Diam-diam, wanita berambut panjang itu bernapas lega. Hanya beberapa menit setelah menelepon, pria itu mendadak berjalan ke arahnya. Apa mungkin Carl mengikutinya sejak keluar dari rumah sakit?
“Kate.”Suara bariton Carl menyadarkan Kate dari lamunannya. Matanya mengerjap sebelum menatap pria di hadapannya itu.“Pria yang memakai topi dan baju serba hitam itu mengikutiku hingga masuk lift. Terlihat jelas, dia ingin mengikutiku sampai depan pintu apartemenku.”Refleks, Kate meremas lengan Carl cukup kuat saat melirik ke arah penguntitnya itu. Pria itu langsung menelepon seseorang.“Ada yang mengikutinya. Bersihkan area lobi. Aku akan mengirimkan ciri-cirinya.” Carl mengetik pesan pendek usai menutup panggilan untuk asistennya, sementara Kate mengerutkan kening.“Apa yang akan kau lakukan?”“Membersihkan sampah.”Tak lama kemudian, beberapa pria berperawakan pengawal masuk dan langsung membawa paksa pria penguntit itu keluar dari gedung. Semua orang menatap dan terkejut. Tak terkecuali Kate.“Kita pulang, lantai berapa apartemenmu?”Carl membawa Kate ke arah lift, seolah tak peduli dengan keributan yang terjadi.“Keributan itu ulahmu, kan?”“Tentu saja, aku perlu segera menyingkirkan orang yang mengganggu.” Kate menatap tegang ke wajah dengan ekspresi datar itu. Ekspresi yang sama dengan yang biasa ia lihat saat Carl menjadi bodyguardnya sejak beberapa bulan lalu. Tapi, kalimat yang baru saja terucap dari Carl membuatnya bergidik. Kate mencoba mengalihkan perhatiannya saat memencet tombol angka di lift.“Kau bisa pulang ke tempatmu. Terima kasih sudah membantuku,” ucap Kate seraya membuka pintu apartemennya. Dengan sigap, Carl menyusup masuk begitu saja.“Apa yang kau lakukan?”“Pernahkah terbersit kalau ada penguntit lain yang mengawasi tanpa sepengetahuanmu?”“Apa? Itu tidak mung ....”“Mungkin saja.” Suara ponsel berdering, menginterupsi percakapan mereka sesaat. Dengan malas, Carl mengangkatnya.“Ini aku.”Perlahan, ekspresi malas Carl berubah. Entah apa yang pria itu dengar sampai menggertakkan giginya dan tersenyum miring. Tak lama kemudian, pria itu menutup panggilan.“Ada masalah?”“Sepertinya aku tahu siapa yang mengirim penguntit itu.”“Siapa? Tak mungkin musuh Elena, Alfred dan ayahnya sudah dipenjara.”“Penguntit tadi tidak mengikutimu secara acak, Kate.”“Apa maksudmu? Aku tak pernah memiliki musuh.”“Kau mungkin tidak. Sepertinya aku harus bermalam di sini sekalian menjagamu.”“Tunggu, kau tidak bisa berbuat seenaknya. Jangan menggunakan alasan ini untuk tinggal di rumahku malam ini.”“Mereka tahu dan mengincarmu, Kate.”“Siapa sebenarnya yang kau maksud?”“Musuhku. Mereka tahu kalau kau adalah kelemahanku, jadi, mereka tak akan berhenti sampai mendapatkanmu.” Kate membelalakkan matanya. Ia sempat mengira salah dengar. Tak mungkin seorang Carl yang banyak diam tapi ramah ini memiliki konflik dengan orang lain atau bahkan musuh.“Kau bukan tipe orang yang memiliki musuh, Carl.”“Atau karena kau memandangku dengan begitu tinggi, Kate?”*** Semalaman, Kate hanya memejamkan mata sesaat. Pikirannya terus berputar seperti rekaman film. Perkataan yang terus terngiang dan tak terselesaikan karena pria itu memberi penjelasan lebih lanjut. Kate bangkit dari ranjang, menatap ke arah Carl yang tidur menghadap ke arahnya di sofa seberang ranjang.“Rasanya seperti dejavu, ya, kan?”Mendadak, Carl membuka matanya. Membalas tatapan terkejut Kate dengan senyum lebar.“Dejavu apanya?”“Waktu aku menjadi bodyguardmu dan tinggal di apartemen lamamu.”Kate mendengus kesal, sepagi ini Carl kembali mengingatkannya akan momen yang ia ingin hapus.“Aku ingin kau menjelaskan situasi semalam padaku. Siapa yang mengirim penguntit itu dan bagaimana kau memiliki musuh yang sekarang mengincarku?”