Sashi diam di kamar menatap rentetan pesan yang dikirimkan Bumi. Dia tidak berani membacanya, sampai ada lebih dari 20 notifikasi pesan yang sama sekali belum dibuka. Nanda juga berada di kamar, duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuan. Dia melirik Sashi yang hanya diam memandang telepon. Melihat raut wajah istrinya yang terlihat murung, membuat Nanda memutuskan untuk menutup laptop, lantas turun dari ranjang. “Kamu ingin makan di kamar, atau turun ke restoran?” tanya Nanda menawari sebab sejak sore Sashi belum makan. “Di mana saja boleh, aku sedang tidak bersemangat ke mana-mana,” jawab Sashi tanpa menoleh Nanda. Nanda mengerutkan satu alis, merasa aneh dengan sikap Sashi yang berubah dan berbeda dengan siang tadi. Akhirnya Nanda pun memesan layanan kamar, agar membawa makan malam ke kamar. Nanda melihat Sashi yang masih terlihat murung, hingga berpikir apakah wanita itu sedang rindu dengan orang tuanya, mengingat ucapan Langit yang mengatakan jika sebenarnya Sashi anak m
“Apa alasanmu ingin menjadi dokter, sedangkan masih banyak profesi lain yang mungkin cocok denganmu?” Nanda tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu, membuat Sashi yang duduk di sebelahnya langsung menoleh. Keduanya berada di atas ranjang, terlihat guling berada di tengah untuk membatasi wilayah mereka masing-masing. “Karena aku ingin mengobati orang-orang di sekitarku ketika mereka sakit,” jawab Sashi kemudian mengalihkan pandangan dari Nanda. Kini Nanda yang menoleh ke Sashi, melihat wanita itu memandang ke arah luar kamar. “Jika sakit, tinggal bawa ke rumah sakit. Banyak dokter yang akan menangani, kenapa harus kamu?” tanya Nanda penasaran, apalagi mertuanya sempat membahas soal ibu kandung Sashi yang meninggal karena sakit, juga mertua perempuannya yang mengidap penyakit tak bisa disembuhkan. Sashi tersenyum getir mendengar pertanyaan Nanda, hingga kemudian membalas, “Kamu takkan pernah tahu, bagaimana rasanya tidak bisa berbuat apa-apa, padahal orang tuamu membutuhkanmu.” Sash
“Bodoh! Kenapa kamu harus membahas itu?” Jantung Sashi masih berdegup kencang, bahkan setelah semalaman tidur pun masih tak bisa membuat pikirannya tenang. Sashi terlalu panik, begitu Nanda melepasnya, dia langsung pindah ke sofa, takut jika Nanda melakukan sesuatu kepadanya. Semalaman Sashi tak bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan sampai pagi pun masih terbayang-bayang kejadian semalam. Kejadian semalam mengajarkan Sashi satu hal, jangan memancing emosi Nanda karena pria itu cukup mengerikan ketika murka. “Sudah bangun?” Suara dengan bariton tinggi itu membuat Sashi berjengit karena terkejut. Sashi bangun perlahan lantas mengintip dari sandaran sofa ke arah Nanda yang sudah berdiri di samping ranjang sambil merapikan pakaian. “Kamu mau tinggal di kapal terus?” tanya Nanda lagi karena Sashi tak menjawab. Pria itu berdiri memunggungi sofa. “Tentu saja tidak,” jawab Sashi lantas bangun dengan sempurna. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum akhirnya berdiri karena harus turun
Setelah beberapa hari pergi berlibur, akhirnya Nanda dan Sashi pulang. Keduanya langsung pergi ke rumah yang akan ditempati, sudah ada 2 pembantu dari rumah Rihana yang menjaga dan mengurus rumah itu. “Besok aku ingin ke rumah Mommy.” Baru saja mereka sampai di rumah, Sashi sudah membahas ingin berkunjung ke rumah orang tuanya. Nanda yang baru saja akan masuk kamar, langsung menghentikan langkah dan menoleh Sashi yang berjalan di belakangnya. “Harus besok?” tanya Nanda. Sashi sempat terkejut karena Nanda berhenti dengan cepat, tapi kemudian menganggukkan kepala. “Bisa pergi sendiri? Besok aku harus sudah ke kantor,” kata Nanda yang tak bisa lebih lama meninggalkan pekerjaannya. “Oh … aku bisa pergi sendiri. Kamu kerja saja.” Sashi malah terlihat senang mengetahui Nanda tak bisa mengantarnya. Sashi bahkan tersenyum lebar, terlihat jelas jika dia senang sendiri daripada bersama pria itu. “Malamnya kita ke rumah Mama, dia pasti bertanya kenapa kita tak ke sana, jadi usahakan sore
“Mau saya bantu bawa, Nona.”Saat baru saja sampai rumah. Sashi langsung disambut Rina yang ingin membantunya membawakan barang bawaannya.“Tidak usah,” tolak Sashi tak ingin ada yang tahu, apa saja yang dibawanya.“Tapi itu kelihatan berat, Nona.” Rina melihat Sashi membawa sebuah benda dibungkus kain putih.“Ini ringan, kok. Bahkan aku bisa membawanya dengan satu tangan. Sudah jangan cemas.” Sashi mencoba meyakinkan Rina.Sashi pun berjalan ke arah kamar pribadinya, hingga langkahnya kembali terhenti.“Oh ya. Kamu tidak usah membersihkan kamar pribadiku, aku yang akan membersihkannya sendiri,” kata Sashi mengingatkan.Rina hanya mengangguk mendengar perkataan Sashi.Sashi berjalan masuk ke kamar pribadinya, lantas menyalakan lampu kamar itu, sebelum kemudian membongkar apa yang dibawanya.Dia hanya membawa pulang easel dan beberapa peralatan melukis yang dibutuhkan.“Sepertinya besok aku perlu membeli beberapa cat dan kanvas sebelum kembali bekerja,” gumam Sashi yang senang karena a
“Sashi sudah pulang?” tanya Nanda begitu Rina menyambut. “Sudah, Tuan. Non Sashi ada di kamar pribadinya,” jawab Rina sambil menunjuk ke kamar milik Sashi. Nanda mengangguk mendengar jawaban Rina. Dia pun pergi ke kamar pribadi Sashi untuk memanggil karena harus bersiap-siap pergi ke rumah Rihana. Saat baru saja akan sampai di kamar pribadi istrinya, Nanda melihat pintu terbuka sedikit bersamaan dengan Sashi yang keluar dari sana. “Kenapa mengendap-endap seperti maling?” tanya Nanda saat melihat Sashi keluar menyelinap karena pintu kamar tak terbuka lebar. Sashi berjengit karena terkejut mendengar suara Nanda. Dia menoleh dan melihat suaminya itu sudah ada di hadapannya. “Siapa yang mengendap-endap? Aku keluar dengan cara yang biasa saja,” balas Sashi mengelak. Dia memang tak ingin membuka lebar pintu kamar itu sebab takut ada yang melihat isinya. Nanda menyipitkan mata mendengar jawaban Sashi, tapi kali ini sedang tak ingin berdebat dengan istrinya itu, membuat Nanda akhirnya
Nanda dan Sashi pergi bersama setelah mendapat telepon masing-masing. Mereka pergi tanpa memberitahu keluarga, hanya berkata ingin keluar sebentar. Keduanya sampai di sebuah persimpangan jalan, banyak orang yang berkerumun di bahu jalan. Nanda pun menepikan mobil dengan cepat di sisi jalan, lantas keluar bersama dengan Sashi. Saat sampai di sana, Hanzel langsung menoleh ke Sashi yang baru saja datang. “Kak.” Pemuda itu langsung menyapa kakak sepupunya. “Kamu tidak kenapa-kenapa?” tanya Sashi mengecek kondisi Hanzel. “Aku baik saja. Tapi ….” Hanzel menoleh ke tempat duduk yang sedang dikerumuni orang. Nanda langsung mendekat mendengar ucapan Hazel, hingga melihat Clara yang menangis di sana. Clara langsung bangun melihat Nanda datang, bahkan memeluk pria itu dengan erat. Nanda bergeming saat Clara memeluknya, sedangkan Sashi terkejut tapi hanya memandang saja. “Aku takut. Aku tidak sengaja.” Clara bicara sambil terus memeluk. “Apa yang terjadi?” tanya Nanda akhirnya bicara set
Clara membanting pintu mobil begitu sudah turun saat sampai di rumah. Nanda begitu terkejut dan tak habis pikir kenapa Clara bisa bersikap seperti ini. Dia menatap sang adik yang sedang berjalan masuk rumah. “Kamu sudah ….” Rihana ingin menyapa putrinya itu, tapi sayangnya Clara mengabaikan. Clara memilih berjalan begitu saja, seolah sang mama tidak terlihat padahal berpapasan. Nanda melihat Clara yang tak menyapa sang mama, hingga Rihana menoleh ke Nanda yang baru saja masuk. “Bukankah kamu tadi pergi bersama Sashi? Kenapa pulang bareng Clara? Di mana Sashi?” tanya Rihana karena tak melihat menantunya pulang. Nanda memilih merangkul sang mama, lantas mengajak duduk dulu untuk menjelaskan. Rihana bingung tapi juga cemas karena Nanda tak langsung membalas. Nanda menceritakan yang terjadi dengan Clara ke Rihana saat mereka sudah duduk bersama. “Apa Hazel baik-baik saja?” tanya Rihana karena tentunya tahu siapa Hazel. “Dia baik, hanya lecet karena jatuh saja. Tapi sepertinya Cla