Edward mengerutkan kening seraya tetap melangkah mengikuti Kate. Wanita itu bahkan langsung memasuki area hutan begitu saja.“Tunggu, Nyonya. Anda tidak mengatakan ingin ke hutan, kan?”“Memang tidak. Hanya sebentar saja. Aku tak akan jauh.”“Meski, begitu, biarkan aku yang di depan.”Edward melangkah mendahului Kate. Dengan waspada, ia mengamati sekelilingnya. Mereka berjalan tak terlalu jauh, lalu berhenti. Napas Kate mulai memburu, ia duduk di pohon yang roboh.“Nyonya, apa Anda baik-baik saja? Sebaiknya kita segera kembali, Mary pasti mencari kita.”“Tidak, tunggu. Aku hanya ingin menikmati udara segar di sini sebentar.”Wanita itu mengikat rapi rambutnya, lalu menghirup udara sebanyak mungkin. Seiring napas yang mulai teratur, senyum Kate semakin melebar.“Coba kau nikmati udaranya, Ed. Bukankah jauh lebih segar dari pada tempat lain?”Edward menarik napas panjang beberapa kali, meski matanya terus mengawasi sekitar.“Anda benar, tapi, kita benar-benar harus kemba
Kate hepburn menarik napas panjang, pertanyaan Carl barusan tak sempat ia pikirkan. Matanya hanya bisa menatap Carl, dalam diam, ia mencoba memahami situasi. Suaminya itu sedang marah. Apa dia cemburu?“Kita kembali sekarang.”Tatapan tajam Carl tak luntur begitu saja. Saat Kate hendak mengucapkan sepatah kata, pria itu langsung menggendongnya ala bridal style lalu berjalan keluar dari bangunan yang Kate sebut sebagai studio. Beruntung, hujan sudah reda, tinggal gerimis yang masih enggan pergi.“Turunkan aku, Carl.”Kate berusaha memberontak agar diturunkan. Tapi, gerakannya tak mempengaruhi langkah lebar Carl sama sekali.“Aku tak ingin kau terpeleset. Tenanglah.”“Bagaimana aku bisa tenang kalau kau marah seperti ini? Kenapa kau marah?”Setelah tahu Carl tak akan semudah itu menurunkannya, Kate menyerah. Ia berpegangan pada bahu lebar suaminya. Tak ada jawaban apa pun sampai mereka memasuki bangunan utama yang sudah sepi. Seiring langkah Carl menapaki tangga menuju ke ka
Sepasang mata dengan bulu lentik itu terbuka sejak beberapa menit lalu. Kate Hepburn merasa dirinya belum cukup tidur, rasa lelah masih menguasainya. Ia mencoba bergerak, tapi, tubuh rampingnya terkungkung oleh lengan besar Carl. “Apa kau ingin mandi? Biar kusiapkan air hangatnya,” tawar suara maskulin yang memeluknya dari belakang. “Aku masih lelah.” “Baiklah, istirahatlah. Aku mandi dulu.” Carl mengecup kening istrinya itu sebelum turun dari ranjang. Kate kembali memejamkan matanya. Bukan untuk tidur lagi, ia ingin menikmati angin sepoi yang masuk dari pintu ke arah balkon. Tampaknya Carl yang membukanya. Hawa segar pagi itu yang menembus masuk ke kamarnya. Sebenarnya ia sendiri tak menduga jika secepat itu akan bersedia tidur dengan Carl. Mengingat rasa kesalnya pada pria itu sejak ditinggal tanpa kabar. Meski bukan sepasang kekasih dan ia sendiri tahu betul tak memiliki perasaan yang mendalam untuk pria itu, Kate merasa kecewa. Lebih kecewa dan terpuruk dari dugaannya. Wan
Wanita yang kini menyandang status sebagai istri Carlos Rionard Spentwood itu menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangan ke arah pintu menuju balkon yang terbuka. Kate berjalan menuju balkon, merasakan angin sepoi yang menerpa ke arahnya. Pikirannya kembali mengingat poin-poin perjanjiannya sebelum menikah dengan Carl. Menemukan Ed, adiknya, adalah syarat penting. Sebagaimana Carl yang membutuhkan status menikah untuk menyempurnakan syarat menjadi pewaris sah di keluarga Spentwood.“Kate.”Suara bariton Carl yang berdiri di sampingnya membuat lamunan Kate buyar. “Aku mengerti jika menikahiku menyempurnakan syarat sebagai pewaris. Tapi, mendengar dari mulutmu untuk yang kedua kalinya terasa aneh.”Carl dengan mudah menggamit pinggang istrinya itu lalu memeluknya.“Itu hanya untuk memperkuat alasan. Sudah kubilang, perasaanku padamu tidak pernah berubah sejak aku dengan gigih memintamu menjadi kekasihku. Ya, meski saat itu mungkin kau berpikir aku ini bodyguard t
Perlahan, mata cokelat Kate terbuka. Ia melihat Carl yang mengusap lembut pipinya, menyambut pagi yang cerah hari itu.“Maaf kalau aku membangunkanmu. Aku hanya ingin berpamitan berangkat ke kantor.”“Jam berapa ini?”“Sebentar lagi jam 8. Tidurlah kembali, kau terlihat lelah.”Membalas Carl dengan senyuman, Kate membiarkan suaminya itu pergi dari kamarnya usai mengecup keningnya. Akhir-akhir ini pria itu sangat sibuk. Bahkan, saat Kate telah tertidur, Carl baru pulang. Mereka bisa berbicara sedikit lebih lama saat sarapan. Hari ini, ia terlambat bangun, karena itu tak sempat berbicara lebih banyak. Setelah bangun dan bersiap menuju studio melukisnya, Kate bertemu dengan Mary di dekat tangga.“Nyonya, ada barang-barang baru, beberapa kanvas, cat air, dan bahkan palet baru saja datang. Ada kursi khusus untuk Anda juga agar bisa lebih nyaman duduk saat melukis.”“Mary, aku tidak membeli apa pun akhir-akhir ini.”“Bukan Anda, tapi, Tuan Carl yang membeli untuk Anda.”K
“Apa? Jadi, ayahmu ...”“Ya, bisa dibilang sudah melalukan KDRT karena menyiksa ibuku dan anak-anaknya.”Sepasang mata cokelat itu menatap iris mata hitam dalam diam. Cukup lama Carl tak menanggapi. Pria itu lalu merebahkan diri di samping Kate, menatap istrinya dari samping.“Berapa lama kalian mengalami hal itu?”“Dua tahun adalah waktu yang cukup parahnya. Hingga akhirnya ibu memilih perceraian sebagai jalan keluar.”“Lalu, orang tua kalian sepakat membagi kalian berdua?”“Tidak, awalnya mereka sepakat menyerahkan asuhan pada ibuku saja. Tapi, saat Ed pulang sekolah, tiba-tiba ia menghilang. Kami mencoba mencarinya ke mana pun tapi tak bisa menemukannya.”“Mungkin, kalian tak bisa menemukannya karena mereka sudah pergi ke Italia.”“Sepertinya begitu, jika menilik informasi darimu.” Kate menghadap ke samping, mengamati ekspresi Carl yang tak terbaca. Suaminya itu menghela napas panjang beberapa kali.“Aku sedih dan menyesal, kau harus mengalami masa sulit seperti it
“Sialan! Siapa kau? Di mana Lex sekarang?”“Kau pasti tahu siapa aku. Anggota dari Lucchee. Temui kami dan negosiasi ulang. Itu yang kami inginkan.”Senyum miring dari Carl muncul. Ia tak menduga harus berhadapan lagi dengan kelompok mafia Lucchee itu. Sedangkan Kate mengamati Carl dengan kening berkerut. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mendengarkan dan mengamati ekspresi Carl yang berubah drastis.“Berikan teleponnya pada Lex. Aku harus memastikan dia baik-baik saja.”“Halo, Tuan, ini aku, Lex.”“Di mana kau?”Telepon terdengar diambil alih lagi oleh kelompok yang disebut Lucchee itu.“Temui aku besok di tempat biasa. Malam ini aku akan langsung terbang ke Inggris untuk negosiasi kita. Aku tunggu kedatanganmu, Carl. Itu pun kalau kau ingin Lex masih utuh.”“Cukup pegang janjimu saja. Jangan bertele-tele.”Carl lalu menutup teleponnya lebih dulu. Di sisi lain ia lega mendengar suara Lex, tapi, di sisi lain ia juga gusar. Carl bisa menduga apa yang hendak dilakukan kelom
“Apa maksudmu?” tanya Carl dengan kening berkerut.Matteo tertawa kembali, tak menghiraukan wajah penasaran Carl. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar.“Matteo!” bentak Carl dengan keras.“Adik iparmu ada di sini. Kenapa kau jauh-jauh ke Italia?”Matteo melemparkan sebuah dokumen kepada Carl. Dengan lirikan tajam, pria berambut hitam itu segera membuka lalu membaca isi dokumennya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Setelah Carl selesai membacanya, ke kembali merapikan dokumen itu.“Syaratku yang ketiga, lihat saja kalau kau sampai melanggarnya, Matteo.”“Ya, ya, sekarang kau sudah tahu, kan?”“Aku akan mengecek ulang informasi darimu.”“Kau pikir aku serendah itu tak bisa mencari seseorang? Itu hal yang mudah untuk orang seperti kita, kan, Carl?”Pria bermarga Spentwood itu beranjak dari posisinya seraya membawa dokumen di tangannya. Ia menoleh ke arah Lex dan Edward.“Kita pergi.”“Sampai jumpa lagi, Carl.”Dengan senyum lebar Matteo, pria berambut panjang itu