‘Aku cuma tameng. Nggak usah jatuh cinta segala. Nggak penting!’ rutuk Manda.Pada akhirnya, gadis malang itu memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia sudah memuaskan diri dengan tangisan sepanjang siang dan memasang hati baja untuk bisa melanjutkan tugasnya sebagai tameng. Ia berjalan menuju kamar Raffael sambil mengatur napasnya. Pintu kamar sang bos tak pernah ditutup, jadi ia bisa langsung masuk ke dalam.“Ya udah, ayo beli gaun!” ujar Manda tanpa basa-basi.Raffael tersenyum lebar, tetapi lengkungnya berbalik ke bawah saat melihat wajah Manda. Terutama mata sang kekasih.“Kau nangis?!” Raffael tertegun. Ia mengira Manda masuk ke kamar karena marah padanya dan bukan karena menangis. Ia mencoba menyentuh pipi gadis itu, tetapi tangannya ditepis. “Jam berapa mau jalan? Saya siap-siap dulu.” “Manda, Hon. Maaf aku membentakmu tadi, kamu nangis karena itu?”Manda mendengus. ‘Masih bisa pula drama manggil hon-hon-hon segala.’“Nggak usah peduliin itu!” tukasnya lagi. Ia kemudian m
“Ka—kaki!” pekik Raffael ketika ia mendengar Manda keluar dari ruang display.“Kaki kamu keliatan semua, Manda!” Pria itu mengoceh lagi. Raffael mendatangi Manda dengan wajah kesal dan membalik tubuh gadis yang mengenakan mini dress berglitter, warna silver. “Jangan pendek! Jangan terlalu rendah bagian dadanya!”Staf tersebut mengangguk-anggukkan kepala, seolah ia yang kena marah. Namun, Manda malah terkekek-kekeh mendengar Raffael mengoceh.Manda tak tahu dampak penampilannya barusan. Raffael jadi teringat lagi saat mereka bertemu pertama kali. Manda juga hari itu mengenakan gaun mini seperti tadi. Ia menutupi wajahnya. Frustasi. Bukan karena Manda tak mendengarkan batasan yang sudah ia tetapkan, tetapi karena ia tak bisa menyentuh Manda yang terlihat begitu memesona.‘Dia mau aku jalan dengan kaki mengangkang apa gimana?!’ gerutunya lemas.Sementara itu, Manda masih saja mencoba gaun ini dan itu. Karena memakan waktu cukup lama, Raffael akhirnya ikut masuk ke ruang tersebut.Ia me
“Di mana kau kemarin?”Raffael menatap Camelia dengan pandangan menegur. Pasalnya wanita itu masuk tanpa mengetuk pintu dan langsung bicara dengan nada menuduh.Dengan wajah malas ia menjawab, “Aku di kediamanku, Camelia Lou.”“Ha! Nggak perlu anak buah Reinhart mengintai kamu, aku bisa lihat di video call kemarin, tembok di belakangmu bukan seperti yang ada di apartment-mu, Raffa!”Raffael yang tengah mengetik di laptop kembali menghentikan gerakan jarinya. “Itu juga kediamanku. Memangnya kau saja yang punya banyak rumah? Apa yang kau ributkan sih, Camelia?”Camelia tertegun. “Kau beli properti baru?”“Tidak ada hubungannya denganmu, Camelia.” Raffael terdiam sesaat, kemudian ia memberikan perintah gila. “Regan keluarkan ibu CEO ini dari ruanganku.”“Apa kamu bilang?!” raung Camelia murka. Regan sebagai bodyguard yang bekerja untuk Raffael jelas mematuhi perintah itu. “Baik, Bos!”“Berani kamu—ah! Regan! Lepasin saya!” pekik Camelia, berusaha melepaskan diri dari pitingan Regan. “Ku
Raffael: Manda.Manda menatap layar ponselnya, membaca pesan Raffael dari notifikasi. Ia tak ingin membuka pesan dari pria itu kalau bukan urusan pekerjaan.“Apa pula, kirim pesan cuma manggil. Nggak jelas amat,” keluhnya sambil membalik tubuh di atas kasur.Sudah 4 hari ia pulang ke rumah orang tuanya. Raffael juga tiba-tiba mendapat permintaan untuk pergi dinas menemui Mahen. Jadi, Manda bisa bebas di kantor. Tak perlu menghadapi sang presiden direktur. Baru saja ia akan bangun dan bersiap ke kantor, ponselnya bergetar panjang. Ia melirik untuk melihat siapa yang menghubunginya sepagi ini, dan mengeluh karena nama yang muncul di sana adalah atasannya. Presdir Raffael Indradjaya. “Jiah! Nelpon pula! Apa ada masalah sama kerjaan ya? Apa dia perlu sesuatu?” Bimbang, Manda mau tak mau menerima panggilan itu. “Selamat pagi, Pak!” sapa Manda sopan.“Hon—”Tut … tut … tut ….Manda langsung menutup teleponnya. Jelas sekali bukan pekerjaan yang akan jadi topik pembicaraan mereka.Dengan
Hari Sabtu tiba.Sejak kemarin sore Raffael sudah mengirim pesan pada Manda bahwa Tara akan menjemput hari Sabtu sekitar pukul 5 sore. Setelah itu Raffael tak bisa dihubungi lagi karena ia dalam perjalanan pulang dari dinas.Manda sudah mencoba sejak semalam untuk membuat Raffael tidak membawanya ke pesta, tapi Raffael tidak menggubrisnya.Padahal ia sudah mengalah dan kembali ke apartemen sejak Jumat sore kemarin, demi mencoba meluluhkan hati sang presdir. Malah pria itu tak pulang karena Mahen menahannya di Amerika.“Gimana ini … sudah jam 1 siang. Aku masih belum bisa gagalin rencana Raffael,” gerutu Manda panik.Tiba
“Sial! Ada apa ini?!”Raffael bermaksud menjemput Manda, tetapi ketika tiba di depan kamar dan membunyikan bel berkali-kali, Manda tak kunjung membukakan pintu. Bahkan Regan menghilang tiba-tiba dan tak memberikan laporan. Ia sudah meminta bagian resepsionis untuk membawakan kunci lain kamar tersebut. “Bos.”“Chang! Apa kau menemukan Regan?”Pria kurus bermata sipit itu mengangguk. “Dia kena racun. Saya sudah menyuruh orang untuk membawanya ke rumah sakit.”“Lalu, Manda?”“Saya lihat Nona Manda sudah ada di ballroom, Bos. Bersama Nona Camelia.”Tak menunggu lama, Raffael bergegas menuju ballroom. Setibanya di sana, ia mencoba mencari Camelia di area makan keluarga. Anehnya, ia hanya melihat Camelia. Tidak ada Manda di dekatnya atau di sekitar ruangan itu.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Panggilan masuk dari Regan, akhirnya. “Regan!”“Bos, Saya dan Chang kena jebakan. Sepertinya ada yang berniat menghentikan Nona datang ke pesta hari ini.”Raffael tertegun. “Chang?! Tapi tadi—” Ia k
“Kau tanya begitu saja pasti sudah tahu jawabannya, Nona.”Gideon tiba-tiba bergabung dalam obrolan Manda dan Emilia.Manda paham dengan perkataannya. Kalau ia menganggap mereka pelaku, sudah pasti ia takkan setenang sekarang. Hanya saja ….“Pengakuan akan terasa lebih menenangkanku, Pak Gideon.” Manda beralasan.Gideon terkekeh. “Benar. Dan lagi kalau tebakanmu kami adalah penolong, juga tak sepenuhnya benar.”Spontan Manda menaikkan dinding pertahanan mendengar pengakuan pria bertubuh besar itu. “Apa maksudnya?”Emilia mengambil pertanyaan itu untuk ia jawab. “Kami yang menjadi pelaku. Tapi kami melakukan itu untuk menolongmu. Kamu belum tahu Soreim hanya lembut di permukaan.”Gideon mengangguk membenarkan, sementara Manda masih tak bisa memahami apa konteks yang sedang mereka bicarakan.“Hari di mana kamu dipilih Raffael menjadi sekretaris pribadinya, keluarga Soreim mengirim mata-mata ke hotel kamu menginap.”Gideon memberi contoh mengenai perilaku keluarga Soreim.Manda mencoba me
“Iya, Bu. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Raffael juga untuk hari ini.”Manda menjelaskan posisinya. Ia tidak mau orang mengira dirinya mengambil kesempatan untuk menjadi dekat dengan sang presdir.“Orang tuamu tahu?” Camelia bertanya lagi. “Mereka tahunya saya harus menjadi kekasih pura-pura sebagai bantuan. Bantuan untuk ganti rugi vas itu. Kalau saya bicara dari awal, saya nggak mungkin kasih tahu mereka soal malam itu.”Camelia semakin pusing dibuatnya. Ia menyandarkan kepala di punggung jok mobil dan menghela napas panjang. “Lalu, apa kau mencintai Raffael sekarang?”Deg!Jantung Manda seperti jatuh ke perut. Ia tidak menyangka bahwa sang CEO akan menanyakan itu. “Aku perempuan, Manda. Kalau aku ada di posisimu, yang setiap hari dimanja pria setampan Raffael, aku mungkin luluh.”Manda meringis. “Well, nggak semua begitu, Bu. Saya nggak memiliki perasaan seperti itu pada Pak Raffael. Saya tahu batasan saya.”Camelia menatap Manda, seolah mencari kebenaran atas pernyataan
“Ab—eh?!” Netra Adelia yang setengah terbuka tadi bertemu pandang dengan Bintang yang baru saja akan membilas rambut. Bintang tersenyum lembut. “Eh … kau mau mandi denganku, Lia?”“Pa—Pa–Pak Bintang?!” pekik Adelia, menutupi matanya.Menyadari kalau ternyata ia sedang berada di rumah Bintang membuatnya langsung panik dan kembali ke lantai 3. “Astaga!” Adelia membanting tubuhnya, tengkurap di atas kasur. “Apa yang kulakukan barusan?!”Ia mencoba menghilangkan rekaman ingatan mengenai tubuh atletis Bintang yang jarang terdeteksi di balik jas kerjanya, tetapi sia-sia. Karena hanya gambaran itu lah yang kini memenuhi pikiran Adelia. Semakin matanya tertutup, semakin sadar kalau ia melihat semuanya. Setelah menenangkan diri, Adelia mulai duduk di pinggir kasur dan mengamati tempat itu. “Aneh bentuk kamarnya. Naik ke atas begini. Di bawah ada kasur juga dan kayaknya tadi masih ada tangga turun ke lantai 1.”Ia mencoba mengingat-ingat kantor Bintang yang berada di apartemen, tetapi tak
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju