Ed mengamati bergantian, antara kakaknya dan Carl. Sejak tadi, kakak iparnya itu memperhatikan gerak gerik Kate.“Makan yang banyak, Kate.”Suara bariton itu membuat Kate langsung mencibir. Seraya menatap suaminya dengan tatapan tajam, ia menggelengkan kepala dengan suara sok perhatian dari Carl.“Kak, apa kau lelah? Sepertinya Kakak perlu istirahat.”“Ya, aku hanya lelah dan kurang tidur akhir-akhir ini,” sahut Kate singkat seraya tersenyum ke arah Ed.“Biar kusuruh staf untuk membuatkanmu jus setelah ini,” Carl kembali bergabung dalam pembicaraan.“Ed, di sini ada yang pura-pura tak tahu penyebab aku kelelahan. Biarkan saja.”Sindiran Kate langsung membuat adiknya paham. Ia melirik ke arah kakak iparnya yang bersikap santai saja sejak tadi.“Aku sudah selesai makan. Ed, habiskan makananmu dan istirahatlah.” Wanita yang mengurai rambut panjangnya itu bergegas kembali ke kamarnya. Ia hanya ingin merebahkan diri di ranjang. Beberapa hari terakhir ini, ia mudah lelah
Lex berjalan cepat melewati koridor sepi itu. Sejak pagi, ia bahkan belum sempat duduk santai dan meminum kopinya. Begitu memasuki ruangan bosnya, ia melihat Carl sedang bergelut dengan tumpukan berkas di depannya.“Situasinya tak kunjung mereda, Tuan.”Pria yang menyingsingkan lengan kemejanya itu mendongak saat mendengar instruksi dari sekretarisnya.“Respons mereka tak mereda?”“Ya, dan bolanya semakin membesar. Opini publik yang kita biarkan 3 hari terakhir semakin memburuk dan merugikan kita, Tuan.”“Kukira mereka akan mereda dengan cepat tapi, ya, Leti bekerja keras untuk ini.”“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”Saat Carl hendak menjawab, terdengar ketukan pintu. Dengan sigap, Lex segera membukanya. Matanya membelalak saat mengetahui siapa yang berdiri di depan pintu. Itu adalah Kate.“Selamat sore, Lex. Kami datang untuk bicara dengan Carl.”“Ya, Nyonya, silakan.”Begitu Kate memasuki ruangan, disusul Elena di belakangnya, Carl segera berdiri. Matanya melebar
Wanita yang menguncir rambutnya dengan rapi itu menengok ke belakang untuk kesekian kalinya. Ia lalu kembali sibuk menulis catatan terkait manajemen kafe yang akan didirikannya. Sudah hampir 1 jam sejak selesai sarapan, Kate menyusun rancangan penting terkait kafe. Sejak itu pula, Carl duduk di sofa kamar dan membaca.“Hari ini tidak ada acara main golf atau latihan boxing?” tanya Kate yang mulai menutup bukunya.“Tidak ada.”“Tidak ke kantor sejam dua jam?”“Tidak.”Kate mengerutkan kening. Ia tahu betul kebiasaan suaminya itu di Hari Minggu. Jika tidak pergi golf menemui orang-orang penting, berlatih boxing atau mampir ke kantor maksimal dua jam sebelum kembali ke mansion usai siang.“Carl, aku akan ada di studio jika kau mencariku.”Kate beranjak dari duduknya, meraih ponsel, lalu berjalan menuju ke tempat Carl duduk. Pria itu segera menutup bukunya dan meraih tangan Kate.“Aku ikut denganmu. Sebelum kita pergi ke studio melukismu, aku ingin menunjukkan suatu tempat ya
Sepasang mata beriris warna cokelat terang itu perlahan terbuka. Jari-jari yang sedikit kasar itu membelai wajahnya dengan lembut.“Carl, kau sudah lama bangun?”Pria yang bersandar di kepala ranjang seraya mengusap wajahnya itu tersenyum singkat.“Belum terlalu lama.” Kate mengubah posisinya. Saat hendak bangkit, ia menyadari kancing bajunya di bagian dada telah terbuka. Gerakannya berhenti saat menyadari apa yang terjadi usai melihat jejak ciuman yang menunjukkan tanda di dadanya. Dengan cepat, ia mengancingkan gaunnya.“Astaga, apa yang kau lakukan saat aku tidur?”“Kau pasti tahu, kan?” Dengan senyum seringaian, Carl membalas tatapan protes dari istrinya. Wanita itu menghela napas dengan kasar. Kepalanya bersandar dengan santai saat mengamati Kate. Entah apa lagi yang dilakukan Carl saat ia tidur. Bagaimana mungkin ia tak menyadarinya? Mungkin, karena terlalu lelap tertidur. Lengah sebentar saja, suaminya itu langsung menyambar kesempatan. Setel
“Baiklah, sekarang kita akan masuk ke sesi kedua dalam wawancara ini yang akan membahas kehidupan personal Anda berdua sebagai pasangan. Kami mendengar rumor tentang awal mulai hubungan Anda dimulai, apa pendapat Anda mengenai hal itu?”Pertanyaan dari pihak majalah tentang kehidupan personal akhirnya dimulai.“Saya bertemu dengan istri saya jauh sebelum saya menjadi CEO, waktu itu saya memulai kehidupan sebagai ‘orang umumnya’ dengan bekerja sebagai bodyguard. Uniknya, saat itulah saya bertugas menjaganya.”“Benarkah? Lalu, bagaimana perkembangan hubungan Anda berdua selanjutnya.”Carl Spentwood menatap intens istrinya seraya tersenyum. Tangannya menggenggam jari lentik Kate dengan kuat.“Saya jatuh cinta sejak di awal setelah beberapa saat mengenalnya. Tapi, tentu saja, saya tak berani menyatakan perasaan begitu saja mengingat keprofesionalan tugas. Tapi, mengingat situasi yang semakin berbahaya, saya memutuskan menyatakan perasaan padanya. Awalnya sangat sulit karena dia meno
Wanita bergaun paduan krem dan biru navy itu kembali mengecek tasnya. Pria yang ia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya, ia memutuskan turun sendiri. Begitu pintu kamarnya ia buka, tepat saat itu, sang adik berdiri di depannya. Wajah tersenyum itu meringankan hatinya.“Ed,” sapa Kate pada adiknya yang juga tampak telah siap.“Aku akan mengantarmu turun, Kak. Ayo.”Ed menawarkan lengannya yang disambit Kate dengan senyum hangat.“Ke mana kakak iparmu?”“Apa kau menunggunya menjemputmu di kamar, Kak?”“Kukira dia akan menjemputku, tapi, sepertinya dia sangat sibuk. Di ruangan kerja, kan?”“Ya, masih berkoordinasi dengan Lex.” Begitu sampai, Ed mendorong pintu besar itu sampai terbuka. Kate bisa melihat di ruangan itu ada Lex dan dua body guard lain yang sedang berdiskusi serius dengan Carl.“Oh, maaf, sepertinya aku mengganggu.”“Duduklah, Kate, kami hampir selesai.” Setelah dua menit berikutnya, Carl membubarkan mereka. Dua orang lainnya keluar ruangan lebih d
Pria yang memakai kemeja warna putih dan jas model slim fit itu mengetuk-ngetukkan jari di meja kerjanya. Sejenak kemudian, ia berdiri, melepaskan jas yang seharian ini ia pakai. Setelah menyingsingkan lengan kemejanya, diraihnya botol wiski yang ada di lemari khusus. Dengan cepat, menghabiskan satu gelas wiski. Carl yang masih membawa gelas wiski itu menatap ke luar jendela. Langit yang sudah menggelap tak membiarkannya menikmati pemandangan taman dengan baik. Sama halnya dengan pikirannya saat ini. Gagalnya ekspor ke Jerman dan Italia , membuat pikirannya cukup gelap.“Jadi, ini rencana Leti,” gumamnya. Sementara itu, Lex, yang sejak tadi berdiri dan mengamati bosnya juga larut dalam pikirannya. Ini masalah besar. Guncangan Leti kali ini semakin menguat.“Kukira Leti hanya bisa menyerangku melalui direksi dan pers. Sejak itu semua bisa kuatasi, dia mulai menyerang dari luar.” Lex mengernyitkan kening saat melihat senyum seringai dari Carl yang menoleh ke ar
Carl mengernyitkan kening sekilas saat melihat senyum sekretaris yang memberitahunya ada seseorang yang menunggu. Lex bertanya ke staf wanita tersebut saat Carl membuka pintu ruangannya. Usai menutup pintu, Carl berjalan ke arah ruang tamu, langkahnya terhenti seketika.“Kate.” Wanita yang menggunakan gaun sederhana berwarna cokelat dipadu dengan blazer warna senada itu menoleh ke sumber suara.“Hai, Carl. Maaf, aku tak memberitahumu akan mampir sebentar.”Kate hendak bangkit dari duduknya saat Carl dengan tangannya memberi isyarat untuk menetap.“Duduklah.” Dengan senyum lebar, Carl mengambil tempat duduk di samping istrinya itu. Kate membalas dengan senyum ringan.“Aku membawakan makan siang untukmu. Apa kau sudah makan?”“Itu ... belum,” jawab Carl seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menyadari mendapat balasan sorot mata tajam dari Kate, Carl memilih pengalihan. Ia memeluk istrinya itu dengan erat.“Terima kasih sudah membawakan makan siang un
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang