Elena menatap ekspresi suaminya yang tertegun. Pria itu menaikkan satu alisnya lebih tinggi. Elena duduk di tepi ranjang seraya mengembuskan napas dengan berat.
“Kate harus terluka karena Carl pergi tanpa kabar sedikit pun. Belakangan ia baru tahu kalau mengandung anaknya. Kalau saja kau beritahu lebih awal, mungkin aku bisa mencari ke keluarga Spentwood untuk membantu Kate.”“Maaf, aku tidak tahu kalau situasinya seperti ini, Elena. Kurasa, situasi Carl saat ini juga buruk.”“Apa maksudmu?”“Tadi kau bilang Carl datang ke kantormu sebagai CEO baru Spentwood Company, kan? Itu artinya, ia telah menggeser posisi sang kakak tertua. Dari yang kudengar, Letisha tak terima dengan pengaturan ini.” Begitu mendengar penjelasan singkat Drake, Elena menutupi wajah dengan dua telapak tangannya. Kepalanya semakin sakit memikirkan sahabatnya itu.“Kate hanya ingin hidup tenang, sepertinya ia tak bisa melakukannya sekarang.”Tatapan sendu Elena ke arah luar jendela. Ia tahu betul kekhawatiran sahabatnya itu.*** Kate berkeliling ke seluruh tempat, memeriksa dan berbicara dengan tim desain interior. Wanita berambut cokelat itu memperhatikan setiap detail di gambar yang ditunjukkan padanya.“Kurasa di bagian ini kita perlu memfokuskan sisi klasiknya lebih jelas.”“Baik, Nona. Akan kami fokuskan. Bagaimana kalau Anda melihat lantai dua? Kami sedang dalam proses pengerjaan.”“Aku juga ingin melihatnya.” Kate melangkahkan kakinya ke anak tangga satu persatu dengan lambat. Sejak keluar dari apartemen tadi kepalanya terus berdenyut. Mungkin karena pikirannya tak bisa lepas dari kalimat-kalimat Carl tadi pagi. Tubuhnya mulai terasa berat sejak memasuki bangunan yang rencananya Kate jadikan kafe. Langkah Kate berhenti di anak tangga ke empat. Pria yang merupakan tim interior juga langsung berhenti.“Nona, apa Anda sedang sakit.”“Tak apa, aku hanya sedikit kelelahan.” Kate kembali berusaha menaiki anak tangga di depannya. Baru dua anak tangga lagi yang ia lewati, tubuhnya terhuyung ke belakang. Seolah tak punya kontrol atas tubuhnya sendiri. Mendadak ada seseorang yang menangkapnya dari belakang.“Sudah kuperingatkan jangan terlalu lelah.”Carl menggamit pinggangnya, tubuh Kate yang lemas terpaksa bersandar pada pria itu.“Maaf, Anda siapa?”“Dia ....”“Saya Carl, tunangan Kate. Salam kenal.”Carl dengan cepat memotong jawaban Kate yang hanya bisa memberinya tatapan tajam. Pria itu mengangguk mengerti usai mendengar pernyataan Carl.“Saya rasa Kate sudah lelah. Lain kali saja kita lanjutkan, bagaimana?”“Baiklah, saya rasa itu yang terbaik. Nona Kate, sampai jumpa besok. Semoga kondisi Anda segera membaik.”“Tunggu, aku baik-baik saja dan bisa melanjutkan.”“Tidak, Kate. Dia benar, kau harus istirahat, sudah cukup untuk hari ini.”“Tapi,...”Pria dari tim desain interior itu juga telah pergi. Kate tak ada pilihan lagi. Ia berbalik arah untuk turun dibantu oleh Carl. Mendadak, perutnya kram lagi. Kate menghentikan langkahnya, menahan gelombang rasa sakit yang tiba-tiba datang dengan kuat.“Kita pulang saja.”Tanpa basa-basi, Carl menggendong Kate lalu berjalan cepat memasuki mobil. Wanita itu hanya diam saja dan tak membantahnya, membuat Carl yakin, pasti Kate sedang kesakitan.“Kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Carl kepada sopir dan pengawalnya.“Tidak, aku hanya perlu beberapa menit untuk pulih. Hentikan keributannya.”Carl meminta pengawal dan sopirnya keluar dari mobil. Ia memangku Kate yang terlihat tanpa daya. Wanita itu meremas kemejanya seiring ekspresi tegang.“Perutmu kram lagi?”Kate hanya mengangguk lemah, Carl dengan lembut menurunkan kepala Kate untuk bersandar di bahunya. Ia menepuk lembut pundak Kate untuk menenangkan. Satu tangan lainnya mengusap lembut perut wanita itu. Perlahan, rasa sakitnya mereda. Mata Kate yang terpejam menahan sakit perlahan terbuka. Bagaimana bisa secepat itu sakitnya menghilang? Biasanya ia butuh hampir satu jam untuk meredakan kramnya.“Sakitnya sudah hilang.”Kate hendak turun dari pangkuan Carl, tapi, dicegah oleh tangan besar pria itu.“Secepat itu?”“Ya, secepat itu. Lepaskan aku.”“Apa memang sering seperti itu?”“Hanya saat aku kelelahan dan biasanya berlangsung hampir satu jam.”Baru sadar, kalimat yang terlontar begitu saja tak bisa ditarik kembali. Seharusnya, ia tak perlu mengatakan lamanya menahan sakit.“Jadi, aku membantumu mengatasi rasa sakitmu lebih cepat, kan?”“Sayangnya begitu. Biarkan aku turun.”Carl tersenyum lebar saat membiarkan Kate duduk di sampingnya. Ia memanggil kembali sopir dan pengawalnya untuk masuk ke dalam mobil.“Aku perlu pergi belanja makanan sebentar.”“Baiklah, kita pergi sekarang.”*** Selesai berbelanja, kantong belanjaan yang sedang dibawa oleh pengawalnya itu di masukkan ke dalam bagasi mobil. Kate dan Carl baru saja keluar dari toko yang begitu ramai. Tak ada bedanya dengan jalanan ramai di depannya.“Aku tak suka jenis keramaian seperti ini.”“Kenapa, Carl?”“Dari sudut pandangku sebagai bodyguard, ini tempat yang berbahaya. Kita harus segera kembali ke mobil.” Carl berusaha tetap sedekat mungkin dengan Kate saat melewati kerumunan orang yang lalu lalang. Keningnya berkerut saat melihat orang yang melintas di depannya. Pria bermasker hitam itu menatapnya sekilas. Carl dengan instingnya yang tajam menatap ke arah tangan pria itu yang mengeluarkan benda tajam. Sepersekian detik mencoba mendekatkan pisau yang cukup besar itu ke arah perut Kate. Carl langsung menarik tubuh Kate menjauh dan memutar posisinya. Ia merasakan rasa perih di lengannya beberapa saat. Seiring pria bertopi itu segera menghilang di antara kerumunan.“Ada apa, Carl? Kenapa tiba-tiba ....”“Kau baik-baik saja, kan?”“Iya, tapi, kenapa? Carl!”Kate menjerit saat melihat darah merembes keluar melewati lengan kemeja warna putih milik Carl. Jeritan itu membuat orang-orang sekitar langsung menatap ke arah keduanya.“Tenanglah, aku baik-baik saja.”“Tidak, ini buruk. Aku ... aku akan memanggil ambulans sekarang.”Dengan tangan gemetaran ia mencari ponsel di dalam tasnya. Saat ia berhasil mendapatkan ponselnya, saat itu pula pengawal Carl datang dan terkejut. Lengan Elena dicengkeram oleh Carl.“Dengarkan aku, kita harus pergi ke mansionku sekarang. Lebih aman di sana. Tak ada jaminan kau aman di rumah sakit. Turuti perkataanku sekali ini saja, Kate.” Lengan Carl yang tak terluka segera melingkari pundak Kate dan buru-buru pergi dibantu pengawal mereka yang membukakan jalan di antara kerumunan. Ketika mereka masuk ke mobil, Carl langsung memberi perintah.“Langsung ke mansionku. Lex, panggil Dokter Gary segera.”“Baik, Tuan.”“Carl, kenapa tidak ke rumah sakit?”“Dia saja berani menyerang di tengah kerumunan. Mereka bisa bertindak nekat melukaimu saat aku sedang dirawat di rumah sakit.” Kate menatap darah yang terus mengucur di lengan kanan Carl. Ia meringis begitu melihat Carl menarik napas panjang. Harus ada yang menahan darah itu keluar terus. Tanpa berpikir panjang, Kate menyobek rok panjangnya. Kebetulan, ia memakai gaun dengan kain yang tak terlalu tebal.“Kate, kau tidak perlu ....”“Diamlah! Aku mencoba menghentikan perdarahannya.” Kate mengikatkan robekan gaunnya di lengan Carl dengan cekatan. Bukan hanya Carl yang melongo melihat apa yang dilakukan Kate. pengawal dan sopir Carl pun turut tertegun sesaat.“Tetap buka matamu. Lawan rasa kantuknya.”Seolah memberi perintah yang tak boleh dibantah, Kate membuat Carl mengangguk.“Berapa lama kita sampai?”“10 menit, Nona.”Jawaban dari pengawal itu tak membuat Kate merasa tenang. Ia perlu membuat Carl tetap sadar. Ia membuka tas kecilnya dan menarik beberapa lembar tisu. Menyeka keringat yang terus muncul di wajah Carl.“Bisa tolong lebih cepat? Aku yang akan mati karena khawatir kalau kalian selambat ini.” Suara Kate terdengar menakutkan. Pengawal dan sopir itu memberi jawaban dengan canggung. Sang sopir menambah kecepatan meski dengan hati yang was-was, ia memilih berkonsentrasi penuh ke jalanan.“Kenapa kau tersenyum?”Kate mengalihkan tatapannya ke arah Carl. Mendapati pria itu terkekeh pelan usai mendengar kalimatnya tadi.“Aku hanya senang mendengarmu terlihat berbeda dari biasanya.”“Cukup tetaplah terjaga, Carl. Dan berhenti mengejekku.”“Bisakah kau membantuku tetap terjaga?”“Bagaimana?”“Cium aku sekarang.”Pria dengan garis rahang tegas itu menatap penuh harap pada Kate. Menunggu dengan sabar bola mata cokelat yang menatapnya tak percaya. Perlahan, Kate mendekatkan tubuhnya ke arah Carl. Pria itu tersenyum semakin lebar saat jaraknya dengan Kate semakin sedikit. Perlahan, tangan Kate terangkat ....“Sepertinya ini lebih baik, agar kau tetap terjaga dari omong kosongmu juga.” Kate mencubit lengan Carl di tangan yang tak terluka dengan cepat. Pria itu memekik kesakitan sesaat sebelum memberi tatapan tanya pada wanita di depannya. Terdengar suara terkekeh dari Lex, asisten sekaligus pengawalnya serta sang sopir. Baru setelah mendapat tatapan tajam melalui spion di bagian dalam mobil, kedua orang itu menghentikan tawa kecilnya.“Kita hampir sampai, Nona.” Setelah suara sang sopir terdengar, Kate memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya tampak seperti jalan satu arah. Hanya bisa dilewati satu mobil. Kanan kiri jalan seperti hanya ada hutan kecil. Masih cukup jauh sampai
