Lizzie berhasil menemukan rumah Daxon setelah memasukan alamatnya ke dalam GPS ponsel miliknya. Dia ingat sedikit jalanan menuju tempat itu ketika dia pulang dari tempatnya kala itu. Setidaknya Lizzie memasuki kediaman pria itu sekali, dan dia tidak mengira akan melanggar janjinya sendiri menjadikan pria itu sebagai tokoh imajinya sendiri. Yang lebih ironi dari semua itu adalah fakta bahwa kediamannya ternyata tidak terlalu jauh dari kediaman orangtuanya, hanya perlu berkendara kurang lebih lima belas menit sebelum menemukan rumah besar nan megah tersebut.
Dia memarkirkan motornya di dalam ketika pintu gerbang di buka secara otomatis. Dia melihat mobil mencolok yang pernah pria itu gunakan untuk mengantarnya. Ya, Lizzie ada disini lagi, melemparkan tubuhnya untuk diisi oleh afeksi dan membuang seluruh rasa frustasi. Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, dia keluar dan berjalan menuju ke arah pintu kayu yang besar. Sebelum mengetuk dia sempat mempertimbangkan untuk kabur dan menyudahi ini. Tapi sialnya, belum pula dia memutuskan pintu dibuka lebar oleh Daxon seolah pria itu memang sudah menunggunya di balik pintu besar itu.
“Jadi, mau curhat dulu ?” Dia menyingkir dan memberikan ruang bagi Lizzie untuk memasuki kediamannya. “Kau terdengar seperti hampir menangis putus asa di telepon.”
“Apa itu sangat penting untuk diketahui?” Lizzie menyahut, melepaskan jaket hoodie yang dia kenakan berikut pula dengan sepatu hitamnya dengan setengah ditendang. Daxon mengamati Lizzie yang sedang melampiaskan amarahnya pada benda mati. Tapi dia tidak banyak berkomentar atau bereaksi.
“Sebaiknya kau mandi dulu,” ungkap Daxon yang segera mengambil sepatu Lizzie dan meletakannya pada rak di dekat pintu dengan rapi.
“Apa? aku tidak mau mandi.”
“Kalau kau ingin bercinta, maka kau harus.”
“Kau bercanda, Om? Hari pertama kau tidak memintaku mandi dulu.”
“Itu karena aku meminum banyak alkohol sehingga aku tidak begitu peduli,” sahut Daxon santai. “Terlebih sekarang aku sadar seratus persen dan kurasa air dingin bisa membantu mendinginkan kepalamu juga. Bukankah akan lebih nyaman bila kita berdua bersih?”
“Beri aku obat kumur.”
Daxon menggeleng. “Aku bilang mandi.”
Lizzie menggeram, jika dia bersama Levin sekarang sudah dipastikan dia sudah berada di atas ranjang pria itu dan berbagi peluh. Tapi pria ini memperlakukan Lizzie seperti seorang bocah yang baru pulang bermain untuk mandi. Merasa tidak bisa menang berargumentasi, alhasil Lizzie mengangkat tangannya tanda bahwa dia menyerah. Dia menghentakan kakinya seraya mengeluarkan suara dengusan. Sementara Daxon hanya melipat kedua tangannya menyaksikan amukan kecil dari sang gadis yang sepertinya tidak berada dalam kondisi emosional yang baik.
“Baiklah, aku akan mandi. Puas?”
“Senang mendengarnya, aku tahu kau bisa bersikap kooperatif.”
Lizzie tidak membantah, membiarkan Daxon berjalan lebih dulu didepannya sementara dia mengikuti pria yang lebih tua itu menuju ke kamar tidurnya. Sejatinya begitu masuk ke dalam samar-samar ada kenangan yang merasuk ke dalam kepalanya tentang ruangan dekaden ini, bisa dibilang tempat ini adalah saksi bisu dimana Lizzie bisa meraih orgasme terbaiknya dan keesokan harinya dia sudah tidur diatas ranjang yang bersih. Tempat ini tidak memiliki kenangan negative sama sekali, membuat dirinya jadi sedikit lebih rileks daripada sebelumnya.
Lizzie mendekati salah satu pintu yang dia tahu adalah kamar mandi di ruangan ini. Dia melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu, jika sebelumnya dia tidak menaruh perhatian tapi sekarang dia jadi lebih sadar bahwa pria ini benar-benar sangat perfeksionis dan pecinta kerapihan akut. Semuanya sangat rapi, ada tempat khusus untuk berbagai keperluan. Penataan yang sempurna sekaligus memudahkan penggunaan, dipadukan dengan handuk bersih yang terlipat di samping wastafel mencerminkan kepribadian Daxon bahwa dia sangat teliti dan penuh afeksi terhadap hal-hal kecil.
“Ini handuk dan kain lap,” ujar Daxon yang tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu seraya meletakan benda yang dia ungkapkan di samping wastafel.
Lizzie mengangguk dan hendak melepaskan pakaiannya sampai dia sadar bahwa pria itu tidak melangkah pergi sedikit pun dari tempatnya. Lizzie berhenti mengangkat kaos oblong yang dia kenakan dan berbalik menghadap pria itu seraya menatapnya lekat-lekat. “Umm … bisa kau pergi dulu, Om?”
Daxon menaikan sebelah alisnya. “Kau sadar betul kalau aku pernah melihatmu tanpa busana, kan?”
Semburat merah menyeruak ke pipi Lizzie. Itu memang benar, dan sialnya entah kenapa dia jadi malu sendiri. Melihat Lizzie yang berdiri membeku disana, Daxon hanya terkekeh kemudian mulai beranjak dari tempatnya berdiri. “Kau sangat lucu, Lizzie. Baiklah silahkan mandi, gunakan waktumu. Kalau butuh apa-apa kau bisa berteriak. Atau kau lebih suka kita mandi bersama?”
“No thanks, Om.”
Daxon menerbitkan senyuman simpul sebelum benar-benar pergi dari sana.
Sepeninggal pria tampan itu, Lizzie langsung menutup pintu kamar mandi. Dia menarik napas panjang, dan kembali mendapati wajahnya memerah tak normal saat berbalik menghadap cermin. Rasa panas membakar yang dia rasakan membuat dia jadi canggung terhadap dirinya sendiri. Lizzie menelponnya dan melemparkan tubuhnya kepada pria itu agar mereka bisa tidur bersama, hanya karena Levin tidak bisa dihubungi dan itu membuatnya makin frustasi. Siapa sangka begitu tiba, dia malah disuruh mandi, Daxon bertingkah seperti dia adalah ayahnya.
Hanya saja pria itu lebih baik karena tidak mengeluhkan soal pilihan hidupnya yang memilih jurusan seni di kampus.
Lizzie membiarkan satu persatu kain yang menutupi tubuhnya jatuh ke lantai. Dia menyalakan shower dan berdiri di bawahnya dengan mata tertutup. Air dingin yang membasahi setiap inchi dari kulit telanjangnya membuat suasana hati Lizzie sedikit jauh lebih baik dan terlebih itu juga membuat dirinya lebih segar. Membantu mengendurkan otot-ototnya yang tegang akibat pertengkaran dengan orangtua, dan fakta bahwa Levin masih ada di otaknya. Lizzie membiarkan kepalanya tertunduk ke depan, membuat air membasahi rambutnya dan membantu mendinginkan kepala.
Dia mengambil salah satu botol yang berisi sabun cair, menuangkan secukupnya pada tangan dan mencoba mengembalikan ke tempatnya semula sebelum tiba-tiba tangannya yang licin membuat benda itu jatuh dan menimpa kakinya. “Ah! Sial sekali!” Lizzie berteriak, rasa sakit yang menyengat langsung dia rasakan di kakinya.
Tapi hanya sebentar sebelum kemudian dia tertawa sendiri. Lihat betapa bodoh kelakuannya, betapa cerobohnya dia. Untuk sesuatu yang sederhana saja dia sudah melakukan kesalahan apalagi bila dia melakukan hal yang besar kan? rasa sesak itu kembali hadir. Lizzie menggelengkan kepalanya dan memutuskan untuk melanjutkan aktivitas mandinya, dia tidak ingin membuang lebih banyak waktu untuk merenung di kamar mandi. Lagipula bukan untuk itu fungsinya dia ada dirumah besar ini.
Setelah selesai, Lizzie mematikan air yang mengalir. Meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya dengan itu lalu berlutut untuk meraih pakaiannya yang teronggok sembarangan di pintu masuk. Alih-alih memakai pakaiannya kembali, Lizzie justru hanya melilitkan handuk di dadanya. Benda itu hanya cukup menutupi bagian penting tubuhnya saja, meski bokongnya tidak tertutup sempurna karena handuknya yang kekecilan.
“Haruskah aku repot-repot berpakaian, Om?” ujar Lizzie setelah dia keluar dari kamar mandi. Sengaja dia menaikan suaranya sedikit lebih tinggi untuk menarik atensi.
Tapi sayangnya Daxon tidak ada di kamar itu. Hanya sebotol air mineral di atas nakas dan beberapa cemilan manis ada pula botol yang aneh diatas sana sangat tidak cocok disejajarkan dengan makanan. Perhatiannya kemudian tertuju pada kasur yang berseprai putih. Selimut dan bantalnya telah di tata dengan rapi membuat Lizzie tergoda untuk mengacaukannya. Ya, dia melakukannya. setengah melompat ke atas tempat tidur dan meraih bantal yang terlihat begitu bersih dan memeluknya hingga menutupi wajahnya sendiri. Begitu menarik napas dia bisa merasakan aroma wangi yang lembut dari sana. Begitu segar, harum, dan bersih, sama seperti aroma yang terakhir kali dia cium dari tempat ini. Rumah ini betul-betul cerminan diri Daxon sendiri.
“Apa kau mengalami masa yang sulit?” ujar Daxon yang melangkah menuju ke arah kasur dari pintu masuk. Membuat Lizzie agak kaget, dan buru-buru mendongak dari bantal. Menggelengkan kepalanya.
“Kita disini bukan untuk berdiskusi, Om.”
“Ya memang, kau disini untuk menemani.”
“Itu juga karena kau yang memintanya,” sahut Lizzie cepat. “Dan kenapa ada lotion? Apa Om juga bermain dengan laki-laki muda?”
“Duduk.”
“Wow, terima kasih dengan jawaban yang tidak relevan atas pertanyaanku,” sahut Lizzie main-mian tapi dia tetap melakukan apa yang diperintahkan oleh Daxon. Pria itu sudah menyingsingkan lengan bajunya, dan mengambil lotion yang dibicarakan oleh Lizzie, memerasnya ke tangan dan menggosoknya ke tangan.
“Kaki.”
“Benarkah? Apa Om serius?”
“Apa kau belum pernah mendengar istilah foreplay?” sahut Daxon. “Atau kalian anak-anak muda jaman sekarang, langsung terobos tanpa pemanasan?”
Lizzie menelan ludahnya sendiri tidak mengira bahwa pria ini bisa mengatakan sesuatu yang seperti itu keras-keras tanpa dosa. “Kalau begitu jangan menghisap jari kakiku.”
“Aku tidak akan melakukannya kecuali kau meni-pedi dulu.”
Lizzie tiba-tiba tertawa, aneh sekali. Padahal Daxon sama sekali tidak sedang bercanda tapi dia tergelitik untuk menanggapinya sebagai sebuah lelucon semata. Tapi begitu tangan Daxon yang kuat meraih kakinya dan setiap jarinya mulai bergerak menekan titik-titik di ototnya. Lizzie merasa ada sengatan berbahaya. Apa ini? apakah sebuah pijatan kecil dapat berefek begitu besar pada dirinya? belum pernah Lizzie merasa sangat bergairah hanya karena disentuh kakinya saja.
“Apa ini? kau mulai bergairah, gadis nakal?”
Lizzie tersentak ketika tangan Daxon mulai menjamah pahanya yang tertutup oleh handuk. Kedua tangan pria itu menyelinap untuk memberikan pijatan di sana. Lizzie mengerang tanpa sengaja, matanya tertutup rapat sejalan dengan memposisikan sebelah tangan untuk memblokade suara erotis yang keluar dari mulutnya. Daxon hanya terkekeh, mengambil lotion itu lagi dan kembali berlutut diantara kedua kaki Lizzie. Serius, ada sesuatu yang aneh dengan lotion itu. Tubuh Lizzie terasa panas dan bergairah untuk hal kecil yang sebenarnya tidak begitu merangsangnya. Lizzie merasa tubuhnya merinding tatkala Daxon sedikit menyentuh paha dalamnya. Seolah pria itu sengaja melakukannya untuk menggoda. Lizzie merasa tidak tahan lagi, tapi Daxon seolah tidak peduli dan malah menyibukan diri dengan aksi memijat tubuhnya. Bahkan dia malah menuangkan lotion itu ke punggung Lizzie, membuat gadis itu merasakan rasa dingin yang tiba-tiba membuat punggungnya menggigil. Daxon menyeringai, mengolesi dengan rata pung
Lizzie menuruti perintah sang pria, menggigit bibirnya sendiri sebagai bentuk antisipasi tatkala pria itu mulai bekerja menyelipkan jemarinya disana. Pria itu menekan salah satu ujung jarinya tanpa merasa perlu menunggu Lizzie menyesuaikan diri sebelum kemudian menghempaskan seluruhnya dalam satu sentakan. Lizzie mengerang keras, dia sudah tidak mampu lagi menyembunyikan desahannya sendiri sekarang. Hanya bisa memejamkan mata sejalan dengan punggungnya yang melengkung. Merasakan dirinya terisi oleh jari yang kedua pria itu di dalam dirinya. Tubuhnya bergetar bukan main. “Kau menikmati permainan kecil ini, hm?” ungkap Daxon dengan suara menggoda khasnya. Napasnya memburu. Lizzie tidak sanggup menjawab, hanya saja kini wajah gadis itu sudah bersandar di leher pria itu sambil terengah-engah. Belum usai urusan Lizzie untuk membuat tubuhnya beradaptasi, pria itu malah menarik jemarinya dan mendorongnya lagi. Lizzie langsung memeluk tubuh pria itu erat-erat. Tidak peduli dengan suaranya y
Petualangan yang terjadi diantara mereka terlalu liar dan brutal daripada terakhir kali. Lizzie kini sudah terkapar, ambruk di tempat tidur setelah entah berapa kali pria itu mengulanginya lagi dan lagi. Dia tidak pernah tahu bahwa stamina dan energi pria yang lebih tua ternyata lebih daripada pria yang seusia dengannya. Mungkin Lizzie harus berterima kasih pada Daxon karena telah meringan sedikit stress yang dia miliki. Permainan ranjang yang panas nyatanya cukup membantu untuk mengusir semuanya. Jangan lupakan pula berapa yang dia dapatkan dari ini. Dimanjakan dan dapat uang. Daxon benar-benar sempurna untuk dia jadikan patner.Ketika pria itu menarik diri, Lizzie tiba-tiba saja merasa kosong dan hampa. Dia memperhatikan melalui kelopak matanya yang berat ketika Daxon berada di posisi duduk dan tengah mengatur napasnya sendiri. Lizzie menutup kedua kakinya yang gemetar, membalikan badannya ke samping. Daxon malah menangkap hal itu sebagai sebuah tanda dan memberikan sedikit tamparan
Tiba di malam galeri seni diadakan, Lizzie kebetulan mendapatkan jadwal lembur sehingga rencananya untuk tiba lebih awal mesti pupus. Dia juga mendapatkan pesan dari ibunya yang menanyakan keberadaanya. Armant meneleponnya, menanyakan hal yang sama karena batang hidungnya belum ditemukan disana. Tapi setidaknya Lizzie sempat menerima telepon dari Armant dan meminta pada pemuda itu untuk mengabarkan pada ibunya bahwa Lizzie akan berada disana sesegera mungkin. Tiba ditempat, Lizzie berlari ke galeri dengan terengah-engah. Mina menepuk punggungnya begitu sang sepupu menemukan keberadaannya disana. “Kau terlambat sepuluh menit,” ungkap sepupunya sambil tersenyum simpul. “Ya, meski begitu aku mengerahkan semuanya untuk itu,” jawab Lizzie sambil menegakan tubuhnya, Mina melirik ke arahnya kemudian tiba-tiba saja menarik kemeja yang dia kenakan sehingga berada pada posisi yang lebih rapi. Mengancingkan kemeja yang dia kenakan dan merapikan rambut Lizzie yang acak-acakan terkena angin malam
“Armant.”Lizzie merasa udara disekitarnya seolah hilang begitu saja. “Kalian berdua saling kenal?” tanya Lizzie setelah beberapa menit ternganga lantaran tak percaya dengan apa yang baru saja dia saksikan dan dengar di depan mata. Dengan enggan Daxon melangkah mendekat pada Armant, jemarinya mengetuk gelas kosong yang dia genggam dengan cara yang kikuk.“Semacam itu, kurasa,” sahut Armant tegas. “Sudah lama sekali Daxon, aku tidak tahu kalau kau sudah kembali.”“Ya, aku baru tiba,” timpal Daxon dengan getir.“Aku sebetulnya benci ikut campur dalam reuni kalian tapi aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi disini,” ungkap Lizzie sambil merangkul tangan Armant dengan cara bersahabat seperti biasa. Tertawa dengan cara yang terpaksa yang menyebabkan Mina sepupunya merasa malu karena itu. Gadis itu mencoba melepaskan rangkulan Lizzie dari Armant dan memintanya untuk memisahkan diri dari kedua pria itu.“Lizzie, kau tidak bisa ikut campur dalam urusan orang begitu saja. Apa yang kau
Setelah selesai dengan Mr. Pixys, Lizzie berjalan menuju ke arah parkiran. Dia tidak mengira bahwa Mina dan Armant menunggunya. Bukankah mereka beberapa saat yang lalu pergi karena ada janji?“Kenapa kalian masih ada disini?”“Oh ayolah, ada apa dengan senyuman itu? kau punya sesuatu yang harus kau bagi dengan kami kan?” sahut Armant tiba-tiba yang tentu saja memancing Lizzie untuk tersenyum lebar.“Kalian merencanakan sesuatu dibelakangku?”“Tentu tidak, secara kebetulan aku dan Armant memang punya janji. Tapi setelahnya entah kenapa kami memilih untuk kembali. Kami memikirkanmu Lizzie, rasanya jahat sekali saat kami menghabiskan waktu dengan oranglain saat malam ini adalah malammu,” ungkap Mina.“Masuk ke mobil, kita bicara di dalam,” timpal Armant lagi yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam mobilnya.“Aku bawa motor.”“Tinggalkan saja disana, nanti biar aku yang ambil motormu sebagai kompensasi.”Lizzie mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih sumringah, mengambil kursi belaka
Lizzie menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya dengan memilih menyandarkan diri di sebuah pohon dekat kampus. Mengeluarkan sebuah buku sketsa untuk menyelesaikan salah satu tugasnya. Dia membolak-balik buku sketsa tersebut, sedikit terhenyak karena kebanyakan isinya malah diisi oleh sketsa singkat sosok Daxon. Ini lucu, hanya karena kebersamaan singkat mereka Lizzie jadi lebih banyak mengingat pria itu secara tidak sadar.Sibuk dengan coretan baru, Lizzie sadar betul bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dari jauh. Gadis itu mendongak tepat waktu sebab dia mendapati seorang pemuda melemparkan tas ranselnya ke bawah diikuti tubuhnya sendiri yang dia jatuhkan tepat di sebelah Lizzie.“Tidak ada kelas lagi, bung?” tanya Lizzie tanpa mesti mengalihkan perhatiannya dari buku sketsa.“Basically,” balas pemuda itu seraya menghela napas lelah. “Apa-apaan dengan sebutan ‘bung’ itu? tidakkah kau merindukan memanggil namaku dengan cara yang seksi seperti biasanya ‘Levin~’ seperti itu,” sa
Selesai kelas dan bekerja sambilan, tadinya Lizzie pulang ke apartment-nya hanya untuk sekadar mandi. Mina saat itu sedang lembur di rumah sakit tempat dia magang, sementara Armant tampaknya punya janji sendiri untuk berkencan dengan Annie. Sesuatu yang Lizzie takutkan dapat dia lewati dengan baik dan sempurna sesuai harapannya. Dia tidak harus mengkhawatirkan banyak pertanyaan dari mereka berdua. Jadi, Lizzie bisa memanfaatkan waktunya dengan sangat baik untuk bersiap dan tampil sedikit lebih rapi. Dia berharap bisa sedikit modis seperti sepupunya Mina yang punya koleksi gaun malam di lemarinya. Tapi bila dia terlalu antusias dia takut Daxon malah menganggapnya gampangan. Karena itulah, dia memilih celana jeans gelap dan kemeja berwarna hitam. Rambutnya yang terurai acak, dia sisir rapi dan ikat ekor kuda dibelakang. Setelah bergumul di depan cermin agak lama, gadis itu hanya bisa mengumpat sebelum menyambar ponselnya yang kebetulan sekali mendapati pesan dari Daxon.DaddyHereLizzi
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber