“Ini kartu nama saya. Mbak Manda bisa hubungi saya kapan saja.” Wanita muda yang usianya mungkin 5 tahun lebih tua dari Manda menyerahkan kertas kaku yang berisi namanya. Tercatat di sana nama lengkap sekretaris Juanda. Danna Avrilena.Raffael mencatat dalam hati bahwa ia harus mengingatkan Manda untuk meminta kartu nama dari HRD. “Ah, ya. Manda belum dapat kartu nama, karena dia baru saja jadi sekretaris.”Manda mengangguk, membenarkan ucapan sang bos. “Nanti saya yang hubungi duluan saja, Bu Danna.”Setelah mereka bertukar pamit, Raffael mengantar Juanda sampai ke lobi. Manda dan Danna berbincang singkat di belakangnya. “Kalau begitu, mohon kerjasamanya ke depan, Pak Raffael.” Juanda berkata, sambil melangkah naik ke dalam mobil. Raffael mengangguk singkat. “Tentu, tentu, Pak Juanda.”Mobil sedan itu pun mulai mengukir jalan, meninggalkan area hotel. Raffael menghela napas panjang seolah pertemuan tadi menguras tenaganya. Namun, yang membuatnya lelah adalah kekhawatirannya terha
“Be–besok, Bu? Bisa, bisa!” jawab Manda dengan penuh antusias.Wajah sumringah nan keibuan yang diperlihatkan Vivian membuat Manda merasa tenang. Vivian pun cukup senang melihat calon karyawan yang begitu semangat seperti Manda.“Oh! Saya baru diinfo kalau user bisa sediakan waktu sekitar pukul 11 siang. Bagaimana, Mbak Manda?” tanya Vivian lagi. Manda kembali mengangguk, menyanggupi. “Bisa, Bu Vivian. Besok saya banyak waktu kosong.”Vivian terkekeh. Ia jelas tahu kemungkinan Manda akan mengambil cuti satu atau setengah hari. “Kalau begitu, sampai ketemu besok, Mbak Manda. Selamat siang!”“Selamat siang!”Manda menatap lekat layar ponselnya yang sudah gelap, seolah itu adalah benda paling berharga dalam hidupnya. Ia masih tidak percaya kalau akhirnya ada perusahaan yang memberi kesempatan padanya untuk melakukan interview. Namun, yang jadi masalah adalah ia harus pulang hari ini juga. ‘Duh, gimana bilangnya sama Pak Raffael ya?’ tanyanya dalam hati.Manda memutuskan untuk membahas
“Elena, Manda belum datang?” Raffael menatap meja kerja Manda yang masih kosong. Padahal hari ini bukan hari libur, tetapi Manda belum nampak di kantor. Elena segera menghentikan ketikan di laptopnya dan menjawab, “Manda tadi izin sama saya katanya nggak enak badan setelah dinas kemarin, Pak. Jadi, dia minta istirahat 1 hari ini.”Netra sang Presdir melebar. Tak percaya dengan alasan yang dibuat sekretarisnya. Terlebih lagi, ia marah karena gadis itu tidak meminta izin darinya.“El, dia kan sekretaris saya. Kenapa kamu yang kasih izin?”Wajah Elena berubah pucat. Ia tak menyangka bahwa Manda tidak memberitahu Raffael terkait permohonan izinnya itu. “Saya minta maaf, Pak. Karena di struktur, Manda tetap berada di bawah saya, jadi saya memberi izin. Saya pikir dia sudah izin dengan Pak Raffael.” Elena tertunduk lemas.Ia menyalahkan dirinya yang tidak mengkonfirmasi keabsenan Manda pada presiden direktur mereka itu. Raffael ingin melanjutkan ucapannya, tetapi melihat Elena yang tert
“Tunggu sebentar di sini, ya. Saya kasih tau Pak CEO.”Vivian berbalik, meninggalkan Manda sejenak untuk masuk ke ruangan sang CEO. Ia mengetuk pintu kemudian membukanya begitu saja. “Pak, Mbak Manda sudah datang,” ujar Vivian sambil menjulurkan kepalanya melewati celah pintu. “Suruh masuk saja, Vian.” Suara pria yang ringan itu terdengar tergelitik. “Kau seperti hantu berleher panjang mengintip begitu.”“Ha! Baik, sebentar Pak.” Vivian menarik kepalanya lagi dan menoleh ke arah Manda. “Yuk, masuk!” ajaknya.Dengan langkah berat yang dipaksakan, Manda memasuki ruangan itu. Ia tidak yakin kalau apa yang akan didengarnya dari petinggi perusahaan itu adalah sebuah pembicaraan manis. Sayang, ia tidak punya keberanian untuk menolaknya. “Se–selamat siang! Saya Manda Adinata,” sapanya sambil membungkukkan badan cukup dalam. Ia masih tak ingin menatap pria bernama Damian itu. Damian terlihat terkejut melihat Manda membungkuk seperti itu. “Astaga! Kita nggak lagi di era kerajaan, Manda. S
“Kartu AS?” Manda melepas tangannya dari kenop pintu dan berbalik. Damian melanjutkan ucapannya tadi. “Dia nggak akan mengurusi utang sekecil itu, kalau nggak tertarik padamu. Senang bertemu. Manda.”Manda mengangguk singkat sebelum akhirnya keluar dari ruangan. Mungkin karena tak enak hati, Vivian mengantarnya sampai ke lobi dan mengatakan kalau supir CEO mereka akan mengantar Manda pulang. Tak punya tenaga untuk berdebat, Manda menerima fasilitas yang diberikan secara cuma-cuma itu. “Semoga kita punya kesempatan untuk kerja bareng ya, Mbak Manda,” ujar Vivian penuh harapan. Sayang, kekecewaan Manda membuatnya gagal merasakan ketulusan Vivian. Ia hanya melontarkan senyum lemah dan naik ke dalam mobil Alphard hitam.Setelah mobil melaju, barulah Manda menghela napas panjang. Lelah dengan rasa putus asa dan kekecewaan yang ia terima hari ini.Absennya keingintahuan sang supir mengenai alamat rumahnya juga membuat Manda semakin muak. Semua orang seolah tahu segala hal mengenai dirin
“Oh!”Manda terkejut ketika ia membuka pesan Raffael dan membacanya. Senyum lega tergambar di wajahnya. ‘Ternyata cuma ‘get well soon’. Kukira dia bakal marah dan nebak aku interview.’ Tak lama kemudian, pesanannya tiba. Ia mulai menikmati minuman beralkohol lebih dulu sebelum mengkonsumsi camilan. Tak sadar seseorang mendekati dan menepuk pundaknya seraya duduk di sebelah Manda. Spontan, ia menoleh dan memamerkan cengiran polosnya.“Ike!” pekik gadis yang mulai mabuk itu.“Astaga, anak ini! Udah berapa gelas kamu minum?!” tegurnya. Ia pun ikut menikmati camilan bernama ‘pork crackling’ yang masih utuh, tak terjamah. Jelas, itu berarti Manda sejak tadi hanya sibuk minum.Manda terkekeh lemah. “Ehehe! belum juga 2 gelas, Ke. Santai! Sana pesan!”Yuike memukul pelan kepala Manda dengan kepalan tangannya. “Aku yang bayar, kenapa jadi kamu yang suruh-suruh pesan?!”Manda tergelak.“Iya, iya, my sugar friend. Aku mau chicken streak juga sekalian ya~” Suara Manda sudah mulai menandakan
Sementara itu, di kantor PT Djaya Tambang Tbk.“Raffa, kau belum mau berangkat?” Seorang wanita muda berkaki jenjang dengan wajah mirip Raffael, bersedekap di ambang pintu ruang kerjanya. “Oh, kamu Camelia. Aku masih ada kerjaan. Kau duluan saja.”Wanita yang dipanggil dengan nama Camelia, sang CEO PT Djaya Tambang Tbk., memutar bola matanya, lalu mengomel “Panggil aku kakak! Dasar anak nggak sopan.”Raffael hanya mendengus saja mengomentari omelan itu. Sebelum beranjak pergi, Camelia memperingatkan, “Jangan telat! Aku sudah kasih tahu Tara nanti ke hotel, bukan ke rumah utama.”Lagi-lagi Raffael merespon setengah hati, hanya dengan berdehem saja. Hampir seperti mengabaikan kakak perempuannya.Tak lama setelah kepergian Camelia, ponsel Raffael berdering. Ia melirik, menggunakan ekor matanya untuk mengecek siapa yang menghubunginya.‘Hm … paling sales asuransi. Nggak kenal nomernya,’ batin Raffael. Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. Namun, nomor yang sama kembali menghubunginya.
“Tara! Segera ke hotel yang disebutkan Camelia!” Raffael memberi perintah.“Baik, Tuan.” Tara mengangguk.Wajah sang supir terlihat heran, karena tuannya seperti berniat membawa gadis yang sedang tertidur di pangkuannya itu ke hotel. Namun, ia tidak mungkin mempertanyakan perintah sang majikan.‘Mungkin Tuan Raffa minta di drop dulu dan aku yang antar Nona Manda ini.’ Tara menyimpulkan begitu saja.Segera mereka tiba di lobi hotel Vyatt. Tara bahkan sampai tertegun kala Raffael tetap membopong Manda keluar dari mobil. “Tara, kamu check-in saja. Besok langsung kantor. Tolong siapin baju Manda lagi seperti kemarin.” Raffael sempat memberi perintah, tanpa peduli seperti apa terkejutnya wajah sang supir. Tiba di depan resepsionis, tanpa perlu diminta, mereka segera mengambil kunci. Namun, Raffael menolak. “Jangan kamar yang biasa saya pakai. Cari kamar lain.”“Apa kamar lantai 5 tidak masalah, Pak Raffael?” tanya manajer hotel.Sang tamu kehormatan itu hanya menganggukkan kepala. Segera
“Ab—eh?!” Netra Adelia yang setengah terbuka tadi bertemu pandang dengan Bintang yang baru saja akan membilas rambut. Bintang tersenyum lembut. “Eh … kau mau mandi denganku, Lia?”“Pa—Pa–Pak Bintang?!” pekik Adelia, menutupi matanya.Menyadari kalau ternyata ia sedang berada di rumah Bintang membuatnya langsung panik dan kembali ke lantai 3. “Astaga!” Adelia membanting tubuhnya, tengkurap di atas kasur. “Apa yang kulakukan barusan?!”Ia mencoba menghilangkan rekaman ingatan mengenai tubuh atletis Bintang yang jarang terdeteksi di balik jas kerjanya, tetapi sia-sia. Karena hanya gambaran itu lah yang kini memenuhi pikiran Adelia. Semakin matanya tertutup, semakin sadar kalau ia melihat semuanya. Setelah menenangkan diri, Adelia mulai duduk di pinggir kasur dan mengamati tempat itu. “Aneh bentuk kamarnya. Naik ke atas begini. Di bawah ada kasur juga dan kayaknya tadi masih ada tangga turun ke lantai 1.”Ia mencoba mengingat-ingat kantor Bintang yang berada di apartemen, tetapi tak
“So, gimana penyelesaiannya?” tanya Manda. Bintang sengaja mampir ke rumah orang tuanya hari ini, karena sang ibu mengatakan kalau ia membuat sop buntut hari ini. Tak ia duga, wanita tua itu menaruh perhatian pada kasus Adelia dan Fleur. “Fleur mengakui kesalahan dan tak mau terlibat sampai ke jalur hukum, Ma.”Dahi Manda berkerut. Seolah menyuarakan kebingungan Manda, Raffael bertanya, “Minta Adel diberhentikan dari syuting, sampai kamu tuntut ke jalur hukum?”Bintang lupa, kalau mereka hanya tahu cerita pertamanya saja. “Ah … kalian belum tahu perkembangan terakhir hubungan Adelia dan Fleur?”“Ada masalah lagi?!” Manda sedikit kaget. Ia pikir masalah pertama akan selesai tanpa ada buntutnya.Bintang mengangguk. “Fleur merencanakan pembunuhan terhadap Lia, Pa. Dan Black merekam dengan jelas semua bukti itu.”Raffael dan Manda terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkomentar satu sama lain. “Wajah cantik, berpendidikan dan kaya raya, nggak lantas membuat seseorang menjadi manusia,
“Apa yang sudah kau lakukan, Fleur?!” Pria tak berambut dengan tubuh tinggi kekar itu membanting pesawat telepon yang ada di meja kerjanya. Beliau adalah CEO rumah produksi Lightern—Bastian Moore. “Aku minta kamu dekati Bintang, supaya bisa merger dengan perusahaannya! Kenapa malah bikin masalah dan membuat marah produser Brian?!”Fleur hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajahnya dari amarah sang atasan. Dua tangannya kuat-kuat meremas bahan gaun bertekstur floral itu, menahan diri untuk tidak marah atau menangis. Ia benar-benar tak menyangka, bahwa kebenciannya pada Adelia menyebabkan Bintang kehilangan minat terhadap Lightern.‘Aku terbakar cemburu saat perempuan sial itu membuka pintu dan dengan naturalnya mengira yang datang adalah Bintang,’ sesal Fleur. Di balik penyesalan itu, juga ada amarah yang besar pada Adelia. Kecemburuannya masih belum sirna. Sedikitpun tak berkurang. “Mau apa lagi kalau sudah begini, hm?!” sentak Bastian putus asa. “Sejak pagi sekretarisku sudah me
“Theo, apa kau yang menitipkan tas ini ke Fleur untuk diberikan pada Adelia?” Brian menunjuk tas yang masih di posisi awal.Tenda Fleur tidak tersentuh sama sekali. Brian membiarkannya demikian sampai ia menemukan siapa pelaku yang berani mengacaukan suasana di lokasi syuting.Sementara sutradara mengurus jalannya syuting hari ini, Brian memutuskan untuk bicara dengan manajer Adelia.“Tas?” Dahi Theo berkerut. Ia mengamati tas itu dan berpikir keras. “Hm … aku nggak pernah lihat tas ini,” klaimnya. “Adel juga nggak punya tas seperti ini. Kau tahu sendiri kondisi anak itu. Dia nggak punya uang lebih untuk beli tas yang nggak dia butuhkan.”Brian mengangguk setuju. “Tapi, Fleur menuduhnya meletakkan tas dan ular ini di kasurnya. Kita nggak punya bukti kalau tas ini bukan milik Adelia.”“Saya ada buktinya.” Seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam muncul dan bergabung dalam percakapan mereka. Membuat Brian dan Theo tertegun. “Siapa kamu?!”“Saya bertugas menjaga Nona Adelia. Jad
Staf yang mengikuti Brian masuk ke tenda Fleur tiba-tiba keluar dengan mulut tertutup tangan. Menahan mual karena sudah menyaksikan sesuatu yang menggelikan di dalam sana. “Ada apa?!” tanya peserta syuting lainnya. Mulai tak sabar karena tak satupun menjelaskan apa yang sudah mereka lihat.Bahkan Fleur kini masih berjongkok dekat pohon besar. Gemetar di dalam perlindungan tubuh Vildan.“Ular ….” Hanya itu yang berhasil diutarakan salah satu staf. Nada suaranya pun terdengar ngeri. Belum sempat mereka bertanya lebih jauh, Brian keluar dan segera menenangkan keributan. “Semua kembali ke ruang makan untuk sarapan!” serunya. “Fleur, kau pakai tendaku untuk sementara ini. Kami akan membuatkan tenda yang baru.”Seolah sadar dari rasa takutnya, ia pun berdiri dan meneriaki Adelia. “Ini semua gara-gara Adelia! Perempuan jalang itu!”Netra semua orang terbeliak mendengar ucapan Fleur. Pertanyaan mulai muncul di antara mereka, tentang kenapa Fleur memberi label kejam pada artis yang baru mem
“Kau satu tenda dengan Adelia kan?” Fleur mendatangi seorang artis muda yang jam terbangnya masih tergolong sedikit dibandingkan dengan Fleur yang sudah senior itu. Mereka baru saja tiba di tempat perkemahan dan semua orang tengah sibuk mengurus barang bawaannya masing-masing. “Oh! Iya, Kak Fleur.” Artis muda bernama Abby itu tersenyum ramah. “Ada apa?”“Ada yang menitipkan ini.” Fleur memberikan sebuah tas makan kecil pada Abby. “Katanya ini tas milik Adelia.”Abby menerima tas itu. “Ah! Terima kasih, Kak. Nanti saya kasih Adel.”Fleur tersenyum singkat kemudian kembali ke tendanya. Artis perempuan senior yang sedang naik daun itu mendapat perlakuan khusus. 1 tenda untuk dirinya sendiri. Sementara itu, Abby bergegas mencari Adelia untuk memberikan barang titipan tadi.“Adel! Ini katanya tas kamu!” seru Abby dengan senyum lebar. Produser memang menempatkan Adelia bersama dengan Abby karena ia tahu, mereka bisa dekat. “Dari siapa, By?” tanya Adelia dengan pandangan heran.Ia suda
“Jadi, baik aku atau perempuan miskin itu nggak diizinkan keluar dari ‘Survival Home’?!”Bintang menatap Fleur yang duduk dengan angkuh, bersedekap di hadapannya. Manda dan Dennis meninggalkan begitu saja masalah ini di tangannya.‘Kalau bisa aku mau mengeluarkan kau saja, Fleur. Dibanding Lia yang sudah jadi artisku.’ Bintang menjawab tanpa suara. “Bisakah kau menyaring kalimatmu, Fleur. Adelia juga perempuan, sama sepertimu,” tegur Bintang berusaha sabar.Karena menurut Manda, hubungannya dengan Adelia tidak boleh sampai ketahuan orang luar, apalagi mereka yang tidak terjamin bisa menjaga rahasia. Fleur mendengus geli. “Ha! Setidaknya aku nggak miskin seperti dia!”Bintang mencoba tenang, tapi bukan berarti ia tak bisa tegas. Bagaimana pun ia harus menegur perempuan angkuh itu. “Fleur, Aku harus mengusirmu kalau bicara nggak sopan soal artis di bawah naungan RAFTEN!”Walau tak menjawab, Bintang bisa melihat tubuh Fleur sedikit menyentak karena tegurannya.Kemudian, sang CEO menam
“Nona Fleur! Ini bukan saatnya untuk berdebat!” sentak sang produser, mencoba bersikap tegas. Sang manajer pun panik. Tidak paham kenapa tiba-tiba Fleur mengamuk di depan sang produser.Namun, Fleur merasa memegang kendali. Ia tahu kalau dirinya tidak mungkin dilepaskan dari acara itu. “Ha! Kalau memang Anda masih akan lanjut dengan kondisi seperti ini, saya mundur!” Fleur segera berbalik untuk meninggalkan lokasi syuting.Brian pun langsung berdiri dan menahannya dengan kalimat yang sudah Bintang anjurkan. “Ini keputusan Pak Bintang! Tidak ada yang akan keluar dari acara ini. Jika Nona Fleur memaksa, Pak Bintang mengatakan bahwa akan ada penalti.”Netra Fleur membulat. Ia berbalik dan menatap Brian seolah tidak percaya Bintang akan menimpakan penalti atas dirinya. Fleur mendengus geli. “Mana mungkin Bintang memperlakukanku seperti itu! Kau hanya membual!”“Silakan coba saja kalau berani, Nona Fleur!” Brian menantang. Setengah gemetar, karena di satu sisi, ia harus mempertahankan
“Fleur minta Adelia dikeluarkan dari survival home.”Dahi Bintang berkerut. “Apa dia sebut alasannya? Kenapa di hari kalian nggak syuting, bisa ada bentrok? Apalagi antara artis selevel Fleur dengan pendatang baru.”Brian menggeleng. “Fleur nggak menjelaskan keberatannya mengenai keberadaan Adelia. Tapi dia mengancam, kalau kami nggak mengeluarkan Adelia, dia yang akan keluar dari survival home.”Bintang menggaruk kepala belakangnya. Pusing dengan kelakuan Fleur yang tiba-tiba memusuhi kekasih barunya itu. “Saya nggak habis pikir apa yang membuat Fleur tiba-tiba memusuhi Lia, Pak Brian. Apa Anda punya clue?”Brian terdiam sesaat kemudian mengoreksi ucapan Bintang. “Sejak awal Fleur nggak suka dengan Adelia, Pak. Jadi, sepertinya rasa tidak suka itu menumpuk dan meledak sekarang.”Napas Bintang terdengar panjang dan lelah. “Ya sudah, keluarkan saja Fleur dari sana.”Mendengar itu spontan Brian berdiri dan menggebrak meja kerja sang CEO. “Nggak bisa, Pak! Dia wajah acara ini!”“Saya ju