Carl mengernyitkan kening sekilas saat melihat senyum sekretaris yang memberitahunya ada seseorang yang menunggu. Lex bertanya ke staf wanita tersebut saat Carl membuka pintu ruangannya. Usai menutup pintu, Carl berjalan ke arah ruang tamu, langkahnya terhenti seketika.“Kate.” Wanita yang menggunakan gaun sederhana berwarna cokelat dipadu dengan blazer warna senada itu menoleh ke sumber suara.“Hai, Carl. Maaf, aku tak memberitahumu akan mampir sebentar.”Kate hendak bangkit dari duduknya saat Carl dengan tangannya memberi isyarat untuk menetap.“Duduklah.” Dengan senyum lebar, Carl mengambil tempat duduk di samping istrinya itu. Kate membalas dengan senyum ringan.“Aku membawakan makan siang untukmu. Apa kau sudah makan?”“Itu ... belum,” jawab Carl seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Menyadari mendapat balasan sorot mata tajam dari Kate, Carl memilih pengalihan. Ia memeluk istrinya itu dengan erat.“Terima kasih sudah membawakan makan siang un
Wanita yang mengikat rapi rambut panjangnya itu berjalan beriringan dengan Ed menuju pohon tak jauh dari studio melukisnya. Dengan senang hati, sang adik, Ed membawa keranjang berisi sandwich dan alas untuk duduk, sesuai permintaan Kate.“Apa kau sering piknik di sini dengan suamimu, Kak?”“Tidak, ini baru pertama kalinya aku piknik di sini.”Binar mata Ed semakin terlihat. Ini artinya pikniknya spesial, karena sang kakak bahkan belum pernah mengadakan piknik dengan suaminya sekali pun di sini.“Ed, kau boleh memanggilku Kate saja, tanpa tambahan Kak (Sister yang dimaksud). Panggilan itu kan saat kita masih kecil.”Pria yang terpaut 2 tahun lebih muda itu mengangguk mengerti. Apa pun yang diminta kakaknya ia akan melakukannya. Mengingat tahun-tahun yang berlalu tanpa pernah bisa saling bertemu.“Kapan terakhir kau piknik?” tanya Carl seraya menggigit sandwichnya.“Dengan Elena, saat dia baru bercerai dengan Drake.”“Elena sahabatmu itu? Dia pernah bercerai dengan suaminya
“Carl?” Suara lembut Kate terdengar.“Ya?” Wanita dengan bulu mata lentik itu mengerutkan kening. Tangan yang sedang memakaikan dasi terhenti sejenak. Kate mengamati raut wajah pria di depannya itu dengan cermat.“Tadi aku bilang, kemarin aku sudah berbicara dengan Ed.”“Oh itu, lalu, apa Ed mau jujur?”“Syukurlah, ia mau jujur dan memberitahuku hal – hal penting. Aku ... jujur sedih saat mendengarnya. Kurasa sudah terlambat saat aku menemukan dia adikku. Waktu-waktu yang dijalaninya sangat berat.” Carl menunduk, sepasang mata cantik di depannya itu tampak sendu. Tangannya yang besar terangkat, mengusap lembut dagu tersebut seraya tersenyum.“Kate, itu semua bukan salahmu. Ed juga pasti berpikir seperti ini. Apa yang Ed katakan padamu adalah bentuk kepercayaan dan kasih sayangnya padamu. Kau sudah melalukan yang terbaik.”“Terima kasih telah menghiburku.”Kate telah selesai memakaikan dasi suaminya dengan rapi. Mengulas senyum hangat saat Carl menggandengnya menuju
“Carl!” seru Kate ketika suaminya itu mulai melucuti gaunnya. Tak memedulikan seruan Kate dan melanjutkan menjelajahi leher istrinya itu semakin ke bawah. Larut dalam suasana yang diciptakan oleh Carl, tapi, juga merasakan ada pertentangan dalam hatinya. Ia datang untuk membujuk Carl perlahan agar mau terbuka padanya. Tapi, pria itu justru langsung menguasainya. Matanya membuka, tepat saat Carl mulai melepas kancing kemejanya. Di tengah dilema perasaan yang semakin menguat. Ia mencoba bersuara.“Carl. Tunggu.” Kembali, pria itu tak mengindahkan peringatannya dan terus melakukan apa yang diinginkannya. Beberapa kali Kate mencoba memanggil nama Carl tapi, tak ada jawaban. Satu per satu air mata Kate jatuh. Di tengah isak tangis yang mulai terdengar, ia kembali memanggil.“Carl, hentikan! Berhenti sekarang!”Nada tegas Kate sukses membuat Carl mendongak. Matanya bertemu dengan mata berwarna cokelat terang yang selalu dikaguminya itu. Yang membuat semakin tertegun ad
“Apa katamu?” Elena mengulang pertanyaannya.“Nyonya Kate menghilang.”Satu tetes air mata mengalir dari mata Mary. Mata Elena membelalak seketika. Pandangannya beredar ke sekeliling.“Di sini? Kapan?”“Baru saja aku membelikan air minum tapi waktu kembali, Nyonya sudah tidak ada.”“Sudah hubungi Carl?”“Sudah, Nyonya.”“Kita cari di sekitar sini dulu. Aku akan membantu.”Elena memanggil sopirnya yang sedang berdiri di sekitar taman untuk membantu mereka mencari, demikian pula untuk sopir Kate. Sementara keempat orang itu menyisir area sekitar sebaik mungkin. Seraya mencari, karena tak ada tanda-tanda Kate, Elena menelepon Carl.“Halo, Carl, apa kau bisa melacak ponsel Kate?”“Kami sedang mencobanya. Aku meminta rekaman cctv di sekitar taman.”“Apa kita perlu lapor polisi?”“Jangan dulu. Kita cari sendiri sementara waktu.”“Aku akan membantu mencari di sini dulu kalau begitu.”“Ya, terima kasih, Elena.” Setelah menutup panggilan Elena, Carl mengordinasikan para bo
Aroma cairan kimia yang tidak begitu familer terasa di hidungnya, membuat Kate perlahan membuka mata indahnya. Meski rasa pusing masih menguasainya, Kate memaksa matanya membuka sempurna. Napasnya seolah terhenti saat mendapati ruangan gelap dan pengap terasa menghimpitnya. Pantas saja bau kimia yang Kate duga adalah dari obat bius itu tercium kuat di ruangan sempit itu. Sadar jika mulutnya dibungkam dengan tali agar tak bisa bicara, tangan, dan kakinya juga terikat membuat tubuhnya terasa pegal. Berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia kehilangan kesadaran, Kate mulai menyadari sepenuhnya jika ia telah diculik. Pertanyaannya, siapa yang menculiknya? Leti atau Lucchee? Dengan posisinya saat ini, untuk bisa bangkit berdiri, ia cukup kesulitan, karena perutnya yang memasuki kehamilan 5 bulan hampir berlalu. Kate berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak cepat. Tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang dan salah seorang pria itu men
Pria tinggi besar itu keluar dari kantor polisi. Langkahnya melambat saat tiba di sebuah bangku panjang. Tatapannya menerawang ke langit malam hari itu yang kelam dan mendung. Seorang pria berambut cokelat menghampirinya.“Bagaimana laporannya?” tanya Edmund.“Lancar. Aku masih tak bisa percaya, mereka membuang ponsel Kate.”“Mungkin karena sudah menduga kita akan melacak ponselnya.”Ed mendengus dengan kesal. Ia bersandar pada bangku kursi dengan napas berat.“Tadi sore dia datang ke kantor. Kami bertengkar hebat. Seharusnya tadi aku memaksanya tinggal atau mengejarnya saat di lift.”Carl mengacak-acak rambutnya sesaat. Tatapannya sekelam langit. “Apa kau menyesal?”“Lebih dari itu, seharusnya aku membalas perasaannya.”“Dia bukan wanita yang begitu ekspresif, tapi, yang kutahu tentang kakakku itu, jika dia sudah menentukan sesuatu, dia akan mengejar dan mempertahankannya jika sudah berhasil. Kate selalu gigih dalam hal apa pun.”“Untuk kali pertama, setelah sekian l
Dalam gerakan lambat, Kate seperti melihat pria yang baru saja muncul itu melesat ke arahnya lalu menarik dua orang penculik itu. Samar-samar, ia mendengar suara tak karuan seperti orang bertengkar cukup lama.“Bawa mereka ke markasmu! Aku sendiri yang akan menghabisi orang-orang ini!”Suara yang terdengar familier. Seseorang mendekat, berbicara padanya.“Kate, Kate, bangunlah. Ini aku, Ed.”Ia di bantu duduk oleh orang yang mengaku sebagai adiknya. Tak lama kemudian seseorang muncul dan memegangi tubuhnya.“Kate, bangun, tolong bangunlah. Ini aku, Carl.” Pandangannya sedikit jelas, ia bisa melihat wajah suaminya itu tengah berbicara padanya, dengan sisa tenaga, Kate mengangkat tangannya ke arah tangan Carl.“Tolong aku, bayinya, bayinya ....” Pandangannya menggelap, ia tak bisa melihat apa-apa lagi. Suara-suara yang memanggil namanya juga semakin lirih. Hingga terasa sunyi seketika. Keheningan yang membawanya tidur cukup lama.*** Ed menghela napas bera