak banyak berharap sebenarnya, hanya ingin pagi yang damai tanpa harus mendapatkan penghakiman dan omelan yang malas untuk dia dengarkan.“Aku tidak mabuk-mabukan oke? Aku juga tahu untuk tidak menerima minuman apapun dari orang asing. Kau selalu berulangkali mengatakan hal yang sama padaku sampai aku bosan. Aku bukan orang tolol, Armant, oh … sial! Kau menghancurkan moodku.”“Kalau begitu berhentilah bertingkah seperti ini.”“Bisakah kau tidak ikut campur dalam kehidupan pribadiku? Aku sudah memiliki orangtua menyebalkan, aku tidak ingin kau juga mengisi daftar itu dihidupku. Aku sudah dewasa! Aku tidak perlu kau yang harus mengasuhku setiap saat!”“Tapi kau masih saja membuat keputusan yang kekanak-kanakan,” kata Armant lagi yang tampaknya masih ingin mendebat Lizzie.Sungguh, Lizzie tidak pergi ke bar untuk mencari masalah atau setidaknya apa pun yang dipikirkan oleh Armant tentangnya. Dia hanya berakhir disana karena terlalu stress atas penolakan yang diberikan oleh sang ayah dan berkeputusan menarik seluruh dukungan dana untuk keperluan kuliahnya. Dia hanya mencoba untuk melupakan masalahnya sejenak dan mencari nafkah dengan cara yang mudah. Bukankah setiap orang punya titik dimana tidak kuat menahan banyak tekanan dan punya cara untuk masing-masing untuk mengatasi stress? Itulah yang Lizzie sedang lakukan tapi Armant jelas tidak akan bisa mengerti hal itu. Dia berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung penuh soal pilihan hidupnya, serta siap dalam sokongan dana. Berbeda sekali dengan Lizzie yang perlu mengais uang dengan caranya sendiri lantaran ayahnya tidak sudi membiayai.“Kau tidak akan pernah mengerti. Persetan! Sudahlah, jangan ganggu aku!” ungkap Lizzie seraya bergumam, mencoba menghapus sisa amarahnya.Tapi hanya selang beberapa lama saja Lizzie ditarik dari belakang dan dipeluk dengan lembut. Kedua mata Lizzie membelalak. Tapi dia tahu siapa pelakunya. Orang yang sama yang memberinya luka. Armant. Pria itu memeluknya dengan erat dan membenamkan kepalanya di bahu Lizzie, jika sudah begitu Lizzie hanya bisa menghela napas.“Maafkan aku, Lizzie aku tidak bermaksud membentakmu. Aku hanya khawatir,” ujar pria itu penuh kasih. Sekali lagi Lizzie melebur dan kembali memberi maaf padanya seperti biasa.“Tidak apa-apa,” gumam gadis itu. “Justru aku yang harusnya minta maaf karena telah berteriak padamu.”“Tidak apa-apa.” Dia mencium puncak kepala Lizzie dengan sayang lalu melepaskannya. “Aku akan pergi bekerja, semoga harimu menyenangkan ya, Lizzie.”“Ya, terima kasih.”Bukankah selalu seperti itu? bahasa cinta dengan saudara dan keluarga memang terkadang tidak bisa dimengerti. Saling berteriak, saling memaki dan menghakimi lalu diakhir berbaikan kembali. Sebuah pola yang sama dan sudah Lizzie hafal diluar kepala.Meskipun Armant tidak terhubung dengannya dalam hubungan darah. Tapi kedekatan mereka justru jauh lebih dari itu. Dia selalu menjadi pelindung untuknya dan sikapnya yang seperti itu adalah bukti bahwa dia menyayanginya. Walau kadang berlebihan dan Lizzie muak juga.Setelah sendirian di rumah, tiba-tiba Lizzie mendapati notifikasi dari ponselnya. Dia membuka dan menemukan pesan yang masuk ke kotak masuknya.Jangan lupa hari ini ada kelas psikologi kriminal. Aku dengar hari ini professor mengundang narasumber khusus untuk studi kasus dan katanya, dia sangat tampan. Kau pasti akan terkesima saat sudah melihatnya nanti.Siapa pun orangnya, sepertinya tahta pria maskulin paling tampan dalam memori Lizzie masih dipegang oleh Daxon. Si om-om senangnya yang sudah memberi dia uang tunai dengan jumlah fantastis.“Kalau hari ini aku bertemu dengannya lagi, kurasa akan lucu. Aku tidak pernah dapat pengalaman begitu, hah … apa kami bisa bertemu lagi ya?”Lizzie paling malas pergi ke kelas psikologi kriminal. Setiap sesinya terasa begitu lama. Tapi jika tidak mengikutinya Lizzie akan kena masalah. Padahal kelas itu tidak ada hubungannya dengan jurusan seni yang diambil. Hanya buang waktu, uang, dan juga menimbulkan stress tambahan. Tapi yang paling buruk dari itu semua adalah Levin dan Marie ada disana. Tiba di kelas dia melihat sekeliling dengan putus asa, beberapa tempat sudah terisi apalagi bagian depannya. Mungkin gara-gara gosip ada pembicara untuk kelas kali ini, Lizzie merasa kelasnya padat dan sesak. “Oh sial … apa aku harus duduk dilantai sekarang? kenapa pula tiba-tiba orang-orang tertarik pada kelas psikologi kriminal?” Lizzie mengerang mengedarkan pandangan mencari kursi kosong mana saja yang bisa dia tempati. “Lizzie!” Oh, tidak jangan! Lizzie tidak suka itu, ekspresi mukanya langsung meringis begitu Marie melambaikan tangan padanya. “Aku sudah menempati kursimu. Ayo kemari!” ujarnya lagi yang membuat Lizzie tidak puny
Beberapa saat yang lalu dia habis melampiaskan kekesalan pada seluruh lukisan yang dia kerjakan selama ini. Lantai dikamarnya berceceran cat dan peralatan lukis. Beberapa bahkan sudah dicabik-cabik dengan pisau oleh dirinya sendiri. Jendela dengan tirai diruangan khususnya tersebut dia biarkan terbuka, membiarkan musik yang dia putar keras-keras terbawa keluar dari apartment yang dia tempati bersama saepupu dan karibnya yang saat ini sedang tidak ada ditempat. Gadis itu beranjak dari sofa, mengambil bungkus rokoknya. Dia selipkan satu batang di bibir, mengambil pematik dan menyalakan batang rokok yang telah siap. Lizzie berjalan mondar-mandir diiringi asap rokok. Suara vokalis, dentuman bas dan drum, berikut juga raungan gitar makin memenuhi kepala. Dia menjatuhkan dirinya di sofa lagi, merebahkan punggungnya denga nasal sambil menatap langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan perkataan sang Professor setelah dia mengumpulkan tugasnya hari ini setelah diberi deadline tambahan sa
Jujur, begitu Lizzie mendengar suara Daxon yang rendah dipadukan dengan tajamnya tatapan mata pria itu. Seketika dia merasa tubuhnya lumpuh dan kejutan kecil terpercik di perutnya. Tak kuat dengan itu, Lizzie cepat memutuskan kontak mata tapi sialnya tatapan mata Lizzie justru terjatuh pada bibir Daxon. Pria itu membungkukan tubuhnya, dengan tangannya yang masih berstagnasi di pipi Lizzie, begitu mudah baginya untuk menarik Lizzie mendekat padanya. Lizzie berpaling muka, Daxon berhenti merealisasikan niatannya. “Aku tidak berterima kasih dengan benar padamu untuk kue yang kau belikan di kedai kopi waktu itu,” gumam Lizzie seraya menatap ke bawah sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan berada diantara kedua paha Daxon. Pria itu hanya menyeringai membuat Lizzie menatapnya pula. Jika benar pria itu sedang menggodanya sekarang, maka Lizzie akan balik menggodanya seperti yang biasa dia lakukan kepada Levin dengan santai. “Atau pun untuk aksi penyelamatan yang kau lakukan saat
Lizzie berhasil menemukan rumah Daxon setelah memasukan alamatnya ke dalam GPS ponsel miliknya. Dia ingat sedikit jalanan menuju tempat itu ketika dia pulang dari tempatnya kala itu. Setidaknya Lizzie memasuki kediaman pria itu sekali, dan dia tidak mengira akan melanggar janjinya sendiri menjadikan pria itu sebagai tokoh imajinya sendiri. Yang lebih ironi dari semua itu adalah fakta bahwa kediamannya ternyata tidak terlalu jauh dari kediaman orangtuanya, hanya perlu berkendara kurang lebih lima belas menit sebelum menemukan rumah besar nan megah tersebut.Dia memarkirkan motornya di dalam ketika pintu gerbang di buka secara otomatis. Dia melihat mobil mencolok yang pernah pria itu gunakan untuk mengantarnya. Ya, Lizzie ada disini lagi, melemparkan tubuhnya untuk diisi oleh afeksi dan membuang seluruh rasa frustasi. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, dia keluar dan berjalan menuju ke arah pintu kayu yang besar. Sebelum mengetuk dia sempat mempertimbangkan untuk kabur dan menyudahi
Lizzie tersentak ketika tangan Daxon mulai menjamah pahanya yang tertutup oleh handuk. Kedua tangan pria itu menyelinap untuk memberikan pijatan di sana. Lizzie mengerang tanpa sengaja, matanya tertutup rapat sejalan dengan memposisikan sebelah tangan untuk memblokade suara erotis yang keluar dari mulutnya. Daxon hanya terkekeh, mengambil lotion itu lagi dan kembali berlutut diantara kedua kaki Lizzie. Serius, ada sesuatu yang aneh dengan lotion itu. Tubuh Lizzie terasa panas dan bergairah untuk hal kecil yang sebenarnya tidak begitu merangsangnya. Lizzie merasa tubuhnya merinding tatkala Daxon sedikit menyentuh paha dalamnya. Seolah pria itu sengaja melakukannya untuk menggoda. Lizzie merasa tidak tahan lagi, tapi Daxon seolah tidak peduli dan malah menyibukan diri dengan aksi memijat tubuhnya. Bahkan dia malah menuangkan lotion itu ke punggung Lizzie, membuat gadis itu merasakan rasa dingin yang tiba-tiba membuat punggungnya menggigil. Daxon menyeringai, mengolesi dengan rata pung
Lizzie menuruti perintah sang pria, menggigit bibirnya sendiri sebagai bentuk antisipasi tatkala pria itu mulai bekerja menyelipkan jemarinya disana. Pria itu menekan salah satu ujung jarinya tanpa merasa perlu menunggu Lizzie menyesuaikan diri sebelum kemudian menghempaskan seluruhnya dalam satu sentakan. Lizzie mengerang keras, dia sudah tidak mampu lagi menyembunyikan desahannya sendiri sekarang. Hanya bisa memejamkan mata sejalan dengan punggungnya yang melengkung. Merasakan dirinya terisi oleh jari yang kedua pria itu di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bukan main. “Kau menikmati permainan kecil ini, hm?” ungkap Daxon dengan suara menggoda khasnya. Napasnya memburu. Lizzie tidak sanggup menjawab, hanya saja kini wajah gadis itu sudah bersandar di leher pria itu sambil terengah-engah. Belum usai urusan Lizzie untuk membuat tubuhnya beradaptasi, pria itu malah menarik jemarinya dan mendorongnya lagi. Lizzie langsung memeluk tubuh pria itu erat-erat. Tidak peduli dengan suaranya y
Petualangan yang terjadi diantara mereka terlalu liar dan brutal daripada terakhir kali. Lizzie kini sudah terkapar, ambruk di tempat tidur setelah entah berapa kali pria itu mengulanginya lagi dan lagi. Dia tidak pernah tahu bahwa stamina dan energi pria yang lebih tua ternyata lebih daripada pria yang seusia dengannya. Mungkin Lizzie harus berterima kasih pada Daxon karena telah meringan sedikit stress yang dia miliki. Permainan ranjang yang panas nyatanya cukup membantu untuk mengusir semuanya. Jangan lupakan pula berapa yang dia dapatkan dari ini. Dimanjakan dan dapat uang. Daxon benar-benar sempurna untuk dia jadikan patner.Ketika pria itu menarik diri, Lizzie tiba-tiba saja merasa kosong dan hampa. Dia memperhatikan melalui kelopak matanya yang berat ketika Daxon berada di posisi duduk dan tengah mengatur napasnya sendiri. Lizzie menutup kedua kakinya yang gemetar, membalikan badannya ke samping. Daxon malah menangkap hal itu sebagai sebuah tanda dan memberikan sedikit tamparan
Tiba di malam galeri seni diadakan, Lizzie kebetulan mendapatkan jadwal lembur sehingga rencananya untuk tiba lebih awal mesti pupus. Dia juga mendapatkan pesan dari ibunya yang menanyakan keberadaanya. Armant meneleponnya, menanyakan hal yang sama karena batang hidungnya belum ditemukan disana. Tapi setidaknya Lizzie sempat menerima telepon dari Armant dan meminta pada pemuda itu untuk mengabarkan pada ibunya bahwa Lizzie akan berada disana sesegera mungkin. Tiba ditempat, Lizzie berlari ke galeri dengan terengah-engah. Mina menepuk punggungnya begitu sang sepupu menemukan keberadaannya disana. “Kau terlambat sepuluh menit,” ungkap sepupunya sambil tersenyum simpul. “Ya, meski begitu aku mengerahkan semuanya untuk itu,” jawab Lizzie sambil menegakan tubuhnya, Mina melirik ke arahnya kemudian tiba-tiba saja menarik kemeja yang dia kenakan sehingga berada pada posisi yang lebih rapi. Mengancingkan kemeja yang dia kenakan dan merapikan rambut Lizzie yang acak-acakan terkena angin malam
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber