“Jadi, Bapak ini mau gimana, setelah membuat pernyataan seperti tadi di depan semua orang?”Raffael menghela napas panjang, tetapi tetap tersenyum. Ia sedang teheran-heran dengan nasibnya, karena baru sepagi ini sudah harus mendengarkan ocehan 2 orang wanita. “Memangnya mereka orang?” tanya Raffael terkekeh geli. Ia membayangkan isi ruang rapat tadi seperti kebun binatang. “Dari HRD, hanya manajernya yang datang.” Raffael mulai mengoceh. “Dan kamu masih menganggap orang tua-tua itu manusia. Mereka mungkin mayat hidup.”Manda terkesiap mendengar atasannya memberi label tak manusiawi pada mereka.Seolah belum cukup, Raffael melanjutkan, “Diandra pun sama. Kurasa aku harus memecatnya.”Manda hanya bisa terdiam. Mungkin kalau bukan karena dia dekat dengan Raffael, pasti tadi sudah jadi bulan-bulanan mereka di ruang rapat.Dan menyadari kalau Raffael sampai marah seperti ini hanya karena dirinya, membuat Manda tersentuh. Hanya saja, cara pria itu yang membuat Manda pusing tujuh keliling
“Bye, Ma, Pa!” seru Manda dari dalam mobil.Diana melambaikan tangannya. Ia menahan air mata, pedih melepas putrinya. Tangan kekar Rowan merangkul erat dirinya, memberi kekuatan. “Bye, Sayang! Jangan lupa sering-sering pulang!”Suara gemetar sang ibu membuat Manda mencengkram kerah bajunya. Mereka tak pernah terpisah tempat tinggal. Walau banyak kesibukan, tapi mereka selalu pulang ke tempat yang sama.“Raffa,” panggil Manda setelah ia kembali duduk di jok belakang, di samping Raffael. “Apa bisa semua ini selesai dalam waktu kurang dari 1 tahun? Aku sudah ingin pulang.”Suara Manda terdengar lemah. Pada akhirnya ia menyerah pada air mata yang tak lagi bisa dibendung.Raffael merangkul kepala gadis itu dan mendekatkannya ke dalam pelukan. “Maaf, aku membuatmu sedih, Manda.”Mungkin karena tak tahu harus bagaimana meluapkan kesedihannya, ia membalas pelukan Raffael. Tangis pecah, seperti anak kecil. “Tenang saja. Kurasa aku bisa menyelesaikan semua dalam waktu 3 bulan ini.” Raffael be
“Tega lah,” tukas Manda tegas. “Salah siapa suruh saya cepet-cepet pindah.”Wajah Raffael terlihat seperti anak anjing yang sedang merajuk. Membuat Manda kesulitan menahan tawanya. “Buka dulu, Pak. Kali aja ada tiker buat bapak tidur.” Manda menjahilinya lagi. Sayang, yang dijahili tak tahu apa itu tikar.“Tiker? Apa itu? Aku baru dengar.” Raffael mengerutkan dahi sambil menempelkan kuncinya pada pintu. “Dan kau denda Rp 200 ribu.”Manda tergelak sementara tangannya ikut mendorong pintu masuk. “Jadi nggak seru ih! Tikar tuh apa ya kalau bahasa inggrisnya. Hm … sejenis karpet tapi dari bahan plastik.”Dahi Raffael semakin berkerut. “Kamu mau aku tidur di atas plastik?! Kejam.”Ha! Ha! Ha!Manda hanya tertawa saja. Tak menjawab lagi. Ia memutuskan untuk melihat-lihat apartment-nya itu sekali lagi. Terakhir datang, tak semua tempat ia amati. “Aku mau beresin barang bawaanku dulu.” Manda berjalan menuju kamar yang dipilih Raffael untuknya. Namun, ia terkejut ketika membuka kamar itu,
Karena tak mungkin menahan tubuh Raffael, Manda memutuskan untuk memutar badannya. Ia tidak mungkin melakukan ciuman itu lagi. Ia tidak berniat memperdalam perasaannya yang sudah mulai mempengaruhi.“Kita nggak akan ngelakuin ciuman di depan orang, jadi nggak perlu dibiasakan, Pak!” pekik Manda berusaha mengubah pikiran Raffael. Namun, Raffael malah terkekeh. “Itu kan salah satu cara agar kita semakin dekat.”Pada akhirnya, Raffael mengecup pipi Manda dan menyerah. “Aku akan tidur di kamar lain,” ungkapnya. “Tenang saja. Aku hanya bercanda soal tidur bersama.”Mengetahui kalau sejak tadi ternyata ia hanya dijahili, Manda menggembungkan pipinya kesal. Baru saja ia berniat membuka mulut untuk protes, suara perutnya membuat Raffael tertegun sejenak sebelum akhirnya tergelak.“Kau belum makan?” tanya Raffael sambil menyeka ujung netranya. Ia tertawa sampai mengeluarkan air mata tadi.Wajah Manda memerah. “Sudah,” jawabnya sambil menutupi wajah. “Tapi karena terlalu tegang, aku nggak
“Kau di mana?” Camelia bertanya dengan nada tertahan. Anak pertama dari keluarga Indradjaya itu ingin sekali menghajar Raffael karena tidak kunjung datang. Satu Minggu sebelum perayaan ulang tahun Adam Indradjaya—kepala keluarga juga ayahanda dari Camelia dan Raffael, Seria meminta semua anak cucunya datang untuk membicarakan persiapan pesta.Dan sudah hampir mendekati waktu yang dijadwalkan, tidak ada tanda-tanda Raffael akan datang. Semua pesannya tak ada yang mendapat balasan.“Di rumah.” Suara kantuk Raffael jelas menggambarkan keadaannya. “Ada apa, Camelia?”“Sudah kubilang kemarin!” tukasnya tak sabar. “Hari ini makan siang sama Mom-Dad. Kau sudah gila apa?! Malah baru bangun!”“Ah … video call saja. Tunggu aku mandi dulu. Sekarang aku lagi sama Manda.”Pikiran Camelia spontan menebak hal negatif yang mungkin dilakukan adiknya itu pada Manda. “Kau—”Tut … tut … tut ….Camelia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya ke atas, hingga rambut poninya tertiup. Sang suam
