Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan.
Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang.
Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini.
Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu terdapat banyak sekali mantra, doa, dan bacaan-bacaan lainnya yang bersifat ghoib. Bukan ghoib, ya, tapi bisa menimbulkan suatu efek yang tidak terduga sebelumnya.
Pertama kali aku membaca mantra dari buku itu, tubuhku hilang, dan langsung berada di puncak pegunungan. Awalnya aku takut, lalu berjalan mondar-mandir. Akhirnya aku menemukan sebuah batu yang bertulisakan sebuah mantra lagi. Aku membacanya, dan setelah membaca tiga kali, aku berhasil kembali di rumah dengan keadaan selamat. Mulai saat itu, aku menamakan buku kumpulan mantra itu dengan sebutan ‘Buku Ajaib’.
Pukul sembilan pagi, aku bangun tidur, mandi, dan sarapan pagi. Tidak sekolah? Tidak, Indonesia masih lock down, tidak boleh keluar rumah, apalagi pergi sekolah. Korona, menjadi virus paling mematikan menurut orang Indonesia yang tidak mengetahui.
Setelah sarapan, iseng-iseng aku membuka buku ajaib, dan membaca-baca mantranya. Syarat agar mantra yang aku baca dari buku itu berfungsi, harus diulangi sebanyak tiga kali. Aku hanya membacanya dua kali, sehingga tidak berfungsi. Tapi, walaupun hanya satu kali, kalau diiringi dengan niat, maka akan berfungsi. Hingga pada halaman 1928, bab 75, aku menemukan sebuah mantra yang bunyinya sangat indah, sehingga aku lupa sampai mengulanginya sebanyak tiga kali. Jadilah aku sampai pada tempat ini. Sebuah tempat yang menurutku cukup menakutkan.
Kanan-kiri dipenuhi dengan pepohonan besar, lebih besar dari pada pohon terbesar di taman safari, bogor. Daunnya rindang, banyak burung beraneka warna bermain. Andai aku tidak sedang berada pada posisi seperti ini, aku pasti langsung menangkap mereka dengan jaring-jaring raksaksa. Ah, jangan memikirkan tentang burung itu dulu, tidak penting. Yang penting sekarang adalah menemukan tempat tertulisnya mantra selanjutnya, mantra untuk kembali pulang.
Mataku mengarah pada sebuah sungai besar, airnya jernih, ikan-ikan nampak berenang bebas di sana. Wah, andai aku tadi membawa pancing, pasti asyik sekali, sambil menikmati satu gelas kopi hitam. Tapi, kekaguman itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, dari balik semak belukar muncul satu manusia dengan topi besar, berteriak mengarah padaku. Anehnya, aku tidak paham dengan bahasa yang dia gunakan. Mungkin ini adalah lokasi di luar Indonesia.
“Aenek woeng asaeng!” sambil menengok kanan-kiri, sepertinya sedang mencari seseorang.
Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Akhirnya aku memilih diam, tidak berlari atau meninggalkan dia. Siapa tahu kalau dia ternyata adalah orang baik-baik, bisa menunjukkan mantra untuk kembali pulang.
Kini, aku terus melihatnya. Dia merasa aneh sendiri. Adakah yang aneh dengan diriku? Jika aku menafsirkan apa yang dia rasakan saat ini, pasti dia menganggap bahwa aku manusia aneh.
“Haei, kamuoe siepoe?”
Sepertinya aku agak mengerti dengan bahasa itu. Apakah... itu salah satu bahasa daerah di Indonesia? Ah, sebentar, aku perlu mengingat-ingatnya kembali.
“Haiiiieeeee ... !” katanya dengan ekspresi membentak.
Aku samar, ragu, dengan kalimat apa aku harus menjawab? Akhirnya, pelan-pelan aku mengeluarkan suara, dengan bahasa Indonesia asli.
“Maaf, aku tidak paham bahasa kamu.” Dari hati paling dalam.
Dia plengah-plengoh, nampaknya juga bingung. Dia diam sejenak, berpikir nampaknya. Tiada kata-kata balasan darinya. Dari kejauhan terdengar suara kaki berlari menginjak daun-daun kering.
Kresek ... kresek ... kresek ...
Semakin keras saja suara itu aku dengarkan. Dia, manusia yang berada di depanku menengok pada sumber suara kaki berlari. Sepertinya dia senang. Berarti, jika aku menafsirkan, dia yang datang itu adalah temannya.
“Syuoerkerlah, kamoeisu tangda suh.” Kata orang di depanku sangat ramah, bahagia.
“Aoupa kamuoe o buotuohken?” balasnya.
“Adioe oroeung asieoeng.” Katanya lagi sambil menunjukku.
Aku bingung. Apa sebenarnya yang sedang mereka berdua bincangkan? Rasanya, ingin aku segera memukul kedua kepala itu, dan menghanyutkan pada sungai di belakangnya.
Orang yang baru datang maju ke depan, menujuku, dan menjulurkan tangan. Apa yang dia inginkan? Apakah dia ingin berkenalan denganku? Baiklah, aku ikut menjulurkan tangan kepadanya. Dan, apa yang akan terjadi?
Ah, sial, rupanya dia tidak hendak berkenalan denganku. Dia mengulur tangannya kebelakang lagi, membiarkan tanganku terjulur. Sumpah, andai saja dia adalah temanku, maka aku akan menampar pipinya dengan tanganku yang terjulur.
“Sori, kamu pasti datang dari Indonesia, bukan?” tanya orang bertopi lebar.
Jawabku terbata-bata, “Iy ...ya.”
“Selamat datang di kota kami, kota paling tua dalam sejarah manusia, pusat peradaban pada jamannya.” Katanya lagi.
Manusia laki-laki bertopi lebar itu memperkenalkan diri dengan nama Hanai. Dan yang satunya lagi, yang datang dengan berlari, mengaku menyandang nama Hinia, berjenis kelamin perempuan.
“Kamu pasti telah membaca ‘Alih Nggon’?” tebaknya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Rupanya mereka berdua bisa berbahasa Indonesia.
“Maaf, apa kalian bisa berbahasa Indonesia?” tanyaku dengan nada paling sopan seumur hidupku.
“Ha? Kamu kira kita berdua tidak bisa berbahasa Indonesia?” si topi lebar marah-marah.
Apakah ada yang salah dengan tutur bahasaku? Sepertinya tidak. Oh, sekarang aku baru sadar kenapa dia marah-marah. Pertanyaanku memang sangat tolol. Jelas-jelas tadi dia sudah menggunakan bahasa Indonesia, kenapa aku masih menanyakannya? Memang bodoh sekali aku.
“Maaf, kakak saya ini orangnya memang sangat pemarah, keras, tapi baik hati sebenarnya. Dia adalah salah satu manusia paling tidak perasa di sini. Baiklah, aku akan menjelaskan padamu, bahwa kami bisa berbahasa Indonesia. Jadi, mulai sekarang kita mulai interaksi dengan bahasa aslimi.” Tutur wanita yang datang.
“Iya, aku juga minta maaf.” Kataku dengan menjulurkan tangan.
“Oh, iya, kami belum mengenal namamu.”
“Perkenalkan, namaku Safara.”
Setelah mereka mengetahui namaku, Hinia membisikkan kata ketelinga Hanai, aku tidak mendengarnya. Hanai hanya menganggukkan kepala setelah mendengar apa yang Hinia bisikkan tadi.
“Mari, ikut bersama kami. Kami akan mengajakmu terlebih dahulu berkunjung ke rumah kami.”
Lalu, Hinia menggandeng tanganku. Tangannya dingin, tapi lama-lama dia memegangku, tangannya berubah menjadi hangat. Nyaman sekali tangannya.
“Apakah jauh rumah kalian?” tanyaku sangat polos.
Aku belum mengetahui apakah mereka berdua adalah orang baik-baik. Tapi, begitu mereka mengajakku pergi, berkunjung ke rumahnya, kenapa aku langsung mengiyakan? Tidak tahu, mungkin mereka mempunyai daya tarik tersendiri. Mungkin itu adalah kemampuan karismatik dari dalam diri mereka.
“Oh, tidak, rumah kami dekat sekali. Depan itu adalah rumah kami, setelah tikungan pertama nanti.” Jelas Hanai.
Kami bertiga berjalan beriringan, jalan kaki. Aneh, aku tidak menemui orang sama sekali kecuali mereka berdua. Inikah yang dinamakan dengan negeri dongeng? Udara di sini cukup dingin. Pantas saja, pakaian yang mereka kenakan sangat tebal, mungkin udara adalah salah satu alasannya.
