“Carl, Alfred mengirim orang-orang ke sini dan sebagian lain ke tempat Kate. Kami baru saja menangkap mereka yang mengikuti Elena dari kantor.”
Suara dari sambungan telepon itu membuat Carl membeku sesaat. Detik berikutnya, dengan sigap memutar kemudi mobilnya, berpindah arus dan menambah kecepatannya. Pria berambut hitam itu menggertakkan gigi. Tangannya mencengkeram kemudi dengan sangat kuat.*** Kate menutup mulutnya dengan tangan saat melihat mobil yang biasa mengintainya beberapa waktu lalu kembali terlihat di area parkir apartemennya. Beruntung, dari sudut apartemennya, ia bisa mengakses keseluruhan area parkir di lahan sebelah bangunan apartemennya yang sederhana. Wanita berambut cokelat madu itu membetulkan letak kacamata yang dipakainya, setengah berharap penglihatannya salah. Tak bisa mengelak, orang yang mengintainya cukup lama itu turun dari mobil. Satu, dua, oh, tidak. Lima orang pria berbadan besar turun dari mobil dan membawa alat pemukul layaknya preman, sebagian lain membawa pisau. Napas Kate tercekat, ia meraih ponsel di meja kecil samping jendela tempat ia mengintip lahan parkir. Tangannya gemetar saat memegangi benda berbentuk persegi panjang itu. Detak jantungnya berpacu semakin cepat saat melirik kembali di sela-sela tirai jendela. Kelima pria itu tengah berkumpul sejenak, tampak seperti berdiskusi lalu berjalan menuju bangunan apartemennya. Kate kembali menatap layar ponselnya dan mengetik nomor panggilan darurat di kontaknya. Hanya satu orang yang terpikir olehnya, Carl Rionard. Bodyguard yang ditugaskan Elena, sahabat sekaligus presdir di kantornya, untuk menjaganya dari musuh Elena. Mendadak terdengar bunyi bel, Kate yang terkejut menatap pintu dengan wajah tegangnya. Sekali lagi bel berbunyi. Perlahan, langkah Kate berjalan menuju pintu untuk mengintip dari lubang kecil. Ponselnya berbunyi, panggilan masuk dari Carl. Dengan tangan gemetar, Kate menerima panggilan itu.“Carl, mereka mendatangiku. Tolong aku.”Suara terisak Kate terdengar jelas. Carl tertegun sejenak.“Aku di luar pintu. Buka pintunya Kate. Kau pasti mengganti password pintumu.”Kate langsung mengintip lubang kecil di pintunya, mendapati Carl berdiri di depan pintu. Wanita berambut panjang itu langsung membuka pintunya.“Kate, kita harus ....”Kalimat Carl terputus saat Kate langsung memeluknya. Bagaimana tidak? Carl, bodyguardnya, adalah satu-satunya orang yang ia harapkan ada di depannya di waktu ini.“Mereka di bawah, sudah berjalan ke sini.”Dengan panik Kate memberi penjelasan saat melepaskan pelukannya.“Kita pergi lewat pintu belakang gedung, tak ada waktu lagi.”“Barang-barangku.”Carl berlari ke meja tengah, tempat Kate meninggalkan laptopnya. Pria berbadan tegap itu segera menyambar tas laptop beserta isinya lalu menarik tangan Kate untuk keluar dari apartemen. Berlari menuju tangga darurat. Sialnya, saat itu salah seorang dari suruhan Alfred memergoki mereka dan langsung berteriak, mengikuti arah mereka ke tangga.“Jangan lihat ke belakang, terus berlari dan masuk ke mobilku, di depan pintu belakang gedung.”Carl menyerahkan tas laptop dan kunci mobil kepada Kate yang buru-buru menuruni anak tangga. Bodyguard Kate itu menyambar tongkat besi yang tergeletak di lantai, seraya mengikuti Kate dari belakang. Bunyi ribut suara kaki berlarian menuruni tangga sudah semakin dekat.“Carl, mereka mengejar kita!” seru Kate ketakutan.“Jangan lihat ke belakang! Aku akan membereskan mereka, tenanglah.” Carl dengan keras menjawab, mata pria itu siaga ke arah belakangnya. Seraya terus berlari turun, para preman kiriman Alfred itu berhasil menyusul Carl. Beruntung dengan sempitnya tangga, ia bisa memanfaatkan peluang untuk memukul mundur dua pria besar itu. Dengan sigap, serangan dari dua pria pertama dihalau olehnya. Ia masih menyimpan alat kejut listrik di sakunya. Dua pria itu langsung terkapar di lantai sementara 3 orang lainnya terus mengejar Carl dan Kate. Setelah menuruni dua lantai, Kate yang mendengar suara ribut tahu, Carl sedang berjuang menghalau para preman itu. Ia sempat berhenti, sebelum kembali meneruskan langkah turunnya. Tiga orang berusaha mengeroyok Carl. Satu kaki dari salah seorang preman itu berhasil Carl pukul hingga terjatuh, memberi ruang pada Carl untuk memukul 2 pria lainnya dengan tongkat besi. Satu orang berhasil dilumpuhkan dengan kejut listrik. Satu orang lagi terlibat pertarungan tangan kosong dengan Carl di dasar tangga. Sementara Kate sudah berhasil keluar dari gedung dan segera menuju ke pintu mobil bagian kemudian.“Carl!” panggilnya sekeras mungkin. Setelah berhasil memberi bogem mentah pada lawannya, Carl memastikan dengan satu pukulan lagi ke arah kepala pria itu untuk membuatnya pingsan. Carl bermaksud menyusul Kate. Baru saja keluar dari pintu gedung, salah seorang yang tersisa dari para preman, yang kakinya sempat terluka tadi, mengejar Carl. Kate yang sudah menyalakan mesin mobil melihat dengan jelas, pria itu membawa sebilah pisau tajam. Carl bersiap mengambil kuda-kuda. Konfrontasi dengan tangan kosong tak bisa ia hindari. Pria itu terus menyerang Carl meski dengan kaki yang terluka. Dengan sigap, Carl menghindari berbagai serangan dan melancarkan pukulan keras ke arah pria itu. Keduanya bergulat di aspal. Carl yang mulai kelelahan kini berada di bawah. Gerakannya terbatas karena preman itu mendudukinya dan hendak menghunjam pisau ke jantungnya. Carl telah bersiap sekuat tenaga untuk menahan pisau itu saat mendadak terdengar bunyi ‘Bug’ yang keras. Preman itu tersungkur ke samping. Carl melihat Kate dengan napas terengah memandang jijik ke arah preman yang kepalanya baru saja dipukul dengan tongkat bisbol. Wanita itu mengulurkan satu tangannya yang bebas ke arah Carl, membantunya bangkit.“Dari mana kau temukan tongkat bisbol itu?”“Di bagasi mobilmu.” Kate langsung pergi ke kursi penumpang. Sementara Carl dengan sigap duduk di kursi pengemudi. Mereka bergegas pergi dari tempat itu dengan kecepatan penuh. Wanita berambut cokelat itu mengikat rambut panjangnya dengan karet rambut. Pakaian kerjanya yang tadi rapi, kini telah berantakan. Ia menatap ke pria yang duduk di sampingnya. Bodyguardnya itu tampak sama berantakannya dengan penampilannya sendiri. Bahkan, lebih parah. Wajah Carl terluka dan lebam. Darah sedikit terlihat dari tepi bibirnya.“Kita berhenti di apotek terdekat.”“Kenapa?”“Lihat lukamu.”“Tak perlu, aku punya kotak p3k di apartemen.”“Jadi, saat ini kita menuju ke apartemenmu?”“Hanya tempatku, satu-satunya yang aman saat ini, Kate.”Kate menghela napas, tak ada tempat lain untuk singgah saat ini. Ke mana pun itu tak masalah, asal ia bersama Carl.***“Bangun, Kate, kita sudah sampai.”Kate terbangun dari tidur singkatnya. Ia berada di area parkir bawah tanah. Carl mengetuk jendela mobil sekali lagi, mengajak Kate untuk turun. Wanita itu mengikuti langkah Carl. Sepanjang perjalanan, pandangannya beredar ke sekitar. Kate teringat saat ia menolak mentah-mentah tawaran Carl untuk tinggal di apartemen pria itu, alasannya karena keamanan di apartemen sederhananya tak memadai. Kate menolak tawaran itu dan memilih bodyguardnya itu tinggal di rumahnya untuk mempermudah penjagaan. Mata wanita berkuncir kuda itu melebar dan langkahnya terhenti begitu masuk ke dalam apartemen mewah bodyguardnya.“Silakan duduk, Kate.”Dengan tatapan tajam penuh curiga, Kate duduk di ruang tamu. Sementara Carl melepas jasnya lalu melempar ke sembarang tempat. Terlihat kemeja putihnya yang tercetak sangat pas di tubuh atletisnya, hingga membuat Kate segera memalingkan wajahnya.“Bisa bantu aku dengan ini?”Carl menyodorkan kotak p3k dan segelas air untuk Kate.“Tentu saja.”“Minumlah dulu.” Setelah meneguk sedikit air putih, Kate mulai mengobati luka di wajah Carl. Dengan sangat hati-hati dan perlahan, Kate mengoleskan obat. Meski yakin itu cukup menyakitkan, Carl tak bergeming sedikit pun. Pria itu justru ... menatapnya dengan intens dan hanya terdiam. Sementara Kate menahan napasnya tanpa sadar saat pandangan mereka bertemu dari jarak sedekat itu. Tangan Kate sulit untuk tetap tenang. Ia kembali menarik napas panjang. Tangan besar Carl menangkap tangannya yang gemetaran.“Rileks, santai saja.”Kate mengoleskan obat ke luka gores terakhir di wajah pria itu. Akhirnya, tugasnya selesai.“Maaf, aku belum bisa tenang.”“Aku tahu, kau pasti masih syok dengan kejadian tadi. Habiskan minumanmu, Kate.”“Sudah cukup. Kau saja.”Dengan santai, Carl menyambar gelas yang tadi diminum Kate, lalu menenggak habis air tersebut.“Carl, itu air sisa milikku.”“Tak masalah. Kuambilkan yang baru untukmu.”“Tidak, maksudku apa kau tak jijik.”Pria itu menyeka bibirnya dengan jari. Membuat tatapan Kate tak bisa berpaling.“Aku tak pernah merasa demikian denganmu.”Setelah tersenyum hangat, Carl beranjak dari duduknya.“Ayo, ikut aku.”Membuntuti Carl yang melangkah santai ke ruangan yang lebih ke dalam. Pria itu menunjuk pintu ruangan yang terletak di sebelah kiri, dekat ruang tengah.“Itu kamarku.”Masih terus berjalan lurus, di seberang kamar yang tadi ditunjuknya, Carl berhenti. Pria berambut hitam itu membuka pintu.“Ini kamarmu. Kamar mandi dan pakaian ada di dalam.”Kate dengan ragu melangkah masuk. Bibirnya setengah menganga. Kamar sebesar itu untuknya? Tunggu, semua kemewahan apartemen sejak ia masuk tadi tampak di luar nalar. Buka berarti ia yang berprofesi sebagai sekretaris presdir tak mampu menyewa atau membeli apartemen semewah ini, tapi, untuk ukuran seorang bodyguard, tempat tinggal ini tak terlintas di pikiran Kate.“Kau suka?” tanya Carl usai Kate mengedarkan pandangan.“Aku bersyukur tak perlu tidur di pinggir jalan, Carl. Terima kasih telah menampungku sementara waktu.”“Senang bisa membantu. Ada pertanyaan? Kau pasti lelah dan perlu segera istirahat.” Kate menatap Carl cukup lama. Sejak tadi, ia menahan rasa untuk mengatakannya.“Aku ... ingin bertanya. Melihat apartemenmu semewah dan seaman ini, kupikir Drake membayarmu dengan sangat mahal.”“Cukup mahal. Aku memiliki sedikit tabungan untuk membelinya.”“Kau membeli apartemen ini sendiri?”“Ya. Kau tak percaya?”“Tampaknya profesi bodyguard sangat menguntungkan.”Carl hanya tersenyum singkat. Kate menunggu respons dari pria di depannya itu, saat dering ponsel Carl berbunyi nyaring. Pria itu bergegas mengangkat panggilan usai menatap waspada ke arahnya lalu keluar dari kamar Kate.“Ya, Halo.”Kate yang haus akan rasa ingin tahu, melangkah perlahan mendekati Carl. Bukan kali pertama bodyguard tampannya itu menerima telepon dengan ekspresi serius dan waspada seperti ini. Seolah mendapat misi misterius yang ia saja tak boleh dengar.“Kenapa Anda terus meminta saya kembali ke rumah itu? Aku sudah memutuskan hubungan dan menjalani kehidupan baru dengan baik sekarang. Jangan ganggu aku lagi jika hanya untuk menyampaikan keinginan ayahku.” Ketegangan terdengar jelas dari getar suara Carl. Pria yang selalu ramah dan hangat, bahkan telah menjadi sahabat Kate delapan bulan terakhir itu berada dalam versi yang berbeda. Kate rasa, tiap kali menerima telepon secara rahasia seperti ini, perubahan suasana Carl terlihat memburuk. Tak terkecuali malam ini. Setelah menghentikan percakapan telepon, Carl berbalik menghadap ke kamar Kate. Pria itu terkejut saat Kate berdiri di belakangnya.“Kate, kau tidak beristirahat.”“Kembali? Kau akan kembali ke mana?”“Biasa, rumah,” jawab Carl sambil lalu. Pria itu melangkah menjauh. Ponselnya kembali berdering. “Ya, Tuan Drake.” Kate mengamati wajah lelah Carl yang kembali menghadapnya. Usai mengucapkan kata ‘saya segera ke sana’, Carl menutup panggilan itu. “Orang-orang suruhan Alfred sudah ditangkap, termasuk para preman yang tadi mengejar kita. Aku harus ke kantor polisi sekarang bersama Tuan Drake untuk memberi keterangan. Besok kau dan Nona Elena diminta datang ke kantor polisi.” “Aku bisa ikut denganmu ke sana sekarang.” Pria dengan garis rahang tegas itu mendekati Kate dan tersenyum. Tangannya menepuk pundak Kate. “Kau datang besok saja, istirahatlah.” Wanita berambut cokelat itu tak ingin menambah beban kepada Carl, jadi, ia menurut saja. Wajah sendunya tak bisa disembunyikan saat Carl melangkah keluar dari apartemen mewah itu. *** Kate berjalan bolak balik ke sana kemari. Pikirannya mencoba mencerna keadaan sekitar. Profesi bodyguard, apartemen mewah milik sendiri, bahkan kama
“Sayang sekali, proyek kerja sama dengan Spentwood Company hari ini akan menjadi proyek terakhirmu di kantor ini, Kate. Aku akan merindukanmu.” Wanita berambut pirang dengan muram menatap sahabat sekaligus sekretaris terbaiknya hingga detik ini. Sementara wanita berkaca mata tebal dengan rambut di ikat rapi tersenyum lembut. “Aku juga akan merindukanmu, jangan jadikan hari terakhirku masuk kerja sebagai hari yang sedih, Elena.” Mereka saling membalas senyum diiringi tatapan sendu. Sebelum sebuah suara dari salah seorang staf kantor menginterupsi. “Perwakilan dari Spentwood company, presdir baru mereka telah sampai.” Kate dan Elena mengangguk tanda mengerti dan segera berdiri untuk menyambut. Sekilas, kening Kate berkerut kala mengingat perkataan staf yang baru saja keluar ruangan. “Presdir baru? Aku baru dengar.” “Aku juga, Kate.” Detik berikutnya, seorang pria dengan tampilan jas rapi diikuti beberapa pria di belakangnya masuk. Kate berdiri di samping Elena telah menyiapkan
“Kate, apa yang terjadi?” Samar-samar, ia mendengar suara Carl yang terus memanggilnya. Tapi, ia tak punya tenaga untuk menanggapi. Matanya terpejam rapat, satu tangannya yang lain meremas selimut semakin erat.“Sakiiit ...”Keringat dingin mulai mengucur, perutnya semakin tegang. Tak lama kemudian, Kate merasa kepalanya bersandar, sebuah tangan besar mengusap lembut perutnya. “Ssst, tenanglah. Sudah, ya. Jangan marah lagi. Sstt...” Kate menarik napas panjang-panjang. Beberapa detik kemudian, kram perutnya mereda, kepalanya yang pusing juga menjadi lebih ringan. Perlahan, ia membuka mata. Carl memeluknya, kepalanya bersandar di dada pria itu. Kram perutnya menghilang, Kate merasa tubuhnya kembali normal dan tak kesakitan. Ia hanya diam, membiarkan Carl menenangkannya. Pikirannya membenci fakta jika sentuhan Carl berpengaruh besar padanya. Ia ingin menyangkal sekeras mungkin, tapi, tubuhnya tak mampu berbohong. Perlahan, wanita berambut cokelat itu menjauhkan dir