“Pelan-pelan, Kate. Aku juga sudah selesai berpikir tentang penyelesaian semua ini.” Tiba-tiba Kate turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Tak sempat menutup pintunya karena ia tak tahan untuk segera memuntahkan isi perutnya. Carl mengejar Kate. Ia mengikat rambut panjang Kate dengan karet rambut sebisanya. Dengan lembut, Carl menepuk punggung Kate yang mulai berhenti. Napas wanita itu memburu, tubuhnya terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Aku akan membantumu bangun.”“Aku bisa bangun sendiri sebentar lagi.” Beberapa menit tak ada pergerakan, Kate sepertinya kehilangan tenaganya. Carl sudah hendak menggendongnya saat suara itu mencegahnya.“Biarkan aku mencuci wajahku dulu.”Kate berdiri, bersandar pada Carl yang memeganginya hingga ia selesai menggosok gigi dan mencuci muka. Ekspresi Carl yang muram membuat Kate mengernyitkan kening. Pria itu langsung menggendong Kate dan membawanya menuju ke ranjang.“Aku tidak bisa membiarkanmu seperti ini sendirian tiap pagi.”“Kenapa begitu? Aku akan baik-baik saja setelah beberapa minggu berlalu.”“Ini poin utamanya dari apa yang akan kita bicarakan. Aku akan membuat sarapan dulu.”“Tidak perlu, aku tidak lapar.”“Aku yang lapar, dan bayinya.”Kate tak bisa membalas kalimat bernada tegas dari Carl. Membiarkan pria itu berjalan ke arah dapur sementara ia merelakskan tubuhnya di ranjang.*** Mendapat tatapan intens sejak memulai menyentuh sarapannya sampai selesai, Kate mengembuskan napas panjang. Carl dengan sangat cepat telah menghabiskan sarapannya sejak tadi. Mungkin, karena itu, pria berambut hitam legam itu memiliki waktu lebih banyak untuk menatapnya lama.“Bisakah kau mengurangi tatapan intensmu itu?”Carl hanya membalas dengan senyum singkat. Lalu, melanjutkan tatapan intensnya. Kate hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan jengah.“Kurasa kau banyak berubah, Carl, kecuali ... tatapanmu.”“Tentu saja, satu lagi yang tertinggal, dan perasaanku yang tak berubah.”“Omong kosong yang diucapkan oleh pria yang pergi tanpa kabar. Sangat romantis.”Carl menyeringai usai mendengar nada sarkas wanita cantik di depannya itu. Tanpa kaca mata dan wajah tanpa make upnya membuat kesan lembut Kate semakin jelas. Kontras dengan kalimat sarkasnya.“Bisakah kita memulai pembahasan seriusnya sekarang?” tanya Kate dengan nada menuntut.“Baiklah, aku akan mulai dari awal.”Carl menyingkirkan piring dari hadapannya dengan pelan. Ia tak bisa mengelak, jika ingin Kate mendengar ceritanya.“Sebulan yang lalu, ada situasi darurat. Ayahku membutuhkanku dengan segera, kondisinya cukup buruk. Begitu pulang, semua terjadi dengan cepat. Ia memberikan perusahaan padaku dan menjadikanku presdirnya. Tak peduli seberapa keras aku menjauh, kehidupan itu datang begitu saja. Alasan lain kenapa aku tak bisa menghubungimu adalah karena aku satu atap dengan musuhku. Lebih mudah menyebutnya begitu, karena dia menginginkan apa yang kudapat dari ayah saat ini.”“Siapa yang kau sebut dengan musuh itu?”“Kakak pertamaku, Letisha, akan menggunakan segala cara untuk menjatuhkanku.”“Apa kau mencurigainya sebagai orang yang mengirim penguntit kemarin?”“Tentu saja, telepon semalam adalah telepon darinya. Secara tak langsung mengakui dirinya yang mengirim orang itu, hanya sebagai peringatan jika dia mengawasiku. Tapi, semua tahu seperti apa sifatnya. Tak ada jaminan dia akan diam setelah ini. Dia tahu tentangmu dan bayi kita.”“Aku melihat ini sebagai satu alasan untuk semakin menjauhimu, Tuan Carlos Rionard Spentwood yang terhormat. Itu akan lebih aman.”“Daripada berpikir seperti itu, lebih baik kau dalam perlindunganku daripada bersembunyi seorang diri dan membahayakan bayi kita.”“Kalau aku tetap di sekitarmu justru akan lebih berbahaya.”“Akan lebih mudah baginya untuk membuat bayi kita menghilang jika kau sendirian dan di luar perlindunganku. Kau pasti bisa memahami situasi ini, Kate.” Wanita berhidung mancung itu membuang pandangan ke arah lain, menyugar rambutnya ke belakang dengan gusar.“Aku tidak bisa membiarkan kandunganku dalam bahaya.”“Kau benar, Kate. Aku setuju denganmu. Seperti sebelumnya, saat menjadi bodyguardmu, aku bisa menjagamu dengan baik.“Apa yang harus kulakukan?”“Menikahlah denganku. Kita akan tinggal bersama ayahku di tempat yang aman, Kate. Aku akan menghadapi Leti secara langsung dan memastikan kau dan bayi kita aman.”*** Wanita berambut pirang itu menggendong bayinya usai memberikan ASI. Bayi laki-laki itu tampak mulai mengatupkan kelopak matanya beberapa kali. Tanda jika ia mulai mengantuk setelah kenyang. Elena memperhatikan putranya yang perlahan terbawa alam mimpi dengan senyum hangat. Ia mencium pipi gemuk bayinya yang wangi. Mendadak lengan besar memeluk pinggangnya.“Bagaimana kabar Rayzel kita pagi ini?”“Baik dan sedang tidur kembali.” Elena meletakan putranya ke box bayi agar lebih nyaman. Wanita mengulas senyum saat bayi kecilnya tersenyum dalam tidur pulasnya.“Kalau saja aku juga mendapat senyum hangat itu dari Mamamu, Ray.”Elena langsung menoleh ke belakang, mendapati Drake tersenyum dengan canggung.“Kenapa?”“Sejak semalam kau bersikap dingin padaku, Elena. Apa aku membuat kesalahan?” Tangan Elena menarik pergelangan tangan Drake lalu membawanya kembali ke kamar utama. Wanita itu menatap kesal suaminya cukup lama.“Ada masalah apa?”“Tentang Carl. Kemarin tiba-tiba saja dia datang ke kantorku sebagai perwakilan dari perusahaan Spentwood, sebagai CEO baru. Apa yang kau ketahui tentang ini?”“Oh itu, berarti dia memutuskan kembali.”“Apa? Kau tahu ini sejak awal dan tak memberitahuku?”“Kau tahu aku orang yang sangat berhati-hati. Memeriksa setiap bodyguard dan staf yang bekerja di sekitarku. Kualifikasi Carl terlalu baik saat mendaftar menjadi bodyguardku. Dan ya, aku mengetahui yang sebenarnya kalau dia satu-satunya anak laki-laki di keluarga Spentwood yang diharapkan menjadi pewaris. Kerjanya bagus, aku mempercayainya untuk menjagamu. Setelah keadaan memburuk karena Alfred terus berulah mengancam semua orang terdekatmu, termasuk Kate, aku setuju untuk menjadikannya bodyguard Kate. “Elena menekan jidatnya dengan telapak tangan, rasa pusing mulai terasa. Ia mengingat hari-hari yang dijalani Kate usai Carl mendadak menghilang sebulan lebih.“Elena, kau sakit?”“Hari itu, sejak Carl menghilang dan mengundurkan diri. Apa kau tahu jika dia kembali ke keluarganya? Kembali ke identitas aslinya?”“Ya, tentu saja aku sudah menduga hal ini.”“Kenapa kau tidak memberitahuku?”“Kenapa ini penting bagimu, Elena?”“Astaga, Drake. Sangat penting! Kau tahu apa yang terjadi pada Kate saat Carl pergi tanpa kabar? Kate mengandung anak Carl!”Elena menatap ekspresi suaminya yang tertegun. Pria itu menaikkan satu alisnya lebih tinggi. Elena duduk di tepi ranjang seraya mengembuskan napas dengan berat.“Kate harus terluka karena Carl pergi tanpa kabar sedikit pun. Belakangan ia baru tahu kalau mengandung anaknya. Kalau saja kau beritahu lebih awal, mungkin aku bisa mencari ke keluarga Spentwood untuk membantu Kate.”“Maaf, aku tidak tahu kalau situasinya seperti ini, Elena. Kurasa, situasi Carl saat ini juga buruk.”“Apa maksudmu?”“Tadi kau bilang Carl datang ke kantormu sebagai CEO baru Spentwood Company, kan? Itu artinya, ia telah menggeser posisi sang kakak tertua. Dari yang kudengar, Letisha tak terima dengan pengaturan ini.” Begitu mendengar penjelasan singkat Drake, Elena menutupi wajah dengan dua telapak tangannya. Kepalanya semakin sakit memikirkan sahabatnya itu.“Kate hanya ingin hidup tenang, sepertinya ia tak bisa melakukannya sekarang.”Tatapan sendu Elena ke arah luar jendela. Ia tahu betul k
Pria dengan garis rahang tegas itu menatap penuh harap pada Kate. Menunggu dengan sabar bola mata cokelat yang menatapnya tak percaya. Perlahan, Kate mendekatkan tubuhnya ke arah Carl. Pria itu tersenyum semakin lebar saat jaraknya dengan Kate semakin sedikit. Perlahan, tangan Kate terangkat ....“Sepertinya ini lebih baik, agar kau tetap terjaga dari omong kosongmu juga.” Kate mencubit lengan Carl di tangan yang tak terluka dengan cepat. Pria itu memekik kesakitan sesaat sebelum memberi tatapan tanya pada wanita di depannya. Terdengar suara terkekeh dari Lex, asisten sekaligus pengawalnya serta sang sopir. Baru setelah mendapat tatapan tajam melalui spion di bagian dalam mobil, kedua orang itu menghentikan tawa kecilnya.“Kita hampir sampai, Nona.” Setelah suara sang sopir terdengar, Kate memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya tampak seperti jalan satu arah. Hanya bisa dilewati satu mobil. Kanan kiri jalan seperti hanya ada hutan kecil. Masih cukup jauh sampai
Wanita dengan rambut panjang dan bergelombang itu duduk kembali di tempatnya dua jam lalu. Mengembuskan napas dengan kasar usai menatap Carl cukup lama. Pria itu sudah tertidur kurang lebih dua jam. Dari jarak yang cukup dekat ini, Kate bisa melihat dengan jelas wajah Carl. Pria itu sepertinya sengaja memelihara brewok tipisnya. Potongan yang cukup rapi dan menambah kesan semakin maskulin. Berbeda dengan Carl versi bodyguardnya dulu, yang selalu rajin mencukur kumis dan rambut di sekitar rahangnya. Tapi, kini pria itu tampak berbeda dengan tampilan barunya. Rambut hitam legam pria itu juga tampak lebih panjang sedikit dari yang terakhir kali ia lihat. Ada gurat muram yang sesekali terlihat sejak kali terakhir ia bertemu lagi dengan Carl. Rasa benci pada pria itu kembali menguat. Melihat Carl yang berbaring dalam keadaan sakit tak menyurutkan rasa kesalnya, mengingat kembali masa 1 bulan yang dijalaninya.“Mengagumi wajah tampanku, My lady?”Sorot mata tajam Kate kem
Wanita yang memakai dress selutut warna biru laut itu berjalan-jalan santai. Menikmati udara pagi yang segar usai sarapan. Langit biru nan cerah menambah semangatnya pagi itu. Sebisa mungkin, ia akan menikmati waktu sementaranya di mansion klasik ini.“Tamannya tampak ... dingin.”Komentar dari Kate itu didengar oleh Mary yang berjalan di sampingnya.“Saya tidak banyak tahu tentang taman, Nona.”Kate menghentikan langkah. Menatap cukup lama taman di depannya. Tangannya bersedekap di depan dada sejenak.“Coba lihat dan rasakan. Menurutmu apa ada yang kurang?”Menuruti Kate, Mary melakukan hal yang sama. Mengamati taman itu cukup lama dan berpikir.“Saya rasa ... sepi. Semacam itu.”“Ya, itulah yang kumaksud. Mary, kau sangat peka.”Wanita berambut cokelat madu itu tersenyum seolah bangga dengan tanggapan Mary. Ia melanjutkan langkah.“Sepi dan dingin, kurang berwarna lebih tepatnya. Akan lebih bagus jika banyak bunga di sini. Berbagai macam bunga. Oh, ya, tapi, bukan ur
“Apa? Beraninya kau melarangku pergi, Carl? Aku hanya pergi untuk membeli perlengkapan melukis.”“Tidak untuk saat ini, Kate. Tolong mengertilah.”Dengan raut kecewa teramat sangat, Kate menatap Carl. Pria di depannya ini telah berubah. Entah kepahitan macam apa lagi yang membuatnya berubah menjadi pria menyebalkan.“Aku membenci ini semua.”“Tolong mengertilah sekali ini saja, Kate. Aku tidak ingin kau dalam bahaya, dengan kondisiku yang belum sembuh aku tidak bisa menjagamu sendiri.”Kate mengingat momen saat Carl terluka karena menyelamatkannya dari tikaman seorang pria asing yang lewat di depan mereka begitu saja. Dengan berat hati, Kate mencoba mengerti, toh, ini hanya sementara.“Aku akan mencoba mengerti. Lagi pula aku tak akan lama tinggal di penjara ini.”Dengan langkah tegas, wanita berambut cokelat madu itu meninggalkan kamar Carl. Segera ia menutup pintu penghubung itu dan bergegas ke lemari untuk mengambil gaun tidurnya.“Aku tak mau kita bertengkar, Kate.”“Kau
Terdengar bunyi klik saat Kate memutar kunci. Dengan perlahan, ia membuka pintu itu. Layaknya menemukan harta karun baru, Kate tersenyum lebar saat mengeksplor ruangan pertama. Begitu klasik dan terlihat bersih. Perabotan lama yang terawat berdiri di sekeliling ruangan.“Kurasa staf mansion merawat tempat ini dengan baik, Mary.”“Ya, Nona, saya setuju.”Kate berhenti di depan pigura kecil yang berjejer rapi. Ia mengambil satu dan mengamatinya dari dekat. Keningnya berkerut sesaat sebelum suara Mary mengalihkan perhatiannya.“Nona Kate!”Wanita berambut cokelat madu itu mendekati Mary dengan gestur bertanya. Tangannya terangkat dan bibirnya membentuk kata ‘what’. Mengikuti arah pandangan Mary ke sebuah ruangan, Kate tertegun sejenak.“Sepertinya, Anda benar-benar menemukan harta karun, Nona.”Seiring kalimat Mary berakhir, Kate tersenyum lebar diiringi tatapan takjubnya. Ia mengambil langkah masuk ke dalam ruangan itu. Bau kanvas dan cat air yang samar bisa ia rasakan.“K
Urung ke kamarnya, Carl dengan khawatir menyusul Kate yang sudah terduduk lemas di lantai kamar mandi. Tanpa berkata apa pun, Carl langsung menggendong Kate dan membawanya ke ranjang. Ia memanggil staf dapur dan memintanya membawakan air madu hangat. Kate membenci dirinya yang selemah itu di depan Carl. Baru saja ia mengusir pria itu pergi, mualnya langsung datang dan membuatnya kehilangan tenaga. Satu dua tetes air matanya jatuh, mewakili rasa marah pada dirinya sendiri. Ia memilih memejamkan mata saat didudukkan Carl bersandar ke kepala ranjang. Terdengar derit ranjang lirih saat Carl duduk di tepi ranjang. Pria itu lalu memeluknya dan mengusap punggungnya. Tak lama kemudian staf dapur datang lalu segera pergi.“Minumlah, Kate.”Kate membuka mata, lalu menggeleng pelan. Ia mencium bau manis dari air madu di depannya itu.“Nanti saja.”Carl meletakkan lagi cangkir tersebut, lalu mengambil botol kecil dan mengeluarkan isinya ke jari tangan.“Minyak ini akan membu
Berbanding terbalik dengan tatapan ngerinya, Kate tertawa dengan canggung. Ia berharap salah dengar atau Carl sedang mabuk sehingga berbicara melantur. “Aku tidak mengerti maksudmu.”“Lebih baik kita duduk dan bicara.”Gerakan tangan Carl mempersilakan Kate duduk di sofa panjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.“Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan akan membantumu menemukan adikmu yang hilang, Kate.”“Aku tidak pernah meminta bantuanmu.”“Itu yang perlu kau lakukan sekarang.”“Carl, apa yang sedang kau coba lakukan? Kau tahu dari mana?”“Tak penting aku tahu dari mana. Akan kuperjelas tawarannya.” Manik mata berwarna cokelat itu menatap dengan waspada. Tangannya menggenggam erat liontin kalung, sementara Carl mencondongkan tubuhnya.“Menikahlah denganku, aku akan mencari adikmu dan kita akan aman.”“Dari mana kau bisa menjamin keamanan kita? Dari kakakmu?”“Ya, aman dari Leti adalah tugasku untuk menjagamu.” Kate mengalihkan pandangan ke arah
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang