Wanita bergaun paduan krem dan biru navy itu kembali mengecek tasnya. Pria yang ia tunggu tak kunjung datang. Akhirnya, ia memutuskan turun sendiri. Begitu pintu kamarnya ia buka, tepat saat itu, sang adik berdiri di depannya. Wajah tersenyum itu meringankan hatinya.“Ed,” sapa Kate pada adiknya yang juga tampak telah siap.“Aku akan mengantarmu turun, Kak. Ayo.”Ed menawarkan lengannya yang disambit Kate dengan senyum hangat.“Ke mana kakak iparmu?”“Apa kau menunggunya menjemputmu di kamar, Kak?”“Kukira dia akan menjemputku, tapi, sepertinya dia sangat sibuk. Di ruangan kerja, kan?”“Ya, masih berkoordinasi dengan Lex.” Begitu sampai, Ed mendorong pintu besar itu sampai terbuka. Kate bisa melihat di ruangan itu ada Lex dan dua body guard lain yang sedang berdiskusi serius dengan Carl.“Oh, maaf, sepertinya aku mengganggu.”“Duduklah, Kate, kami hampir selesai.” Setelah dua menit berikutnya, Carl membubarkan mereka. Dua orang lainnya keluar ruangan lebih d
Pria yang memakai kemeja warna putih dan jas model slim fit itu mengetuk-ngetukkan jari di meja kerjanya. Sejenak kemudian, ia berdiri, melepaskan jas yang seharian ini ia pakai. Setelah menyingsingkan lengan kemejanya, diraihnya botol wiski yang ada di lemari khusus. Dengan cepat, menghabiskan satu gelas wiski. Carl yang masih membawa gelas wiski itu menatap ke luar jendela. Langit yang sudah menggelap tak membiarkannya menikmati pemandangan taman dengan baik. Sama halnya dengan pikirannya saat ini. Gagalnya ekspor ke Jerman dan Italia , membuat pikirannya cukup gelap.“Jadi, ini rencana Leti,” gumamnya. Sementara itu, Lex, yang sejak tadi berdiri dan mengamati bosnya juga larut dalam pikirannya. Ini masalah besar. Guncangan Leti kali ini semakin menguat.“Kukira Leti hanya bisa menyerangku melalui direksi dan pers. Sejak itu semua bisa kuatasi, dia mulai menyerang dari luar.” Lex mengernyitkan kening saat melihat senyum seringai dari Carl yang menoleh ke ar
Carl mengernyitkan kening sekilas saat melihat senyum sekretaris yang memberitahunya ada seseorang yang menunggu. Lex bertanya ke staf wanita tersebut saat Carl membuka pintu ruangannya. Usai menutup pintu, Carl berjalan ke arah ruang tamu, langkahnya terhenti seketika.“Kate.” Wanita yang menggunakan gaun sederhana berwarna cokelat dipadu dengan blazer warna senada itu menoleh ke sumber suara.“Hai, Carl. Maaf, aku tak memberitahumu akan mampir sebentar.”Kate hendak bangkit dari duduknya saat Carl dengan tangannya memberi isyarat untuk menetap.“Duduklah.” Dengan senyum lebar, Carl mengambil tempat duduk di samping istrinya itu. Kate membalas dengan senyum ringan.“Aku membawakan makan siang untukmu. Apa kau sudah makan?”“Itu ... belum,” jawab Carl seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menyadari mendapat balasan sorot mata tajam dari Kate, Carl memilih pengalihan. Ia memeluk istrinya itu dengan erat.“Terima kasih sudah membawakan makan siang un
Wanita yang mengikat rapi rambut panjangnya itu berjalan beriringan dengan Ed menuju pohon tak jauh dari studio melukisnya. Dengan senang hati, sang adik, Ed membawa keranjang berisi sandwich dan alas untuk duduk, sesuai permintaan Kate.“Apa kau sering piknik di sini dengan suamimu, Kak?”“Tidak, ini baru pertama kalinya aku piknik di sini.”Binar mata Ed semakin terlihat. Ini artinya pikniknya spesial, karena sang kakak bahkan belum pernah mengadakan piknik dengan suaminya sekali pun di sini.“Ed, kau boleh memanggilku Kate saja, tanpa tambahan Kak (Sister yang dimaksud). Panggilan itu kan saat kita masih kecil.”Pria yang terpaut 2 tahun lebih muda itu mengangguk mengerti. Apa pun yang diminta kakaknya ia akan melakukannya. Mengingat tahun-tahun yang berlalu tanpa pernah bisa saling bertemu.“Kapan terakhir kau piknik?” tanya Carl seraya menggigit sandwichnya.“Dengan Elena, saat dia baru bercerai dengan Drake.”“Elena sahabatmu itu? Dia pernah bercerai dengan suaminya
“Carl?” Suara lembut Kate terdengar.“Ya?” Wanita dengan bulu mata lentik itu mengerutkan kening. Tangan yang sedang memakaikan dasi terhenti sejenak. Kate mengamati raut wajah pria di depannya itu dengan cermat.“Tadi aku bilang, kemarin aku sudah berbicara dengan Ed.”“Oh itu, lalu, apa Ed mau jujur?”“Syukurlah, ia mau jujur dan memberitahuku hal – hal penting. Aku ... jujur sedih saat mendengarnya. Kurasa sudah terlambat saat aku menemukan dia adikku. Waktu-waktu yang dijalaninya sangat berat.” Carl menunduk, sepasang mata cantik di depannya itu tampak sendu. Tangannya yang besar terangkat, mengusap lembut dagu tersebut seraya tersenyum.“Kate, itu semua bukan salahmu. Ed juga pasti berpikir seperti ini. Apa yang Ed katakan padamu adalah bentuk kepercayaan dan kasih sayangnya padamu. Kau sudah melalukan yang terbaik.”“Terima kasih telah menghiburku.”Kate telah selesai memakaikan dasi suaminya dengan rapi. Mengulas senyum hangat saat Carl menggandengnya menuju
“Carl!” seru Kate ketika suaminya itu mulai melucuti gaunnya. Tak memedulikan seruan Kate dan melanjutkan menjelajahi leher istrinya itu semakin ke bawah. Larut dalam suasana yang diciptakan oleh Carl, tapi, juga merasakan ada pertentangan dalam hatinya. Ia datang untuk membujuk Carl perlahan agar mau terbuka padanya. Tapi, pria itu justru langsung menguasainya. Matanya membuka, tepat saat Carl mulai melepas kancing kemejanya. Di tengah dilema perasaan yang semakin menguat. Ia mencoba bersuara.“Carl. Tunggu.” Kembali, pria itu tak mengindahkan peringatannya dan terus melakukan apa yang diinginkannya. Beberapa kali Kate mencoba memanggil nama Carl tapi, tak ada jawaban. Satu per satu air mata Kate jatuh. Di tengah isak tangis yang mulai terdengar, ia kembali memanggil.“Carl, hentikan! Berhenti sekarang!”Nada tegas Kate sukses membuat Carl mendongak. Matanya bertemu dengan mata berwarna cokelat terang yang selalu dikaguminya itu. Yang membuat semakin tertegun ad
“Apa katamu?” Elena mengulang pertanyaannya.“Nyonya Kate menghilang.”Satu tetes air mata mengalir dari mata Mary. Mata Elena membelalak seketika. Pandangannya beredar ke sekeliling.“Di sini? Kapan?”“Baru saja aku membelikan air minum tapi waktu kembali, Nyonya sudah tidak ada.”“Sudah hubungi Carl?”“Sudah, Nyonya.”“Kita cari di sekitar sini dulu. Aku akan membantu.”Elena memanggil sopirnya yang sedang berdiri di sekitar taman untuk membantu mereka mencari, demikian pula untuk sopir Kate. Sementara keempat orang itu menyisir area sekitar sebaik mungkin. Seraya mencari, karena tak ada tanda-tanda Kate, Elena menelepon Carl.“Halo, Carl, apa kau bisa melacak ponsel Kate?”“Kami sedang mencobanya. Aku meminta rekaman cctv di sekitar taman.”“Apa kita perlu lapor polisi?”“Jangan dulu. Kita cari sendiri sementara waktu.”“Aku akan membantu mencari di sini dulu kalau begitu.”“Ya, terima kasih, Elena.” Setelah menutup panggilan Elena, Carl mengordinasikan para bo
Aroma cairan kimia yang tidak begitu familer terasa di hidungnya, membuat Kate perlahan membuka mata indahnya. Meski rasa pusing masih menguasainya, Kate memaksa matanya membuka sempurna. Napasnya seolah terhenti saat mendapati ruangan gelap dan pengap terasa menghimpitnya. Pantas saja bau kimia yang Kate duga adalah dari obat bius itu tercium kuat di ruangan sempit itu. Sadar jika mulutnya dibungkam dengan tali agar tak bisa bicara, tangan, dan kakinya juga terikat membuat tubuhnya terasa pegal. Berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran, Kate mulai menyadari sepenuhnya jika ia telah diculik. Pertanyaannya, siapa yang menculiknya? Leti atau Lucchee? Dengan posisinya saat ini, untuk bisa bangkit berdiri, ia cukup kesulitan, karena perutnya yang memasuki kehamilan 5 bulan hampir berlalu. Kate berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang dan salah seorang pria itu men