“Semua anak buah tuan di pindahkan ke Mansion bagian paling timur. Semua berpusat di sana Non, jadi di sini buat tinggal Nona sama Tuan Garvin aja. Lebih privat. Mungkin supaya gak ada yang ganggu tuan sama Nona.” Alesha mengangguk. “Alesha ke atas, bangunin Garvin dulu.” Setelah itu melenggang ke atas. Sesampainya di kamarnya, ternyata kosong. Pasti Garvin sudah bangun dan sekarang berada di kamarnya sendiri. Sesampainya di kamar Garvin—ia langsung membukanya. Garvin sudah mengenakan setelah kemeja hitam. “Aku kira belum bangun,” ucap Alesha sembari mendekat. Mengambil sebuah dasi yang sudah tergeletak di atas meja. Alesha mendongak, ia hendak memasang dasi itu tapi tubuhnya tidak sampai. Ia melihat-lihat sekitar barang kali ada benda yang bisa dijadikan pijakan. Tapi—tubuhnya lebih dulu melayang. Garvin mendudukannya ke atas sebuah meja. Alesha memasangkan dasi itu di kerah leher Garvin dengan rapi. Selesai dengan pekerjaannya. Ia menatapnya puas. Garvin memeluknya. Alesha me
‘Aku mimpi.’ Alesha kembali memejamkan mata. Tapi tidak selang lama ia membuka mata kembali. Menyadari jika ia tidak lagi berada di kamarnya. Padahal ia memang tidur siang di kamarnya. Lalu kenapa dirinya berada di tempat ini? “Sudah bangun?” Garvin menatap Alesha dengan tangan yang berada di dalam saku. Alesha merentangkan tangannya. “Ini di mana?” Garvin menarik tubuh Alesha hingga berdiri. “Di pesawat.” “Oh pesawat,” lirih Alesha. “Pesawat?” Meneliti lagi sekitarnya. Oh iya memang benar. “Tapi bagaimana aku—” Garvin mengacak puncak rambut Alesha dengan gemas. “Aku yang membawamu.” Menarik Alesha agar ikut berjalan bersamanya. Sebuah Jet pribadi yang mendarat di sebuah tanah lapang belakang Mansion. Keluarga Blackton memang mempunyai jet pribadi yang siap digunakan kapanpun. Mangkanya di belakang rumah atau Mansion keluarga Garvin pasti ada sebuah lapangan yang sangat luas. Ternyata ada juga pramugari yang bertugas. “Seperti keinginanmu, kita akan ke korea. Tapi kita harus t
Garvin memegang jemari Alesha yang akan menyentuh bagian bawah lagi. “Kamu membangunkan adikku.” “Adik?” Alesha berpikir. Melihat ke bawah. Ia melebarkan mata kemudian melepaskan tangannya. “Aku tidak bermak—” Garvin lebih dulu menempelkan bibirnya. Menarik tubuh istrinya lebih dekat. Di dalam kolam? Siapa takut. Garvin memang tidak takut apapun. Tapi berbeda dengan Alesha yang berusaha berhenti. Sampai kehabisan nafas, barulah Garvin melepas pangutan mereka. “Bagaimana jika ada orang lain?” “Tidak akan.” Memang jarak antar kamar di hotel memanglah jauh. Tapi jika dipandang mereka akan ketahuan. Apalagi waktu masih sore. Bagaimana jika ada orang yang merekam aktivitas mereka, kemudian menyebarkannya. “Ayo di dalam saja,” pinta Alesha. Ia tidak menolak jika Garvin memang meminta haknya. Tapi jangan di tempat terbuka seperti ini. Ia takut, sungguh. “Tidak.” Keputusan final memang berada di tangan Garvin. Alesha pasrah saat Garvin meminta haknya di dalam kolam renang yang terbuk
Garvin masuk ke dalam pintu yang sudah terbuka. Tidak ada siapapun di sana. “Istriku di mana?” tanya Garvin dengan tatapan tajamnya pada Vander. Saat bangun, keinginan Garvin hanya satu yaitu melihat Alesha dengan keadaan baik-baik saja. Tapi apa? Istrinya sekarang menghilang dan penjagaan anak buahnya bisa ditembus dengan begitu mudah. “Setiap beberapa jam saya sendiri yang memastikan keadaan Nona Alesha aman. Tapi melihat semua pengawal yang berjaga pingsan, kemungkinan Nona Alesha diculik.” BUGH Garvin meninju sekuat tenaga Vander. “KAU MEMBIARKAN ISTRIKU DICULIK?!” BUGH Garvin menendang kedua kaki Vander bergantian. “APA AKU MELATIHMU SELAMA INI UNTUK MEMBUAT PENJAGAAN YANG BEGITU LEMAH?!” Vander menahan kesakitannya. Ya ini memang kesalahan dan kecerobohannya. Andai saja ia bisa lebih teliti untuk menjaga istri dari bosnya, pasti istri bosnya masih berada di ruangannya. “Cari keberadaan Alesha.” Garvin mengepalkan kedua tangannya. “Tidak kurang dari 12 jam. Kau harus mem
“Yuna-yaa,” panggil Yeonji ketika masuk ke dalam ruang putrinya. Perempuan yang semula melamun kini menoleh. Ia menatap pada orang yang ia yakini sebagai orang tuanya. “Apa masih sakit?” “Ada yang ingin aku tanyakan pada Eom—” Yuna berhenti. Ia tidak yakin menyebut Eomma dan Appa. Kenapa rasanya tidak terbiasa. Ia lebih suka dengan panggilan Mom dan Dad. “Mom Dad,” lirih Yuna. Yeonji tertawa pelan. “Kamu memang sudah lama tinggal di luar negeri makanya susah menyebut kami dengan Eomma dan Appa.” Mengambil kedua tangan anaknya. mengusapnya perlahan. “Yuna-yaa, kamu bisa memanggil kami sesuka kamu.” “Ceritakan kehidupanku, Eo-eomma. Aku ingin mengingatnya kembali.” Juhwan menerima sebuah telepon. Menepi sebentar untuk mengangkatnya. Kemudian berjalan mendekati anak dan istrinya. “Appa pergi dulu. Kamu harus sembuh,” mengusap puncak kepala Yuna sebentar. “Aku ada rapat. Aku pergi dulu, kamu jaga anak kita. Rumah sakit sudah dijaga ketat oleh orang-orangku.” Dalam bahasa korea. Y
Tujuannya ke sini adalah honeymoon bersama istrinya bukannya menjemput malapetaka. Kedatangannya ke sini hanya mendatangkan kecelakaan dan kesialan. Seharusnya ia tidak membawa istrinya ke sini. Garvin memasuki mobil hitam. Ada sekitar 7 mobil yang berisi anak buahnya ikut serta mengiringinya ke rumah sakit Alesha berada. Beberapa menit mobil melaju—akhirnya berhenti di depan sebuah gedung tinggi sebuah rumah sakit. Begitu Garvin menginjakkan kaki keluar. Semua pengawal yang ada di depan nampak waspada. Mereka langsung menghadang akses masuk rumah sakit. “Kalian sudah merencanakannya,” lirih Garvin dengan seringaian iblisnya. Garvin berjalan ke arah pintu utama. “Aku ingin bertemu dengan bos kalian.” Mereka saling berpandang. Menunggu intruksi dari atasannya yang memegang kendali. “Kami tidak bisa.” Mereka mengacungkan pistolnya lebih dulu. Begitupun dengan anak buah Garvin. Mereka juga bersiap dengan senjata masing-masing. “Adu tembak di sini. Aku ingin melihat berapa banyak m
“Alesha ayo pulang.” Garvin menatap istrinya yang nampak bingung. “Aku tidak ingin bercanda sekarang. Ayo pergi sebelum aku menghabisi orang-orang.” Yuna menggeleng keras. Ia menolak dibawa pergi pria di hadapannya. Meskipun tampan—tetap saja menyeramkan. Bisa menyakiti dan membunuh orang dengan mudah. “Eomma, Yuna tidak mau ikut dengannya.” Perkataan Yuna membuat Garvin mengernyit. “Kamu Alesha, istriku,” ucapnya dengan tajam. Garvin mengambil langkah semakin dekat, namun setiap langkahnya ke depan justru wanita itu semakin ke belakang menghindarinya. Pandangannya semakin menggelap. “Singkirkan wanita ini.” Dua anak buahnya datang dan menjauhkan wanita itu dari Yuna. “Kepala Nona Alesha diperban, kemungkinan terkena benturan yang parah. Bisa jadi Nona Alesha kehilangan ingatannya,” jelas Vander di belakang Garvin. Ia tidak bisa berhenti menatap kepala Yuna yang masih terbalut dengan perban. Garvin mengangguk ringan. Ia mendekati Yuna yang ketakutan. “Jangan mendekat, aku tida
Ju Hwan mendekat. “Pergi selagi aku memberimu kesempatan.” Garvin tertawa remeh. “Aku akan pergi dengan membawa istriku.” Ia menatap Yeojin yang berada di belakang, dicekal oleh anak buahnya. “Aku akan mengembalikan istrimu, aku juga akan pergi dengan istriku.” “Pergi dari sini. Jangan mengacaukan apapun.” “Sir pasukan kita kalah jumlah. Tentara yang mengepung sangat banyak.” Vander mencoba mengingatkan Garvin. Mengingat jika sekarang mereka bukan di negara sendiri. Yeonji diam-diam mengeluarkan semprotan yang berisi bubuk cabai. Ketika lengah ia mengeluarkannya dan menyemprotnya ke arah anak buah Garvin. Hingga mereka melepaskannya, ia berlari ke arah putrinya. Membantu putrinya bangun. Yuna yang semula menunduk kini mendongak. Menatap sang ibu yang susah payah melepaskan diri. “Serang.” Ju Hwan memberikan komando pada tentara yang ikut bersamanya untuk menyerang pasukan Garvin. Semua sibuk berkelahi. Yeojin berhasil membawa Yuna pergi dari sana tanpa sepengetahuan Garvin yan
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun