Lizzie paling malas pergi ke kelas psikologi kriminal. Setiap sesinya terasa begitu lama. Tapi jika tidak mengikutinya Lizzie akan kena masalah. Padahal kelas itu tidak ada hubungannya dengan jurusan seni yang diambil. Hanya buang waktu, uang, dan juga menimbulkan stress tambahan. Tapi yang paling buruk dari itu semua adalah Levin dan Marie ada disana.
Tiba di kelas dia melihat sekeliling dengan putus asa, beberapa tempat sudah terisi apalagi bagian depannya. Mungkin gara-gara gosip ada pembicara untuk kelas kali ini, Lizzie merasa kelasnya padat dan sesak. “Oh sial … apa aku harus duduk dilantai sekarang? kenapa pula tiba-tiba orang-orang tertarik pada kelas psikologi kriminal?” Lizzie mengerang mengedarkan pandangan mencari kursi kosong mana saja yang bisa dia tempati.“Lizzie!”Oh, tidak jangan! Lizzie tidak suka itu, ekspresi mukanya langsung meringis begitu Marie melambaikan tangan padanya.“Aku sudah menempati kursimu. Ayo kemari!” ujarnya lagi yang membuat Lizzie tidak punya pilihan selain mendekat. Senyuman gadis itu terlalu menawan, membuat Lizzie tidak sanggup menolak ketulusannya yang murni. Alhasil Lizzie berakhir duduk disebelah Levin. Memang tidak nyaman tapi sepertinya Lizzie perlu pembiasaan diri.“Kau sudah lihat pesanku kan? sepertinya gosip itu benar. Kelas ini jadi sesak dengan para mahasiswi,” kata Marie.“Ya,” sahut Lizzie acuh tak acuh. Dia melirik ke arah Levin yang membuat wajah setengah bosan. “Hei, apa kau membuat ekspresi kuda sejak datang di kelas?”“Ya, dia memang begitu sejak awal,” jawab Marie yang langsung cepat menanggapi pertanyaan Lizzie untuk kekasihnya sambil terkekeh. “Dia tidak mau ikut kelas ini, tapi aku memaksa karena aku pikir justru ini akan bermanfaat baginya. Apalagi dari yang kudengar mereka mengundang pengacara kondang sebagai pembicara hari ini. Waktu aku berkunjung kerumah ayahmu bilang kau ingin jadi pengacara, ‘kan?”“Seharusnya kau tidak terlalu mendengarkan omongan orang itu,” kata Levin menjawab kekasihnya sambil menguap. “Masih terlalu dini untuk membicarakan omong kosong itu.”“Dasar berandalan durhaka,” ujar Lizzie ceplas ceplos seperti biasa, hal itu cukup menarik perhatian si pemuda kepadanya. “Lagipula aku benar-benar penasaran bagaimana bisa kalian yang bertolak belakang ini bisa berakhir bersama?”Levin menatap Lizzie ketika pertanyaan itu terujar begitu saja dari bibirnya. Lizzie kurang lebih tahu apa yang dipikirkan oleh si pemuda disebelahnya. Kira-kira seperti ‘Kalau aku memang seberandalan itu, kenapa kau mau tidur denganku?’. Tapi Lizzie tidak ambil pusing.Meski sekadar ceplas ceplos, tapi Lizzie serius dengan perkataannya. Marie adalah gadis yang baik. Dia berasal dari keluarga yang bersih dan cemara jika boleh dibilang. Marie memang bukan tipikal mahasiswi yang masuk jajaran terpintar se-universitas, tapi semua orang menyukainya. Lizzie pernah dengar bahwa alasan dia mengambil jurusan psikologi karena ingin menjadi seorang konselor dan membantu memecahkan permasalah semua orang dengan kontribusinya.Sejauh yang Lizzie tahu, Marie tinggal bersama dengan Levin. Bajingan tampan tapi sudah Lizzie cap sebagai si muka kuda yang bercita-cita menjadi pengacara. Herannya, dia tidak mau mengakui hal itu didepan kekasihnya tapi di depan Lizzie jelas-jelas Levin menyatakan keras-keras soal impiannya itu. Obrolan yang mengalir begitu saja setelah mereka tidur bersama. Ya, Lizzie tahu bahwa dia tidak pantas duduk disebelah Marie, saat dia sudah mencicipi kekasihnya diatas ranjang. Tapi satu hal yang pasti, Levin tidak cukup baik untuk Marie, semua orang mungkin sudah tahu itu.“Karena dia mempesona,” kata Marie setelah jeda lama dengan wajahnya yang merona merah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya malu-malu sambil melirik wajah kekasihnya. Levin langsung bereaksi menggaruk rambutnya yang berantakan sambil melirik kearah lain.Pemandangan itu agak … entahlah bisa dibilang merusak suasana hati? Lizzie memutar bola matanya, mengeluarkan pena dan kertas sesaat setelah sang Professor menempati posisinya di depan. Samar dia mendengar wanita itu bilang tentang pembicara yang akan mengisi kelasnya. Seseorang yang katanya adalah teman dia dibangku kuliah. Basa basi yang tidak menarik dan bisa dibilang sangat membosankan bagi Lizzie.“Jadi tolong arahkan perhatianmu pada Pak Daxon—”Lizzie membeku, mendengar nama itu. Sedikit demi sedikit dia mendongak dan matanya langsung melebar ke arah pria yang ada didepan sana. Daxon benar-benar definisi dari pria paling menggiurkan, mulai dari ujung rambutnya yang di semir rapi hingag ujung sepatu kulitnya yang mengkilap. Bagaimana bisa pria itu berdiri dikelasnya sebagai pembicara pula? Lizzie menatap pria itu, mulutnya ternganga. Ini tidak mungkin. Sama sekali tidak bisa dia percaya. Daxon seharusnya hanya pria yang lewat di mimpinya, persis seperti yang dia katakan pada pria itu pagi ini.Panas merekah di dalam perutnya, rasa melilit yang menyebalkan langsung membuat dia mual. Apalagi pagi ini dia sudah bersikap seperti seorang femme fatal, padahal kenyataannya Lizzie hanya seorang mahasiswi tanpa dukungan orangtua yang mencari uang secara instan.“Seperti yang dikatakan oleh beliau, saya adalah seorang pengacara,” kata Daxon melipat kedua tangannya seraya bersandar di meja. Pembawaan pria itu agak berbeda dengan yang Lizzie ingat. “Jadi, ada yang bisa menjelaskan padaku tentang psikologi kriminal?”“Yah, Pak,” Marie mengangkat tangannya, membuat pandangan Daxon terarah pada meja yang mereka tempati. Oh, sial. Lizzie tidak punya pilihan selain memalingkan muka, bersikap sealami mungkin ketika Marie bicara disebelahnya.Tapi alih-alih bersikap natural Lizzie justru menenggelamkan kepalanya di atas meja sebelum kemudain menghantamkannya ke atas buku sketsanya. “Kenapa, jadi begini semesta? Kenapa kau melakukan ini kepadaku?” Dia menggeram dalam hati.Dalam situasi itu Lizzie hanya mendengarkan Marie menjelaskan apa yang dia ketahui, saat itu Lizzie pikir Daxon mungkin tidak akan peduli sehingga dia kemudian mengarahkan pandangannya ke depan. Saat itulah, mata mereka bertemu. Lizzie tidak ingin berperasangka bahwa Daxon memang sejak awal menatapnya dan bukan pada Marie. Tapi dari gerak-gerik pria itu sepertinya dia sudah memata-mati. Wajah Lizzie langsung memucat, jantungnya berdegup lebih kencang. Bahkan disaat seperti itu, Lizzie bisa melihat bahwa pria itu malah tersenyum kepada dia.Sialnya Lizzie kontan langsung tidak bisa fokus. Malah kelebatan bayangan yang terjadi diantara mereka semalam mulai berdatangan seperti sedang memutar film. Daxon yang membelikannya minuman, Daxon yang menyeret dia kerumahnya, Daxon yang dihisapnya, Daxon yang menyentuhnya seolah dia adalah barang paling berharga di dunia, Daxon pria yang menidurinya semalam hingga dia kewalahan. Wajah Lizzie langsung merah padam. Ini tidak bagus.Singkatnya kelas berakhir jauh lebih lama daripada yang biasanya tapi setidaknya Lizzie cukup bernyali besar mengikuti kelas hingga usai. Semua orang mulai mengemasi barang mereka. “Sampai jumpa nanti, Lizzie sayang,” ujar Marie yang langsung beringsut dan bergegas keluar bersama kekasihnya Levin. Saat itulah, Lizzie tidak cukup mengantisipasi bahwa Daxon mendekat kearah mejanya.Bayangkan saja dia berdiri dalam pakaian dalam lucu.“Oke pakaian dalam,” kata Lizzie lebih kepada dirinya sendiri untuk menetralisir kegugupan. “Harus membayangkan dia dalam pakaian dalam.”“Kalau kau kebetulan mencari sukarelawan untuk itu, aku rasa aku cukup senggang.”“Apa?” pekik Lizzie, menatap kearah sumber suara. “Oh, Halo Pak Daxon.”Pria itu tersenyum memamerkan gigi putihnya yang berkilau. “Kalau kau butuh bantuan untuk merealisasikan imajinasi semacam itu, aku dengan senang hati bersedia menjadi modelnya,” tuturnya lagi seolah tidak ingin menyerah dengan topik tersebut.Wajah Lizzie langsung merah padam. “Oh, aku… uh …. tidak seharusnya kau mendengar hal itu. Aku hanya gugup, dan biasanya itu cukup berhasil untuk … kau tahu motivasi?”Daxon tertawa lepas, saat itu terjadi Lizzie berharap dia betul-betul sudah mati.“Ngomong-ngomong materi yang kau sampaikan sangat bagus, dan um … terima kasih,” tutur Lizzie lagi mencoba untuk menutupi seluruh rasa malunya dengan mengalihkan pembicaraan menjadi sesuatu yang lebih normal.“Tentu saja, senang kalau kau menikmatinya,” kata Daxon. “Tapi apakah kau aslinya seperti ini? seingatku kau cukup berani saat kita berada di … kamarku?”Lizzie memeluk tasnya lebih dekat, ingin segera kabur darisana. “Jika berkenan tolong jangan bahas hal itu disini, Pak.”“Bapak? Masih segar dalam ingatanku kalau kau memanggil aku ‘Om tampan’ tapi sekarang kenapa tiba-tiba memanggilku Bapak? Kau sedikit menyakiti hatiku.” Lizzie mengedarkan pandangan, dia mendapati ada beberapa pasang mata yang melihat kearah mereka. Jika dia terus berada disini lebih lama orang-orang akan mulai membicarakan sesuatu yang menyebalkan dan membuat kupingnya panas.“Aku tidak yakin apakah kau senggang, tapi ada kedai kopi di dekat gedung seni, kurasa kita bisa bicara di—”“Pak Daxon!” teriak Levin berlari ke arahnya dengan senyum lebar. “Hai terima kasih sudah datang dan menjadi pembicara hari ini. Mata kuliah ini menjadi sedikit lebih menyenangkan daripada sebelumnya.”Entah Lizzie harus bahagia atau bingung, tapi yang pasti ekspresinya sekarang pasti sekarang tidak enak dipandang. Keberadaan Levin disini sangat membingungkan. Tapi Lizzie berharap mereka tidak mengenal secara personal, mengingat Daxon tadi bahkan terus saja mengungkit soal malam panas mereka. Bisa gawat bila ada orang yang tahu soal itu, terlebih orang itu Levin.“Begitukah senang sekali aku mendengarnya kalau begitu,” sahut Daxon santai. Saat mereka sedang asyik berbincang Levin mengalihkan pandangannya pada Lizzie.“Oh? Kau masih disini Lizzie? Bukankah harusnya kau sudah ada di kelas seni sekarang?”Lizzie mengeluarkan ponselnya dan melihat jam disana. Raut mukanya terkejut. “Kau benar, aku harus segera pergi.”Dia langsung bergegas pergi, setidaknya Levin memberinya jalan untuk keluar. Lizzie berjanji akan membelikannya minuman nanti, walaupun kemunculannya agak aneh karena beberapa saat yang lalu Marie menyeret dia pula untuk keluar. Kenapa dia bisa ada disini lagi?***Lizzie kelur kelas dengan posisi kacau, dia terus terusan melakukan kesalahan dan bahkan berakhir merobek kertasnya berkali-kali karena tidak bisa berkonsentrasi. Untungnya professornya cukup bijaksana dan memberikan keringanan kepada Lizzie untuk mengumpulkan tugasnya dilain waktu. Mungkin Lizzie harus bersyukur karena lagi-lagi situasi memihak padanya sedikit. Setelah ini dia akan pergi ke kedai kopi hanya untuk sekadar memastikan Daxon ada disana. Jika tidak dia akan langsung menyibukan diri dengan tugasnya.“Bisa aku minta caramel latte?” ujar Lizzie pada sang pramusaji.“Tentu saja, aku akan siapkan secepatnya.”“Terima kasih.”Dia mengurus beberapa barangnya yang ada ditas selempangnya untuk sekadar merapikan dan mencari keberadaan dompetnya. Lizzie sempat melirik buku sketsanya tadi, terpikir baginya untuk mengerjakan sisa tugasnya disini. Tapi kemudian dia ketika dia melirik ke arah meja dimana Daxon sedang duduk dia agak gelisah dan goyah dan terkejut.Lizzie menggigit bibirnya, alhasil begitu pesanannya selesai dibuat Lizzie malah mengambil kopinya dan berjalan mendekati Daxon tanpa sadar. Sebelum masuk kelas seni tadi dia memang sempat mengajak pria itu untuk minum kopi. Tapi tidak mungkin dia mengingatnya dan benar-benar ada disini menunggunya kan? Lagipula dia seorang pengacara yang sibuk. Sibuk dengan isi kepalanya tidak terasa dia sudah berada di meja pria itu. Daxon menautkan alisnya.“Sepertinya kau terlambat.”“Maksudnya?”“Kau menyuruhku datang kemari kan beberapa saat lalu sebelum temanmu datang dan memotong pembicaraan kita berdua? sekarang aku sudah disini menunggumu selama kurang lebih dua jam,” kata Daxon sambil menyeruput kopi miliknya. “Untung saja aku tidak punya pekerjaan hari ini. Kalau ada tentu aku sudah tidak ada disini dan menunggumu.”“Ah… maaf,” sahut Lizzie cepat, sambil memperlihatkan seberapa menyesalnya dia. Dia masih membawa buku sketsa di tangannya dan membungkuk meminta maaf pada Daxon. “Aku benar-benar mengalami hari yang aneh.”“Karena apa?” suara Daxon terdengar menggoda tapi ekspresinya tidak begitu terbaca.“Karena kau tiba-tiba saja muncul di kelasku sebagai pembicara. Ini seperti sesuatu—”“Sarkasme, Lizzie,” potong Daxon cepat membuat Lizzie tersedak.“Menarik sekali, kau memiliki wajah yang sama sepanjang waktu dikelas tapi sekarang kau terlihat lebih rileks.”“Itu bagian dari pekerjaanku. Mengatur ekspresi wajah dimuka umum adalah hal dasar yang harus dikuasai.”Lizzie mencondongkan tubuh ke depan dengan bertumpu pada sikunya. “Oh ya, kau seorang pengacara. Itu menjelaskan semuanya.”“Pengamatan yang bagus. Jadi apa yang kau lakukan di kelas psikologi kriminal padahal statusmu adalah mahasiswi jurusan seni.”“Itu syarat untuk lulus. Electives.”Daxon meringis. “Ah, aku ingat omong kosong seperti itu di perguruan tinggi.”“Oh ya ada yang seperti itu juga di universitas jadul?” Mata Daxon terangkat dan dia menatap wajah Lizzie lekat-lekat sementara gadis itu malah menyeringai seraya menyeruput kopinya.“Agak kurang ajar ya sekarang,” desis Daxon balas menyeringai padanya. “Aku mau ambil kue, ada yang kau inginkan?”“No thanks.”Pria bertubuh tinggi itu bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke konter. Sementara Lizzie sibuk dengan pikirannya sendiri. Apa ini langkah yang benar? Bisa-bisanya dia bertemu dan mengobrol seperti kawan lama pada pria yang menjadi cinta satu malamnya semalam. Ini saja sudah melanggar aturan. Dia benar-benar merasa isi kepalanya mendadak konslet.“Ini,” kata Daxon yang tiba-tiba sudah berada dimeja dengan sepiring besar penuh kue. “Aku bertanya pada pemuda disana apa yang biasa kau makan.”Dia memandang beberapa potong cheese cake dipiring tersebut, mengerutkan alisnya. “Bukankah sudah aku katakan aku tidak ingin apa-apa.”“Ya aku tahu,” jawab Daxon tenang. “Tapi aku juga bisa melakukan sesukaku, ‘kan?”Melihat tampilan menggoda dari kue favoritnya, mau tidak mau akhirnya Lizzie menyerah dan memutuskan mengambil sepotong cheese cake untuk dia eksekusi. Sementara Daxon memakan kue rasa kopinya.“Bagaimana dengan kelas senimu?”“Sejauh ini baik,” sahut Lizzie singkat. “Tapi aku terkadang merasa bahwa aku melakukan kesalahan dan mengacau. Ya, hal-hal seperti itu.”“Entahlah, tapi dari penilaianku kau terlihat sangat tertekan untuk sesuatu. Kau bisa dengar ini atau tidak tapi sesekali mengacau itu bukan masalah. Kau masih muda, jadi kau bisa melakukan banyak kesalahan dan memperbaikinya.”Entah kenapa Lizzie hanya bisa terdiam mendengar sepotong nasehat dari pria itu. Sebenarnya Lizzie tidak terlalu suka membicarakan soal kelas seni-nya. Karena dia merasa muak dan tidak tahan dengan seluruh penolakan yang ayahnya berikan. Ini sulit dan membuatnya tertekan. Tapi disisi lain dia merasa terpenuhi. Pria asing ini rupanya berprofesi sebagai pengacara, dia cukup bijaksana dan tidak mengkritik jurusan yang diambilnya. Orang asing yang memberikannya dukungan bahkan lebih dari ayah kandungnya sendiri.Lizzie sempat bergidik. Itu adalah pemikiran yang aneh, mengingat dia sudah meniduri pria itu. Gambaran-gambaran saat mereka bersama berkelebat dalam otak Lizzie. Bibir yang sama yang memberinya ciuman panas, lidahnya yang sempat menangkup dadanya. Tangan yang sama yang membelainya di … dimana-mana.“Kurasa benar,” kata Lizzie seraya memalingkan muka keluar dari jendela. Sementara Daxon memandangnya dengan cermat.“Tersenyumlah lebih banyak, wajahmu terlihat sangat cantik saat kau bahagia.”Seketika Lizzie merasa pipinya menghangat oleh kata-kata sederhana pria itu. Dia menyeruput sisa kopinya dalam satu teguk dan kemudian bangkit dari posisinya. “Aku harus pergi,” ujar Lizzie. Dia tidak mau ambil resiko bertingkah aneh dan tidak masuk akal didepan pria itu. Lagipula dia pasti tahu alasannya karena dia mengetahui bagaimana segalanya bermula hingga tercipta relasi rumit ini.“Aku tidak mendapatkan nomor ponselmu?”Beberapa saat yang lalu dia habis melampiaskan kekesalan pada seluruh lukisan yang dia kerjakan selama ini. Lantai dikamarnya berceceran cat dan peralatan lukis. Beberapa bahkan sudah dicabik-cabik dengan pisau oleh dirinya sendiri. Jendela dengan tirai diruangan khususnya tersebut dia biarkan terbuka, membiarkan musik yang dia putar keras-keras terbawa keluar dari apartment yang dia tempati bersama saepupu dan karibnya yang saat ini sedang tidak ada ditempat. Gadis itu beranjak dari sofa, mengambil bungkus rokoknya. Dia selipkan satu batang di bibir, mengambil pematik dan menyalakan batang rokok yang telah siap. Lizzie berjalan mondar-mandir diiringi asap rokok. Suara vokalis, dentuman bas dan drum, berikut juga raungan gitar makin memenuhi kepala. Dia menjatuhkan dirinya di sofa lagi, merebahkan punggungnya denga nasal sambil menatap langit-langit kamar. Masih segar dalam ingatan perkataan sang Professor setelah dia mengumpulkan tugasnya hari ini setelah diberi deadline tambahan sa
Jujur, begitu Lizzie mendengar suara Daxon yang rendah dipadukan dengan tajamnya tatapan mata pria itu. Seketika dia merasa tubuhnya lumpuh dan kejutan kecil terpercik di perutnya. Tak kuat dengan itu, Lizzie cepat memutuskan kontak mata tapi sialnya tatapan mata Lizzie justru terjatuh pada bibir Daxon. Pria itu membungkukan tubuhnya, dengan tangannya yang masih berstagnasi di pipi Lizzie, begitu mudah baginya untuk menarik Lizzie mendekat padanya. Lizzie berpaling muka, Daxon berhenti merealisasikan niatannya. “Aku tidak berterima kasih dengan benar padamu untuk kue yang kau belikan di kedai kopi waktu itu,” gumam Lizzie seraya menatap ke bawah sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan berada diantara kedua paha Daxon. Pria itu hanya menyeringai membuat Lizzie menatapnya pula. Jika benar pria itu sedang menggodanya sekarang, maka Lizzie akan balik menggodanya seperti yang biasa dia lakukan kepada Levin dengan santai. “Atau pun untuk aksi penyelamatan yang kau lakukan saat
Lizzie berhasil menemukan rumah Daxon setelah memasukan alamatnya ke dalam GPS ponsel miliknya. Dia ingat sedikit jalanan menuju tempat itu ketika dia pulang dari tempatnya kala itu. Setidaknya Lizzie memasuki kediaman pria itu sekali, dan dia tidak mengira akan melanggar janjinya sendiri menjadikan pria itu sebagai tokoh imajinya sendiri. Yang lebih ironi dari semua itu adalah fakta bahwa kediamannya ternyata tidak terlalu jauh dari kediaman orangtuanya, hanya perlu berkendara kurang lebih lima belas menit sebelum menemukan rumah besar nan megah tersebut.Dia memarkirkan motornya di dalam ketika pintu gerbang di buka secara otomatis. Dia melihat mobil mencolok yang pernah pria itu gunakan untuk mengantarnya. Ya, Lizzie ada disini lagi, melemparkan tubuhnya untuk diisi oleh afeksi dan membuang seluruh rasa frustasi. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, dia keluar dan berjalan menuju ke arah pintu kayu yang besar. Sebelum mengetuk dia sempat mempertimbangkan untuk kabur dan menyudahi
Lizzie tersentak ketika tangan Daxon mulai menjamah pahanya yang tertutup oleh handuk. Kedua tangan pria itu menyelinap untuk memberikan pijatan di sana. Lizzie mengerang tanpa sengaja, matanya tertutup rapat sejalan dengan memposisikan sebelah tangan untuk memblokade suara erotis yang keluar dari mulutnya. Daxon hanya terkekeh, mengambil lotion itu lagi dan kembali berlutut diantara kedua kaki Lizzie. Serius, ada sesuatu yang aneh dengan lotion itu. Tubuh Lizzie terasa panas dan bergairah untuk hal kecil yang sebenarnya tidak begitu merangsangnya. Lizzie merasa tubuhnya merinding tatkala Daxon sedikit menyentuh paha dalamnya. Seolah pria itu sengaja melakukannya untuk menggoda. Lizzie merasa tidak tahan lagi, tapi Daxon seolah tidak peduli dan malah menyibukan diri dengan aksi memijat tubuhnya. Bahkan dia malah menuangkan lotion itu ke punggung Lizzie, membuat gadis itu merasakan rasa dingin yang tiba-tiba membuat punggungnya menggigil. Daxon menyeringai, mengolesi dengan rata pung
Lizzie menuruti perintah sang pria, menggigit bibirnya sendiri sebagai bentuk antisipasi tatkala pria itu mulai bekerja menyelipkan jemarinya disana. Pria itu menekan salah satu ujung jarinya tanpa merasa perlu menunggu Lizzie menyesuaikan diri sebelum kemudian menghempaskan seluruhnya dalam satu sentakan. Lizzie mengerang keras, dia sudah tidak mampu lagi menyembunyikan desahannya sendiri sekarang. Hanya bisa memejamkan mata sejalan dengan punggungnya yang melengkung. Merasakan dirinya terisi oleh jari yang kedua pria itu di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bukan main. “Kau menikmati permainan kecil ini, hm?” ungkap Daxon dengan suara menggoda khasnya. Napasnya memburu. Lizzie tidak sanggup menjawab, hanya saja kini wajah gadis itu sudah bersandar di leher pria itu sambil terengah-engah. Belum usai urusan Lizzie untuk membuat tubuhnya beradaptasi, pria itu malah menarik jemarinya dan mendorongnya lagi. Lizzie langsung memeluk tubuh pria itu erat-erat. Tidak peduli dengan suaranya y
Petualangan yang terjadi diantara mereka terlalu liar dan brutal daripada terakhir kali. Lizzie kini sudah terkapar, ambruk di tempat tidur setelah entah berapa kali pria itu mengulanginya lagi dan lagi. Dia tidak pernah tahu bahwa stamina dan energi pria yang lebih tua ternyata lebih daripada pria yang seusia dengannya. Mungkin Lizzie harus berterima kasih pada Daxon karena telah meringan sedikit stress yang dia miliki. Permainan ranjang yang panas nyatanya cukup membantu untuk mengusir semuanya. Jangan lupakan pula berapa yang dia dapatkan dari ini. Dimanjakan dan dapat uang. Daxon benar-benar sempurna untuk dia jadikan patner.Ketika pria itu menarik diri, Lizzie tiba-tiba saja merasa kosong dan hampa. Dia memperhatikan melalui kelopak matanya yang berat ketika Daxon berada di posisi duduk dan tengah mengatur napasnya sendiri. Lizzie menutup kedua kakinya yang gemetar, membalikan badannya ke samping. Daxon malah menangkap hal itu sebagai sebuah tanda dan memberikan sedikit tamparan
Tiba di malam galeri seni diadakan, Lizzie kebetulan mendapatkan jadwal lembur sehingga rencananya untuk tiba lebih awal mesti pupus. Dia juga mendapatkan pesan dari ibunya yang menanyakan keberadaanya. Armant meneleponnya, menanyakan hal yang sama karena batang hidungnya belum ditemukan disana. Tapi setidaknya Lizzie sempat menerima telepon dari Armant dan meminta pada pemuda itu untuk mengabarkan pada ibunya bahwa Lizzie akan berada disana sesegera mungkin. Tiba ditempat, Lizzie berlari ke galeri dengan terengah-engah. Mina menepuk punggungnya begitu sang sepupu menemukan keberadaannya disana. “Kau terlambat sepuluh menit,” ungkap sepupunya sambil tersenyum simpul. “Ya, meski begitu aku mengerahkan semuanya untuk itu,” jawab Lizzie sambil menegakan tubuhnya, Mina melirik ke arahnya kemudian tiba-tiba saja menarik kemeja yang dia kenakan sehingga berada pada posisi yang lebih rapi. Mengancingkan kemeja yang dia kenakan dan merapikan rambut Lizzie yang acak-acakan terkena angin malam
“Armant.”Lizzie merasa udara disekitarnya seolah hilang begitu saja. “Kalian berdua saling kenal?” tanya Lizzie setelah beberapa menit ternganga lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan dan dengar di depan mata. Dengan enggan Daxon melangkah mendekat pada Armant, jemarinya mengetuk gelas kosong yang dia genggam dengan cara yang kikuk.“Semacam itu, kurasa,” sahut Armant tegas. “Sudah lama sekali Daxon, aku tidak tahu kalau kau sudah kembali.”“Ya, aku baru tiba,” timpal Daxon dengan getir.“Aku sebetulnya benci ikut campur dalam reuni kalian tapi aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi disini,” ungkap Lizzie sambil merangkul tangan Armant dengan cara bersahabat seperti biasa. Tertawa dengan cara yang terpaksa yang menyebabkan Mina sepupunya merasa malu karena itu. Gadis itu mencoba melepaskan rangkulan Lizzie dari Armant dan memintanya untuk memisahkan diri dari kedua pria itu.“Lizzie, kau tidak bisa ikut campur dalam urusan orang begitu saja. Apa yang kau
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber