Wanita berambut panjang itu tak segera menjawab. Ia tahu ini malam pertama mereka setelah menikah, tapi, pernikahan mereka hanya karena saling membutuhkan. Lagi pula mereka berdua tahu jika usia kandungannya belum menginjak tiga bulan.“Carl, aku tidak ....”“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kate, aku hanya ingin tidur saja. Tak perlu risau.”“Bukankah lebih nyaman kalau kau tidur sendiri?”“Siapa bilang?”Menghela napas panjang, otak Kate berputar seraya mempertimbangkan. Sebenarnya wajar jika suaminya itu meminta menemaninya tidur. Bukan suatu hal yang berlebihan. Lagi pula Carl juga mulai mau membuka diri lebih jujur padanya. Kalau sekarang ia menolak, pria itu bisa jadi semakin menjauh. Entah kenapa membayangkan Carl menjauhinya membuatnya tak nyaman.“Baiklah.”Senyum lebar seketika terlukis di wajah Carl. Meski hanya sekian detik sebelum pria itu kembali berwajah datar.“Aku akan ganti baju, tapi, kau masih di sini dan membuatku canggung, Carl.”“Baiklah, aku kembali ke
Tangan Carl masih mencengkeram pergelangan tangan Kate saat menunggu jawaban wanita itu. Wajah lelah itu meminta tanpa kata. Kate tahu, seharusnya ia segera menolak dan kembali ke kamarnya. Tapi, entah mengapa rasanya itu berat dilakukan. Apa itu yang dinamakan keinginan bayi dalam kandungannya?“Bergeserlah.”Hanya dengan satu kata itu membuat Carl segera menggeser posisinya, membiarkan Kate masuk ke dalam selimut bersamanya. Dengan cepat, pria itu memeluk tubuh istrinya.“Berapa minggu kita tidak bertemu?”“Bukan minggu, tapi, beberapa hari. Lagi pula kita bertemu sesekali saat sarapan.”“Benarkah? Sepertinya sudah lama.”Pria itu menggeser lagi tubuhnya ke arah Kate. Seolah perlu lebih dekat lagi, meski wanita itu memunggunginya.“Apa yang kau lakukan beberapa hari ini, Carl? Bagaimana dengan pertemuan para direksi?”“Tiga hari terakhir aku fokus mencoba merebut pengaruh Leti dari para direksi yang mendukungnya selama ini.”“Kau pasti kesulitan. Bagaimana caramu membu
“Tidak ada pembatalan kerja sama dengan pihak Cartwright. Ini hanya kesalahpahaman antara saya dan kakak saya. Saya adalah penggagas ide dan kerja sama ini, jadi, saya akan bertanggung jawab penuh. Izinkan saya memeriksa situasi dan mengendalikannya. Kita bahas kembali di rapat besok lusa.” Carl menenangkan para direksi yang terdengar riuh karena terkejut dengan pengakuan dari Leti tentang batalnya kerja sama lini fashion mereka dengan pihak Cartwright. Sementara Carl mengamati kakaknya meraih microphone di dekatnya.“Tidak ada manfaat lebih yang bisa kita dapatkan dengan ide ini. Apa lagi menggandeng Cartwright bukan hal yang tepat. Ini ide usang.”“Bukankah kita butuh data riset dan pengembangannya? Dari mana Anda bisa menyatakan ide ini usang dan tak menjanjikan?” tanya Carl sebagai serangan balik.“Dilihat lambannya perkembangan kerja sama dan tak ada realisasi lebih cepat bagaimana proyek ini berjalan, kami patut mempertanyakan ulang rancangan dasarnya.”Senyum Leti yan
“Sesuai prediksi kita, respons publik usai konferensi pers kita positif. Seolah cara baru pengenalan brand proyek kita juga.”Carl menganggukkan kepalanya usai mendengar laporan dari Lex.“Itu benar, karena itu aku membalikkan keadaan dengan memanfaatkan media juga. Seperti halnya Leti yang menggunakan media untuk menyebarkan berita tak benar.”“Jadi, apa kita akan mempercepat peluncuran produk?”“Hubungi pihak Cartwright juga. Kita sendiri tak masalah jika peluncuran produk lini fashion dipercepat. Kupikir ini langkah yang tepat, karena publik masih banyak membahasa terkait proyek kerja sama kita.”“Baik, saya akan hubungi pihak Cartwright segera setelah tim produksi dan distribusi siap.”Pria jangkung itu kembali menatap tumpukan dokumen di mejanya. Jam kerja hampir berakhir, tapi, pekerjaannya masih menumpuk.“Sepertinya hari ini aku harus pulang terlambat lagi,” gumam Carl seraya meraih dokumen di tumpukan teratas.***“Nyonya, ada tamu yang mencari Anda. Aku sudah menga
Tangannya gemetaran, Kate berkali-kali mendorong tubuh Carl yang ada di atasnya sekuat tenaga. Tapi, tentu saja tenaganya terkuras sia-sia. Sementara suaminya itu dengan mudah menciumi wajah dan lehernya. Pandangan mata Kate seketika menggelap saat Carl merobek kancing bajunya. Tubuhnya seolah membeku. Tangannya terangkat untuk menutup wajahnya. Carl tak tampak peduli sama sekali dengannya dan terus mengganggunya.“Hentikan! Aaron, Hentikan semuanya!”Kate menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang gemetaran. Carl langsung menghentikan pergerakannya begitu mendengar teriakan Kate.“Menjauh dariku! Aaron, kau ingin membunuhku, kan?”Sekali lagi, kalimat kedua itu membuat jantung Carl seolah tercabut.“Kate, apa yang kau ...”Dengan perlahan, Carl menyingkirkan telapak tangan Kate dari wajahnya. Mata wanita itu terpejam sempurna. Beberapa bulir air mata mengalir dari sudut mata.“Buka matamu, Kate.”“Lepaskan aku! Dasar pria bajingan! Aaron, awas saja kau!”
Kate dengan cepat menghabiskan sarapannya. Ia salah mengira jika Carl telah berangkat ke kantor tadi. Saat mengetahui pria itu belum keluar untuk sarapan, Kate ingin segera menghabiskan makanannya lalu cepat pergi. Simon, menikmati makan paginya dengan tenang. Sesekali mengamati Kate, yang tampak tergesa-gesa makan. “Kate, kenapa kau terburu-buru. Makanlah perlahan.”“Oh, aku harus segera ke studio. Ada lukisan yang harus segera kuselesaikan.” Wanita yang menguncir rapi rambutnya itu menjawab. Ia tidak memperhatikan wajah tak percaya dari Simon sepersekian detik. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki dari arah tangga. Kate menarik napas panjang.“Selama pagi, Ayah, Kate.” Sementara Carl duduk di kursi utama, Simon, melirik ke arah Kate yang tak merespons sapaan dari putranya itu. Wanita berambut cokelat itu kini hanya fokus menatap makanan di depannya. Selama menit-menit penuh keheningan, Carl yang memulai sarapannya, kini mengamati wajah
Edward mengerutkan kening seraya tetap melangkah mengikuti Kate. Wanita itu bahkan langsung memasuki area hutan begitu saja.“Tunggu, Nyonya. Anda tidak mengatakan ingin ke hutan, kan?”“Memang tidak. Hanya sebentar saja. Aku tak akan jauh.”“Meski, begitu, biarkan aku yang di depan.”Edward melangkah mendahului Kate. Dengan waspada, ia mengamati sekelilingnya. Mereka berjalan tak terlalu jauh, lalu berhenti. Napas Kate mulai memburu, ia duduk di pohon yang roboh.“Nyonya, apa Anda baik-baik saja? Sebaiknya kita segera kembali, Mary pasti mencari kita.”“Tidak, tunggu. Aku hanya ingin menikmati udara segar di sini sebentar.”Wanita itu mengikat rapi rambutnya, lalu menghirup udara sebanyak mungkin. Seiring napas yang mulai teratur, senyum Kate semakin melebar.“Coba kau nikmati udaranya, Ed. Bukankah jauh lebih segar dari pada tempat lain?”Edward menarik napas panjang beberapa kali, meski matanya terus mengawasi sekitar.“Anda benar, tapi, kita benar-benar harus kemba
Kate hepburn menarik napas panjang, pertanyaan Carl barusan tak sempat ia pikirkan. Matanya hanya bisa menatap Carl, dalam diam, ia mencoba memahami situasi. Suaminya itu sedang marah. Apa dia cemburu?“Kita kembali sekarang.”Tatapan tajam Carl tak luntur begitu saja. Saat Kate hendak mengucapkan sepatah kata, pria itu langsung menggendongnya ala bridal style lalu berjalan keluar dari bangunan yang Kate sebut sebagai studio. Beruntung, hujan sudah reda, tinggal gerimis yang masih enggan pergi.“Turunkan aku, Carl.”Kate berusaha memberontak agar diturunkan. Tapi, gerakannya tak mempengaruhi langkah lebar Carl sama sekali.“Aku tak ingin kau terpeleset. Tenanglah.”“Bagaimana aku bisa tenang kalau kau marah seperti ini? Kenapa kau marah?”Setelah tahu Carl tak akan semudah itu menurunkannya, Kate menyerah. Ia berpegangan pada bahu lebar suaminya. Tak ada jawaban apa pun sampai mereka memasuki bangunan utama yang sudah sepi. Seiring langkah Carl menapaki tangga menuju ke ka
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang