Lex berjalan cepat melewati koridor sepi itu. Sejak pagi, ia bahkan belum sempat duduk santai dan meminum kopinya. Begitu memasuki ruangan bosnya, ia melihat Carl sedang bergelut dengan tumpukan berkas di depannya.“Situasinya tak kunjung mereda, Tuan.”Pria yang menyingsingkan lengan kemejanya itu mendongak saat mendengar instruksi dari sekretarisnya.“Respons mereka tak mereda?”“Ya, dan bolanya semakin membesar. Opini publik yang kita biarkan 3 hari terakhir semakin memburuk dan merugikan kita, Tuan.”“Kukira mereka akan mereda dengan cepat tapi, ya, Leti bekerja keras untuk ini.”“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”Saat Carl hendak menjawab, terdengar ketukan pintu. Dengan sigap, Lex segera membukanya. Matanya membelalak saat mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu. Itu adalah Kate.“Selamat sore, Lex. Kami datang untuk bicara dengan Carl.”“Ya, Nyonya, silakan.”Begitu Kate memasuki ruangan, disusul Elena di belakangnya, Carl segera berdiri. Matanya melebar
Wanita yang menguncir rambutnya dengan rapi itu menengok ke belakang untuk kesekian kalinya. Ia lalu kembali sibuk menulis catatan terkait manajemen kafe yang akan didirikannya. Sudah hampir 1 jam sejak selesai sarapan, Kate menyusun rancangan penting terkait kafe. Sejak itu pula, Carl duduk di sofa kamar dan membaca.“Hari ini tidak ada acara main golf atau latihan boxing?” tanya Kate yang mulai menutup bukunya.“Tidak ada.”“Tidak ke kantor sejam dua jam?”“Tidak.”Kate mengerutkan kening. Ia tahu betul kebiasaan suaminya itu di Hari Minggu. Jika tidak pergi golf menemui orang-orang penting, berlatih boxing atau mampir ke kantor maksimal dua jam sebelum kembali ke mansion usai siang.“Carl, aku akan ada di studio jika kau mencariku.”Kate beranjak dari duduknya, meraih ponsel, lalu berjalan menuju ke tempat Carl duduk. Pria itu segera menutup bukunya dan meraih tangan Kate.“Aku ikut denganmu. Sebelum kita pergi ke studio melukismu, aku ingin menunjukkan suatu tempat ya
Sepasang mata beriris warna cokelat terang itu perlahan terbuka. Jari-jari yang sedikit kasar itu membelai wajahnya dengan lembut.“Carl, kau sudah lama bangun?”Pria yang bersandar di kepala ranjang seraya mengusap wajahnya itu tersenyum singkat.“Belum terlalu lama.” Kate mengubah posisinya. Saat hendak bangkit, ia menyadari kancing bajunya di bagian dada telah terbuka. Gerakannya berhenti saat menyadari apa yang terjadi usai melihat jejak ciuman yang menunjukkan tanda di dadanya. Dengan cepat, ia mengancingkan gaunnya.“Astaga, apa yang kau lakukan saat aku tidur?”“Kau pasti tahu, kan?” Dengan senyum seringaian, Carl membalas tatapan protes dari istrinya. Wanita itu menghela napas dengan kasar. Kepalanya bersandar dengan santai saat mengamati Kate. Entah apa lagi yang dilakukan Carl saat ia tidur. Bagaimana mungkin ia tak menyadarinya? Mungkin, karena terlalu lelap tertidur. Lengah sebentar saja, suaminya itu langsung menyambar kesempatan. Setel
“Baiklah, sekarang kita akan masuk ke sesi kedua dalam wawancara ini yang akan membahas kehidupan personal Anda berdua sebagai pasangan. Kami mendengar rumor tentang awal mulai hubungan Anda dimulai, apa pendapat Anda mengenai hal itu?”Pertanyaan dari pihak majalah tentang kehidupan personal akhirnya dimulai.“Saya bertemu dengan istri saya jauh sebelum saya menjadi CEO, waktu itu saya memulai kehidupan sebagai ‘orang umumnya’ dengan bekerja sebagai bodyguard. Uniknya, saat itulah saya bertugas menjaganya.”“Benarkah? Lalu, bagaimana perkembangan hubungan Anda berdua selanjutnya.”Carl Spentwood menatap intens istrinya seraya tersenyum. Tangannya menggenggam jari lentik Kate dengan kuat.“Saya jatuh cinta sejak di awal setelah beberapa saat mengenalnya. Tapi, tentu saja, saya tak berani menyatakan perasaan begitu saja mengingat keprofesionalan tugas. Tapi, mengingat situasi yang semakin berbahaya, saya memutuskan menyatakan perasaan padanya. Awalnya sangat sulit karena dia meno
Wanita bergaun paduan krem dan biru navy itu kembali mengecek tasnya. Pria yang ia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya, ia memutuskan turun sendiri. Begitu pintu kamarnya ia buka, tepat saat itu, sang adik berdiri di depannya. Wajah tersenyum itu meringankan hatinya.“Ed,” sapa Kate pada adiknya yang juga tampak telah siap.“Aku akan mengantarmu turun, Kak. Ayo.”Ed menawarkan lengannya yang disambit Kate dengan senyum hangat.“Ke mana kakak iparmu?”“Apa kau menunggunya menjemputmu di kamar, Kak?”“Kukira dia akan menjemputku, tapi, sepertinya dia sangat sibuk. Di ruangan kerja, kan?”“Ya, masih berkoordinasi dengan Lex.” Begitu sampai, Ed mendorong pintu besar itu sampai terbuka. Kate bisa melihat di ruangan itu ada Lex dan dua body guard lain yang sedang berdiskusi serius dengan Carl.“Oh, maaf, sepertinya aku mengganggu.”“Duduklah, Kate, kami hampir selesai.” Setelah dua menit berikutnya, Carl membubarkan mereka. Dua orang lainnya keluar ruangan lebih d
Pria yang memakai kemeja warna putih dan jas model slim fit itu mengetuk-ngetukkan jari di meja kerjanya. Sejenak kemudian, ia berdiri, melepaskan jas yang seharian ini ia pakai. Setelah menyingsingkan lengan kemejanya, diraihnya botol wiski yang ada di lemari khusus. Dengan cepat, menghabiskan satu gelas wiski. Carl yang masih membawa gelas wiski itu menatap ke luar jendela. Langit yang sudah menggelap tak membiarkannya menikmati pemandangan taman dengan baik. Sama halnya dengan pikirannya saat ini. Gagalnya ekspor ke Jerman dan Italia , membuat pikirannya cukup gelap.“Jadi, ini rencana Leti,” gumamnya. Sementara itu, Lex, yang sejak tadi berdiri dan mengamati bosnya juga larut dalam pikirannya. Ini masalah besar. Guncangan Leti kali ini semakin menguat.“Kukira Leti hanya bisa menyerangku melalui direksi dan pers. Sejak itu semua bisa kuatasi, dia mulai menyerang dari luar.” Lex mengernyitkan kening saat melihat senyum seringai dari Carl yang menoleh ke ar
Carl mengernyitkan kening sekilas saat melihat senyum sekretaris yang memberitahunya ada seseorang yang menunggu. Lex bertanya ke staf wanita tersebut saat Carl membuka pintu ruangannya. Usai menutup pintu, Carl berjalan ke arah ruang tamu, langkahnya terhenti seketika.“Kate.” Wanita yang menggunakan gaun sederhana berwarna cokelat dipadu dengan blazer warna senada itu menoleh ke sumber suara.“Hai, Carl. Maaf, aku tak memberitahumu akan mampir sebentar.”Kate hendak bangkit dari duduknya saat Carl dengan tangannya memberi isyarat untuk menetap.“Duduklah.” Dengan senyum lebar, Carl mengambil tempat duduk di samping istrinya itu. Kate membalas dengan senyum ringan.“Aku membawakan makan siang untukmu. Apa kau sudah makan?”“Itu ... belum,” jawab Carl seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menyadari mendapat balasan sorot mata tajam dari Kate, Carl memilih pengalihan. Ia memeluk istrinya itu dengan erat.“Terima kasih sudah membawakan makan siang un
Wanita yang mengikat rapi rambut panjangnya itu berjalan beriringan dengan Ed menuju pohon tak jauh dari studio melukisnya. Dengan senang hati, sang adik, Ed membawa keranjang berisi sandwich dan alas untuk duduk, sesuai permintaan Kate.“Apa kau sering piknik di sini dengan suamimu, Kak?”“Tidak, ini baru pertama kalinya aku piknik di sini.”Binar mata Ed semakin terlihat. Ini artinya pikniknya spesial, karena sang kakak bahkan belum pernah mengadakan piknik dengan suaminya sekali pun di sini.“Ed, kau boleh memanggilku Kate saja, tanpa tambahan Kak (Sister yang dimaksud). Panggilan itu kan saat kita masih kecil.”Pria yang terpaut 2 tahun lebih muda itu mengangguk mengerti. Apa pun yang diminta kakaknya ia akan melakukannya. Mengingat tahun-tahun yang berlalu tanpa pernah bisa saling bertemu.“Kapan terakhir kau piknik?” tanya Carl seraya menggigit sandwichnya.“Dengan Elena, saat dia baru bercerai dengan Drake.”“Elena sahabatmu itu? Dia pernah bercerai dengan suaminya