Tak! Tak! Tak! Tak!Suara pena menghantam meja kayu jati di ruang kerja pribadi Raffael, “Bisa nggak, jauhkan pulpen-mu dari sana, Raffael.” “Kau menganggap aku bisa tenang setelah mendengar ceritamu?” Camelia terdiam lagi. Ia membiarkan adiknya itu terus saja mengetuk meja dengan pena di tangannya.Anak pertama keluarga Indradjaya itu mendatangi apartemen Raffael keesokan harinya, setelah kunjungan ke rumah orang tuanya.Berita mengenai rencana orang tua mereka mengundang keluarga Soreim jelas cukup mengganggu ketenangan Raffael. “Aku nggak yakin Mom akan menerima alasanmu memacari Manda.” Camelia membuka percakapan. Raffael terdiam cukup lama. Untungnya, ia tidak lagi berisik dengan pena itu. “Kalau begitu, aku akan membuang nama belakangku. Toh aku juga nggak perlu ada di kartu keluarga mereka. Aku punya cukup uang untuk hidup terpisah dari Indradjaya.”Mulut Camelia menganga mendengar resolusi sembarangan dari adiknya.“Jangan sembarang bicara, Raffa. Kau bukan hanya akan me
“Baju?” tanyanya lagi dengan wajah polos. “Nggak? Ini baju yang kupakai nanti buat makan siang sama Pak Raffael.”Yuike melongo, kemudian menepuk dahinya kencang. Putus asa dengan kelakuan sahabatnya itu. “Kau pikir dia semacam Julius yang ngajak makan di pecel ayam pinggiran?”Manda merasa kesal karena Yuike mengaitkan makanan favoritnya saat uang menipis. “Ada apa sama pecel ayam? Kan enak. Lagian pecel ayam nggak ada siang-siang.”“Please! Ganti baju!” pekik Yuike tak peduli dengan komentar Manda soal pecel ayam. Ia segera membuka lemari pakaiannya dan berusaha mencari pakaian yang setidaknya lebih baik dari yang dipakai anak itu. “Ke, baju kamu lebih besar dari ukura—” Manda menutup mulutnya seketika, karena Yuike melempar tatapan maut. “Maksudmu aku gendut?” tanya Yuike dengan nada penuh ancaman. “Kau bilang aku lebar bukan gendut?”Memang menurut Manda, Yuike bukan gendut, karena perut sahabatnya itu rata dan bagus. Hanya saja, tubuhnya lebar. Mungkin susunan tulang? “Itu d
“Wh–tap—”Regan hanya bisa menganga, tak tahu harus merespon bagaimana terhadap perintah majikannya itu. Sementara dengan langkah ringan, Raffael keluar dari restoran itu, masuk ke sebuah taksi yang ada di lobi. “Pak, sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Manda dengan wajah kebingungan. Rambutnya yang sudah susah payah ditata Yuike berantakan, saking semua berjalan begitu cepat. Dengan senyum lebar mengembang di wajah, Raffael merapikan tiap helai rambut Manda sambil berkata, “Aku tidak tahu kau dandan secantik ini. Kita akan makan di restoran yang sudah kupesan.”Manda berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi dan juga kalimat atasannya barusan, karena ia tidak yakin dengan apa yang ditangkap otaknya. ‘Jadi, sebenarnya ketemu di restoran tadi buat apa?’ batin Manda bertanya-tanya. “Manda, jangan lupa untuk memanggil dengan nama. Kau sudah berapa kali melanggar perjanjian.”Manda terdiam memucat. Kini otaknya sibuk menghitung apakah dia malah menderita kerugian karena banyakny
“Seratus juta!” pekik Manda setelah Raffael melepaskannya. Pria itu terkekeh singkat sambil mencubit pelan hidung Manda. “High maintenance woman.”Untunglah pesanan mereka mulai berdatangan dan Raffael teralihkan. Setidaknya Manda bisa menggunakan waktu itu untuk menenangkan diri. Pikiran Manda berusaha mengingatkan hatinya untuk tidak terbuai dengan manis perlakuan Raffael, tapi memang sudah tak tertolong lagi sedalam apa Manda telah jatuh. Sesekali ia akan melirik bos tampannya itu, menikmati pemandangan yang sejujurnya selalu membuat hati bergetar. Selama ini, getaran itu tertutup dengan tingkah Raffael yang menjengkelkan. ‘Kalau tenang kayak gini, kan ganteng,’ batin Manda puas. ‘Yang penting jangan kumat aja jahilnya dia itu.’“Manda, ayo makan. Kenapa kamu bengong, Hon?”Tubuh Manda bergidik lagi mendengar panggilan itu. Dengan tergesa ia segera mengambil sendok dan garpu, kemudian mulai mencicipi makanan yang ada di hadapannya. Rasa-rasa unik yang belum pernah singgah dal
“Kenapa, Hon?” tanya Raffael melihat Manda seperti membatu di depan pintu apartemen. “Ayo, masuk!”Manda menatapnya penuh arti. Raffael juga sadar kalau pada akhirnya gadis yang rela dandan cantik demi kencan hari ini, sudah mengetahui berapa banyak apartemen yang ia beli. Belum juga Manda mengutarakan protesnya, Raffael sudah langsung berkata, “Aku juga akan tinggal di sini, jadi sekalian saja kubuat seperti rumah.”‘Ha … duit dia sih. Aku bisa apa?’ keluhnya dalam hati. Ia akhirnya melangkah masuk mengikuti Raffael. Semakin ia dibuat terkejut karena tata letak setiap barang mengingatkannya pada jawaban yang ia berikan saat atasannya itu tiba-tiba menanyai semua hal pribadi yang ia suka.‘Beneran dia buat sesuai mauku,’ batin Manda, berusaha menahan diri untuk tidak terlihat terlalu bahagia.“Kau suka? Ada yang mau kau ubah?” tanya Raffael. Tangannya menepuk pelan punggung Manda, seolah mendukungnya untuk mengutarakan pendapat.“Kau tahu aku nggak mungkin nggak suka semua ini, Ra
Manda menatap langit-langit kamarnya. Ia memutuskan untuk pulang menggunakan taksi dari rumah sahabatnya itu.Ucapan Yuike masih terngiang dalam ingatan. Memang terasa membahagiakan ketika pertama kali ia mendengarnya tadi, tetapi ketika ia sampai di rumahnya kenyataan seolah menghantamnya.‘Dia punya segalanya. Nggak mungkin dia menyukai perempuan sepertiku,’ batin Manda pedih. ‘Aku seperti orang bodoh, yang nggak tahu batasan.’Ia menekan matanya yang terasa panas, seolah ingin menghalangi air mata yang akan menggenangi netranya. “Harusnya aku beneran resign kemarin.”Tok! Tok!Manda segera menghapus air matanya ketika ia mendengar pintu kamar diketuk.“Ya?”Kepala Diana melongok ke dalam, kemudian tersenyum. “Manda, Nak! Makan malam sudah siap!”“Oke! Bentar aku balesin pesan Yuike dulu.”“Mama tunggu di meja makan ya.”Manda meraih ponselnya dan pura-pura mengetik. Sebenarnya ia hanya butuh waktu untuk berkaca. Ia tak mau terlihat muram di depan kedua orang tuanya itu.Makan mal
“Nak, Mama masuk ya.”Manda terkejut. Ia mengepal kedua tangannya seraya menunggu sang ibu membuka pintu. Ketegangan Manda membuat hati Diana merasa semakin tak karuan. Demikian pun, ia melangkah masuk dengan senyum lembut terpatri di wajah. “Kamu mau ngobrol apa sama Mama?” tanya Diana. Ia menurunkan tubuhnya, duduk di pinggiran tempat tidur, di sebelah Manda. “Apa ini masih soal memulai untuk kos?”Manda mengangguk. Ia belum berani mengucap kata. Pikirannya masih sibuk memilah dari mana ia akan mulai bicara.“Nak … apa ada alasan yang kamu sembunyikan sampai kamu harus kos?”Kepalan tangan Manda semakin erat. Ia terlalu angkuh mengira sang ibu tidak akan tahu kalau ada rahasia yang disembunyikan. “Apa mungkin kau hami—”“Aku mecahin vas antik Pak Bos.”Keduanya bicara hampir dalam waktu bersamaan. Dan ketika telinga masing-masing mendengar apa yang dikatakan lawan bicaranya, netra mereka membulat kaget. “Mama kira aku hamil?” tanya Manda tak percaya dengan tebakan ibunya. Dian
Suasana ruang makan sunyi. Kepala keluarga Adinata—Rowan, memanggil Manda setelah ia mendengar cerita dari istrinya. Ia mencoba membuka percakapan, tetapi lagi-lagi yang keluar hanya helaan napas panjang. Berulang kali.“Enam ratus miliar bukan angka main-main.” Rowan akhirnya memecah keheningan. “Papa nggak punya uang segitu. Bahkan kalau harus mencari pinjaman bank, nggak akan turun sebesar itu, Nak.”Manda menunduk. Ia jadi kesal sendiri karena semua ini membuat seolah dirinya yang bersalah. Karena memecahkan vas antik, mereka jadi terjebak permainan sang presdir.Hanya saja, memang tak ada cara lain selain ini. Ia tidak mungkin juga mengatakan semua klaim Raffael yang absurd sejak awal itu.Putri tunggal keluarga Adinata itu angkat bicara. “Makanya lebih mudah kalau Manda turutin mau dia.”Mencari cara agar lebih meyakinkan lagi, ia pun menambahkan, “Manda nggak pakai hati kok. Santai aja sebenarnya. Manda cuma mau kasih tahu soal permintaan Pak Raffael soal pindah ke apartemen.
Manda menatap pintu kamarnya. Ragu untuk menempelkan kartu dan membuka pintu.‘Bagaimana kalau bukan Raffael yang ada di dalam sana? Apa jangan-jangan pihak Soreim mengejarku sampai sini?’ Pertanyaan-pertanyaan serupa terus muncul dalam benak Manda.Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar pendek. Sebuah pesan masuk untuknya.Raffael: Kenapa kau nggak masuk ke kamarmu?Melihat pesan itu, dengan segenap kekuatan Manda menempelkan kartu dan membuka pintu kamarnya. Bersiap untuk memarahi bos dan kaki tangannya itu.“Pak—ha?! Apa ini?!”“Lama banget balik dari
“Kenapa Pak Raffael?!” Manda segera mengganti celana pendeknya dengan yang panjang, sementara ponsel masih terjepit antara bahu dan telinga.“Sebaiknya Nona ke lobi dulu.”Panik, Manda segera keluar dari kamarnya. “Oke, oke. Saya ke sana.”Dengan langkah cepat ia mencapai lift dan turun menuju lobi. Pikirannya penuh dengan tebakan. ‘Duh! Kayaknya tadi sudah kalem, dia bisa bikin ulah apa ya? Apa dia ngajak berantem orang lewat? Atau menggoda resepsionis? Ah! Jangan-jangan dia mabuk dan naik ke lampu gantung!’Tebakan Manda sudah mulai tak masuk akal.“Argh! Kenapa ya dia nggak bisa tenang sedikit hidupnya. Bikin pusing. Aku kayak babysitter, jagain anak orang kaya yang bengal,” keluh Manda, kesal. Tak sabar menunggu lift menuruni tiap lantai, Manda menepukkan ujung sandalnya ke lantai lift. Ia sedang menimbang juga respon apa yang harus ia berikan kalau benar Raffael terlihat menggantung di atas lampu hotel. Namun, ia malah jadi tertawa membayangkan adegan itu. “Kurasa mending aku
“Saya—”Ting! Tong!Manda tercekat. Tatapannya beralih pada pintu kamar. Seseorang sepertinya mencari Raffael. “Abaikan saja, Manda.” Raffael menyentuh pipi Manda dan membawa pandangan gadis itu untuk kembali menatapnya. Kemudian ia meremas lembut tangan Manda seraya berkata, “Jadi, apa berarti kau … juga jatuh cinta padaku?”“Saya—”Ting! Tong!Raffael mengepalkan tangan, kesal dengan interupsi dari siapapun yang sedang berdiri di depan kamarnya. “Saya lihat dulu, Pak.”Kecewa dan frustasi, Raffael melepaskan genggaman tangan mereka. Sambil mengeringkan air mata yang sedikit membasahi wajahnya, Manda turun dari tempat tidur. Kemudian, mengecek siapa tamunya lewat lubang pintu dan terkejut karena Belinda ada di sana. “Mbak Belinda, ada apa?” tanya Manda setelah pintu terbuka. “Ah … maaf, Mbak Manda. Saya tadi sudah mau pulang, tapi resepsionis bilang mereka sudah ke kamar Mbak Manda untuk memberikan kunci tapi nggak ada siapa-siapa di dekat kamar.”Sekretaris milik CEO Han itu m
Deretan pertanyaan Manda membuat Raffael tertegun. Ia tahu, sekeras apapun ia menolak pertunangannya dengan Catherine, bukan berarti hubungan itu jadi tidak ada. “Yeah. Kau benar soal pertunanganku dengan Catherine, Manda.” Raffael menjawab perlahan semua ucapan sekretarisnya. “Aku berniat membatalkan itu.”Manda tertegun. Ia tak tahu apa makna di balik jawaban Raffael. Apakah ia setuju untuk menyudahi kontrak atau mereka tetap harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih dan menunjukkan pada keluarga dan juga pihak Soreim?Untuk menghindari kesalahpahaman, Manda pun bertanya, “Jadi, apakah kita bisa sudahi kontrak ini, Pak?”Raffael menggeleng. “Tidak.”Manda terlihat lesu. Ia pikir ia tak perlu menyusahkan sang ayah soal biaya untuk vas antik yang pecah itu, kalau sang atasan setuju menganggap kontrak itu tak ada.Namun, kalau Raffael tak menyudahi kontrak, hal yang bisa dilakukan Manda adalah memaksanya dengan perjanjian untuk membayar utang. “Pak, sebenarnya saya membahas ini ka
Elena: Manda, sudah mau jam 5. Kita lanjut besok.Manda mengerjapkan mata. Ia terlalu fokus bekerja dan tak memperhatikan waktu berlalu cepat.“Astaga! Udah jam 5!” serunya sambil merenggangkan badan yang kaku karena sejak tadi duduk di depan laptop.Ia memutuskan untuk memesan makanan. Dan sementara menunggu ia memilih untuk menyegarkan tubuh dengan mandi. Namun, bel pintu kamarnya malah ditekan oleh seseorang tepat ketika ia hendak memasuki kamar mandi. “Hm? Nggak mungkin kan makanannya datang secepat itu?”Dipakainya lagi baju yang sudah ia tanggalkan dan melangkah menuju pintu. Ia menutup satu matanya untuk melihat dari lubang itu, siapa yang ada di depan kamarnya.“Hm? Pak Damian bukan sih itu?” gumam Manda sedikit ragu. Pasalnya ia tidak tahu kalau atasannya juga punya jadwal bertemu dengan CEO D&D Jewelry. Dengan cepat Manda membuka pintu dan ia terkejut. Tidak hanya ada Damian di sana. Selain Raffael yang berdiri sambil berpegangan dengan Damian, ada 1 orang yang tak perna
“Diam di kamar ini, Manda. Jangan ke mana-mana.” Raffael mengedipkan mata sebelum ia akhirnya keluar dari kamar. Manda pun hanya bisa menghela napas panjang. Lelah dengan kelakuan sang bos. “Ha! Jangan kira aku akan menurut saja,” gumam Manda.Ia menunggu beberapa saat kemudian menarik lepas kunci dari slot listrik dan keluar dari kamar. Gadis itu berencana memesan kamar lain. ‘Kalau cuma 2 juta aku bisa pakai duit sendiri lah! Lagian aku bakal coba minta ganti ke kantor.’Manda berdiri di depan pintu lift, menunggu benda itu terbuka. Ia harus kembali ke resepsionis dan memesan kamar. Namun, ketika lift terbuka, Belinda muncul dengan wajah sedikit panik. Begitu melihat Manda, ia langsung terlihat lega. “Oh God! Syukurlah Anda keluar, Mbak Manda. Saya kepikiran kalau-kalau Anda butuh kamar lain.”Manda terkejut tetapi bersyukur. “Astaga! Iya benar, Mbak Belinda. Saya baru mau ke resepsionis untuk pesan kamar, karena saya nggak tahu cari Mbak di mana.”Belinda meraih tangan Manda dan
Ha! Ha! Ha!Raffael benar-benar tergelak mendengar tebakan Manda. “Benar, sih. Kita sedang dalam pelarian, tapi bukan karena utang.”Bibir bawah Manda ditekannya keluar. “Dulu kan Bapak sering bikin saya ngutang, saya pikir Bapak nggak punya duit mungkin,” ejeknya.“Manda, stop bikin lelucon,” rintihnya sembari memegangi perut. “Aku lelah tertawa.”Sang sekretaris hanya berdecak kesal. “Ish! Terus apa alasannya kita sampai buru-buru?”“Soreim.” Raffael mengatur napas setelah kelelahan tertawa. Dahi Manda berkerut tak mengerti kenapa sang atasan menyebut nama keluarga calon mertuanya. “Soreim? Kenapa?”“Mereka membuntutiku.” Raffael menjawab seraya mengecek kelengkapan Manda sebelum pesawat lepas landas. “Aku minta rekan bisnisku di Surabaya untuk mengirimkan undangan untukku, jadi aku bisa pergi dari Jakarta.”Rahang Manda seolah jatuh mendengar kenyataan itu. “Jadi, ini nggak benar-benar dinas?”Raffael memamerkan cengiran polosnya, seolah tak ada yang salah dengan ‘dinas pura-pura
“Ngomong-ngomong, Pak, kenapa tiba-tiba ada jadwal perjalanan dinas?” tanya Manda dengan nada heran. “Nggak ada yang kontak saya minta ketemu Pak Raffael.”Raffael tersenyum penuh kebanggaan. Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong yang ada di belakang jok depan mobil. “Ini.”Manda menerima surat dengan kop surat milik perusahaan cabang Surabaya. “Cabang Surabaya? Mereka datang ke Jakarta kan, Pak? Kok mereka nggak kasih tahu Bu Elena atau saya?”Namun, Raffael menggeleng. “No. Kita ke Surabaya, Manda.”“Ha?!” Manda mulai protes. “Tapi Pak, saya nggak bawa baju kalau harus ke luar kota.”“Kau bisa pakai bajuku, Manda,” ujar Raffael sambil mengedipkan satu matanya. Manik mata Manda berputar, tak habis pikir dengan sifat kekanakan atasannya yang selalu muncul kalau mereka sedang berdua. “Ya, ya.”Raffael baru saja berniat memejamkan mata, tetapi Manda masih melontarkan pertanyaan. “Tapi Pak, Bapak kan harus pidato!”“Biar saja mereka cari pengganti saya. Saya sudah kasih tahu Cam
“Semangat! Ria, Ci Melly!” seru Manda di depan pintu lobi. Setelah fokus persiapan acara pameran marketing selama dua minggu, akhirnya hari H tiba. Ria dan Melly yang akan mengurus kedatangan para pemegang saham dan komisaris Djaya tambang. Raffael juga akan hadir untuk memberikan sepatah dua patah kata dalam acara itu. “Enaknya kalian! Kantor sepi bisa makan cemilan!” seru Ria, memasang wajah pura-pura cemberut. Elena mendengus geli. “Nggak sepi juga kamu terus aja ngemil, Ria.”Mereka tertawa bersamaan. Setelah itu, mau tak mau mereka harus berpisah. Mengerjakan tugas masing-masing. “Oke. Kerjaanmu gimana Manda?” tanya Elena sambil merenggangkan tubuhnya. Mereka sama-sama berbalik ke dalam kantor, menuju ruang kerja. “Saya tinggal nunggu respon para pemegang saham, Bu. Soal kedatangan mereka di rapat.”Elena mengangguk tenang. “Saya baru dapat agenda rapat pemegang saham luar biasa kali ini.”“Soal apa memang bu? Kemarin padahal baru rapat pemegang saham kan.”Elena kemudian m