Diam-diam, wanita berambut panjang itu bernapas lega. Hanya beberapa menit setelah menelepon, pria itu mendadak berjalan ke arahnya. Apa mungkin Carl mengikutinya sejak keluar dari rumah sakit?“Kate.”Suara bariton Carl menyadarkan Kate dari lamunannya. Matanya mengerjap sebelum menatap pria di hadapannya itu.“Pria yang memakai topi dan baju serba hitam itu mengikutiku hingga masuk lift. Terlihat jelas, dia ingin mengikutiku sampai depan pintu apartemenku.”Refleks, Kate meremas lengan Carl cukup kuat saat melirik ke arah penguntitnya itu. Pria itu langsung menelepon seseorang.“Ada yang mengikutinya. Bersihkan area lobi. Aku akan mengirimkan ciri-cirinya.” Carl mengetik pesan pendek usai menutup panggilan untuk asistennya, sementara Kate mengerutkan kening.“Apa yang akan kau lakukan?”“Membersihkan sampah.”Tak lama kemudian, beberapa pria berperawakan pengawal masuk dan langsung membawa paksa pria penguntit itu keluar dari gedung. Semua orang menatap dan terk
Elena menatap ekspresi suaminya yang tertegun. Pria itu menaikkan satu alisnya lebih tinggi. Elena duduk di tepi ranjang seraya mengembuskan napas dengan berat.“Kate harus terluka karena Carl pergi tanpa kabar sedikit pun. Belakangan ia baru tahu kalau mengandung anaknya. Kalau saja kau beritahu lebih awal, mungkin aku bisa mencari ke keluarga Spentwood untuk membantu Kate.”“Maaf, aku tidak tahu kalau situasinya seperti ini, Elena. Kurasa, situasi Carl saat ini juga buruk.”“Apa maksudmu?”“Tadi kau bilang Carl datang ke kantormu sebagai CEO baru Spentwood Company, kan? Itu artinya, ia telah menggeser posisi sang kakak tertua. Dari yang kudengar, Letisha tak terima dengan pengaturan ini.” Begitu mendengar penjelasan singkat Drake, Elena menutupi wajah dengan dua telapak tangannya. Kepalanya semakin sakit memikirkan sahabatnya itu.“Kate hanya ingin hidup tenang, sepertinya ia tak bisa melakukannya sekarang.”Tatapan sendu Elena ke arah luar jendela. Ia tahu betul k
Pria dengan garis rahang tegas itu menatap penuh harap pada Kate. Menunggu dengan sabar bola mata cokelat yang menatapnya tak percaya. Perlahan, Kate mendekatkan tubuhnya ke arah Carl. Pria itu tersenyum semakin lebar saat jaraknya dengan Kate semakin sedikit. Perlahan, tangan Kate terangkat ....“Sepertinya ini lebih baik, agar kau tetap terjaga dari omong kosongmu juga.” Kate mencubit lengan Carl di tangan yang tak terluka dengan cepat. Pria itu memekik kesakitan sesaat sebelum memberi tatapan tanya pada wanita di depannya. Terdengar suara terkekeh dari Lex, asisten sekaligus pengawalnya serta sang sopir. Baru setelah mendapat tatapan tajam melalui spion di bagian dalam mobil, kedua orang itu menghentikan tawa kecilnya.“Kita hampir sampai, Nona.” Setelah suara sang sopir terdengar, Kate memperhatikan jalanan di sekitarnya. Hanya tampak seperti jalan satu arah. Hanya bisa dilewati satu mobil. Kanan kiri jalan seperti hanya ada hutan kecil. Masih cukup jauh sampai
Wanita dengan rambut panjang dan bergelombang itu duduk kembali di tempatnya dua jam lalu. Mengembuskan napas dengan kasar usai menatap Carl cukup lama. Pria itu sudah tertidur kurang lebih dua jam. Dari jarak yang cukup dekat ini, Kate bisa melihat dengan jelas wajah Carl. Pria itu sepertinya sengaja memelihara brewok tipisnya. Potongan yang cukup rapi dan menambah kesan semakin maskulin. Berbeda dengan Carl versi bodyguardnya dulu, yang selalu rajin mencukur kumis dan rambut di sekitar rahangnya. Tapi, kini pria itu tampak berbeda dengan tampilan barunya. Rambut hitam legam pria itu juga tampak lebih panjang sedikit dari yang terakhir kali ia lihat. Ada gurat muram yang sesekali terlihat sejak kali terakhir ia bertemu lagi dengan Carl. Rasa benci pada pria itu kembali menguat. Melihat Carl yang berbaring dalam keadaan sakit tak menyurutkan rasa kesalnya, mengingat kembali masa 1 bulan yang dijalaninya.“Mengagumi wajah tampanku, My lady?”Sorot mata tajam Kate kem
Wanita yang memakai dress selutut warna biru laut itu berjalan-jalan santai. Menikmati udara pagi yang segar usai sarapan. Langit biru nan cerah menambah semangatnya pagi itu. Sebisa mungkin, ia akan menikmati waktu sementaranya di mansion klasik ini.“Tamannya tampak ... dingin.”Komentar dari Kate itu didengar oleh Mary yang berjalan di sampingnya.“Saya tidak banyak tahu tentang taman, Nona.”Kate menghentikan langkah. Menatap cukup lama taman di depannya. Tangannya bersedekap di depan dada sejenak.“Coba lihat dan rasakan. Menurutmu apa ada yang kurang?”Menuruti Kate, Mary melakukan hal yang sama. Mengamati taman itu cukup lama dan berpikir.“Saya rasa ... sepi. Semacam itu.”“Ya, itulah yang kumaksud. Mary, kau sangat peka.”Wanita berambut cokelat madu itu tersenyum seolah bangga dengan tanggapan Mary. Ia melanjutkan langkah.“Sepi dan dingin, kurang berwarna lebih tepatnya. Akan lebih bagus jika banyak bunga di sini. Berbagai macam bunga. Oh, ya, tapi, bukan ur
Senyum hangat dari wajah cantik itu terlihat. Seraya mengangkat telapak tangan dan mengamati jari lentiknya dari balik sinar matahari yang menembus kaca mobil, Kate tak berhenti takjub. Sementara pria yang mengemudi di sampingnya menggelengkan kepala beberapa kali.“Begitu senangnya ya memakai cincin itu?” tanya Carl dengan mata yang masih fokus ke jalanan.“Ya, apa lagi jika terkena terpaan sinar, bulannya tampak bersinar.” Wanita berambut cokelat itu menurunkan tangannya, menoleh ke arah suaminya yang terkekeh melihat sikapnya.“Cincin itu memang cocok untukmu, begitu kau pakai langsung terasa pas di jarimu.”“Ya, kupikir ukuran jari ibuku bisa dibilang sama denganku.”“Kau memang ditakdirkan menjadi pemilik cincin itu, sayang.”“Ngomong-ngomong, kita mau ke mana?”“Hampir sampai. Kejutan besar untukmu sudah menanti.” Tak sampai lima menit kemudian, mobil yang dikendarai pasangan suami istri itu masuk ke sebuah pelataran yang asri. Rumput hijau yang menyegark
Makan malam berlangsung dengan tenang, bahkan terlewat tenang hingga untuk menelan makanan pun, Kate merasa terdengar jelas. Ia lebih banyak menyimak pembicaraan ketiga pria di ruangan itu.“Jadi, kau sudah berjanji pada kami untuk membantu tiga bar yang akan dibangun di Inggris, Carl, tepati janjimu.”Suara dalam dari kakek Carl terdengar. Wibawa yang kentara jelas dari nada suara pria tua itu mengalihkan pandangan Kate ke suaminya.“Ya,” jawabnya singkat.“Ini tidak berat kan, Carl, ekspresimu kenapa harus seperti itu? Kau lupa bagaimana ekspresimu dulu saat menebas habis musuh-musuhmu? Bahkan, seorang Carl tak akan bergeming dengan darah yang terciprat ke wajahnya.”Matteo menimpali dengan sikap menyebalkannya, sementara Kate menatap tanpa berkedip ke arah Matteo. Sedangkan kakek Carl hanya menghela napas panjang. Pria tua dengan jubah tidur yang mewah itu menatap Matteo.“Jaga sopan santunmu di depan seorang lady.”“Aku tidak berpikir dia lupa seperti apa suaminya, Tu
Pria dengan iris mata warna cokelat terang itu terkekeh melihat sikap Carl yang tak bersahabat. Lalu, kembali menatap ke arahnya. Kate Spentwood kini jelas melihat warna iris mata cokelat cerah itu kebalikan dari pemiliknya. Rahang tegas, tubuh tinggi besar dan sorot mata licik yang menambah kesan kasar mampu dirasakannya. Tapi, bukan Kate namanya jika ia merasa terintimidasi.“Selamat siang, Tuan Matteo,” sapa Kate dengan ramah. Pria itu masih berdiri di sampingnya.“Jadi, apa Anda yang menyebabkan sahabatku ini enggan pulang ke rumah Ketua?”“Abaikan saja dia, Matteo memang selalu sekasar ini.”“Tak apa, Carl aku bisa mengerti. Tuan, kenapa Anda pikir saya yang membuat suami saya enggan menemui kakeknya?”“Saya hanya menebak. Wanita cantik dan lembut seperti Anda pasti dengan mudah melumpuhkan hati pria membosankan sepertinya,” ujar Matteo yang menatap Carl dengan remeh.“Tidak juga. Tak ada alasan bagi saya untuk mempengaruhi suami saya agar tak bertemu kakeknya, bukan?”
Bagai permen kapas yang lembut nan manis, awan-awan putih yang melayang di sebelah pesawat itu tampak menawan. Hampir terlihat tak bergerak, meski begitu, dengan background langit biru cerah, benda langit satu ini bagai penyempurna. Apa lagi wanita berambut panjang warna cokelat itu sangat menyukai langit secerah ini. Pandangan Kate pada awan dari kaca di sebelahnya tak pernah lepas. Senyumnya terkembang sejak tadi. Bahkan, moodnya begitu bagus usai melihat pemandangan di depannya ini.“Kau begitu menyukainya?” tanya Carl yang duduk di sampingnya.“Ya. Menenangkan melihat langit biru, apa lagi dari dekat.”“Sayang, ada yang ingin kukatakan.”Pria yang menggunakan jaket bomber warna krem yang dipadukan kaus putih itu berlutut di dekat kursi VIP Kate.“Ada apa?”“Sebenarnya aku menggunakan kesempatan ini untuk mengecek kantor distributor cabang Italia juga. Jadi, aku perlu sekali atau dua kali mampir. Apa kau keberatan?”“Tentu saja tidak. Ini waktu yang tepat, mumpun
Aroma kopi yang khas menyeruak ke sekitar, ketika wanita dengan dress warna ungu lembut itu menyeduh kopi ke sebuah cangkir putih. Setelah membuat finishing tampilannya, ia memencet sebuah tombol. Panggilan antrian otomatis terdengar. Seorang pria muda maju ke arah antrian dan menerima pesanan kopinya.“Selamat menikmati,” ucap Kate dengan senyum manisnya.“Terima kasih, nona. Aku selalu menyukai kopi di sini.”Pria muda itu masih berdiri di posisi yang sama. Ya, Kate sangat familier dengan wajah pria muda itu. Bukan karena mengenalnya, tapi, ia tahu pria ini sering kali ada di kafenya. Entah untuk sendiri atau bersama teman-temannya.“Terima kasih, syukurlah jika rasanya sesuai dengan selera Anda.”Tak hanya mengulas senyum, Kate juga sedikit menundukkan kepalanya saat mengatakan kalimat tersebut.“Kalau boleh, saya ingin mengenal nona lebih baik lagi. Apa boleh saya meminta nomor, nona?”Pria muda bermata biru dengan garis rahang tegas itu terang-terangan mengutarakan k
Sebuah benda seringan angin mulai terasa di area lehernya. Kate mengerutkan kening seraya mencoba menebak benda apa itu. Gambaran bulu seketika muncul di benaknya. Gerakan yang begitu perlahan yang semakin ke bawah, hingga ke area dadanya, membuat Kate menahan napas. Suaminya itu sengaja memainkan bulu seringan kapas itu lama di tempat yang sama hingga membuat Kate menggigit bibirnya. Saat menarik napas lagi, bukannya mereda, rasa geli semakin dirasakannya. Kedua tangannya yang terikat mulai mengepal, perlahan, rasa geli berubah menjadi sesuatu yang semakin membesar dan menuntut.“Hhnngh, ahh.”Sebuah erangan terdengar dari bibir tipis berwarna orange tersebut. Hal yang selanjutnya ia rasakan, Carl melumat bibirnya dengan rakus. Tangan besar pria itu masih setia menjelajahi tubuhnya dengan bulu yang lembut tersebut. Setelah memberi ruang padanya untuk bernapas, Carl menurunkan bulu itu sampai ke area perut. Mengujinya dengan cara yang sama cukup lama, hingga suara yang d
Jari-jari lentik itu menutup panggilan dengan wajah lesu. Kate menatap pantulan dirinya pada sebuah cermin besar. Rambut yang digulung rapi, dress berbahan jin warna biru dan tak lupa, kalung cantik dengan bentuk hati pemberian Carl tergantung di lehernya dengan anggun. Jari lentik itu kini menyentuh kalung itu dengan wajah sendu. Wanita berambut cokelat itu ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya, usai menyelesaikan berbagai hal yang menahan hatinya selama ini. Baru saja hatinya merasa lapang karena keduanya mampu bersikap terbuka satu sama lain, pria itu harus pergi. Dua hari dua malam kini terasa bagai dua tahun lebih. Padahal, suara maskulin pria itu baru saja menyapanya melalui sambungan telepon, tapi, rasa rindunya semakin parah. Hari yang terasa panjang bagi seorang wanita yang menanggung kerinduan dalam sunyi. Meski tersenyum pada staf kafe dan pelanggannya, semua itu hanya mampu mengalihkan perhatian sejenak dari perasaannya yang muram. Hati yang sa
Wanita berambut cokelat itu mengibaskan tangannya karena merasa sedikit gerah. Tatapannya masih tertuju ke arah gelas di depannya.“Memangnya harus segera dicoba?”“Tidak juga, tapi, melihat kau merapatkan pahamu sejak tadi dan terlihat gerah, mungkin dugaanku tak salah.” Kedua mata berwarna cokelat itu langsung menatap ke arah Carl. Ia seperti dilucuti dengan mudah oleh suaminya itu. Kate segera meneguk habis wine di gelasnya.“Aku sudah kenyang, Carl.”“Aku masih lapar meski steaknya sudah habis. Tapi, sayangnya, ini hanya bisa kau atasi. Bukan dengan steak.” Carl tersenyum hanya ketika membalas tatapan istrinya itu. Semakin ia menggoda dan memojokkan Kate, semakin banyak kesenangan yang ia dapat. “Sebaiknya kita pulang.”“Pilihan bagus, sayang. Kita tak akan dapat apa pun jika terus duduk di sini, kan.” Keduanya segera beranjak pergi dari tempat makan itu. Setelah kesunyian di dalam mobil, saat sampai, Carl segera menggandeng istrinya itu dan menoleh
Syukurlah, pagi ini Carl tak menggodanya lagi tentang kado dari Elena kemarin. Ia sendiri juga terkejut begitu melihat isi kado tersebut. Hari ini cuaca mendung. Padahal, Kate ingin membeli peralatan melukis. “Carl, sepulang dari kafe, aku ingin mampir membeli peralatan melukis. Nanti jemput saja di dekat toko tempat aku membelinya.” “Baiklah, hati-hati, cuacanya mendung. Jangan terlambat, nanti malam kita makan malam di luar.” “Baiklah.” Sore itu, dengan transportasi umum, Kate segera pergi ke toko. Baru saja ia sampai di toko tersebut. Hujan turun dengan deras. Seraya menunggu hujan reda, Kate dengan santai memilih barang-barang. Membeli berbagai macam alat untuk melukis. Ia bahkan membelikan satu set untuk Lucy. Setelah membayar di kasir, Kate segera keluar dari toko. Hujannya hanya sedikit mereda. Beruntung tas belanjaannya tahan air. Ia merogoh saku roknya dan segera mengirim pesan kepada Carl. “Carl, aku sudah selesai berbelanja barang. Kau tadi mengirimiku pesan sedang