“Sialan! Siapa kau? Di mana Lex sekarang?”“Kau pasti tahu siapa aku. Anggota dari Lucchee. Temui kami dan negosiasi ulang. Itu yang kami inginkan.”Senyum miring dari Carl muncul. Ia tak menduga harus berhadapan lagi dengan kelompok mafia Lucchee itu. Sedangkan Kate mengamati Carl dengan kening berkerut. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mendengarkan dan mengamati ekspresi Carl yang berubah drastis.“Berikan teleponnya pada Lex. Aku harus memastikan dia baik-baik saja.”“Halo, Tuan, ini aku, Lex.”“Di mana kau?”Telepon terdengar diambil alih lagi oleh kelompok yang disebut Lucchee itu.“Temui aku besok di tempat biasa. Malam ini aku akan langsung terbang ke Inggris untuk negosiasi kita. Aku tunggu kedatanganmu, Carl. Itu pun kalau kau ingin Lex masih utuh.”“Cukup pegang janjimu saja. Jangan bertele-tele.”Carl lalu menutup teleponnya lebih dulu. Di sisi lain ia lega mendengar suara Lex, tapi, di sisi lain ia juga gusar. Carl bisa menduga apa yang hendak dilakukan kelom
“Apa maksudmu?” tanya Carl dengan kening berkerut.Matteo tertawa kembali, tak menghiraukan wajah penasaran Carl. Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar.“Matteo!” bentak Carl dengan keras.“Adik iparmu ada di sini. Kenapa kau jauh-jauh ke Italia?”Matteo melemparkan sebuah dokumen kepada Carl. Dengan lirikan tajam, pria berambut hitam itu segera membuka lalu membaca isi dokumennya. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Setelah Carl selesai membacanya, ke kembali merapikan dokumen itu.“Syaratku yang ketiga, lihat saja kalau kau sampai melanggarnya, Matteo.”“Ya, ya, sekarang kau sudah tahu, kan?”“Aku akan mengecek ulang informasi darimu.”“Kau pikir aku serendah itu tak bisa mencari seseorang? Itu hal yang mudah untuk orang seperti kita, kan, Carl?”Pria bermarga Spentwood itu beranjak dari posisinya seraya membawa dokumen di tangannya. Ia menoleh ke arah Lex dan Edward.“Kita pergi.”“Sampai jumpa lagi, Carl.”Dengan senyum lebar Matteo, pria berambut panjang itu
Sepasang mata beriris cokelat itu melebar saat menatap pria di depannya. Tangannya meremas genggaman tangan Carl.“Selamat pagi, Nyonya.”“Edward.”“Kate, Edward adalah adikmu, yang selama ini kau cari.”“Apa? Tapi, namanya ....”“Itu nama ayah. Kalau Nyonya masih ingat.” Mata Kate berkaca-kaca saat memperhatikan senyum canggung Edward. Bukan, yang benar Edmond. Dengan cermat, ia mengamati Ed. Rambut cokelat madu, alis tebal, dan mata beriris cokelat itu sama persis dengannya. Belum lagi tatapan sendu yang tersirat dari sorot mata Ed, jelas sorot mata sendi yang sama dengan adik kecilnya. Kate beranjak dari duduknya, dengan ragu mendekati Edmond. Satu persatu air matanya jatuh saat menyadari betapa kemiripan dan wajah bodyguard barunya itu sama dengan adik kecilnya. Perlahan, tangan gemetar itu terangkat, mengusap wajah Ed. Mengingatkan padanya yang kerap menenangkan Ed yang sedang menangis dengan cara itu.“Maaf, aku tak segera mengenalimu. Harusnya aku ....”
“Jadi, yang saat ini Leti lakukan adalah mengincar istrimu.”“Kate? Kenapa?”“Aku tak tahu, tapi, yang jelas, dia sedang menggali banyak informasi.”Hening sejenak, pikiran pria setinggi 188 cm itu menerka-nerka, apa yang akan Leti lakukan setelah ini. Jika itu terkait dengan Kate, ia harus menemukan cara untuk mencegah hal buruk terjadi.“Hanya itu?”“Sementara hanya itu yang kutahu. Lebih baik kau waspada pada kemungkinan celah-celah dari pekerjaanmu juga. Celah sedikit pun, itu jadi bahan untuk Leti menyerangmu.”“Aku mengerti, terima kasih untuk informasinya.”“Tak masalah, jadi, kapan aku bisa melihat putriku diajari oleh Kate.”“Akan kubicarakan dulu dengannya. Aku akan mengabarimu lebih lanjut.”“Bagus, kutunggu, sebaiknya kau cepat.”Carl beranjak dari duduknya, Brianna pun mengikuti. Dua kakak beradik itu berjalan santai menuju taman.“Melukis, bukankah itu kebiasaan ibumu? Mirip sekali istrimu dengannya?”“Ya, kali ini harus kuakui, kau benar.”“Kulihat, Kate w
Ed mengamati bergantian, antara kakaknya dan Carl. Sejak tadi, kakak iparnya itu memperhatikan gerak gerik Kate.“Makan yang banyak, Kate.”Suara bariton itu membuat Kate langsung mencibir. Seraya menatap suaminya dengan tatapan tajam, ia menggelengkan kepala dengan suara sok perhatian dari Carl.“Kak, apa kau lelah? Sepertinya Kakak perlu istirahat.”“Ya, aku hanya lelah dan kurang tidur akhir-akhir ini,” sahut Kate singkat seraya tersenyum ke arah Ed.“Biar kusuruh staf untuk membuatkanmu jus setelah ini,” Carl kembali bergabung dalam pembicaraan.“Ed, di sini ada yang pura-pura tak tahu penyebab aku kelelahan. Biarkan saja.”Sindiran Kate langsung membuat adiknya paham. Ia melirik ke arah kakak iparnya yang bersikap santai saja sejak tadi.“Aku sudah selesai makan. Ed, habiskan makananmu dan istirahatlah.” Wanita yang mengurai rambut panjangnya itu bergegas kembali ke kamarnya. Ia hanya ingin merebahkan diri di ranjang. Beberapa hari terakhir ini, ia mudah lelah
Lex berjalan cepat melewati koridor sepi itu. Sejak pagi, ia bahkan belum sempat duduk santai dan meminum kopinya. Begitu memasuki ruangan bosnya, ia melihat Carl sedang bergelut dengan tumpukan berkas di depannya.“Situasinya tak kunjung mereda, Tuan.”Pria yang menyingsingkan lengan kemejanya itu mendongak saat mendengar instruksi dari sekretarisnya.“Respons mereka tak mereda?”“Ya, dan bolanya semakin membesar. Opini publik yang kita biarkan 3 hari terakhir semakin memburuk dan merugikan kita, Tuan.”“Kukira mereka akan mereda dengan cepat tapi, ya, Leti bekerja keras untuk ini.”“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”Saat Carl hendak menjawab, terdengar ketukan pintu. Dengan sigap, Lex segera membukanya. Matanya membelalak saat mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu. Itu adalah Kate.“Selamat sore, Lex. Kami datang untuk bicara dengan Carl.”“Ya, Nyonya, silakan.”Begitu Kate memasuki ruangan, disusul Elena di belakangnya, Carl segera berdiri. Matanya melebar
Wanita yang menguncir rambutnya dengan rapi itu menengok ke belakang untuk kesekian kalinya. Ia lalu kembali sibuk menulis catatan terkait manajemen kafe yang akan didirikannya. Sudah hampir 1 jam sejak selesai sarapan, Kate menyusun rancangan penting terkait kafe. Sejak itu pula, Carl duduk di sofa kamar dan membaca.“Hari ini tidak ada acara main golf atau latihan boxing?” tanya Kate yang mulai menutup bukunya.“Tidak ada.”“Tidak ke kantor sejam dua jam?”“Tidak.”Kate mengerutkan kening. Ia tahu betul kebiasaan suaminya itu di Hari Minggu. Jika tidak pergi golf menemui orang-orang penting, berlatih boxing atau mampir ke kantor maksimal dua jam sebelum kembali ke mansion usai siang.“Carl, aku akan ada di studio jika kau mencariku.”Kate beranjak dari duduknya, meraih ponsel, lalu berjalan menuju ke tempat Carl duduk. Pria itu segera menutup bukunya dan meraih tangan Kate.“Aku ikut denganmu. Sebelum kita pergi ke studio melukismu, aku ingin menunjukkan suatu tempat ya
Sepasang mata beriris warna cokelat terang itu perlahan terbuka. Jari-jari yang sedikit kasar itu membelai wajahnya dengan lembut.“Carl, kau sudah lama bangun?”Pria yang bersandar di kepala ranjang seraya mengusap wajahnya itu tersenyum singkat.“Belum terlalu lama.” Kate mengubah posisinya. Saat hendak bangkit, ia menyadari kancing bajunya di bagian dada telah terbuka. Gerakannya berhenti saat menyadari apa yang terjadi usai melihat jejak ciuman yang menunjukkan tanda di dadanya. Dengan cepat, ia mengancingkan gaunnya.“Astaga, apa yang kau lakukan saat aku tidur?”“Kau pasti tahu, kan?” Dengan senyum seringaian, Carl membalas tatapan protes dari istrinya. Wanita itu menghela napas dengan kasar. Kepalanya bersandar dengan santai saat mengamati Kate. Entah apa lagi yang dilakukan Carl saat ia tidur. Bagaimana mungkin ia tak menyadarinya? Mungkin, karena terlalu lelap tertidur. Lengah sebentar saja, suaminya itu langsung menyambar kesempatan. Setel