Wanita dengan rambut panjang dan bergelombang itu duduk kembali di tempatnya dua jam lalu. Mengembuskan napas dengan kasar usai menatap Carl cukup lama. Pria itu sudah tertidur kurang lebih dua jam. Dari jarak yang cukup dekat ini, Kate bisa melihat dengan jelas wajah Carl. Pria itu sepertinya sengaja memelihara brewok tipisnya. Potongan yang cukup rapi dan menambah kesan semakin maskulin. Berbeda dengan Carl versi bodyguardnya dulu, yang selalu rajin mencukur kumis dan rambut di sekitar rahangnya. Tapi, kini pria itu tampak berbeda dengan tampilan barunya. Rambut hitam legam pria itu juga tampak lebih panjang sedikit dari yang terakhir kali ia lihat. Ada gurat muram yang sesekali terlihat sejak kali terakhir ia bertemu lagi dengan Carl. Rasa benci pada pria itu kembali menguat. Melihat Carl yang berbaring dalam keadaan sakit tak menyurutkan rasa kesalnya, mengingat kembali masa 1 bulan yang dijalaninya.“Mengagumi wajah tampanku, My lady?”Sorot mata tajam Kate kem
Wanita yang memakai dress selutut warna biru laut itu berjalan-jalan santai. Menikmati udara pagi yang segar usai sarapan. Langit biru nan cerah menambah semangatnya pagi itu. Sebisa mungkin, ia akan menikmati waktu sementaranya di mansion klasik ini.“Tamannya tampak ... dingin.”Komentar dari Kate itu didengar oleh Mary yang berjalan di sampingnya.“Saya tidak banyak tahu tentang taman, Nona.”Kate menghentikan langkah. Menatap cukup lama taman di depannya. Tangannya bersedekap di depan dada sejenak.“Coba lihat dan rasakan. Menurutmu apa ada yang kurang?”Menuruti Kate, Mary melakukan hal yang sama. Mengamati taman itu cukup lama dan berpikir.“Saya rasa ... sepi. Semacam itu.”“Ya, itulah yang kumaksud. Mary, kau sangat peka.”Wanita berambut cokelat madu itu tersenyum seolah bangga dengan tanggapan Mary. Ia melanjutkan langkah.“Sepi dan dingin, kurang berwarna lebih tepatnya. Akan lebih bagus jika banyak bunga di sini. Berbagai macam bunga. Oh, ya, tapi, bukan ur
“Apa? Beraninya kau melarangku pergi, Carl? Aku hanya pergi untuk membeli perlengkapan melukis.”“Tidak untuk saat ini, Kate. Tolong mengertilah.”Dengan raut kecewa teramat sangat, Kate menatap Carl. Pria di depannya ini telah berubah. Entah kepahitan macam apa lagi yang membuatnya berubah menjadi pria menyebalkan.“Aku membenci ini semua.”“Tolong mengertilah sekali ini saja, Kate. Aku tidak ingin kau dalam bahaya, dengan kondisiku yang belum sembuh aku tidak bisa menjagamu sendiri.”Kate mengingat momen saat Carl terluka karena menyelamatkannya dari tikaman seorang pria asing yang lewat di depan mereka begitu saja. Dengan berat hati, Kate mencoba mengerti, toh, ini hanya sementara.“Aku akan mencoba mengerti. Lagi pula aku tak akan lama tinggal di penjara ini.”Dengan langkah tegas, wanita berambut cokelat madu itu meninggalkan kamar Carl. Segera ia menutup pintu penghubung itu dan bergegas ke lemari untuk mengambil gaun tidurnya.“Aku tak mau kita bertengkar, Kate.”“Kau
Terdengar bunyi klik saat Kate memutar kunci. Dengan perlahan, ia membuka pintu itu. Layaknya menemukan harta karun baru, Kate tersenyum lebar saat mengeksplor ruangan pertama. Begitu klasik dan terlihat bersih. Perabotan lama yang terawat berdiri di sekeliling ruangan.“Kurasa staf mansion merawat tempat ini dengan baik, Mary.”“Ya, Nona, saya setuju.”Kate berhenti di depan pigura kecil yang berjejer rapi. Ia mengambil satu dan mengamatinya dari dekat. Keningnya berkerut sesaat sebelum suara Mary mengalihkan perhatiannya.“Nona Kate!”Wanita berambut cokelat madu itu mendekati Mary dengan gestur bertanya. Tangannya terangkat dan bibirnya membentuk kata ‘what’. Mengikuti arah pandangan Mary ke sebuah ruangan, Kate tertegun sejenak.“Sepertinya, Anda benar-benar menemukan harta karun, Nona.”Seiring kalimat Mary berakhir, Kate tersenyum lebar diiringi tatapan takjubnya. Ia mengambil langkah masuk ke dalam ruangan itu. Bau kanvas dan cat air yang samar bisa ia rasakan.“K
Urung ke kamarnya, Carl dengan khawatir menyusul Kate yang sudah terduduk lemas di lantai kamar mandi. Tanpa berkata apa pun, Carl langsung menggendong Kate dan membawanya ke ranjang. Ia memanggil staf dapur dan memintanya membawakan air madu hangat. Kate membenci dirinya yang selemah itu di depan Carl. Baru saja ia mengusir pria itu pergi, mualnya langsung datang dan membuatnya kehilangan tenaga. Satu dua tetes air matanya jatuh, mewakili rasa marah pada dirinya sendiri. Ia memilih memejamkan mata saat didudukkan Carl bersandar ke kepala ranjang. Terdengar derit ranjang lirih saat Carl duduk di tepi ranjang. Pria itu lalu memeluknya dan mengusap punggungnya. Tak lama kemudian staf dapur datang lalu segera pergi.“Minumlah, Kate.”Kate membuka mata, lalu menggeleng pelan. Ia mencium bau manis dari air madu di depannya itu.“Nanti saja.”Carl meletakkan lagi cangkir tersebut, lalu mengambil botol kecil dan mengeluarkan isinya ke jari tangan.“Minyak ini akan membu
Berbanding terbalik dengan tatapan ngerinya, Kate tertawa dengan canggung. Ia berharap salah dengar atau Carl sedang mabuk sehingga berbicara melantur. “Aku tidak mengerti maksudmu.”“Lebih baik kita duduk dan bicara.”Gerakan tangan Carl mempersilakan Kate duduk di sofa panjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.“Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan akan membantumu menemukan adikmu yang hilang, Kate.”“Aku tidak pernah meminta bantuanmu.”“Itu yang perlu kau lakukan sekarang.”“Carl, apa yang sedang kau coba lakukan? Kau tahu dari mana?”“Tak penting aku tahu dari mana. Akan kuperjelas tawarannya.” Manik mata berwarna cokelat itu menatap dengan waspada. Tangannya menggenggam erat liontin kalung, sementara Carl mencondongkan tubuhnya.“Menikahlah denganku, aku akan mencari adikmu dan kita akan aman.”“Dari mana kau bisa menjamin keamanan kita? Dari kakakmu?”“Ya, aman dari Leti adalah tugasku untuk menjagamu.” Kate mengalihkan pandangan ke arah
“Tak kusangka, Tuan Muda Oveprotektifmu itu akan memperbolehkanku datang ke sini,” ucap Elena seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kamar besar yang di tempati Kate terlihat klasik. Elena menangkap keunikan dalam kekunoan ini adalah satu hal yang disukai sahabatnya itu. Kate menggeser cangkir teh milik Elena lebih dekat ke sahabatnya yang berambut pirang itu.“Syukurlah kau mau datang, walaupun yah, si Tuan Muda Overprotektif itu bersikeras agar kau menutup mata. Tentu saja agar kau tak tahu arah jalan menuju kemari.”“Itu dia, Tuan Bodyguard Tampanmu sudah kembali.”Kalimat Elena membuat wanita berambut cokelat madu itu menghela napas dengan berat. “Terima kasih telah datang kemari, Elena. Aku butuh ... semacam ketenangan sebelum melangkah lebih jauh.”“Hal yang biasa dialami setiap calon pengantin. Aku senang bisa membantumu.”Elena mengulurkan tangannya. Menggenggam tangan Kate dan mengirimkan ‘ketenangan’ sebanyak yang ia bisa. Kate tersenyum leba
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang