“Be–besok, Bu? Bisa, bisa!” jawab Manda dengan penuh antusias.Wajah sumringah nan keibuan yang diperlihatkan Vivian membuat Manda merasa tenang. Vivian pun cukup senang melihat calon karyawan yang begitu semangat seperti Manda.“Oh! Saya baru diinfo kalau user bisa sediakan waktu sekitar pukul 11 siang. Bagaimana, Mbak Manda?” tanya Vivian lagi. Manda kembali mengangguk, menyanggupi. “Bisa, Bu Vivian. Besok saya banyak waktu kosong.”Vivian terkekeh. Ia jelas tahu kemungkinan Manda akan mengambil cuti satu atau setengah hari. “Kalau begitu, sampai ketemu besok, Mbak Manda. Selamat siang!”“Selamat siang!”Manda menatap lekat layar ponselnya yang sudah gelap, seolah itu adalah benda paling berharga dalam hidupnya. Ia masih tidak percaya kalau akhirnya ada perusahaan yang memberi kesempatan padanya untuk melakukan interview. Namun, yang jadi masalah adalah ia harus pulang hari ini juga. ‘Duh, gimana bilangnya sama Pak Raffael ya?’ tanyanya dalam hati.Manda memutuskan untuk membahas
“Elena, Manda belum datang?” Raffael menatap meja kerja Manda yang masih kosong. Padahal hari ini bukan hari libur, tetapi Manda belum nampak di kantor. Elena segera menghentikan ketikan di laptopnya dan menjawab, “Manda tadi izin sama saya katanya nggak enak badan setelah dinas kemarin, Pak. Jadi, dia minta istirahat 1 hari ini.”Netra sang Presdir melebar. Tak percaya dengan alasan yang dibuat sekretarisnya. Terlebih lagi, ia marah karena gadis itu tidak meminta izin darinya.“El, dia kan sekretaris saya. Kenapa kamu yang kasih izin?”Wajah Elena berubah pucat. Ia tak menyangka bahwa Manda tidak memberitahu Raffael terkait permohonan izinnya itu. “Saya minta maaf, Pak. Karena di struktur, Manda tetap berada di bawah saya, jadi saya memberi izin. Saya pikir dia sudah izin dengan Pak Raffael.” Elena tertunduk lemas.Ia menyalahkan dirinya yang tidak mengkonfirmasi keabsenan Manda pada presiden direktur mereka itu. Raffael ingin melanjutkan ucapannya, tetapi melihat Elena yang tert
“Tunggu sebentar di sini, ya. Saya kasih tau Pak CEO.”Vivian berbalik, meninggalkan Manda sejenak untuk masuk ke ruangan sang CEO. Ia mengetuk pintu kemudian membukanya begitu saja. “Pak, Mbak Manda sudah datang,” ujar Vivian sambil menjulurkan kepalanya melewati celah pintu. “Suruh masuk saja, Vian.” Suara pria yang ringan itu terdengar tergelitik. “Kau seperti hantu berleher panjang mengintip begitu.”“Ha! Baik, sebentar Pak.” Vivian menarik kepalanya lagi dan menoleh ke arah Manda. “Yuk, masuk!” ajaknya.Dengan langkah berat yang dipaksakan, Manda memasuki ruangan itu. Ia tidak yakin kalau apa yang akan didengarnya dari petinggi perusahaan itu adalah sebuah pembicaraan manis. Sayang, ia tidak punya keberanian untuk menolaknya. “Se–selamat siang! Saya Manda Adinata,” sapanya sambil membungkukkan badan cukup dalam. Ia masih tak ingin menatap pria bernama Damian itu. Damian terlihat terkejut melihat Manda membungkuk seperti itu. “Astaga! Kita nggak lagi di era kerajaan, Manda. S
“Kartu AS?” Manda melepas tangannya dari kenop pintu dan berbalik. Damian melanjutkan ucapannya tadi. “Dia nggak akan mengurusi utang sekecil itu, kalau nggak tertarik padamu. Senang bertemu. Manda.”Manda mengangguk singkat sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Mungkin karena tak enak hati, Vivian mengantarnya sampai ke lobi dan mengatakan kalau supir CEO mereka akan mengantar Manda pulang. Tak punya tenaga untuk berdebat, Manda menerima fasilitas yang diberikan secara cuma-cuma itu. “Semoga kita punya kesempatan untuk kerja bareng ya, Mbak Manda,” ujar Vivian penuh harapan. Sayang, kekecewaan Manda membuatnya gagal merasakan ketulusan Vivian. Ia hanya melontarkan senyum lemah dan naik ke dalam mobil Alphard hitam.Setelah mobil melaju, barulah Manda menghela napas panjang. Lelah dengan rasa putus asa dan kekecewaan yang ia terima hari ini.Absennya keingintahuan sang supir mengenai alamat rumahnya juga membuat Manda semakin muak. Semua orang seolah tahu segala hal mengenai dirin
“Oh!”Manda terkejut ketika ia membuka pesan Raffael dan membacanya. Senyum lega tergambar di wajahnya. ‘Ternyata cuma ‘get well soon’. Kukira dia bakal marah dan nebak aku interview.’ Tak lama kemudian, pesanannya tiba. Ia mulai menikmati minuman beralkohol lebih dulu sebelum mengkonsumsi camilan. Tak sadar seseorang mendekati dan menepuk pundaknya seraya duduk di sebelah Manda. Spontan, ia menoleh dan memamerkan cengiran polosnya.“Ike!” pekik gadis yang mulai mabuk itu.“Astaga, anak ini! Udah berapa gelas kamu minum?!” tegurnya. Ia pun ikut menikmati camilan bernama ‘pork crackling’ yang masih utuh, tak terjamah. Jelas, itu berarti Manda sejak tadi hanya sibuk minum.Manda terkekeh lemah. “Ehehe! belum juga 2 gelas, Ke. Santai! Sana pesan!”Yuike memukul pelan kepala Manda dengan kepalan tangannya. “Aku yang bayar, kenapa jadi kamu yang suruh-suruh pesan?!”Manda tergelak.“Iya, iya, my sugar friend. Aku mau chicken streak juga sekalian ya~” Suara Manda sudah mulai menandakan
Sementara itu, di kantor PT Djaya Tambang Tbk.“Raffa, kau belum mau berangkat?” Seorang wanita muda berkaki jenjang dengan wajah mirip Raffael, bersedekap di ambang pintu ruang kerjanya. “Oh, kamu Camelia. Aku masih ada kerjaan. Kau duluan saja.”Wanita yang dipanggil dengan nama Camelia, sang CEO PT Djaya Tambang Tbk., memutar bola matanya, lalu mengomel “Panggil aku kakak! Dasar anak nggak sopan.”Raffael hanya mendengus saja mengomentari omelan itu. Sebelum beranjak pergi, Camelia memperingatkan, “Jangan telat! Aku sudah kasih tahu Tara nanti ke hotel, bukan ke rumah utama.”Lagi-lagi Raffael merespon setengah hati, hanya dengan berdehem saja. Hampir seperti mengabaikan kakak perempuannya.Tak lama setelah kepergian Camelia, ponsel Raffael berdering. Ia melirik, menggunakan ekor matanya untuk mengecek siapa yang menghubunginya.‘Hm … paling sales asuransi. Nggak kenal nomernya,’ batin Raffael. Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. Namun, nomor yang sama kembali menghubunginya.
“Tara! Segera ke hotel yang disebutkan Camelia!” Raffael memberi perintah.“Baik, Tuan.” Tara mengangguk.Wajah sang supir terlihat heran, karena tuannya seperti berniat membawa gadis yang sedang tertidur di pangkuannya itu ke hotel. Namun, ia tidak mungkin mempertanyakan perintah sang majikan.‘Mungkin Tuan Raffa minta di drop dulu dan aku yang antar Nona Manda ini.’ Tara menyimpulkan begitu saja.Segera mereka tiba di lobi hotel Vyatt. Tara bahkan sampai tertegun kala Raffael tetap membopong Manda keluar dari mobil. “Tara, kamu check-in saja. Besok langsung kantor. Tolong siapin baju Manda lagi seperti kemarin.” Raffael sempat memberi perintah, tanpa peduli seperti apa terkejutnya wajah sang supir. Tiba di depan resepsionis, tanpa perlu diminta, mereka segera mengambil kunci. Namun, Raffael menolak. “Jangan kamar yang biasa saya pakai. Cari kamar lain.”“Apa kamar lantai 5 tidak masalah, Pak Raffael?” tanya manajer hotel.Sang tamu kehormatan itu hanya menganggukkan kepala. Segera
“Kalau belum, Mom ingin mengenalkanmu pada seseorang.”Raffael tergagap. “Se–seseorang?! Se–sekarang?!”Seria terkekeh senang. Menyimpulkan kalau respon putranya adalah bentuk antusiasme. “Nggak sekarang, Nak,” jawab Seria membuat Raffael menghela napas lega. “Putri cantik itu ada di US sekarang. Kau ingat, kan? Putri tunggal keluarga Soreim.”Raffael segera menggeleng. Kalau pun ingat dia tetap akan mengaku kalau dia tidak ingat. “Ugh! Apa sih yang kamu ingat?! Dia perempuan cantik jelita! Sangat sopan. Bibit, bobot, bebet, semua sempurna. Perfect!” Seria menekankan semua perkataannya itu, seolah ingin mengukir dalam-dalam di otak putranya. “Dad juga berharap kamu segera menikah, Raffael. Kau sudah jadi presiden direktur. Tidak baik sendirian.” Adam menambahkan. Merasa suasana di sekitar Raffael menegang, Camelia segera menengahi. “Mom, Dad. Kalian tahu, kan? Raffa masih trauma dengan kejadian wanita itu. Mungkin dia butuh waktu sedikit lebih lama.”Seria dan Adam sama-sama mengh
Deretan pertanyaan Manda membuat Raffael tertegun. Ia tahu, sekeras apapun ia menolak pertunangannya dengan Catherine, bukan berarti hubungan itu jadi tidak ada. “Yeah. Kau benar soal pertunanganku dengan Catherine, Manda.” Raffael menjawab perlahan semua ucapan sekretarisnya. “Aku berniat membatalkan itu.”Manda tertegun. Ia tak tahu apa makna di balik jawaban Raffael. Apakah ia setuju untuk menyudahi kontrak atau mereka tetap harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih dan menunjukkan pada keluarga dan juga pihak Soreim?Untuk menghindari kesalahpahaman, Manda pun bertanya, “Jadi, apakah kita bisa sudahi kontrak ini, Pak?”Raffael menggeleng. “Tidak.”Manda terlihat lesu. Ia pikir ia tak perlu menyusahkan sang ayah soal biaya untuk vas antik yang pecah itu, kalau sang atasan setuju menganggap kontrak itu tak ada.Namun, kalau Raffael tak menyudahi kontrak, hal yang bisa dilakukan Manda adalah memaksanya dengan perjanjian untuk membayar utang. “Pak, sebenarnya saya membahas ini ka
Elena: Manda, sudah mau jam 5. Kita lanjut besok.Manda mengerjapkan mata. Ia terlalu fokus bekerja dan tak memperhatikan waktu berlalu cepat.“Astaga! Udah jam 5!” serunya sambil merenggangkan badan yang kaku karena sejak tadi duduk di depan laptop.Ia memutuskan untuk memesan makanan. Dan sementara menunggu ia memilih untuk menyegarkan tubuh dengan mandi. Namun, bel pintu kamarnya malah ditekan oleh seseorang tepat ketika ia hendak memasuki kamar mandi. “Hm? Nggak mungkin kan makanannya datang secepat itu?”Dipakainya lagi baju yang sudah ia tanggalkan dan melangkah menuju pintu. Ia menutup satu matanya untuk melihat dari lubang itu, siapa yang ada di depan kamarnya.“Hm? Pak Damian bukan sih itu?” gumam Manda sedikit ragu. Pasalnya ia tidak tahu kalau atasannya juga punya jadwal bertemu dengan CEO D&D Jewelry. Dengan cepat Manda membuka pintu dan ia terkejut. Tidak hanya ada Damian di sana. Selain Raffael yang berdiri sambil berpegangan dengan Damian, ada 1 orang yang tak perna
“Diam di kamar ini, Manda. Jangan ke mana-mana.” Raffael mengedipkan mata sebelum ia akhirnya keluar dari kamar. Manda pun hanya bisa menghela napas panjang. Lelah dengan kelakuan sang bos. “Ha! Jangan kira aku akan menurut saja,” gumam Manda.Ia menunggu beberapa saat kemudian menarik lepas kunci dari slot listrik dan keluar dari kamar. Gadis itu berencana memesan kamar lain. ‘Kalau cuma 2 juta aku bisa pakai duit sendiri lah! Lagian aku bakal coba minta ganti ke kantor.’Manda berdiri di depan pintu lift, menunggu benda itu terbuka. Ia harus kembali ke resepsionis dan memesan kamar. Namun, ketika lift terbuka, Belinda muncul dengan wajah sedikit panik. Begitu melihat Manda, ia langsung terlihat lega. “Oh God! Syukurlah Anda keluar, Mbak Manda. Saya kepikiran kalau-kalau Anda butuh kamar lain.”Manda terkejut tetapi bersyukur. “Astaga! Iya benar, Mbak Belinda. Saya baru mau ke resepsionis untuk pesan kamar, karena saya nggak tahu cari Mbak di mana.”Belinda meraih tangan Manda dan
Ha! Ha! Ha!Raffael benar-benar tergelak mendengar tebakan Manda. “Benar, sih. Kita sedang dalam pelarian, tapi bukan karena utang.”Bibir bawah Manda ditekannya keluar. “Dulu kan Bapak sering bikin saya ngutang, saya pikir Bapak nggak punya duit mungkin,” ejeknya.“Manda, stop bikin lelucon,” rintihnya sembari memegangi perut. “Aku lelah tertawa.”Sang sekretaris hanya berdecak kesal. “Ish! Terus apa alasannya kita sampai buru-buru?”“Soreim.” Raffael mengatur napas setelah kelelahan tertawa. Dahi Manda berkerut tak mengerti kenapa sang atasan menyebut nama keluarga calon mertuanya. “Soreim? Kenapa?”“Mereka membuntutiku.” Raffael menjawab seraya mengecek kelengkapan Manda sebelum pesawat lepas landas. “Aku minta rekan bisnisku di Surabaya untuk mengirimkan undangan untukku, jadi aku bisa pergi dari Jakarta.”Rahang Manda seolah jatuh mendengar kenyataan itu. “Jadi, ini nggak benar-benar dinas?”Raffael memamerkan cengiran polosnya, seolah tak ada yang salah dengan ‘dinas pura-pura
“Ngomong-ngomong, Pak, kenapa tiba-tiba ada jadwal perjalanan dinas?” tanya Manda dengan nada heran. “Nggak ada yang kontak saya minta ketemu Pak Raffael.”Raffael tersenyum penuh kebanggaan. Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong yang ada di belakang jok depan mobil. “Ini.”Manda menerima surat dengan kop surat milik perusahaan cabang Surabaya. “Cabang Surabaya? Mereka datang ke Jakarta kan, Pak? Kok mereka nggak kasih tahu Bu Elena atau saya?”Namun, Raffael menggeleng. “No. Kita ke Surabaya, Manda.”“Ha?!” Manda mulai protes. “Tapi Pak, saya nggak bawa baju kalau harus ke luar kota.”“Kau bisa pakai bajuku, Manda,” ujar Raffael sambil mengedipkan satu matanya. Manik mata Manda berputar, tak habis pikir dengan sifat kekanakan atasannya yang selalu muncul kalau mereka sedang berdua. “Ya, ya.”Raffael baru saja berniat memejamkan mata, tetapi Manda masih melontarkan pertanyaan. “Tapi Pak, Bapak kan harus pidato!”“Biar saja mereka cari pengganti saya. Saya sudah kasih tahu Cam
“Semangat! Ria, Ci Melly!” seru Manda di depan pintu lobi. Setelah fokus persiapan acara pameran marketing selama dua minggu, akhirnya hari H tiba. Ria dan Melly yang akan mengurus kedatangan para pemegang saham dan komisaris Djaya tambang. Raffael juga akan hadir untuk memberikan sepatah dua patah kata dalam acara itu. “Enaknya kalian! Kantor sepi bisa makan cemilan!” seru Ria, memasang wajah pura-pura cemberut. Elena mendengus geli. “Nggak sepi juga kamu terus aja ngemil, Ria.”Mereka tertawa bersamaan. Setelah itu, mau tak mau mereka harus berpisah. Mengerjakan tugas masing-masing. “Oke. Kerjaanmu gimana Manda?” tanya Elena sambil merenggangkan tubuhnya. Mereka sama-sama berbalik ke dalam kantor, menuju ruang kerja. “Saya tinggal nunggu respon para pemegang saham, Bu. Soal kedatangan mereka di rapat.”Elena mengangguk tenang. “Saya baru dapat agenda rapat pemegang saham luar biasa kali ini.”“Soal apa memang bu? Kemarin padahal baru rapat pemegang saham kan.”Elena kemudian m
Hari Senin. Sampai detik ini, Manda dan Diana belum membahas soal pembatalan kontrak pada Rowan. Manda berniat untuk membahasnya dulu dengan Raffael. Kalau memang presdirnya itu mau menunggu sampai sang ayah mendapatkan pinjaman, barulah ia membahasnya dengan Rowan.Namun, kenyataan sepertinya tak berniat mendukung. Pagi ini Elena sudah langsung mengajak rapat dengan wajah seriusnya.“Kita mesti bagi tugas,” ujar Elena membuka rapat. Ketiga anak buahnya mengangguk paham. Bahkan Manda sudah lupa masalah hatinya. Kalau Elena sudah terlihat serius, jelas beban pekerjaan tak akan mudah.Kemudian, kepala sekretaris itu beralih pandang pada Manda. “Saya juga sudah bilang sama Pak Raffael untuk pinjam kamu bantuin salah satu kegiatan kantor.”“Baik, Bu.”Mendengar nama bos-nya, hati Manda seperti diremas perih. Namun, ia berusaha fokus pada tugasnya. Jangan sampai ia dianggap mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan.Untungnya, sejak kemarin ia memberitahu Elena mengenai hubungannya deng
“Iya, Bu. Saya tidak bisa menolak permintaan Pak Raffael juga untuk hari ini.”Manda menjelaskan posisinya. Ia tidak mau orang mengira dirinya mengambil kesempatan untuk menjadi dekat dengan sang presdir.“Orang tuamu tahu?” Camelia bertanya lagi. “Mereka tahunya saya harus menjadi kekasih pura-pura sebagai bantuan. Bantuan untuk ganti rugi vas itu. Kalau saya bicara dari awal, saya nggak mungkin kasih tahu mereka soal malam itu.”Camelia semakin pusing dibuatnya. Ia menyandarkan kepala di punggung jok mobil dan menghela napas panjang. “Lalu, apa kau mencintai Raffael sekarang?”Deg!Jantung Manda seperti jatuh ke perut. Ia tidak menyangka bahwa sang CEO akan menanyakan itu. “Aku perempuan, Manda. Kalau aku ada di posisimu, yang setiap hari dimanja pria setampan Raffael, aku mungkin luluh.”Manda meringis. “Well, nggak semua begitu, Bu. Saya nggak memiliki perasaan seperti itu pada Pak Raffael. Saya tahu batasan saya.”Camelia menatap Manda, seolah mencari kebenaran atas pernyataan
“Kau tanya begitu saja pasti sudah tahu jawabannya, Nona.”Gideon tiba-tiba bergabung dalam obrolan Manda dan Emilia.Manda paham dengan perkataannya. Kalau ia menganggap mereka pelaku, sudah pasti ia takkan setenang sekarang. Hanya saja ….“Pengakuan akan terasa lebih menenangkanku, Pak Gideon.” Manda beralasan.Gideon terkekeh. “Benar. Dan lagi kalau tebakanmu kami adalah penolong, juga tak sepenuhnya benar.”Spontan Manda menaikkan dinding pertahanan mendengar pengakuan pria bertubuh besar itu. “Apa maksudnya?”Emilia mengambil pertanyaan itu untuk ia jawab. “Kami yang menjadi pelaku. Tapi kami melakukan itu untuk menolongmu. Kamu belum tahu Soreim hanya lembut di permukaan.”Gideon mengangguk membenarkan, sementara Manda masih tak bisa memahami apa konteks yang sedang mereka bicarakan.“Hari di mana kamu dipilih Raffael menjadi sekretaris pribadinya, keluarga Soreim mengirim mata-mata ke hotel kamu menginap.”Gideon memberi contoh mengenai perilaku keluarga Soreim.Manda mencoba me