“Nak, Mama masuk ya.”Manda terkejut. Ia mengepal kedua tangannya seraya menunggu sang ibu membuka pintu. Ketegangan Manda membuat hati Diana merasa semakin tak karuan. Demikian pun, ia melangkah masuk dengan senyum lembut terpatri di wajah. “Kamu mau ngobrol apa sama Mama?” tanya Diana. Ia menurunkan tubuhnya, duduk di pinggiran tempat tidur, di sebelah Manda. “Apa ini masih soal memulai untuk kos?”Manda mengangguk. Ia belum berani mengucap kata. Pikirannya masih sibuk memilah dari mana ia akan mulai bicara.“Nak … apa ada alasan yang kamu sembunyikan sampai kamu harus kos?”Kepalan tangan Manda semakin erat. Ia terlalu angkuh mengira sang ibu tidak akan tahu kalau ada rahasia yang disembunyikan. “Apa mungkin kau hami—”“Aku mecahin vas antik Pak Bos.”Keduanya bicara hampir dalam waktu bersamaan. Dan ketika telinga masing-masing mendengar apa yang dikatakan lawan bicaranya, netra mereka membulat kaget. “Mama kira aku hamil?” tanya Manda tak percaya dengan tebakan ibunya. Dian
Suasana ruang makan sunyi. Kepala keluarga Adinata—Rowan, memanggil Manda setelah ia mendengar cerita dari istrinya. Ia mencoba membuka percakapan, tetapi lagi-lagi yang keluar hanya helaan napas panjang. Berulang kali.“Enam ratus miliar bukan angka main-main.” Rowan akhirnya memecah keheningan. “Papa nggak punya uang segitu. Bahkan kalau harus mencari pinjaman bank, nggak akan turun sebesar itu, Nak.”Manda menunduk. Ia jadi kesal sendiri karena semua ini membuat seolah dirinya yang bersalah. Karena memecahkan vas antik, mereka jadi terjebak permainan sang presdir.Hanya saja, memang tak ada cara lain selain ini. Ia tidak mungkin juga mengatakan semua klaim Raffael yang absurd sejak awal itu.Putri tunggal keluarga Adinata itu angkat bicara. “Makanya lebih mudah kalau Manda turutin mau dia.”Mencari cara agar lebih meyakinkan lagi, ia pun menambahkan, “Manda nggak pakai hati kok. Santai aja sebenarnya. Manda cuma mau kasih tahu soal permintaan Pak Raffael soal pindah ke apartemen.
“Kalau aku benar-benar mencintai Manda, apa itu termasuk menyeretnya ke dalam masalah keluargaku?”Rowan tertegun mendengarnya. Mungkin kalau Manda mendengar perkataan atasannya itu, ia bisa mengamuk. Karena tidak sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati—bahwa orang tuanya tahu hubungan mereka hanya sebatas kontrak.Pria tua itu mendengus geli, seolah ia sudah mendengar lelucon paling tak masuk akal. “Jangan bercanda, Pak Raffael,” tegur Rowan. “Anda punya segalanya. Wanita mana yang tidak akan mengejar Anda. Kenapa harus Manda?”“Karena mereka bukan Manda.” Raffael menjawab singkat. “Saya mau Manda, Papa mertua.”Rowan terlihat tak tenang. ‘Ini nggak seperti cerita Manda. Menurutnya hubungan ini nggak berdasarkan cinta, tapi kenapa orang ini—’“Saya tahu.” Raffael membuka mulut, membuat kereta pikiran Rowan terhenti. “Manda menganggap semua ini hanya diatas kertas. Tapi saya memang sudah jatuh cinta padanya.”Rowan berpikir, ‘Kalau seperti ini, lantas bagaimana dengan Manda? Ap
“Gimana, Bu Elena?” tanya Melly, salah satu rekan kerja Manda.Wajah Manda dan juga Ria terlihat mengantisipasi jawaban si kepala sekretaris itu. Ia tidak pernah berpikir ada karyawan kantor yang bermasalah sampai berujung ke penjara. “Apa dia ketahuan korupsi besar-besaran?” tanya Ria lagi. Manda jadi teringat tuduhan Raffael soal korupsi terhadap dirinya dulu. Walau bukan korupsi uang tapi korupsi waktu karena ia pulang lebih cepat saat jam kerja belum selesai. “Bukan. Bukan soal korupsi. Kriminal malah.” Elena mulai bicara. “Saya kaget juga ada yang sampai melakukan itu.”“Korupsi juga kriminal, Bu.” Ria menambahkan. “Iya juga ya. Tapi ini kriminalnya parah. Katanya dia sewa orang buat celakain staf. Bahkan kata orang yang disewa, dia disuruh perkosa staf itu.”Deg!Hati Manda terasa masam. Jantungnya seperti berdetak kencang satu kali pompa. ‘Kenapa kejadiannya kayak yang aku alami. Astaga!”Manda terkesiap ketika menyadari sesuatu. Ia menutup mulutnya, kaget dengan kesadarann
“Mau ngapain?” Elena menahan Manda. “Katanya mau bicara sama keluarga Mbak Ervina, Bu. Sama HRD juga.”Ia sudah tahu keluarga Ervina tidak datang dengan niat meminta maaf. Jadi, ia sedikit menaikkan dinding pertahanan. Elena tidak suka anak buahnya menghadapi hal buruk. Terlebih ia tahu Manda punya hubungan khusus dengan presiden direktur mereka.“Ngapain lagi?!” Suara Elena mulai meninggi. Staf HRD bernama Wandi itu menggeleng. “Saya cuma diminta manggil Mbak Manda, Bu.”“Nggak apa-apa, Bu. Saya nggak mungkin nggak datang kalau dipanggil Bu Diandra.” Manda berdiri, bermaksud mengikuti Wandi.Elena paham. Ia pun memutuskan untuk menyusul. “Saya ikut.”Ria dan Melly juga sangat ingin ikut menemani. Membayangkan Manda yang baru beberapa minggu bekerja di sana dan harus berhadapan dengan direktur wanita yang super cerewet itu membuat mereka panik. Sayang, mereka tidak sebebas Elena yang sudah memiliki jabatan di level manajerial di bawah sekretaris perusahaan.“Semangat, Bu El!” pek
“Pak Raffael!” sapa Amry penuh hormat.Pria paruh baya berwajah kotak itu cukup kaget dengan kehadirannya. Jadi, ia memutuskan untuk bertanya, “Ada apa, Pak?”“Saya dengar sekretaris pribadi saya dipanggil ke sini.” Dengan santai Raffael duduk di sebelah Manda. “Jadi, apa ada masalah?”Diandra terlihat tak berani mengangkat kepalanya. Namun, ibunda Ervina yang tidak kenal siapa Raffael langsung berkicau. “Saya hanya mau laporan yang dimasukkan oleh sekretaris ini ditarik lagi. Saya nggak mau anak saya masuk penjara.”Manda terdiam tak bicara. Toh ia sudah menjelaskan tadi bahwa bukan dirinya yang melaporkan Ervina.“Bukannya Manda sudah menjelaskan kalau bukan dia yang masukin laporan?” tanya Raffael dengan nada menyindir. “Saya sudah dengar semua tadi.”Tubuh Diandra seperti tersengat. Kaget bahwa presdir itu menguping sejak awal. Semua orang juga tak berani bersuara, membuat si ibu pelaku jadi berpikir dua kali untuk bicara lebih lanjut.Raffael kemudian mulai mengoceh. “Bu Diandra
“Kau ….” Camelia memijat jembatan hidungnya. Menghela napas lelah. Putus asa menghadapi kelakuan Raffael yang semakin tak masuk akal.Setelah menghentikan pertemuan tak formal dengan orang tua Ervina tadi, Camelia langsung ke ruang kerja Raffael.“Apa yang kamu lakukan di sini, Camelia?” tanya Raffael tak merasa ia melakukan sesuatu yang layak membuat kakak perempuannya itu terlihat frustasi.Helaan napas panjang sengaja ia keraskan, agar adiknya itu tahu kalau ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana jika sampai berita soal hubungan dengan Manda tersebar luas.‘Yang penting aku sudah memberi mereka peringatan bahwa hal itu adalah rahasia. Mereka nggak boleh menceritakan ini kepada orang lain.’ Camelia mencoba menenangkan diri.“Raffa. Jangan kamu ulangi ini. Kalau sampai ada yang melaporkan ke Mom atau Dad, bahaya untuk Manda. Apa kamu nggak takut?”Raffael mendengus. “Takut? Sudah kubilang, aku bisa hidup tanpa keluarga itu. Kau juga tak perlu ikut campur.”Camelia terdiam. Ia terk
“Jadi, Bapak ini mau gimana, setelah membuat pernyataan seperti tadi di depan semua orang?”Raffael menghela napas panjang, tetapi tetap tersenyum. Ia sedang teheran-heran dengan nasibnya, karena baru sepagi ini sudah harus mendengarkan ocehan 2 orang wanita. “Memangnya mereka orang?” tanya Raffael terkekeh geli. Ia membayangkan isi ruang rapat tadi seperti kebun binatang. “Dari HRD, hanya manajernya yang datang.” Raffael mulai mengoceh. “Dan kamu masih menganggap orang tua-tua itu manusia. Mereka mungkin mayat hidup.”Manda terkesiap mendengar atasannya memberi label tak manusiawi pada mereka.Seolah belum cukup, Raffael melanjutkan, “Diandra pun sama. Kurasa aku harus memecatnya.”Manda hanya bisa terdiam. Mungkin kalau bukan karena dia dekat dengan Raffael, pasti tadi sudah jadi bulan-bulanan mereka di ruang rapat.Dan menyadari kalau Raffael sampai marah seperti ini hanya karena dirinya, membuat Manda tersentuh. Hanya saja, cara pria itu yang membuat Manda pusing tujuh keliling
“Ab—eh?!” Netra Adelia yang setengah terbuka tadi bertemu pandang dengan Bintang yang baru saja akan membilas rambut. Bintang tersenyum lembut. “Eh … kau mau mandi denganku, Lia?”“Pa—Pa–Pak Bintang?!” pekik Adelia, menutupi matanya.Menyadari kalau ternyata ia sedang berada di rumah Bintang membuatnya langsung panik dan kembali ke lantai 3. “Astaga!” Adelia membanting tubuhnya, tengkurap di atas kasur. “Apa yang kulakukan barusan?!”Ia mencoba menghilangkan rekaman ingatan mengenai tubuh atletis Bintang yang jarang terdeteksi di balik jas kerjanya, tetapi sia-sia. Karena hanya gambaran itu lah yang kini memenuhi pikiran Adelia. Semakin matanya tertutup, semakin sadar kalau ia melihat semuanya. Setelah menenangkan diri, Adelia mulai duduk di pinggir kasur dan mengamati tempat itu. “Aneh bentuk kamarnya. Naik ke atas begini. Di bawah ada kasur juga dan kayaknya tadi masih ada tangga turun ke lantai 1.”Ia mencoba mengingat-ingat kantor Bintang yang berada di apartemen, tetapi tak
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju