“Sayang sekali, proyek kerja sama dengan Spentwood Company hari ini akan menjadi proyek terakhirmu di kantor ini, Kate. Aku akan merindukanmu.”
Wanita berambut pirang dengan muram menatap sahabat sekaligus sekretaris terbaiknya hingga detik ini. Sementara wanita berkaca mata tebal dengan rambut di ikat rapi tersenyum lembut.“Aku juga akan merindukanmu, jangan jadikan hari terakhirku masuk kerja sebagai hari yang sedih, Elena.”Mereka saling membalas senyum diiringi tatapan sendu. Sebelum sebuah suara dari salah seorang staf kantor menginterupsi.“Perwakilan dari Spentwood company, presdir baru mereka telah sampai.”Kate dan Elena mengangguk tanda mengerti dan segera berdiri untuk menyambut. Sekilas, kening Kate berkerut kala mengingat perkataan staf yang baru saja keluar ruangan.“Presdir baru? Aku baru dengar.”“Aku juga, Kate.” Detik berikutnya, seorang pria dengan tampilan jas rapi diikuti beberapa pria di belakangnya masuk. Kate berdiri di samping Elena telah menyiapkan senyum hangatnya. Satu, dua, tiga. Detik ketiga ia menyadari pria yang berdiri di depannya itu adalah orang yang selama ini pergi.“Selamat pagi, Kate.”Wajah wanita berambut cokelat itu menjadi kaku. Tangannya menyambut jabat tangan sambil lalu, seolah pikirannya berada di tempat lain. Pria itu lalu diarahkan duduk di tempat yang telah di siapkan.“Apa yang dilakukannya di sini?” bisik Elena sama terkejutnya dengan Kate. Kedua wanita itu hanya bisa menahan keterkejutannya saat pria yang mereka kenal sebagai bodyguard, Carl Rionard, saat ini memperkenalkan diri sebagai presdir baru Spentwood company setelah sebulan menghilang tanpa kabar. Setiap menit yang berlalu, keringat dingin yang muncul semakin parah dirasakan oleh Kate. Kepalanya semakin pusing, sesekali ia mengusap perutnya untuk meredakan ketegangan. Bukannya semakin membaik, kondisinya semakin parah. Ia tahu akan segera pingsan jika memaksa diri tetap di ruangan. Beruntung, atas saran Elena, pembicaraan mereka tentang proyek berlangsung cepat dan akan dilanjutkan di pertemuan selanjutnya. Begitu rapat selesai, Kate bergegas keluar dari ruangan. Menahan segala dorongan diri untuk menjatuhkan tubuhnya begitu saja, Kate berjalan cepat menuju toilet terdekat. Hoeek, hooek. Beberapa kali terdengar suara muntahan di toilet yang sepi. Kate sudah berdiri di depan wastafel dengan langkah sempoyongan, harus kembali masuk ke bilik untuk memuntahkan isi perutnya yang tentu hampir habis. Setelah yakin, tak ada lagi yang bisa ia muntahkan, Kate langsung menggosok giginya. Hal yang empat hari ini selalu ia lakukan usai muntah. Setelah menyeka air mata yang leleh di sudut matanya, Kate memastikan penampilannya sudah bersih dan rapi. Keringat dinginnya masih muncul, belum lagi matanya yang semu merah. Tapi, Kate menatap dirinya di depan cermin dan tersenyum sekilas. Keluar dari area toilet wanita, mendadak lengan Kate tertahan oleh tangan besar. Sedikit tarikan membuat tubuh lemahnya langsung terhuyung.“Apa kau sakit, Kate?” Iris mata berwarna gelap itu terlihat jelas. Sesaat, Kate hanya terdiam dan tak bergerak. Ia menarik napas panjang dan menegakkan dirinya sebaik mungkin.“Lepas! Aku tidak mengenalmu!”“Tolong, dengarkan aku.”Kate menghempaskan lengan pria itu sekuat tenaga. Matanya menyorot tajam ke bola mata warna abu gelap itu. Bola mata yang pernah membuatnya tenggelam dalam kegelapan sampai ia terjebak di dalamnya.“Hentikan, Carl! Aku tak mau melihatmu lagi!”Kate baru saja berbalik, memunggungi Carl dan hendak melangkah. Perutnya mendadak kram, keringat dingin membuat tubuhnya merasa semakin berat. Ia hanya ingat teriakan pria di belakangnya itu sebelum semua penglihatannya menggelap.*** Matanya terasa ringan, hingga Kate bisa membuka matanya perlahan. Yang pertama ia lihat adalah semua ruangan di dominasi serba putih dan aroma khas semacam obat menguar di seluruh ruangan. Ia sadar, tak memakai kaca matanya lagi sehingga pandangannya sedikit mengabur. Pandangannya terhenti di sisi kiri tangannya yang digenggam erat. Seorang pria berambut hitam senada dengan warna mata itu menatapnya lurus. Ia tak bisa menjelaskan, ekspresi macam apa yang dimiliki pria itu saat ini.“Aku harus pergi.” Menyadari ia sedang berada di rumah sakit dan pria yang menunggunya ini adalah Carl, Kate ingin segera pergi dari sini. Sayang, tubuhnya masih terasa berat saat ia memaksa diri untuk bangkit lalu, gagal.“Istirahatlah.”“Tidak mau. Aku tak bisa istirahat dengan nyaman selama melihat wajahmu.”Kate berhasil duduk dengan usahanya sendiri. Ia mengumpulkan tenaganya untuk perlahan menggerakkan kakinya turun dari brankar.“Bayi itu milikku, Kate Hepburn.”Kate langsung menghentikan gerakannya. Perlahan, memutar pandangannya ke arah pria yang kini tengah berdiri dan menatap balik padanya.“Bayi apa?”“Hentikan, aku tahu kau pura-pura tak tahu. Dokter memberitahuku kau sedang hamil.”Kate menggigit bibir bagian dalamnya lebih keras. Napasnya tercekat saat melihat tatapan intens Carl ke arahnya. Seolah ia dikuliti hidup-hidup.“Ini bayiku, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali aku sendiri.”Kalimatnya tegas dan tak gentar, ia sedang tak ingin berdebat. Tapi, ekspresi tegang yang ia lihat dari Carl saat ini terlihat berbeda dengan biasanya. Garis – garis kemarahan yang tersimpan bisa Kate rasakan. Ia memilih membuang muka ke arah lain.“Tidak mungkin bayi itu tiba-tiba ada begitu saja. Aku juga berhak atasnya.”“Siapa tahu aku hamil karena berhubungan dengan pria lain.”“Berhenti menyangkal. Usia kandunganmu 5 minggu dan kau tak mungkin lupa dengan siapa kau tidur sejak dua bulan lalu.”“Bisa saja, tanpa sepengetahuanmu ....”“Enam bulan, sejak enam bulan lalu kita tinggal bersama dan aku tahu persis ke mana saja kau pergi. Aku bahkan bisa memberitahumu bagaimana posisi tidurmu setiap hari.”Bibir Kate seolah terkunci usai mendengar kalimat Carl. Jelas, argumen pria itu masuk akal dan sulit untuk disangkal lagi. Satu-satunya cara adalah mengakui dan menawarkan kemudahan.“Baiklah, tak ada gunanya aku menyangkal lagi. Tapi, tak ada yang berubah setelah ini. Aku akan merawatnya sendiri, kau tak perlu khawatir. Aku tak akan menuntut apa pun darimu, jadi, pergi sejauh mungkin dariku. Seperti yang kau lakukan sebulan terakhir.” Carl menarik napas panjang. Semua yang terjadi di depannya saat ini mengejutkannya. Ada hal-hal yang saat itu tak bisa ia ceritakan pada Kate hingga kepergian mendadaknya sebulan lalu. Semua di luar dugaan, ia meninggalkan Kate tanpa kabar di saat ternyata wanita itu mengandung bayinya.“Melihat semua yang terjadi saat ini. Aku tidak mungkin membiarkanmu pergi begitu saja. Aku adalah ayah dari bayi yang kau kandung, ingat itu, Kate.”“Melihat semua yang terjadi, aku tak sudi melihatmu terus di dekatku. Aku yang membiarkanmu pergi. Untuk apa menahan pria yang sudah memilih pergi dari hidupku tanpa kabar sekalipun.”“Kate, ini semua rumit, tapi, aku bisa menjelaskan situasinya.”“Dan aku tak perlu mendengarnya.”“Kau harus tahu kebenarannya.”“Apa? Kebenaran macam apa? Setahun terakhir aku mempercayaimu dan menjadikanmu sahabat seperti halnya Elena dalam hidupku. Sekalipun kau ditugaskan untuk menjagaku, menjadi bodyguardku, aku selalu menganggapmu sahabat yang baik. Enam bulan terakhir bahkan saat kita tinggal bersama, aku masih berpikir kau bisa menjadi sahabat terbaikku, selain Elena tentunya. Tapi, semua berubah.”“Kau benar, semua berubah saat kau mulai membiarkanku masuk ke kehidupanmu lebih dalam, Kate.”Carl mencondongkan tubuhnya ke arah Kate, tangan kanannya meraih sejumput rambut panjang di depannya itu dan menghirup aromanya sepelan mungkin.“Dua minggu terakhir sebelum aku pergi adalah malam-malam yang tak pernah kulupakan hingga kini,” lanjut Carl. Kate mencibir, bukannya tersentuh dengan kalimat bernada rayuan itu. Ia tahu, Carl tak pernah pandai mengucapkan kata manis atau rayuan padanya, kecuali saat ... mereka menghabiskan malam manis bersama. Mendadak, tubuhnya menghangat saat mengingat malam-malam itu. Kate menelan ludah dengan susah payah. Saat suasana canggung, seorang dokter bersama seorang perawat datang memeriksa.“Anda harus beristirahat dan tinggal semalam di RS. Tak ada masalah dengan kandungan Anda, saran saya jangan terlalu stress atau melakukan kegiatan berat. Dan Anda ...”Dokter tersebut mengalihkan pandangan kepada Carl.“Saya suaminya, Dok.”Mata Kate langsung membelalak. Memberi tatapan tajam pada pria yang saat ini tengah fokus menatap dokter.“Tolong jaga kondisi istrinya, Pak. Jangan sampai stress berkepanjangan. Kondisi mental ibu akan berpengaruh besar pada bayi yang dikandungnya.”“Sebelum pingsan, istri saya berkeringat dingin dan kesakitan di perutnya. Apa yang terjadi, Dok?”“Kram perut, karena kondisi mentalnya yang tak stabil. Bisa karena tegang dan stress.”“Baik, Dok, saya akan menjaganya dengan baik. Terima kasih.”Usai kepergian dokter dan perawat, Kate tak mengalihkan tatapannya dari pria dengan tinggi 188 cm itu. Dengan santai, Carl menaikkan satu alisnya dan bertanya.“Ada apa?”“Kenapa kau mengaku sebagai suamiku? Aku tidak punya suami.”“Aku akan menjadi suamimu sebentar lagi, mengingat bayi itu adalah anakku.”“Atas dasar apa kau mengatakan ini? Sudah kubilang aku tak menuntut apa pun darimu. Aku ingin hidup sendiri dengan bayiku.”“Kau dengar apa yang dikatakan dokter tadi? Aku perlu menjagamu dan bayi kita.”“Seharusnya kau sadar, aku stress dan kram perutku terasa kalau melihatmu. Meskipun kau ayahnya, tapi, kau juga alasan kondisiku menjadi semakin buruk.”“Kate, maafkan aku karena membuatmu menungguku tanpa kabar. Tolong, jangan marah lagi. Pikirkan kondisi kandunganmu.”Carl sama sekali tak menggunakan nada tinggi. Perasaan bersalah dan menyesal menguasainya.“Kau yang membuatku kesakitan dan ....”Kalimat Kate terhenti. Rasa nyeri yang menusuk mendadak terasa, seolah mencengkeram perutnya. Ia langsung memejamkan mata dan mengusap lembut perutnya. Tapi, rasa sakitnya tak kunjung berkurang.“Kate.”“Kate, apa yang terjadi?” Samar-samar, ia mendengar suara Carl yang terus memanggilnya. Tapi, ia tak punya tenaga untuk menanggapi. Matanya terpejam rapat, satu tangannya yang lain meremas selimut semakin erat.“Sakiiit ...”Keringat dingin mulai mengucur, perutnya semakin tegang. Tak lama kemudian, Kate merasa kepalanya bersandar, sebuah tangan besar mengusap lembut perutnya. “Ssst, tenanglah. Sudah, ya. Jangan marah lagi. Sstt...” Kate menarik napas panjang-panjang. Beberapa detik kemudian, kram perutnya mereda, kepalanya yang pusing juga menjadi lebih ringan. Perlahan, ia membuka mata. Carl memeluknya, kepalanya bersandar di dada pria itu. Kram perutnya menghilang, Kate merasa tubuhnya kembali normal dan tak kesakitan. Ia hanya diam, membiarkan Carl menenangkannya. Pikirannya membenci fakta jika sentuhan Carl berpengaruh besar padanya. Ia ingin menyangkal sekeras mungkin, tapi, tubuhnya tak mampu berbohong. Perlahan, wanita berambut cokelat itu menjauhkan dir
Diam-diam, wanita berambut panjang itu bernapas lega. Hanya beberapa menit setelah menelepon, pria itu mendadak berjalan ke arahnya. Apa mungkin Carl mengikutinya sejak keluar dari rumah sakit?“Kate.”Suara bariton Carl menyadarkan Kate dari lamunannya. Matanya mengerjap sebelum menatap pria di hadapannya itu.“Pria yang memakai topi dan baju serba hitam itu mengikutiku hingga masuk lift. Terlihat jelas, dia ingin mengikutiku sampai depan pintu apartemenku.”Refleks, Kate meremas lengan Carl cukup kuat saat melirik ke arah penguntitnya itu. Pria itu langsung menelepon seseorang.“Ada yang mengikutinya. Bersihkan area lobi. Aku akan mengirimkan ciri-cirinya.” Carl mengetik pesan pendek usai menutup panggilan untuk asistennya, sementara Kate mengerutkan kening.“Apa yang akan kau lakukan?”“Membersihkan sampah.”Tak lama kemudian, beberapa pria berperawakan pengawal masuk dan langsung membawa paksa pria penguntit itu keluar dari gedung. Semua orang menatap dan terk
Elena menatap ekspresi suaminya yang tertegun. Pria itu menaikkan satu alisnya lebih tinggi. Elena duduk di tepi ranjang seraya mengembuskan napas dengan berat.“Kate harus terluka karena Carl pergi tanpa kabar sedikit pun. Belakangan ia baru tahu kalau mengandung anaknya. Kalau saja kau beritahu lebih awal, mungkin aku bisa mencari ke keluarga Spentwood untuk membantu Kate.”“Maaf, aku tidak tahu kalau situasinya seperti ini, Elena. Kurasa, situasi Carl saat ini juga buruk.”“Apa maksudmu?”“Tadi kau bilang Carl datang ke kantormu sebagai CEO baru Spentwood Company, kan? Itu artinya, ia telah menggeser posisi sang kakak tertua. Dari yang kudengar, Letisha tak terima dengan pengaturan ini.” Begitu mendengar penjelasan singkat Drake, Elena menutupi wajah dengan dua telapak tangannya. Kepalanya semakin sakit memikirkan sahabatnya itu.“Kate hanya ingin hidup tenang, sepertinya ia tak bisa melakukannya sekarang.”Tatapan sendu Elena ke arah luar jendela. Ia tahu betul k
Pria dengan garis rahang tegas itu menatap penuh harap pada Kate. Menunggu dengan sabar bola mata cokelat yang menatapnya tak percaya. Perlahan, Kate mendekatkan tubuhnya ke arah Carl. Pria itu tersenyum semakin lebar saat jaraknya dengan Kate semakin sedikit. Perlahan, tangan Kate terangkat ....“Sepertinya ini lebih baik, agar kau tetap terjaga dari omong kosongmu juga.” Kate mencubit lengan Carl di tangan yang tak terluka dengan cepat. Pria itu memekik kesakitan sesaat sebelum memberi tatapan tanya pada wanita di depannya. Terdengar suara terkekeh dari Lex, asisten sekaligus pengawalnya serta sang sopir. Baru setelah mendapat tatapan tajam melalui spion di bagian dalam mobil, kedua orang itu menghentikan tawa kecilnya.“Kita hampir sampai, Nona.” Setelah suara sang sopir terdengar, Kate memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya tampak seperti jalan satu arah. Hanya bisa dilewati satu mobil. Kanan kiri jalan seperti hanya ada hutan kecil. Masih cukup jauh sampai
Wanita dengan rambut panjang dan bergelombang itu duduk kembali di tempatnya dua jam lalu. Mengembuskan napas dengan kasar usai menatap Carl cukup lama. Pria itu sudah tertidur kurang lebih dua jam. Dari jarak yang cukup dekat ini, Kate bisa melihat dengan jelas wajah Carl. Pria itu sepertinya sengaja memelihara brewok tipisnya. Potongan yang cukup rapi dan menambah kesan semakin maskulin. Berbeda dengan Carl versi bodyguardnya dulu, yang selalu rajin mencukur kumis dan rambut di sekitar rahangnya. Tapi, kini pria itu tampak berbeda dengan tampilan barunya. Rambut hitam legam pria itu juga tampak lebih panjang sedikit dari yang terakhir kali ia lihat. Ada gurat muram yang sesekali terlihat sejak kali terakhir ia bertemu lagi dengan Carl. Rasa benci pada pria itu kembali menguat. Melihat Carl yang berbaring dalam keadaan sakit tak menyurutkan rasa kesalnya, mengingat kembali masa 1 bulan yang dijalaninya.“Mengagumi wajah tampanku, My lady?”Sorot mata tajam Kate kem
Wanita yang memakai dress selutut warna biru laut itu berjalan-jalan santai. Menikmati udara pagi yang segar usai sarapan. Langit biru nan cerah menambah semangatnya pagi itu. Sebisa mungkin, ia akan menikmati waktu sementaranya di mansion klasik ini.“Tamannya tampak ... dingin.”Komentar dari Kate itu didengar oleh Mary yang berjalan di sampingnya.“Saya tidak banyak tahu tentang taman, Nona.”Kate menghentikan langkah. Menatap cukup lama taman di depannya. Tangannya bersedekap di depan dada sejenak.“Coba lihat dan rasakan. Menurutmu apa ada yang kurang?”Menuruti Kate, Mary melakukan hal yang sama. Mengamati taman itu cukup lama dan berpikir.“Saya rasa ... sepi. Semacam itu.”“Ya, itulah yang kumaksud. Mary, kau sangat peka.”Wanita berambut cokelat madu itu tersenyum seolah bangga dengan tanggapan Mary. Ia melanjutkan langkah.“Sepi dan dingin, kurang berwarna lebih tepatnya. Akan lebih bagus jika banyak bunga di sini. Berbagai macam bunga. Oh, ya, tapi, bukan ur
“Apa? Beraninya kau melarangku pergi, Carl? Aku hanya pergi untuk membeli perlengkapan melukis.”“Tidak untuk saat ini, Kate. Tolong mengertilah.”Dengan raut kecewa teramat sangat, Kate menatap Carl. Pria di depannya ini telah berubah. Entah kepahitan macam apa lagi yang membuatnya berubah menjadi pria menyebalkan.“Aku membenci ini semua.”“Tolong mengertilah sekali ini saja, Kate. Aku tidak ingin kau dalam bahaya, dengan kondisiku yang belum sembuh aku tidak bisa menjagamu sendiri.”Kate mengingat momen saat Carl terluka karena menyelamatkannya dari tikaman seorang pria asing yang lewat di depan mereka begitu saja. Dengan berat hati, Kate mencoba mengerti, toh, ini hanya sementara.“Aku akan mencoba mengerti. Lagi pula aku tak akan lama tinggal di penjara ini.”Dengan langkah tegas, wanita berambut cokelat madu itu meninggalkan kamar Carl. Segera ia menutup pintu penghubung itu dan bergegas ke lemari untuk mengambil gaun tidurnya.“Aku tak mau kita bertengkar, Kate.”“Kau
Terdengar bunyi klik saat Kate memutar kunci. Dengan perlahan, ia membuka pintu itu. Layaknya menemukan harta karun baru, Kate tersenyum lebar saat mengeksplor ruangan pertama. Begitu klasik dan terlihat bersih. Perabotan lama yang terawat berdiri di sekeliling ruangan.“Kurasa staf mansion merawat tempat ini dengan baik, Mary.”“Ya, Nona, saya setuju.”Kate berhenti di depan pigura kecil yang berjejer rapi. Ia mengambil satu dan mengamatinya dari dekat. Keningnya berkerut sesaat sebelum suara Mary mengalihkan perhatiannya.“Nona Kate!”Wanita berambut cokelat madu itu mendekati Mary dengan gestur bertanya. Tangannya terangkat dan bibirnya membentuk kata ‘what’. Mengikuti arah pandangan Mary ke sebuah ruangan, Kate tertegun sejenak.“Sepertinya, Anda benar-benar menemukan harta karun, Nona.”Seiring kalimat Mary berakhir, Kate tersenyum lebar diiringi tatapan takjubnya. Ia mengambil langkah masuk ke dalam ruangan itu. Bau kanvas dan cat air yang samar bisa ia rasakan.“K
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang