Lizzie menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya dengan memilih menyandarkan diri di sebuah pohon dekat kampus. Mengeluarkan sebuah buku sketsa untuk menyelesaikan salah satu tugasnya. Dia membolak-balik buku sketsa tersebut, sedikit terhenyak karena kebanyakan isinya malah diisi oleh sketsa singkat sosok Daxon. Ini lucu, hanya karena kebersamaan singkat mereka Lizzie jadi lebih banyak mengingat pria itu secara tidak sadar.Sibuk dengan coretan baru, Lizzie sadar betul bahwa ada sepasang mata yang menatapnya dari jauh. Gadis itu mendongak tepat waktu sebab dia mendapati seorang pemuda melemparkan tas ranselnya ke bawah diikuti tubuhnya sendiri yang dia jatuhkan tepat di sebelah Lizzie.“Tidak ada kelas lagi, bung?” tanya Lizzie tanpa mesti mengalihkan perhatiannya dari buku sketsa.“Basically,” balas pemuda itu seraya menghela napas lelah. “Apa-apaan dengan sebutan ‘bung’ itu? tidakkah kau merindukan memanggil namaku dengan cara yang seksi seperti biasanya ‘Levin~’ seperti itu,” sa
Selesai kelas dan bekerja sambilan, tadinya Lizzie pulang ke apartment-nya hanya untuk sekadar mandi. Mina saat itu sedang lembur di rumah sakit tempat dia magang, sementara Armant tampaknya punya janji sendiri untuk berkencan dengan Annie. Sesuatu yang Lizzie takutkan dapat dia lewati dengan baik dan sempurna sesuai harapannya. Dia tidak harus mengkhawatirkan banyak pertanyaan dari mereka berdua. Jadi, Lizzie bisa memanfaatkan waktunya dengan sangat baik untuk bersiap dan tampil sedikit lebih rapi. Dia berharap bisa sedikit modis seperti sepupunya Mina yang punya koleksi gaun malam di lemarinya. Tapi bila dia terlalu antusias dia takut Daxon malah menganggapnya gampangan. Karena itulah, dia memilih celana jeans gelap dan kemeja berwarna hitam. Rambutnya yang terurai acak, dia sisir rapi dan ikat ekor kuda dibelakang. Setelah bergumul di depan cermin agak lama, gadis itu hanya bisa mengumpat sebelum menyambar ponselnya yang kebetulan sekali mendapati pesan dari Daxon.DaddyHereLizzi
Lizzie tidak langsung menjawabnya, malah dia memilih untuk menatap Daxon, baru kepada pelayan yang melayani mereka. Marie. Itu adalah Marie. Kekasih Levin. Gadis yang dia temui sebelum akhirnya mereka bertemu kembali dengan situasi yang tidak terduga seperti ini. Namun yang lebih menganggu adalah mereka sama-sama berdusta sebelum bertemu kembali di tempat ini. Lizzie memaksakan wajahnya untuk berekspresi setenang mungkin, kemudian memberikan senyuman yang kikuk kepada gadis itu. “Hai.” “Sepertinya takdir mempertemukan kita kembali, ya?” Marie tertawa tapi Lizzie sama sekali tidak memahami dimana letak kelucuan dari kata-katanya. Meski begitu Lizzie tetap menganggukan kepala. “Ya.” “Namun lebih pada takdir yang lucu,” sahut Daxon tiba-tiba mengikuti arah pembicaraan kedua gadis di hadapannya sambil meletakan menu miliknya diatas meja sehingga menarik perhatian Marie. “Ah, maafkan saya. Apa yang inginkan sebagai pembuka?” “Aku ingin pesan segelas cabernet,” jawab Daxon santai. “Dan
Pria itu mengubah ekspresi wajahnya sesaat, menghela napas sebelum kemudian memberikan Lizzie sebuah senyuman penuh arti. “Itu bukan kisah yang bagus, sebenarnya. Aku tidak ingin mengubah suasananya.”“Aku tidak secengeng itu untuk langsung menangis hanya karena mendengar kisah sedih, Pak tua.”Daxon tiba-tiba mengambil garpu milik Lizzie, menusuk sepotong daging lalu menyuapi. Lizzie tidak keberatan atas aksi itu dan malah menikmati perhatian kecil darinya. “Kau dan mulut besarmu kadang perlu didisiplinkan sesekali,” sahut Daxon terkekeh.Lalu kemudian cerita meluncur dari mulut si pria. Kisahnya tentang Armant dan bagaimana hubungan mereka. Situasinya kurang lebih sama seperti yang Armant sempat ceritakan. Tapi kemudian ketika Daxon menyebutkan satu nama, kisah itu jadi sedikit lebih berat dari pada yang Lizzie sangka.“Pria itu adalah pria paling buruk untuk menjadi seorang wali bagi seorang anak,” ungkap Daxon sambil menyesap wine miliknya. Tatapan mata pria itu agak berkelana se
Lizzie dapat merasakan tubuh Daxon mendadak kaku saat perempuan itu menyebut namanya.“Petra, senang melihatmu. Kau juga Aleandro.”Sunyi senyap. Hanya ada suara gema dari pengunjung restoran di latar belakang. Suara perbincangan, tawa, denting alat makan, bercampur baur dengan suara biola yang sedang dimainkan oleh sang musisi di dalam sana. Memang masih ada kebisingan, tapi suasana diantara mereka berempat jelas sangat aneh dan terlalu sunyi untuk dihadapi.“Yah, senang melihat kalian berdua. Kuharap kalian menikmati makanannya malam ini,” ujar Daxon sekali lagi meski terkesan agak sedikit tajam. Perempuan itu menganggukan kepala, matanya tertunduk tanpa berani menatap Daxon.“Terima kasih, dan kuharap kau juga menikmati ….” Kata-kata yang terujar memang makin memudar dan lebih terdengar sebagai gumaman alih-alih jawaban tegas. Apalagi Lizzie bersumpah perempuan itu melirik padanya, sebelum melanjutkan perkataannya. “Malammu,” tutup perempuan itu pada akhirnya setelah puas menatap L
Kenapa dia malah reflek menyebut nama Levin dan membuat alasan yang menyedihkan seperti itu?Lizzie tahu bahwa Armant bisa melihat ke dalam dirinya, tapi dia akan terus mencoba untuk mempertahankan argumentasi sebaik mungkin. “Itu bukan urusanmu.” Hanya itu yang bisa Lizzie katakan, dia tidak siap untuk jujur bahwa dia bersama dengan seorang pria yang kurang lebih seperti paman bagi Armant dan terlibat hubungan ranjang dengannya. Tentu saja itu hanya akan menyebabkan sebuah pertengkaran yang tidak diinginkan. Gadis itu menggigit bibirnya, Lizzie jelas sadar bahwa dalam situasi ini dia sudah berada dalam perangkap.“Ayolah Armant, ini tidak seperti kita masih dibawah umur. Aku sudah dewasa bukankah waktu itu kau bilang begitu? Aku hanya bersama seorang teman, Armant. Itu saja.”“Lizzie, kenapa kau enggan tidak mau memberitahuku dengan siapa kau pergi tadi?” tekan Armant lagi.“Aku bersama dengan temanku, oke? Kami bertemu di kelas seni dan mulai dekat karena dia pernah mentraktirku mak
Lizzie mengetuk rumah Daxon, dan menunggu dengan sabar sampai si pemilik rumah mempersilahkan dia masuk. Hari itu pertengah minggu, Lizzie berada diantara kesibukan bekerja dan kelas. Normalnya demikian. Namun kali ini, Daxon tiba-tiba memintanya untuk menanggalkan shift kerjanya, dan dia bahkan memberikan embel-embel dua kali lipat pembayaran kepada Lizzie bila dia mau datang padanya saat itu juga. Untungnya Annie tidak keberatan menukar jam-nya, karena Lizzie pernah mengisi shift-nya pula saat dia punya kencan dengan Armant di beberapa kesempatan dulu. Maka hari itu menjadi sebuah transaksi yang nyaman dan cepat tanpa perlu tawar menawar lebih dulu. Pintu terbuka dan Daxon berdiri menyambutnya diambang pintu. Ekspresi kompleks yang menggambarkan antara kelelahan dan gairah bersatu padu pada air mukanya. Dia segera mendekati Lizzie, membawanya masuk ke dalam rumah dengan cara yang tidak biasa. Dia menggendong Lizzie dengan gaya bridal style, Lizzie sempat terkejut tapi selebihnya di
Daxon merasa bahwa dia baru saja ditampar dengan sesuatu yang tak kasat mata. Lizzie menggigit bibir bawahnya sambil menggelengkan kepala, mengindahkan air mata yang jatuh ke pipi. Daxon menghela napas dan mengulurkan tangan, mencoba menyentuh bahu Lizzie yang gemetaran dengan jarinya.Terjadi lagi, tiap kali Daxon mencoba meraihnya Lizzie menjauh dan menjaga jarak seolah menegaskan bahwa dia enggan disentuh oleh Daxon. Bahkan kali ini dia memaki pada udara kosong tentang seberapa besar rasa marah yang dia miliki yang bersatu padu dengan kesedihan murni. Bahkan Lizzie lepas kendali dengan merusak salah satu vas yang tidak jauh dari posisinya. Menyebabkan suara gema pecahan kaca yang membuat suasana makin tidak enak diantara mereka.Lizzie tersentak atas apa yang baru saja dia perbuat, ini bukan studio seninya. Ini rumah oranglain dan Lizzie baru saja melampiaskan kemarahannya pada benda milik oranglain. Dia melirik ke arah Daxon yang menutup kedua matanya sambil menghela napas lelah.
Lizzie mengangguk sambil menarik kemeja Daxon. Pria itu menggigit puncak dadanya, seraya menanggalkan pakaiannya sendiri begitu pula Lizzie yang melakukan hal serupa. Daxon meraih gadis itu dan menciumnya dalam-dalam, membuat mulutnya terasa panas. Daxon kembali meraih sela-sela kaki Lizzie, kali ini melepaskan mainan yang menyumbatnya menciptakan bunyi yang lucu dan basah disana. Lizzie bergidik karena Daxon memeluk erat dirinya ketika sensasi tersebut menyapu dirinya. Sambil melingkarkan lengannya di pinggang Lizzie, Daxon membantu gadis itu untuk duduk dipangkuannya. Lizzie membuka lebar kedua kakinya, seraya memegang bahu Daxon dengan jarinya yang gemetaran. Dengan hati-hati Lizzie memposisikan dirinya di pangkuan Daxon, menemukan bagian diri dari Daxon yang menggodanya ketika dia mencoba memposisikan dirinya disana. Secara perlahan Lizzie meraihnya, menyelipkan bagian itu ke dalam dirinya. Dengan pelan, dengan sangat hati-hati setiap inchi dari bend aitu mulai melesak masuk pada
Tiga tahun kemudian …Lizzie bersenandung seraya meletakan paletnya, mundur selangkah dari posisi untuk mengagumi lukisan baru hasil buah tangannya selama berjam-jam. Bunga-bunga berwarna biru dengan gradasi ungu yang disusun sedemikian rupa di sebuah lapangan yang hijau, sangatlah kontras dengan lukisan yang sebelumnya dia selesaikan dan bertemakan soal medan perang terpencil yang hanya memuat tiga bunga yang tercecer darah dari prajurit. Jika disuruh memilih jelas, Lizzie lebih suka lukisan terbarunya. Tentang ladang bunga yang sedang mekar dan memberikan nuansa penuh kedamaian dan ketenangan di bandingkan lukisan perang. Tentu ada perbedaan signifikan, mulai dari hasil akhirnya sampai pada bagaimana cara dia menyapukan kuasnya dan pemilihan warna juga. Tetapi karena perasaan yang ditimbulkan setelah dia menyelesaikan luksian itu, dia entah kenapa merasakan seperti sebuah kenangan disana. Padahal jelas-jelas Lizzie tidak hidup pada zaman itu. Tetapi lukisan ini adalah representasi a
Ketika itu cukup pagi, Lizzie dan ibunya telah berada di bandara. Armant yang bertugas mengantarkan mereka sampai ke sana, karena Dion harus bekerja, tetapi faktanya Lizzie memang punya niatan untuk pergi pagi-pagi sekali supaya tidak perlu berpamitan dengan pria itu. Sungguh, meski hubungan mereka sudah jauh lebih baik tetapi dia masih saja merasa canggung kepada pria itu. Terlepas dari hal-hal gila yang terjadi diantara mereka berdua yang dipicu oleh Lizzie yang memutuskan keluar dari jalur yang digariskan ayahnya dan memilih menjadi seorang seniman alih-alih menjadi dokter idaman. Tetapi setidaknya hubungan mereka berada sekarang sudah terbilang sedikit lebih sehat dibandingkan sebelum-sebelumnya. Bisa dibilang insiden yang tercipta dari perpisahannya dengan Daxon dua tahun lalu, memberikan sebuah hikmah tersendiri. Lizzie mendapatkan kembali hubungan baik dengan ayahnya. Ya, itu patut disyukuri.Lizzie memeluk mereka berdua sebelum benar-benar pergi. “Kamu tidak merasa terlalu pay
“Aku mencintaimu, Om,” bisik Lizzie, matanya terpejam rapat. “Aku mencintaimu dan aku akan selalu begitu.”Kata-kata itu sesungguhnya kata yang manis, tetapi sekarang saat dia mendengarnya itu jadi begitu menyakitkan. Meskipun memang dia bersungguh-sungguh mengatakannya tetapi setelah dia melakukan sabotase seperti ini. Sudah jelas tidak mungkin pria itu masih ada di balik pintu dan menunggunya, atau mendobrak pintu dan menyangkal penolakan Lizzie terhadapnya. Namun dia tahu, jauh dilubuk hatinya, Lizzie telah menghancurkan segala kemungkinan hal itu terjadi.Dua tahun adalah waktu yang telah dia lewati dalam kesengsaraan, apakah aneh baginya untuk menerima begitu saja kesempatan yang Daxon tawarkan kepadanya? Dan untuk apa semua itu? kesempatan untuk memperbaiki karena saat itu dia belum cukup dewasa? Tapi kesalahan akan terus membayangi dan Lizzie tahu bahwa dia sesungguhnya harus bedamai dengan dirinya dahulu.Meskipun cara memotong ikatannya sangatlah egois, tetapi itu yang terbai
Daxon mengetuk pintu dan kemudian dia mundur selangkah. Dia kembali menatap ponselnya sendiri, tidak untuk menghubungi Lizzie tetapi justru nama Armant yang terdapat disana. Dia membaca ulang seluruh teks yang dikirimkan pemuda itu terhadapnya. Izin telah diberikan…Pintu dibukan dan dia langsung disambut oleh sepasang mata cantik yang telah lama tidak pernah dia lihat. Ada kantung mata yang tercipta dan matanya sedikit membengkak. Sepertinya dia kurang tidur dan sedang putus asa. Kini kedua mata itu dipaksa untuk membelalak lebih lebar.“Daxon …,” bisik Lizzie dengan napas yang terengah-engah.Daxon hanya bisa tersenyum mendengar namanya disebut oleh suara yang teramat dia rindukan. Begitu pula pergerakan bibir itu ketika melafalkannya. Dua tahun tidak banyak mengubah orang rupanya.Dia menatap bibir itu, bibir yang menjadi miliknya dan beberapa kali telah dia cium, diklaim, dan dia gigit ketika tiba pada titik dimana gairah luar biasa menyapu dirinya. Ya, setidaknya hal itu berlaku
Smith menyerbu ke arahnya dan mencoba menghentikan Daxon. Pria itu memandangnya dengan amarah yang menggebu, disertai ekspresi wajah yang tertekan luar biasa.“T-Tidak!” Daxon berteriak ketika Smith menyeretnya untuk masuk kembali ke dalam ruangan. “Smith berhenti! Lepaskan aku sialan!”Smith mendorong Daxon ke lantai seperti pria itu adalah boneka kain. Terlepas dari ukuran dan massa otot Daxon, Smith masih jauh lebih kuat darinya. Oleh karena itu Smith dengan mudah berada diatasnya. Berkuasa atas Daxon dan mengendalikannya seperti seorang ayah yang mencoba menenangkan anak laki-lakinya yang sedang mengamuk dan histeris. Daxon membuka mulutnya untuk terus berteriak tetapi Daxon pada akhirnya menampar pipi pria itu sebelum dia bisa melakukannya.Daxon terkejut.“Ada apa denganmu, Daxon?” bentak Smith. “Demi Tuhan, apa yang ada di kepalamu saat ini? kau sedang bekerja. Ada banyak orang disini, tapi kau sudah kehilangan akal. Ini benar-benar sangat tidak professional.”Daxon menarik nap
Daxon sejujurnya agak malas pergi ke kantor. Tetapi dia harus mengirimkan pakaiannya ke binatu dan semenetara itu dia mulai membersihkan rumahnya yang kacau balau. Melakukan pembersihan sebagai bagian dari pada menjernihkan pikirannya lebih dari sekadar memakan ice cream yang manis. Tetapi ice cream sejujurnya menjadi pendamping yang bagus untuk pesta menonton film horror (Daxon berterima kasih kepada Smith yang meminjamkannya kaset flm horror terbaru) anehnya itu cukup untuk dia jadikan sebagai penghiburan.Daxon menatap arloji di tangan kirinya dan mulai berjalan memasuki kantor dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari pada biasanya. Dia datang satu jam setelah kantor dibuka dan dia melihat sekeliling. Ada mike dan asistennya, Smith yang berada diruangannya. Daxon melirik ke arah seseorang pekerja baru di kantornya. Levin. Pemuda yang disarankan oleh Lizzie kepadanya dan memintanya untuk memberikan orang itu kesempatan. Sesuai dengan perkataan gadis itu, kinerja Levin memang te
Perjalanan pulang benar-benar sunyi. Bahkan suara gemuruh kendaraan roda empat dan dua diluar sana tidak cukup memecahkan keheningan di dalam. Suara deru mesin mobil yang mereka naiki juga tidak banyak membantu membuat suara. Tidak ada kata-kata yang dipertukarkan. Tidak ada yang dikatakan, bahkan saat Lizzie keluar dari mobil Daxon. Keheningan sekali lagi tercipta begitu Daxon pergi dari hadapannya.Lizzie menyeka air matanya dan mengetuk pintu rumah sebelum mencari-cari kunci cadangan yang ibunya berikan. Saat dia mendapatkannya, pintu sudah keburu dibuka dan sayangnya bukan sambutan hangat yang dia dapatkan, melainkan sorot mata dingin dari sang ayah.“Hai Ayah ….”Dion tidak banyak beraksi, dia melangkah ke samping membiarkan Lizzie masuk ke dalam. Gadis itu mencoba mengendalikan dirinya di hadapan sang ayah, tetapi dia merasa tekadnya mulai hilang isi kepalanya carut marut sekarang.“Apakah uh … apa Ibu ada dirumah?”Dion menggelengkan kepalanya. “Dia sedang keluar.”Lizzie menga
“Senang bertemu denganmu, Nak,” kata si lelaki tua itu sambil memperlihatkan cengiran malasnya kepada Daxon. “Kupikir kau tidak akan datang dan mengabaikanku.”“Aku memang tergoda sekali,” kata Daxon. “Kenny, ini Lizzie. Lizzie, tua bangka ini adalah ayahku.”Lizzie menarik napas dan memasang ekspresi wajah yang paling tebal yang pernah dia bisa buat. Dia tersenyum sopan dan menganggukan kepala. “Senang berkenalan dengan Anda.”“Senang—” Kenny memulai, dia memiringkan kepalanya seolah dia mengetahui sesuatu. Lizzie merasa tercekik, tetapi dia menolak untuk terlihat seperti itu di depan ayahnya Daxon. “—bertemu denganmu?”Daxon menaikan sebelah alis, merasakan adanya keanehan diantara ayahnya dan Lizzie. Dia menghela napas. “Aku sadar, dia memang jauh lebih muda dariku.”“Ya, memang. Aku tidak tahu kau penikmat daun muda, bocah,” kata Kenny dengan nada yang jelas sinis. Daxon memandang ke arah Lizzie dan gadis itu hanya angkat bahu. Daxon menyipitkan matanya.“Kalian berdua pernah ber