“Bos, Tuan Raffael ada di apartment-nya.”Seorang pria kurus dengan tubuh pendek mendekati Reinhart di teras kamar tamu. Masih ada waktu sampai Raffael menghubungi mereka, jadi Reinhart memilih untuk di kamar.CEO perusahaan pengeboran lepas pantai itu mengangguk menerima informasi. Sejurus kemudian, sang pengintai menambahkan, “Mohon maaf, Bos, tapi saya tidak yakin kalau itu benar tuan Raffael. Posisinya seolah sengaja tidak memperlihatkan wajah.”“Ken.” Reinhart menghela napas kemudian tersenyum manis penuh ancaman. “Kalau tahu begitu, telusuri sampai kau yakin. Jangan beri saya informasi setengah matang!”Suara Reinhart mungkin terdengar lembut, tetapi semua anak buahnya tahu ancaman seperti apa yang ada di belakangnya. Si pengintai bergidik ngeri. Ia segera mundur setelah pamit, “Dimengerti, Bos!”Reinhart memijat dahinya yang mulai pusing. ‘Kalau bukan karena Amel pusing ngurusin Raffa, aku nggak akan mau ikut mikirin.’Beberapa menit kemudian, Camelia masuk ke kamar mencariny
“Raffael! Kau—ugh! Benar-benar anak kurang ajar!” seru sang ayah sambil memegangi tengkuk lehernya. Seria panik melihat suaminya kesakitan. Ia segera menyuruh ART mengambilkan obat. “Easy, old man. Aku nggak mau disalahkan karena kau jatuh sakit nanti.” Raffael terkekeh geli. Camelia sendiri sudah menundukkan wajahnya. Frustasi dan juga berusaha menyembunyikan bibirnya yang tertarik dari ujung ke ujung, tak kuasa ia tahan.Bahkan Reinhart tak lagi menutupi fakta bahwa dirinya benar-benar tertawa. Bahunya sampai bergetar karenanya.Namun, anak kedua keluarga tersebut malah terlihat santai, seolah tidak melakukan hal buruk terhadap orangtuanya. Sejak sang ayah dulu menghukum Raffael dengan membuangnya ke luar negri tanpa satupun keluarga, anak bungsu itu tak lagi menaruh hormat pada kedua orang tuanya.“Jangan terlalu diambil hati, Dad. Sebaiknya kita mulai saja.” Reinhart mengusulkan. Seria mengangguk setuju. “Raffael, dengarkan Mom. Untuk rapat keluarga hari ini, Mom nggak akan p
Sementara Raffael berkutat membalas ocehan kakak perempuannya, Manda sibuk di dapur. Ia menenggelamkan pikirannya dengan membuat pancake.‘Apa hari ini aku boleh pulang ke rumah ya? Rasanya mau nangis.’ Manda menimbang-nimbang. Sekuat tenaga ia menahan air matanya saat mendengar rencana ibunda Raffael untuk acara ulang tahun. Sedikit banyak Manda sudah diberitahu oleh Camelia bahwa ibunya memang berencana menjodohkan Raffael dengan anak gadis dari keluarga Soreim. “Manda!” seru Raffael yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. Suara riang itu membuatnya sedikit kesal. ‘Bisa-bisanya dia happy dan aku malah terpuruk begini,’ keluhnya.“Apa?” balas Manda, tak melepaskan pandangannya dari wajan yang sedang memanggang pancake.“Camelia mau belikan laptop baru buatmu. Hahaha!”Kali ini Manda penasaran. Ia segera memindahkan pancake yang sudah matang itu ke atas piring dan mematikan kompor. Dibawanya piring itu ke meja bar. Ia duduk berhadapan dengan Raffael. “Gimana ceritanya sampai bisa be
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju
“Aku cukup tua untuk atur hidupku, Pa,” keluh Bintang. “Apa kalian semacam detektif? Datang mau interogasi?”Raffael mendengus. “Kalau kau nggak buat masalah, Mama Papa juga nggak akan sibuk urusin hidup kamu, Bintang.”Bintang memutar manik matanya. Ia memang sengaja membuat banyak skandal untuk meminimalisir perempuan mendekatinya. “Fine. Kalian sudah makan pagi? Karena aku lapar.”“Aku sudah makan roti dari kulkasmu, Nak. Kau bisa buat makan pagi sendiri.” Manda menyesap teh yang sudah hampir habis. Bintang membawa dirinya ke dapur, membiarkan kedua orang tuanya tetap mengajukan pertanyaan, sementara ia memasak sarapan pagi. “So, kamu akhirnya pacaran dengan Adelia?” tanya Raffael dengan nada penuh curiga. “Papa baru dengar beberapa menit lalu kalau kamu baru saja meresmikan hubungan pura-pura kalian.”Bintang terkekeh. Ia cukup lega karena sang ayah tidak mulai pembicaraan dengan memarahinya karena sudah membuat rencana gila seperti menjadikan Adelia sebagai pacar pura-puranya.