Sepertinya kami bertiga sudah melewati tikungan pertama, berarti rumah mereka berdua sudah dekat. Tapi, rasa-rasanya tidak akan ada rumah di sini. Bayangkan saja, aku saat ini masih berada pada jalan setapak, yang hanya saja lebih baik dilewati dari pada jalan setapak yang aku baru datang tadi, mungkinkah di sini terbangun sebuah rumah? Mungkin saja, karena aku semula belum pernah berkunjung ke sini.
Di depan sana, sekitar jarak lima belas meter, ada sebuah patung kepala singa besar, menyandar pada sebuah batu. Mata singa itu sipit sebelah, dan bibirnya tidak terbuka sama sekali. Bahkan, telinga singa itu terlihat bergerak-gerak, walaupun sepertinya terbuat dari ukiran batu.
“Nah, itu adalah pintu masuk rumah kami.” Hinia berkata.
“Bukan, itu bukan pintu rumah kami, tapi adalah pintu masuk desa kami. Rumah kami masih sekitar dua puluh meter lagi setelah melewati pintu itu.” Hanai membenarkan adiknya.
“Sama saja, kali.” Hinia tidak terima.
“Beda, lah.” Hanai mengelek.
Akhirnya mereka terdiam sendiri setelah mendekati patung kepala singa.
“Lalu, apakah hutan ini bukan termasuk desa kalian?” aku memberanikan diri bertanya.
“Masih, sebenarnya hutan ini masih termasuk lokasi desa kami. Hanya saja, hutan ini tidak ada yang menghuni. Yang kami maksud dengan desa kami, adalah sebuah bangunan desa yang berpenghuni. Jadi, di dalam nanti, setelah melewati pintu singa itu, adalah sebuah desa yang berpenghuni. Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya, kenapa kamu tidak menemui manusia lain, bukan?” Hinia menjelaskan.
Aku lagi-lagi hanya menganggukkan kepala.
“Nah, setelah sampai rumah nanti, aku akan menjelaskan lebih banyak lagi kepadamu.” tambah Hinia.
Baiklah, alangkah baiknya sekarang aku diam manis, tidak banyak tanya. Jika sudah tiba saatnya aku mengetahui, pasti aku akan mengetahuinya dengan mudah, tanpa banyak tanya seperti ini.
“Jangan mengeluarkan suara.” Kata Hanai, tegang.
“Tidak usah tegang juga, kali.” Hinia menimpali.
Lalu, Hanai melirik kepada Hinia, sinis.
Aku tidak mengeluarkan suara, sama sekali, seperti yang diperintahlah oleh Hanai, kakak Hinia. Patung kepala singa bergetar ringan, menimbulkan debu-debu di atasnya beterbangan. Sepertinya, patung kepala singa itu jarang sekali bergerak.
“Maosesok, kamiorer tangda su.” Kata mereka bersamaan. Aku? Masih diam manis.
Pelan-pelan, patung singa itu terangkat, terbuka sebuah pintu baru. Pintu itu sepertinya terbuat dari kayu, hitam legam. Hinia dan Hanai maju menuju pintu itu, dan aku otomatis mengikutinya. Aku tidak mau ditinggal sendiri oleh mereka.
Aku baru sadar, pintu itu tidak ada gagangnya sama sekali. Persis dengan perwajahan lift. Lalu, bagaimana kami bisa masuk? Itu yang menjadi pertanyaanku sekarang. Apakah ada sebuah tombol rahasia seperti difilm-film barat? Ah, ini baru pengalaman menarik.
Hinia mengeluarkan sebuah kartu dari dalam saku bajunya. Ukurannya hampir sama dengan kartu KTP, berwarna merah darah. Kemudian, dia menggosokkan kartu pada pintu itu. Dan, kemudian pelan-pelan, pintu terbuka kesamping kanan-kiri, terbelah menjadi dua bagian.
Dari balik pintu itu, nampak sebuah kota dengan bangunan megah, seperti hayalan pada sebuah novel-novel yang mengisahkan masa depan dunia. Gedung-gedung tinggi berjajar rapi, mengejutkan. Kendaraan terbang, melayang-layang tanpa adanya jalan bagaikan pesawat. Hampir tidak ada kendaraan darat, hanya terlihat beberapa sepeda manual. Inikah hayalan masa depan yang digambarkan oleh sebuah novel?
“Selamat datang di desa kami.” Ucap mereka berbarengan.
Lalu, pintu lebar di belakang kami pelan-pelan menutup kembali setelah kami masuk.
Sekarang di sinilah aku berada. Ruangan ini berbentuk persegi empat, hampir sama dengan bangunan rumah Indonesia, biasa. Namun bedanya adalah, ruangan ini penuh dengan gambar-gambar simbol, yang sebagian besar aku tidak mengerti artinya. Mungkin, Hinia dan Hanai adalah manusia yang suka mengoleksi gambar dengan simbol. Diantara simbol yang aku maksud adalah gambar dengan ukuran 50x50 cm2. Di atas kanvas, atau apalah itu, tergambar sebuah kepala ular dengan tiga mutiara, bersinar terang. Ular itu tidak mirip dengan ular manapun di Indonesia, atau hanya aku saja yang belum pernah melihatnya. Dan masih banyak gambar-bambar aneh lainnya.“Bagaimana? Kamu suka dengan ruangan ini?” tanya Hinia ramah.“Iya, aku suka, banyak gambarnya.” Jawabku.“Kamu tahu? Setiap gambar itu adalah mantra! Tidak sembarang orang bisa melihatnya.”“Maksudnya?”“Hanya sebagian orang yang bisa menggunakan mantra
Malam harinya, lebih baik aku menginap di sini dulu. Lagi pula, aku juga tidak tahu kemana harus pergi. Untunglah ada mereka berdua, yang bisa aku jadikan teman perjalanan mungkin.Aku mendapatkan kamar yang lumayan nyaman. Rasanya, kamarku di Indonesia tidak senyaman ini. Ruangan kamar sangat sederhana. Tadi, sebelum masuk, aku membayangkan jika aku akan mendapatkan kamar super mewah. Pasalnya, kuil ini bangunannya sangat megah, apalagi kamarnya? Dan ternyata tidak.Akhirnya hari ini bisa istirahat juga. Sebenarnya, kenapa aku bisa menjadi sebodoh ini? Menjadi permainan sebuah mantra. Atau, Tuhan sengaja mengirimkan buku mantra itu padaku karena sebuah alasan? Mungkin, iya.Aku pelan-pelan mengeluarkan buku ajaib dari balik bajuku. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil menemukan mantra untuk menyimpan buku ajaib tanpa terlihat, dan tanpa membawa beban pula rasanya.Dan aku tertidur dalam kuil indah ini.***Pagi hari telah da
Siang harinya kami benar-benar berangkat menuju Kuil Damsaqie. Persiapan perjalanan cukup banyak. Untunya, Hanai mempunyai mantra untuk menyimpan barang pada alam ghoib, sehingga kami tidak keberatan membawa. Aku hanya membawa tas punggung kecil, berisi makanan dan air bersih.“Untuk sampai menuju Kuil, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.” Hanai memimpin perjalanan.“Sudah tahu, kali.” Hinia mencibir.“Tapi, kan, Safara belum tahu.” Hanai membelalakkan mata pada Hinia.Begitulah mereka berdua. Namanya juga adik-kakak. Kalau dekat bertengkar, tapi kalau jauh rindu mungkin. Memang, adik-kakak adalah dua spesies manusia yang sulit dimengerti. Tidak pula untuk dipisahkan.“Jauh juga, ya.” Aku berkata sendiri.“Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, nanti ada beberapa tempat pemeriksaan. Sedangkan kamu bukan spesies manusia Kulstar, maka kita akan melewati sebuah ja
Kawan, perkenalkan namaku Safara Yunan. Aku adalah seoarang perempuan yang selalu ceria. Usia 20 tahun. Tidak ada yang perlu aku bebankan dalam hidupku, sehingga menjadikan langkah berat. Tidak, aku adalah wanita yang kuat.Teman, aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah ajaib dalam hidupku. Ini adalah tentang buku ajaib. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana. Tidak pernah aku meninggalkan dalam sedetikpun, tidak pernah setelah aku menemukannya.Lima tahun yang lalu, ketika aku jalan-jalan disebuah taman kota Madiun, aku menemukan sebuah buku antik. Lumayan antik, aku sangat menyukai bentuknya, warnanya, sampai aku menyukai isinya.Buku itu berwarna coklat tua, sangat gelap. Namun, judulnya sangat cerah, berwarna kuning keemas-emasan. Aku tidak paham dengan bahasa judulnya. Namun anehnya, dari sekian keanehan, terdapat bahasa Jawa di dalamnya.“Emm, buku apa itu?” tanyaku dalam hati ketika pertama melihat buku itu.Saat itu, aku mene
Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”“Dia sedang tidur.”“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.Baiklah, mulai sekarang aku akan
Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala
Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s
READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat
Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara
Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam
MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran
Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i
Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga