Melangkah lambat dan sesekali berhenti, mengamati taman yang sepi pagi itu. Kate tahu, persiapan pernikahan sederhananya dengan Carl sudah siap. Tempat, pendeta, masalah menu hidangan dan bahkan dekorasi pun, ia tak tahu. Carl yang menyiapkan semuanya. Ia tak keberatan, toh, bagi Kate sendiri, ini bukan pernikahan yang patut dirayakan besar-besaran. Mereka hanya saling memanfaatkan keadaan.“Nona, kita bisa istirahat sebentar kalau Anda lelah.”Saran dari Mary membuat langkah Kate terhenti. Ia tersenyum sekilas ke arah pengawal pribadinya itu.“Apa aku terlihat lelah?”“Sedikit.”Baru saja Kate hendak menanggapi, terdengar suara langkah kaki dan semacam roda yang di dorong. Kate menoleh ke sumber suara. Di depannya, seorang pria tua duduk di kursi roda dan di dorong oleh kepala pelayan mansion. Kate berjalan lebih dekat ke arah keduanya.“Selamat pagi, Tuan.”“Selamat pagi, Nona.”Hanya balasan dari kepala pelayan. Pria tua itu mengamati Kate dengan kening berkerut.“Se
Kate menghela napas panjang beberapa kali. Sepasang netranya tak bisa melihat apa pun sejak keluar dari mansion. Lagi-lagi, Carl membuatnya melakukan hal konyol ini, dengan menutup matanya saat dalam perjalanan menuju dokter kandungan agar ia tak mengetahui jalan menuju kota. Tentu saja, hal itu dilakukan agar ia tak mengetahui jalan untuk kabur.“Tunggulah sebentar lagi,” ucap Carl seolah bisa membaca pikirannya. Lima menit kemudian, pria berambut hitam legam itu melepaskan ikatan syal kecil yang menutupi mata Kate. Membalas sorot mata tajam wanita yang kini tak memakai kaca mata itu, tak menyurutkan niat seorang Carl untuk tersenyum.“Kurasa ini berlebihan. Kau terlalu takut aku akan kabur.”“Tidak juga. Lebih baik mengantisipasi hal itu terjadi, kan?” Wanita yang mengikat rapi rambut panjangnya itu membuang muka ke arah luar jendela mobil. Ia yakin, Carl akan membuat dalih lebih memuakkan lagi sebagai alasan. Suasana hening berlangsung sampai mereka tiba di ruma
Wajah cantik itu tampak suram saat menatap dirinya di cermin sekali lagi. Entah sudah berapa banyak orang yang mengatakan ia begitu cantik dengan gaun putih khas pengantin yang dipakainya sekarang, dari Mary, staf mansion lain yang membantu persiapan di kamarnya, hingga sahabatnya, Elena. Tapi, itu semua tak membuat wajah muramnya berubah ceria.“Bukan ini pernikahan yang kuinginkan. Bukan atas dasar ini,” gumam wanita itu pada pantulannya sendiri di cermin.“Kate, kau mengatakan sesuatu?”Elena kembali mendekati sahabatnya yang berdiri berhadapan dengan cermin.“Oh, aku hanya ingin segera menyelesaikan semua ini dengan cepat.”Dalih Kate, yang tak disadari Elena, membuat wanita berambut pirang itu tersenyum.“Ingin selesai dengan cepat karena kau lelah atau karena ingin cepat berduaan dengan Carl?”“Elena!”Sorot mata tajam Kate membuat Elena kembali terkekeh. Ia tahu, mempelai wanita di hadapannya itu sejak tadi memasang wajah cemberut.“Kate, aku tak tahu persis baga
Wanita berambut pirang itu mengusap kepala putrinya dengan lembut. Gadis cilik berumur 5 tahun itu tertidur pulas dengan kepala terkulai di pangkuan ibunya. Brianna, tersenyum saat menatap putri semata wayangnya. Ia lalu teringat pesan adik tirinya, Carl. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Setelah mengetik beberapa saat, Brianna mengulas senyum lebar, lalu meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.“Coba kita lihat, akan seperti apa reaksinya? Andai aku bisa melihatnya langsung,” gumam wanita itu dengan nada penasaran.*** Tangan wanita berambut pendek itu gemetar, menggenggam ponselnya dengan kuat usai melihat pesan yang dikirim adiknya. Letisha meletakkan kembali ponselnya ke meja kerja. Tatapannya terarah ke luar jendela ruang kerja, pemandangan kota dan langit yang begitu biru membuatnya semakin sesak.“Si anak brengsek itu beraninya menikah hanya untuk mengukuhkan posisinya. Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkanmu memiliki semua.”Sat
Wanita itu menatap ke arah bangunan utama mansion dengan sendu, pandangannya mengabur karena hujan yang deras. Setelah menghela napas dengan berat, Kate membalikkan badannya lalu masuk kembali ke bangunan yang kini ia klaim sebagai studio melukisnya. Carl mengikuti Kate memasuki bangunan lalu menutup pintunya untuk menghalau angin malam yang semakin kencang.“Aku tidak percaya harus menunggu hujan reda denganmu di sini.”Suara Kate terdengar jengah, wanita itu telah duduk di sofa, dekat perapian dengan tangan saling tertaut. Bukannya menanggapi kalimat Kate barusan, pria dengan iris mata segelap malam itu mengambil selimut dari ruangan lain, lalu keluar.“Pakailah, kau pasti kedinginan.” Carl menyelimuti tubuh istrinya dengan selimut yang cukup tebal itu. Ada pandangan penasaran dari Kate.“Kenapa kau bisa tahu letak selimutnya?”“Dulu, aku sering kemari. Karena kau bersikeras menggunakan tempat ini sebagai studiomu, tentu saja aku harus merenovasi dan memperbaiki beb
Wanita berambut panjang itu tak segera menjawab. Ia tahu ini malam pertama mereka setelah menikah, tapi, pernikahan mereka hanya karena saling membutuhkan. Lagi pula mereka berdua tahu jika usia kandungannya belum menginjak tiga bulan.“Carl, aku tidak ....”“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kate, aku hanya ingin tidur saja. Tak perlu risau.”“Bukankah lebih nyaman kalau kau tidur sendiri?”“Siapa bilang?”Menghela napas panjang, otak Kate berputar seraya mempertimbangkan. Sebenarnya wajar jika suaminya itu meminta menemaninya tidur. Bukan suatu hal yang berlebihan. Lagi pula Carl juga mulai mau membuka diri lebih jujur padanya. Kalau sekarang ia menolak, pria itu bisa jadi semakin menjauh. Entah kenapa membayangkan Carl menjauhinya membuatnya tak nyaman.“Baiklah.”Senyum lebar seketika terlukis di wajah Carl. Meski hanya sekian detik sebelum pria itu kembali berwajah datar.“Aku akan ganti baju, tapi, kau masih di sini dan membuatku canggung, Carl.”“Baiklah, aku kembali ke
Tangan Carl masih mencengkeram pergelangan tangan Kate saat menunggu jawaban wanita itu. Wajah lelah itu meminta tanpa kata. Kate tahu, seharusnya ia segera menolak dan kembali ke kamarnya. Tapi, entah mengapa rasanya itu berat dilakukan. Apa itu yang dinamakan keinginan bayi dalam kandungannya?“Bergeserlah.”Hanya dengan satu kata itu membuat Carl segera menggeser posisinya, membiarkan Kate masuk ke dalam selimut bersamanya. Dengan cepat, pria itu memeluk tubuh istrinya.“Berapa minggu kita tidak bertemu?”“Bukan minggu, tapi, beberapa hari. Lagi pula kita bertemu sesekali saat sarapan.”“Benarkah? Sepertinya sudah lama.”Pria itu menggeser lagi tubuhnya ke arah Kate. Seolah perlu lebih dekat lagi, meski wanita itu memunggunginya.“Apa yang kau lakukan beberapa hari ini, Carl? Bagaimana dengan pertemuan para direksi?”“Tiga hari terakhir aku fokus mencoba merebut pengaruh Leti dari para direksi yang mendukungnya selama ini.”“Kau pasti kesulitan. Bagaimana caramu membu
“Tidak ada pembatalan kerja sama dengan pihak Cartwright. Ini hanya kesalahpahaman antara saya dan kakak saya. Saya adalah penggagas ide dan kerja sama ini, jadi, saya akan bertanggung jawab penuh. Izinkan saya memeriksa situasi dan mengendalikannya. Kita bahas kembali di rapat besok lusa.” Carl menenangkan para direksi yang terdengar riuh karena terkejut dengan pengakuan dari Leti tentang batalnya kerja sama lini fashion mereka dengan pihak Cartwright. Sementara Carl mengamati kakaknya meraih microphone di dekatnya.“Tidak ada manfaat lebih yang bisa kita dapatkan dengan ide ini. Apa lagi menggandeng Cartwright bukan hal yang tepat. Ini ide usang.”“Bukankah kita butuh data riset dan pengembangannya? Dari mana Anda bisa menyatakan ide ini usang dan tak menjanjikan?” tanya Carl sebagai serangan balik.“Dilihat lambannya perkembangan kerja sama dan tak ada realisasi lebih cepat bagaimana proyek ini berjalan, kami patut mempertanyakan ulang rancangan dasarnya.”Senyum Leti yan
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang