Wanita berambut pirang itu mengusap kepala putrinya dengan lembut. Gadis cilik berumur 5 tahun itu tertidur pulas dengan kepala terkulai di pangkuan ibunya. Brianna, tersenyum saat menatap putri semata wayangnya. Ia lalu teringat pesan adik tirinya, Carl. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Setelah mengetik beberapa saat, Brianna mengulas senyum lebar, lalu meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.“Coba kita lihat, akan seperti apa reaksinya? Andai aku bisa melihatnya langsung,” gumam wanita itu dengan nada penasaran.*** Tangan wanita berambut pendek itu gemetar, menggenggam ponselnya dengan kuat usai melihat pesan yang dikirim adiknya. Letisha meletakkan kembali ponselnya ke meja kerja. Tatapannya terarah ke luar jendela ruang kerja, pemandangan kota dan langit yang begitu biru membuatnya semakin sesak.“Si anak brengsek itu beraninya menikah hanya untuk mengukuhkan posisinya. Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkanmu memiliki semua.”Sat
Wanita itu menatap ke arah bangunan utama mansion dengan sendu, pandangannya mengabur karena hujan yang deras. Setelah menghela napas dengan berat, Kate membalikkan badannya lalu masuk kembali ke bangunan yang kini ia klaim sebagai studio melukisnya. Carl mengikuti Kate memasuki bangunan lalu menutup pintunya untuk menghalau angin malam yang semakin kencang.“Aku tidak percaya harus menunggu hujan reda denganmu di sini.”Suara Kate terdengar jengah, wanita itu telah duduk di sofa, dekat perapian dengan tangan saling tertaut. Bukannya menanggapi kalimat Kate barusan, pria dengan iris mata segelap malam itu mengambil selimut dari ruangan lain, lalu keluar.“Pakailah, kau pasti kedinginan.” Carl menyelimuti tubuh istrinya dengan selimut yang cukup tebal itu. Ada pandangan penasaran dari Kate.“Kenapa kau bisa tahu letak selimutnya?”“Dulu, aku sering kemari. Karena kau bersikeras menggunakan tempat ini sebagai studiomu, tentu saja aku harus merenovasi dan memperbaiki beb
Wanita berambut panjang itu tak segera menjawab. Ia tahu ini malam pertama mereka setelah menikah, tapi, pernikahan mereka hanya karena saling membutuhkan. Lagi pula mereka berdua tahu jika usia kandungannya belum menginjak tiga bulan.“Carl, aku tidak ....”“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kate, aku hanya ingin tidur saja. Tak perlu risau.”“Bukankah lebih nyaman kalau kau tidur sendiri?”“Siapa bilang?”Menghela napas panjang, otak Kate berputar seraya mempertimbangkan. Sebenarnya wajar jika suaminya itu meminta menemaninya tidur. Bukan suatu hal yang berlebihan. Lagi pula Carl juga mulai mau membuka diri lebih jujur padanya. Kalau sekarang ia menolak, pria itu bisa jadi semakin menjauh. Entah kenapa membayangkan Carl menjauhinya membuatnya tak nyaman.“Baiklah.”Senyum lebar seketika terlukis di wajah Carl. Meski hanya sekian detik sebelum pria itu kembali berwajah datar.“Aku akan ganti baju, tapi, kau masih di sini dan membuatku canggung, Carl.”“Baiklah, aku kembali ke
Tangan Carl masih mencengkeram pergelangan tangan Kate saat menunggu jawaban wanita itu. Wajah lelah itu meminta tanpa kata. Kate tahu, seharusnya ia segera menolak dan kembali ke kamarnya. Tapi, entah mengapa rasanya itu berat dilakukan. Apa itu yang dinamakan keinginan bayi dalam kandungannya?“Bergeserlah.”Hanya dengan satu kata itu membuat Carl segera menggeser posisinya, membiarkan Kate masuk ke dalam selimut bersamanya. Dengan cepat, pria itu memeluk tubuh istrinya.“Berapa minggu kita tidak bertemu?”“Bukan minggu, tapi, beberapa hari. Lagi pula kita bertemu sesekali saat sarapan.”“Benarkah? Sepertinya sudah lama.”Pria itu menggeser lagi tubuhnya ke arah Kate. Seolah perlu lebih dekat lagi, meski wanita itu memunggunginya.“Apa yang kau lakukan beberapa hari ini, Carl? Bagaimana dengan pertemuan para direksi?”“Tiga hari terakhir aku fokus mencoba merebut pengaruh Leti dari para direksi yang mendukungnya selama ini.”“Kau pasti kesulitan. Bagaimana caramu membu
“Tidak ada pembatalan kerja sama dengan pihak Cartwright. Ini hanya kesalahpahaman antara saya dan kakak saya. Saya adalah penggagas ide dan kerja sama ini, jadi, saya akan bertanggung jawab penuh. Izinkan saya memeriksa situasi dan mengendalikannya. Kita bahas kembali di rapat besok lusa.” Carl menenangkan para direksi yang terdengar riuh karena terkejut dengan pengakuan dari Leti tentang batalnya kerja sama lini fashion mereka dengan pihak Cartwright. Sementara Carl mengamati kakaknya meraih microphone di dekatnya.“Tidak ada manfaat lebih yang bisa kita dapatkan dengan ide ini. Apa lagi menggandeng Cartwright bukan hal yang tepat. Ini ide usang.”“Bukankah kita butuh data riset dan pengembangannya? Dari mana Anda bisa menyatakan ide ini usang dan tak menjanjikan?” tanya Carl sebagai serangan balik.“Dilihat lambannya perkembangan kerja sama dan tak ada realisasi lebih cepat bagaimana proyek ini berjalan, kami patut mempertanyakan ulang rancangan dasarnya.”Senyum Leti yan
“Sesuai prediksi kita, respons publik usai konferensi pers kita positif. Seolah cara baru pengenalan brand proyek kita juga.”Carl menganggukkan kepalanya usai mendengar laporan dari Lex.“Itu benar, karena itu aku membalikkan keadaan dengan memanfaatkan media juga. Seperti halnya Leti yang menggunakan media untuk menyebarkan berita tak benar.”“Jadi, apa kita akan mempercepat peluncuran produk?”“Hubungi pihak Cartwright juga. Kita sendiri tak masalah jika peluncuran produk lini fashion dipercepat. Kupikir ini langkah yang tepat, karena publik masih banyak membahasa terkait proyek kerja sama kita.”“Baik, saya akan hubungi pihak Cartwright segera setelah tim produksi dan distribusi siap.”Pria jangkung itu kembali menatap tumpukan dokumen di mejanya. Jam kerja hampir berakhir, tapi, pekerjaannya masih menumpuk.“Sepertinya hari ini aku harus pulang terlambat lagi,” gumam Carl seraya meraih dokumen di tumpukan teratas.***“Nyonya, ada tamu yang mencari Anda. Aku sudah menga
Tangannya gemetaran, Kate berkali-kali mendorong tubuh Carl yang ada di atasnya sekuat tenaga. Tapi, tentu saja tenaganya terkuras sia-sia. Sementara suaminya itu dengan mudah menciumi wajah dan lehernya. Pandangan mata Kate seketika menggelap saat Carl merobek kancing bajunya. Tubuhnya seolah membeku. Tangannya terangkat untuk menutup wajahnya. Carl tak tampak peduli sama sekali dengannya dan terus mengganggunya.“Hentikan! Aaron, Hentikan semuanya!”Kate menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang gemetaran. Carl langsung menghentikan pergerakannya begitu mendengar teriakan Kate.“Menjauh dariku! Aaron, kau ingin membunuhku, kan?”Sekali lagi, kalimat kedua itu membuat jantung Carl seolah tercabut.“Kate, apa yang kau ...”Dengan perlahan, Carl menyingkirkan telapak tangan Kate dari wajahnya. Mata wanita itu terpejam sempurna. Beberapa bulir air mata mengalir dari sudut mata.“Buka matamu, Kate.”“Lepaskan aku! Dasar pria bajingan! Aaron, awas saja kau!”
Kate dengan cepat menghabiskan sarapannya. Ia salah mengira jika Carl telah berangkat ke kantor tadi. Saat mengetahui pria itu belum keluar untuk sarapan, Kate ingin segera menghabiskan makanannya lalu cepat pergi. Simon, menikmati makan paginya dengan tenang. Sesekali mengamati Kate, yang tampak tergesa-gesa makan. “Kate, kenapa kau terburu-buru. Makanlah perlahan.”“Oh, aku harus segera ke studio. Ada lukisan yang harus segera kuselesaikan.” Wanita yang menguncir rapi rambutnya itu menjawab. Ia tidak memperhatikan wajah tak percaya dari Simon sepersekian detik. Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah kaki dari arah tangga. Kate menarik napas panjang.“Selama pagi, Ayah, Kate.” Sementara Carl duduk di kursi utama, Simon, melirik ke arah Kate yang tak merespons sapaan dari putranya itu. Wanita berambut cokelat itu kini hanya fokus menatap makanan di depannya. Selama menit-menit penuh keheningan, Carl yang memulai sarapannya, kini mengamati wajah