Di sisi lain, Bella tengah duduk di ranjang dengan deru napas naik turun. Ia sedari tadi menelepon Naresh, tetapi tidak satupun panggilannya terjawab."Argh! Sial!" teriaknya penuh kebencian.Pikirannya mulai berkecamuk, "apa wanita tidak tahu diri itu sengaja menahan Naresh malam ini? Sialan! Aku harus segera kasih pelajaran."Bella bangkit dari duduknya, wanita itu menyambar ponsel, dan lekas berjalan keluar menuju unit kamar milik Clara. Tangannya mengepal ke udara dan bersiap-siap mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Hening! Sama sekali tidak ada jawaban dari dalam. Bella semakin mengetatkan rahang, wanita itu kemudian kembali mengulangi gerakannya mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Masih sama. Hingga tidak terasa sudah tiga puluh menit ia berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. Di tambah dengan lorong hotel yang sepi dan tidak ada suara sama sekali, rasanya sedikit mencekam berdiri di sini sendirian."Argh! Kok nggak di buka, sih, pintunya?!" Bella membalikkan badan dan lekas masuk l
Clara masih berbaring di ranjang setelah beberapa saat lalu pegawai hotel membawakannya sarapan. Pangkal pahanya masih perih, di tambah tubuhnya yang sedikit demam lantaran semalam kurang tidur karena Naresh yang terus-terusan menggempurnya.Drrrt!Mama is calling!Clara menghela napas lirih, baru saja ia ingin memejamkan mata setelah meminum obat, tetapi Mama mertuanya melakukan panggilan telepon. Dengan cepat wanita cantik itu menggeser tombol hijau guna menjawab telepon tersebut."Halo, Mah.""Halo, Sayang. Maaf, ya, pagi-pagi Mama mengganggumu," ucap Anne si seberang telepon."Nggak, Mah. Aku lagi nggak ngapa-ngapain ini.""Tapi suara kamu kok lemes, Sayang? Naresh nyakitin kamu lagi, ya?"Clara tertawa lirih mendengar nada khawatir Mama mertuanya. Anne memang sangat over protektif kepada menantunya, maklum saja karena wanita paruh baya itu belum sepenuhnya mempercayai Naresh."Aku cuma lelah, Mah. Ini tadi niatnya mau tidur setelah sarapan," jawab Clara."Tapi Naresh nggak macem-
Clara merasakan perutnya lapar hingga membuatnya terjaga dari tidur, sementara Naresh masih memeluknya. Netranya melihat pada jam yang bertengger di dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan sore hari.Pantas saja perutnya melilit, ternyata ia melupakan makan siang. Akhirnya Clara memilih keluar kamar untuk menuju kantin. Langkahnya masih hati-hati karena harus menahan panas di area pangkal pahanya."Loh, itu kayak Bella?" gumamnya saat melihat sosok Bella tengah duduk di kantin dengan sarang pria yang tidak ia kenali."Ternyata gatal kepada semua laki-laki, aku kira sama Mas Naresh saja. Dasar ulat bulu," gumamnya lagi.Wanita cantik itu melangkah cuek ke dalam kantin dan lantas mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Hal itu jelas saja di sadari oleh Bella.""Heh!" Bella menggebrak meja Clara hingga seluruh pengunjung menatap aneh pada mereka."Kekasihku kau sembunyikan di mana?! Kau ini pelakor kecil yang tidak tahu malu, ya, rupanya?!"Terdengar banyak bisikan dari orang-orang s
Setelah perdebatan tersebut, Naresh benar-benar pergi meninggalkan hotel itu. Lelaki itu tidak jadi ke kamar istrinya, tetapi langsung menuju mobil guna meninggalkan pulau ini. Sementara Clara, wanita itu terpaksa mengikuti suaminya, tentu saja dengan beberapa bodyguard yang mengawasi.Setelah beberapa jam di perjalanan, baik darat maupun udara, mereka berdua sudah sampai di kota. Clara langsung memasuki rumah dan menuju kamarnya, sedangkan Naresh hanya mencebikkan bibirnya melihat tingkah sang istri yang mengacuhkannya."Apa Clara tidak berpikir koper beratnya ini aku yang bawa? Dasar tidak peka, bisa-bisanya dia melupakan aku dan barang-barangnya," gerutunya sebal.Lelaki itu langsung menyusul Clara ke kamarnya dengan langkah tergesa. Tangannya mengepal ke udara dan mengetuk keras pintu di depannya, tetapi Clara sama sekali tidak menjawab. Lelaki itu mengulanginya beberapa kali, hingga ia nampak lelah dengan istrinya yang mengacuhkannya. Alhasil, Naresh turun dengan tampang kesal.
Suara sirine bersahut-sahutan, perasaan mencekam dan khawatir sontak menyeruak di dalam dada Clara. Bukan hanya mengkhawatirkan Kenzie, tetapi ia juga mengkhawatirkan suaminya."Jangan risaukan keadaannya, Cla. Dia tidak akan mati hanya karena tusukan kecil."Clara menoleh, menatap pada suaminya yang masih fokus pada laju mobil."Kamu menusuknya di beberapa bagian, Mas. Wajar kalau aku khawatir. Kalau Kenzie sampai kehabisan darah apa kamu nggak khawatir?'"Ada banyak kantung darah di rumah sakit. Apanya yang susah?"Clara menggelengkan kepalanya. Wanita cantik itu menatap tidak percaya pada suaminya yang begitu santai menghadapi situasi ini."Dia bisa menuntut kamu, Mas," lirih Clara yang langsung membuat Naresh menoleh."Dia nggak bakal bisa ngelakuin itu."Hening! Clara tidak lagi menjawab.Mobil yang di tumpangi mereka sudah terparkir di halaman rumah sakit. Keduanya lantas turun menyusul Anne yang sudah masuk bersama Kenzie, nampak di sana wanita paruh baya itu sedang mendudukkan
Pagi hari.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, Anne masih setia bersama Clara yang masih bingung menghubungi banyak relasi mereka, dan Naresh masih belum kembali hingga detik ini. Wajah kedua wanita itu sudah lesu, terlihat jelas dari kantung mata yang menghitam."Sudah ada kabar dari Naresh, Cla?"Clara menggeleng lemah. Air matanya kembali menitik seiring dengan ponsel suaminya yang juga tidak aktif.Dap! Dap! Dap!Anne dan Clara sontak menoleh saat mendengar langkah kaki yang menunju ke arah mereka, keduanya berharap yang datang adalah Naresh. Namun, sayangnya alam tidak menyetujui. Dari arah koridor nampak Dokter melangkah tergesa dengan suster yang mengikutinya dari belakang."Maaf, Nyonya. Apakah sudah di temukan pendonornya? Sisa waktu tinggal tiga jam lagi, keadaan pasien juga semakin kritis, dan kami harus segera melakukan penanganan.""Tunggu beberapa saat lagi, Dokter," timpal Clara dengan raut wajah memohon.Sang Dokter melihat ke arah benda yang melingkar pad
"Loh, Naresh. Kamu dari mana, Sayang? Clara mana?" tanya Anne lambut."Aku nggak tahu, Mah."Wanita paruh baya itu tak ayal mengernyit bingung, tetapi beberapa saat kemudian dari arah luar muncul lah menantunya itu dengan langkah lemas dan wajah pucat."Clara," lirih Anne dan langsung melirik ke arah putranya yang hanya cuek.Anne bisa langsung menebak kalau anak dan menantunya pasti baru saja berselisih paham."Kamu dari mana, Cla? Kamu 'kan masih lemas.""Aku habis cari angin, mah." jawabnya singkat."Sendirian?"Clara melirik singkat kepada suaminya yang tengah asyik bermain ponsel seakan tidak peduli dengan kehadirannya. Dengan cepat wanita cantik itu kembali melihat mertuanya dan lekas menganggukkan kepala.Mereka lantas duduk di kursi tunggu sembari menunggu Dokter menangani kenzie. Tanpa ada yang tahu, bahwa sedari tadi tidak sedetikpun Clara memalingkan pandangannya dari Naresh. Ah, rupanya wanita cantik sangat menyesal.Menit berlalu...Dokter sudah keluar dari ruangan dengan
Beberapa hari kemudian.Naresh semakin mendiamkan Clara, ia hanya akan membuka suaranya jika di tanya, dan selebihnya keheningan lah yang Naresh tampakkan. Bahkan lelaki itu tidak lagi mau memakan masakan yang telah di siapkan oleh istrinya. Ia hanya akan memakan makanan yang telah di siapkan oleh Bibi, hal itu tak ayal membuat Clara bersedih.Namun, rasanya jauh berbeda di bandingkan saat awal pernikahan mereka, ini adalah kesalahannya. Oh, sungguh ini adalah situasi yang amat sulit bagi Clara."Mas, lima belas menit lagi ada meeting," ucapnya yang hanya di angguki singkat oleh Naresh.Jika boleh memilih, wanita cantik itu akan lebih memilih Naresh berbicara kasar dan meluapkan segala kekesalannya padanya, bukan malah mendiamkannya seperti ini. Bagi Clara, ini seribu kali lipat sakitnya di bandingkan bentakan paling keras yang pernah di lontarkan suaminya."Nanti siang mau makan di mana, Mas?""Aku sudah ada janji dengan asistenku.""Oh, ya sudah kalau begitu."Hening! Naresh tidak l