Berbanding terbalik dengan tatapan ngerinya, Kate tertawa dengan canggung. Ia berharap salah dengar atau Carl sedang mabuk sehingga berbicara melantur. “Aku tidak mengerti maksudmu.”“Lebih baik kita duduk dan bicara.”Gerakan tangan Carl mempersilakan Kate duduk di sofa panjang yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.“Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan akan membantumu menemukan adikmu yang hilang, Kate.”“Aku tidak pernah meminta bantuanmu.”“Itu yang perlu kau lakukan sekarang.”“Carl, apa yang sedang kau coba lakukan? Kau tahu dari mana?”“Tak penting aku tahu dari mana. Akan kuperjelas tawarannya.” Manik mata berwarna cokelat itu menatap dengan waspada. Tangannya menggenggam erat liontin kalung, sementara Carl mencondongkan tubuhnya.“Menikahlah denganku, aku akan mencari adikmu dan kita akan aman.”“Dari mana kau bisa menjamin keamanan kita? Dari kakakmu?”“Ya, aman dari Leti adalah tugasku untuk menjagamu.” Kate mengalihkan pandangan ke arah
“Tak kusangka, Tuan Muda Oveprotektifmu itu akan memperbolehkanku datang ke sini,” ucap Elena seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kamar besar yang di tempati Kate terlihat klasik. Elena menangkap keunikan dalam kekunoan ini adalah satu hal yang disukai sahabatnya itu. Kate menggeser cangkir teh milik Elena lebih dekat ke sahabatnya yang berambut pirang itu.“Syukurlah kau mau datang, walaupun yah, si Tuan Muda Overprotektif itu bersikeras agar kau menutup mata. Tentu saja agar kau tak tahu arah jalan menuju kemari.”“Itu dia, Tuan Bodyguard Tampanmu sudah kembali.”Kalimat Elena membuat wanita berambut cokelat madu itu menghela napas dengan berat. “Terima kasih telah datang kemari, Elena. Aku butuh ... semacam ketenangan sebelum melangkah lebih jauh.”“Hal yang biasa dialami setiap calon pengantin. Aku senang bisa membantumu.”Elena mengulurkan tangannya. Menggenggam tangan Kate dan mengirimkan ‘ketenangan’ sebanyak yang ia bisa. Kate tersenyum leba
Melangkah lambat dan sesekali berhenti, mengamati taman yang sepi pagi itu. Kate tahu, persiapan pernikahan sederhananya dengan Carl sudah siap. Tempat, pendeta, masalah menu hidangan dan bahkan dekorasi pun, ia tak tahu. Carl yang menyiapkan semuanya. Ia tak keberatan, toh, bagi Kate sendiri, ini bukan pernikahan yang patut dirayakan besar-besaran. Mereka hanya saling memanfaatkan keadaan.“Nona, kita bisa istirahat sebentar kalau Anda lelah.”Saran dari Mary membuat langkah Kate terhenti. Ia tersenyum sekilas ke arah pengawal pribadinya itu.“Apa aku terlihat lelah?”“Sedikit.”Baru saja Kate hendak menanggapi, terdengar suara langkah kaki dan semacam roda yang di dorong. Kate menoleh ke sumber suara. Di depannya, seorang pria tua duduk di kursi roda dan di dorong oleh kepala pelayan mansion. Kate berjalan lebih dekat ke arah keduanya.“Selamat pagi, Tuan.”“Selamat pagi, Nona.”Hanya balasan dari kepala pelayan. Pria tua itu mengamati Kate dengan kening berkerut.“Se
Kate menghela napas panjang beberapa kali. Sepasang netranya tak bisa melihat apa pun sejak keluar dari mansion. Lagi-lagi, Carl membuatnya melakukan hal konyol ini, dengan menutup matanya saat dalam perjalanan menuju dokter kandungan agar ia tak mengetahui jalan menuju kota. Tentu saja, hal itu dilakukan agar ia tak mengetahui jalan untuk kabur.“Tunggulah sebentar lagi,” ucap Carl seolah bisa membaca pikirannya. Lima menit kemudian, pria berambut hitam legam itu melepaskan ikatan syal kecil yang menutupi mata Kate. Membalas sorot mata tajam wanita yang kini tak memakai kaca mata itu, tak menyurutkan niat seorang Carl untuk tersenyum.“Kurasa ini berlebihan. Kau terlalu takut aku akan kabur.”“Tidak juga. Lebih baik mengantisipasi hal itu terjadi, kan?” Wanita yang mengikat rapi rambut panjangnya itu membuang muka ke arah luar jendela mobil. Ia yakin, Carl akan membuat dalih lebih memuakkan lagi sebagai alasan. Suasana hening berlangsung sampai mereka tiba di ruma
Wajah cantik itu tampak suram saat menatap dirinya di cermin sekali lagi. Entah sudah berapa banyak orang yang mengatakan ia begitu cantik dengan gaun putih khas pengantin yang dipakainya sekarang, dari Mary, staf mansion lain yang membantu persiapan di kamarnya, hingga sahabatnya, Elena. Tapi, itu semua tak membuat wajah muramnya berubah ceria.“Bukan ini pernikahan yang kuinginkan. Bukan atas dasar ini,” gumam wanita itu pada pantulannya sendiri di cermin.“Kate, kau mengatakan sesuatu?”Elena kembali mendekati sahabatnya yang berdiri berhadapan dengan cermin.“Oh, aku hanya ingin segera menyelesaikan semua ini dengan cepat.”Dalih Kate, yang tak disadari Elena, membuat wanita berambut pirang itu tersenyum.“Ingin selesai dengan cepat karena kau lelah atau karena ingin cepat berduaan dengan Carl?”“Elena!”Sorot mata tajam Kate membuat Elena kembali terkekeh. Ia tahu, mempelai wanita di hadapannya itu sejak tadi memasang wajah cemberut.“Kate, aku tak tahu persis baga
Wanita berambut pirang itu mengusap kepala putrinya dengan lembut. Gadis cilik berumur 5 tahun itu tertidur pulas dengan kepala terkulai di pangkuan ibunya. Brianna, tersenyum saat menatap putri semata wayangnya. Ia lalu teringat pesan adik tirinya, Carl. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dari dalam tas. Setelah mengetik beberapa saat, Brianna mengulas senyum lebar, lalu meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.“Coba kita lihat, akan seperti apa reaksinya? Andai aku bisa melihatnya langsung,” gumam wanita itu dengan nada penasaran.*** Tangan wanita berambut pendek itu gemetar, menggenggam ponselnya dengan kuat usai melihat pesan yang dikirim adiknya. Letisha meletakkan kembali ponselnya ke meja kerja. Tatapannya terarah ke luar jendela ruang kerja, pemandangan kota dan langit yang begitu biru membuatnya semakin sesak.“Si anak brengsek itu beraninya menikah hanya untuk mengukuhkan posisinya. Sampai kapan pun, aku tidak akan membiarkanmu memiliki semua.”Sat
Wanita itu menatap ke arah bangunan utama mansion dengan sendu, pandangannya mengabur karena hujan yang deras. Setelah menghela napas dengan berat, Kate membalikkan badannya lalu masuk kembali ke bangunan yang kini ia klaim sebagai studio melukisnya. Carl mengikuti Kate memasuki bangunan lalu menutup pintunya untuk menghalau angin malam yang semakin kencang.“Aku tidak percaya harus menunggu hujan reda denganmu di sini.”Suara Kate terdengar jengah, wanita itu telah duduk di sofa, dekat perapian dengan tangan saling tertaut. Bukannya menanggapi kalimat Kate barusan, pria dengan iris mata segelap malam itu mengambil selimut dari ruangan lain, lalu keluar.“Pakailah, kau pasti kedinginan.” Carl menyelimuti tubuh istrinya dengan selimut yang cukup tebal itu. Ada pandangan penasaran dari Kate.“Kenapa kau bisa tahu letak selimutnya?”“Dulu, aku sering kemari. Karena kau bersikeras menggunakan tempat ini sebagai studiomu, tentu saja aku harus merenovasi dan memperbaiki beb
Wanita berambut panjang itu tak segera menjawab. Ia tahu ini malam pertama mereka setelah menikah, tapi, pernikahan mereka hanya karena saling membutuhkan. Lagi pula mereka berdua tahu jika usia kandungannya belum menginjak tiga bulan.“Carl, aku tidak ....”“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kate, aku hanya ingin tidur saja. Tak perlu risau.”“Bukankah lebih nyaman kalau kau tidur sendiri?”“Siapa bilang?”Menghela napas panjang, otak Kate berputar seraya mempertimbangkan. Sebenarnya wajar jika suaminya itu meminta menemaninya tidur. Bukan suatu hal yang berlebihan. Lagi pula Carl juga mulai mau membuka diri lebih jujur padanya. Kalau sekarang ia menolak, pria itu bisa jadi semakin menjauh. Entah kenapa membayangkan Carl menjauhinya membuatnya tak nyaman.“Baiklah.”Senyum lebar seketika terlukis di wajah Carl. Meski hanya sekian detik sebelum pria itu kembali berwajah datar.“Aku akan ganti baju, tapi, kau masih di sini dan membuatku canggung, Carl.”“Baiklah, aku kembali ke