Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.
“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.
“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.
“Kita-lah.”
“Tidak, hanya srempetan.”
“Sama saja. Kenapa?”
“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”
Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.
“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.
“Tidak, belum ngantuk lagi.”
“Kalau begitu ceritalah!”
“Cerita apa?”
“Kehidupanmu di Bumi.”
“Tidak, tidak ada yang baik dari kisah hidupku.”
“Oh, begitu. Baiklah, lain kali aku akan bertanya lagi padamu.” Katanya sambil mengemudikan moter.
“Ah, sial, kenapa moter merah itu masih saja mengikuti kita?” tanyanya sambil menunjuk moter hitam.
Iya, memang, moter merah dengan lampu hias putih menyala masih mengikuti kami, dari samping. Kenapa dengan dia? Apakah masih dendam dengan kami gara-gara kami meninggalkannya? Mungkin begitu.
“Hati-hati, Safa, pegangan yang erat. Kita akan melakukan manufer lagi.” Kata dia semangat.
“Jangan, Nai, nanti tabrakan lagi.” Aku mencegah.
“Kali ini tidak akan lagi. Aku sudah siap untuk bermanuver.”
Belum selesai dia mengucapkan kata-kata, moter sudah menanjak naik, curam. Aku pegangan erat sekali pada pegangan moter. Ah, Nai sangat keras kepala sekali. Bagamana coba, kalau nanti kami tabrakan lagi? Atau, minimal srempetan?
Kali ini moter merah tidak mau mengalah. Dia, ikut bermanuver bersama kami, dari belakang. Aku melihatnya di layar depan moter, hasil tangkapan dari kamera belakang moter. Gayanya tidak kalah indah dengan kami. Bahkan, dia lebih indah lagi.
“Kurang ajar, dia tidak mau mengalah dengan kita.” Ucap Nai geram.
Nai semakin menjadi-jadi. Moter naik 210 derajat, peganganku tambah erat. Nai ketawa-ketawa riang dari kursi kemudinya. Tidak sampai disitu, tiba-tiba moter putar balik, menanjak dengan kejamnya. Aku hanya teriak-teriak tidak karuan dari kursi belakang.
“Tenang, Safa, kita tidak akan kalah.”
“Bukan itu yang aku risaukan.”
“Lalu apa?” tanya dia.
“Tabrakan...” keras sekali suaraku.
“Tenang saja. Kali ini aku yakin tidak akan tabrakan.” Katanya yakin.
Hampir saja tadi kami menabrak sebuah moter hijau dari belakang. Tapi dengan sigap, Nai mengubhah arah kemudi, menjauh, dan tabrakan tidak terjadi.
Tidak sampai itu saja. Setelah menghindar dari moter hijau, kami hampir saja menabrak moter ungun, dengan lampu hias kuning emas. Tapi, lagi-lagi Nai berhasil menghindar.
Kasihan sekali, moter merah yang mengikuti kami menyerempet moter ungu yang kami lewati. Mungkin, dia kini sudah dipanggil oleh petugas keamanan. Tapi tidak, dia masih mengikuti kami, tidak menghiraukan moter ungu.
Malahan, moter merah mendekati kami dengan menambah kecepatan. Dan, sial, dia berhasil mendahului kami. Bahkan, sekarang dia menghadang jalur laju kami. Sial, kurang ajar sekali dia. Berani-beraninya menghadang kami, batin Nai mungkin.
Terpaksa Nai mengurangi laju moter, dari pada keluar jalur dan nanti dipanggil lagi oleh petugas keamanan. Pelan-pelan, Nai memberanikan diri menyusul moter merah dari samping, kemudian membuka kaca sebelah. Moter juga membuka kaca, sengaja menunjukkan diri.
“Hai, apa kabar?” sapa dia kurang ajar.
Oh, rupanya dia adalah laki-laki yang bertabrakan dengan Nia di rumah makan tadi siang. Apakah masih menyimpam dendam? Dia juga adalah laki-laki yang melihatku dengan sinis.
“Apa yang kamu inginkan? Kurang ajar.”
“Tidak, aku tidak menginginkan apa-apa, hanya ingin bermain dengan kalian.” Katanya lagi.
“Minggir, dari pada remuk motermu.” Ancam Nai.
“Silahkan, kalau berani dan bisa!” balasnya.
Sepertinya dia tidak takut dengan ancaman Nai. Malahan, moternya semakin lambat melaju.
“Minggir, aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu.” Bentak Nai.
“Sabar, tidak usah membentak aku juga sudah dengar.” Dia ketawa.
“Banyak omong.”
“Mau kemana? Mau ke Bumi? Jauh sekali Bumi itu.”
Ha? Nai dan diriku sama-sama terkejut. Apakah dia asal ucap? Atau, dia sudah mengetahui kalau aku adalah manusia bumi? Aku segera menutup kaca, agar tidak terlihat.
“Hei, kenapa manusia bumi itu menutup kaca? Apakah takut? Tenang saja, aku bukanlah manusia jahat.” Katanya setelah melihat kacaku tertutup.
“Dia mengetahuimu.” Nai berkata padaku.
Benar, dia benar-benar mengetahui kalau aku adalah manusia Bumi. Apakah dia petugas keamanan? Gawat, kalau dia adalah petugas keamanan aku bisa mati sekarang.
“Cepat, katakan apa yang kamu inginkan?” bentak Nai lagi.
“Sabar, mungkin kita bisa bicara baik-baik.” Katanya.
“Tidak bisa, aku terlalu buru-buru.”
“Bagaimana kalau aku beli manusia Bumi itu dengan sepuluh harga moter?” tawarnya.
Apa? Dia ingin membeliku? Kurang ajar sekali. Manusia bukanlah sebuah barang dagangan. Dahulu saja, ketika perbudakan masih banyak terjadi, Islam datang dan menghapus perbudakan. Apakah dia akan memulai perbudakan lagi? Kurang waras.
“Untuk apa?” tanya Nai.
“Aku sedang menulis sebuah penelitian manusia Bumi. Jadi, bisa-lah kita bekerja sama.” Katanya.
Ah, kenapa Nai malah menanggapi itu. Apakah dia tergiur dengan uang sepuluh harga moter? Bahaya ini. Lebih baik aku lompat saja sekarang dari moter.
“Baiklah, bisakah sekarang kamu berhenti pada suatu tempat, dan kita bicarakan baik-baik?”
Sial, benar, dia akan menjualku.
Aku membuka kaca lebar-labar. Bersiap melompat. Tapi sial, Nai mengetahui apa yang aku lakukan.
“Apa yang kamu kerjakan, Safa?”
“Aku ingin pergi, kamu jahat.” Kataku keras.
Dia ketawa, “Kamu salah paham. Aku akan mencarikanmu jalan pulang. Aku akan bertanya dengan dia soal mantra mengantarmu pulang. Jangan berpikiran negatif dulu.”
Jadi begitu. Benarkah demikian?
Kami berhenti pada sebuah tempat yang tidak terlalu ramai. Kedai minuman. Nia juga sudah bangun, dan bingung dengan apa yang terjadi.
“Bagaimana? Apakah kurang uang sepuluh harga moter?”
Kami mengambil tempat duduk beriringan, satu meja dengan empat kursi.
“Kenapa manusia ini kamu ajak keluar?” tunjuk dia padaku.
“Kakinya sedang sakit, tidak akan berlari.” Kata Nai sambil melirik padaku, mengedipkan satu mata.
Baiklah, aku akan menunggu rencana apa yang akan Hanai lakukan. Mungkin, ini langkah awal untuk mencari mantra kembali pulang.
“Bagaimana, apakah bersedia melepaskan?” tanya dia lagi mendesak.
“Proyek apa sebenarnya yang sedang kamu lakukan?” tanya Nai serius.
“Aku sedang melakukan penelitian mansuia Bumi. Apakah kamu sudah mendengar tentang adanya populasi manusia di Bumi?” tanya dia lagi.
“Iya, aku sudah lama mendengar. Bahkan, sebelum berita mengabarkan aku sudah pernah melihatnya.” Jelas Nai.
“Apa maksudmu?” tanya dia heran.
“Aku adalah penjelajah dunia.” Kata Nai sangar.
“Oh, begitu. Hebat sekali.” Antusias.
“Lanjutkan ceritamu!” perintah Nai.
“Baiklah. Jadi, populasi manusia bumi telah menyebabkan banyak sekali kerusakan. Bahkan, beberapa tahun yang lalu, mereka mengirimkan alat berbahaya menuju Mars, membuat banyak kehidupan disana punah.”
Nai sepertinya juga tahu dengan hal ini. Apa benar manusia Bumi melakukan demikian kerusakan?
“Jadi, aku adalah salah satu ilmuwan. Ambisiku besar, mencari jalan keluar untuk menghentikan mereka. Paling tidak, untuk mensirnakan mereka, menyisakan beberapa manusia saja. Entah itu dengan mengirimkan wabah, bom, atau apalah nanti.” Dia berhenti sejenak.
“Nah, aku memerlukan satu contoh manusia sehat dari sana, untuk uji coba. Kebetulan, kamu mempunyai manusia ini, yang aku ingin membelinya.”
“Apakah kamu akan membunuhnya?” tanya Nai.
“Tidak, aku tidak akan sampai membunuhnya. Aku hanya akan menguji coba beberapa sel tubuhnya, organ-organ, serta cara manusia bumi berpikir. Nanti setelah selasi, aku akan kembalikan dia dalam bentuk mayat.” Lanjutnya.
“Mati berarti?”
Dia hanya ketawa, tidak menjawab.
“Tidak, aku tidak akan memberikannya padamu hanya dengan sepuluh harga moter.” Nai lagi.
“Lalu berapa yang kamu inginkan?” balasnya.
“Tidak, aku tidak akan menjualnya dengan uang.”
“Lalu, apa yang kamu inginkan?”
“Seberapa luas pengetahuanmu tentang planet Kulstar? Dan seberapa luas pengetahuanmu tentang bumi?” entah apa sebenarnya yang diinginkan Nai.
“Kamu masih meremehkanku? Apakah aku belum memberitahukan bahwa aku adalah ilmuwan?” dia tersinggung.
“Maaf, bukan aku tidak percaya. Tapi, aku juga mempunyai proyek tersendiri dengan manusia Bumi.”
Apa sebenarnya yang Nai inginkan dari pertemuan ini? Apa proyek yang ingin dia jalankan denganku?
“Bagaimanapun aku harus tetap menghargaimu. Apakah kita bisa bekerja sama?” kata laki-laki itu mencari jalan tengah sepertinya.
“Apakah kamu bisa membantuku?” tanya Nai.
“Lalu apa yang akan aku peroleh jika membantumu?”
“Aku akan memberikan manusia ini padamu.” Kata Nai sambil menunjukku.
Ha? Yang benar saja. Apakah dia akan memberikanku pada laki-laki tidak tahu diri ini? Rasanya aku ingin segera berlari dari mereka semua.
“Apa yang kamu lakukan, Nai?” tiba-tiba Nia ikut bicara.
“Kamu diam dahulu, Nia.” Perintahnya.
“Tapi kamu sudah kelewat batas, Nai.” Nia tidak dapat diam.
“Diamlah, aku sedang berusaha dengan jalanku.”
Seakan paham dengan bahasa Nai, Nia diam, tidak protes lagi.
“Bagaimana?” tanya Nai lagi pada laki-laki.
“Baiklah, katakan apa yang bisa aku lakukan untukmu!”
“Bisakah kamu melewatkan kami menuju Kuil Damsaqie?”
Dia berpikir sejenak. Memutar kepala, melihat belakang. keadaan masih ramai.
Lelaki yang mengaku sebagai ilmuwan itu melirihkan pembicaraannya. Jadi, aku harus memasang telinga dalam-dalam agar tidak kehilangan momen bicara.
“Begini, kalau membawa manusia Bumi aku tidak menjamin kalian bisa sampai. Aku sarankan agar kalian melewati jalan ilegal saja.” Itu bunyinya.
“Kalau ide itu, bayi yang baru lahir juga sudah tahu.” Balas Nai ringan.
“Ah, keras kepala sekali kau. Aku sangat tidak menyarankan kamu melewatinya.” Ulangnya lagi.
“Tuan ilmuwan yang terhormat, aku tidak membutuhkan saranmu. Tapi aku lebih ingin membutuhkan bantuanmu.” Kata Nai dengan nada penuh penekanan.
“Baiklah, maaf, sebentar, ijinkan aku berpikir.” Lalu dia diam.
“Cepat, mataku sudah terlalu berat.” Nia tidak sabaran.
Memang sekarang sudah sangat larut malam. Tidak sebaiknya kami duduk disini, sangat mengantukkan. Tapi demi jalan pulang, aku akan menunggu, sabar.
Akhirnya orang itu kunjung buka mulut.
“Begini,” melihat Nai, “Pasti kalian tengah mencari mantra untuk pembedahan.” Tebaknya.
Nai mengiyakan? Iya, dia mengiyakan. Apa sebenarnya yang ingin dia lakukan kepadaku? Pakai mantra pembedahan segala.
“Nah, kalau begitu aku bisa menyelundupkan kalian. Tenang saja, kalian akan aman sampai sana. Setelah mendapatkan mantra pembedahan, jangan lupa berikan aku catatannya. Aku juga ingin belajar.” Jelasnya semangat.
“Apakah kamu yakin bisa menyelundupkan?” tanya Nai serius.
“Bisa, sangat bisa. Dengan syarat manusia Bumi berada dalam moterku.”
“Ha? Tidak. Bagaimana kalau nanti kamu membawa dia pergi dari kami?” Nai menolak.
“Hanya itu yang bisa aku lakukan selain melewati jalan ilegal.” Katanya dadar.
“Memangnya ada apa dengan motermu sehingga berani melewati petugas keamanan?” Nai mencari penjelasan.
“Ada sebuah ruang rahasia dalam moterku. Ruang itu hasil dari penelitianku sendiri. Tidak ada yang punya selain diriku.” Dia bangga dengan moternya.
“Baiklah. Tapi aku akan tetap bersamanya. Apakah kamu tidak bersedia?” tanya Nai lagi.
“Lalu siapa yang akan mengemudikan motermu?”
“Adikku.”
“Baiklah, tidak masalah. Silahkan masuk dalam moterku.”
Sampai situlah perbincangan kami malam itu. Menghasilkan sebuah keputusan yang kalian bisa simpulkan sendiri.
Aku dan Nai memasuki ruangan moter laki-laki itu, yang kemudian mengakukan diri bernama Kanisan.
“Apa jaminan untuk meyakinkanmu bahwa kau tidak akan membawa kami kabur, Kanisan?” tanya Nai lagi sebelum kami benar-benar masuk kedalam moternya.
“Apa yang kau inginkan, manusia keras kepala?”
“Berikan kartu pendudukmu!”
Tanpa keberatan Kanisan memberikan kartu penduduknya kepada Nai. Lalu, Nai keluar dari moter, memberikan kartu yang mirip dengan KTP itu kepada Nia. Aman sudah menurutnya.
“Kalau aku dan Safa tidak kembali, atau dia bawa kita kabur, laporkan dia pada petugas keamanan dengan tuduhan pencurian!” isyaratnya pada Nia.
“Baik, siap laksanakan!” jawab Nia dengan memberi hormat.
Baiklah, perjalanan kami akan berlanjut lagi. Adakah ini memang jalan terbaik untuk kami? Apakah Kanisan benar-benar orang yang baik? Kita akan mengetahui bersama dalam perjalan kali ini.
Aku dan Nai naik moter lewat pintu kedua. Lalu, Kanisan mengikuti kami masuk dari pintu pertama.
Sedangkan Nia, aku meliatnya dari kaca, juga telah masuk dalam moter kami sebelumnya. Sepertinya dia tidak merasakan beban pada perjalanan ini. Atau bahkan, tidak ada yang harus dikhawatirkan sama sekali.
Pelan-pelan moter yang kami naiki, yang dikemudikan oleh Kanisan, pelan-pelan berjalan. Mula-mula moter berjalan menggunakan roda biasa, memutari halaman parkiran. Setelah itu, moter mengangkat diri, mengudara dengan kecepatan standar.
Aku khawatir dengan Nia. Apakah dia benar-benar bisa mengendalikan moter miliknya, sendirian?
“Tenang saja. Dia sudah terbiasa mengemudikan moter sendirian. Aku yakin dia sekarang malah senang tidak karuan.” Kata Hanai setelah aku bertanya.
Dengan mendengar kata-kata itu aku sekarang menjadi yakin bahwa perjalanan akan lancar jaya. Sepertinya aku harus lebih mengkhawatirkan diriku sendiri.
“Dimana ruang rasahasianya, Kanisan?” Nai bertanya tidak sabaran.
Kanisan tertawa, lalu menjawab, “Sabar anak muda, perjalanan masih lumayan jauh. Nanti, jika sudah mendekati pos pemeriksaan saja aku akan menunjukkannya.” Begitu.
Hanai terlihat tidak tenang, melihat kiri-kanan, entah apa yang dia harapkan. Matanya sebentar-sebentar melihat jalur lintasan, mungkin samar kalau kita tidak berjalan menuju Kuil Damsaqie. Begitu juga aku. Tapi, aku masih bingung dengan apa yang harus aku lakukan sekarang.
Tidur? Tidak, sangat tidak disarankan. Aku disini sedang menjadi sasaran, tidak baik kalau aku tidur. Bertanya-tanya? Soal apa yang akan aku tanyakan? Pada siapa pula?
Ah, pemadangan masih sama dengan ketika aku menaiki moter sebelumnya, moter milik Nai. Moter-moter terbang berhiaskan lampu menyala, kertap-kertip pada badan moter, bahkan wajah depan moter.
Kemudi dialihkan menjadi kemudi otomatis oleh Kanisan. Kecepatan sangat tidak aman. 500km/menit. Sama dengan kecepatan ketika kami merasa diikuti oleh moter Kanisan sebelumnya.
Aku melihat jalur moter pada monitor penunjuk arah, dibagian depan, memang menunjukkan bahwa kami harus berjalan lurus, mengikuti sebuah lintasan hijau. Jadi, tidak masalah jika menggunakan kemudi otomatis.
“Kanisan, apa kamu tidak salah arah?” tanya Nai tiba-tiba.
“Tidak, aku sudah sangat hapal dengan jalanan kota ini. Sekarang, lintasan yang kita lewati bukan jalur biasa, akan lebih cepat.” Jelasnya.
“Kalau kalian ngantuk, tidurlah. Kita akan sampai besok pagi, sekitar pukul delapan.” Kanisan menambahi.
“Safa, tidurlah.” Perintah Nai padaku.
“Tidak, nanti saja. Kamu kalau mau tidur, silahkan tidur. Pasti kamu lelah, tadi siang, kan, mengemudi sendiri.”
Nai tidak menjawab, juga tidak tidur. Dia, masih diam dalam kursinya. Mulutnya terlihat begerak-gerak, seperti membaca sebuah mantra.
Tidak lama setelah bibir itu bergerak, membaca mantra, di tangannya sekarang terdapat dua bungkus makanan. Bukan, itu bukan makakan berat, tapi lebih mirip dengan makakan ringan.
“Ini...” dia memberikan salah satunya padaku.
Aku membaca sejenak nama makanan ringan itu. Namanya anti ngantuk. Ah, apakah ini yang dinamakan dengan makanan anti ngantuk? Orang yang memakannya, akan bisa bertahan terjaga selama lebih dari satu bulan. Setelah itu, akan mengalami tidur panjang selama satu bulan juga. Mungkin, semacam siklus hidup yang dialami oleh beruang kutub untuk bertahan pada musim salju.
“Agar tidak ngantuk.” Tambahnya lagi.
Segera aku menerimanya. Kanisan melirik ke belakang, mendengar apa yang Nai katakan padaku.
“Aku juga mau, anak muda.” Kata Kanisan.
“Ambil sendiri.” Jawab Nai.
“Dimana?”
“Bumi.” Dan Nai tertawa.
Mungkin sekarang Kanisan sedang jengkel. Bagaimana tidak, dia hanya mendengarkan aku dan Nia berbincang, tanpa dia ikut mengeluarkan suara.
Akhirnya, Kanisan membunyikan musik keras-keras. Tapi, nyaman juga untuk menemani perjalanan aneh seperti ini. Lumayan, indah juga lagu disini.
Meskipun aku tidak paham bahasanya, rasanya alat musik yang mereka gunakan hampir sama dengan alat musik kami di Bumi. Jadi, aku masih bisa menikmati irama alat musiknya.
Terpaksa aku dan Nai berhenti bicara, tidak bisa mendengar suaranya. Kini, aku merenungi suara musiknya, bukan lagu.
Tidak terasa, saking indahnya suara musik, mataku hampir terpejam. Makanan ringan aku taruh pada kursi, sebelahku. Tidak, kali ini aku benar-benar memejamkan mata. Tertidur.
Sungguh nyaman sekali moter ini. Bayangkan, meskipun terbang dengan kecepatan sangat tinggi, aku tidak merasakan adanya getaran sama sekali. Bahkan, ketika menggunakan kemudi manual, getaran akan terasa jika berganti arah, berbelok.
Aku tidur dengan pulasnya. Hanai melihatku, memerhatikan. Lalu, membenahi rambutku yang berantakan. Satu hari ini aku belum mandi sama sekali. Hanya satu kali mandi, pagi sebelum kami berangkat.
Nai terlihat masih memegang rambutku menatanya. Tangan itu nyaman, tidak seperti kebanyakan tangan manusia, kasar. Pelan-pelan, dia mengelus rambutku, tidurku semakin pulas.
Demikian, aku tidur dalam belaian tangan Nai. Nyenyak sekali, sampai esoknya aku baru bangun, ketika akan melewati pos pemeriksaan Kuil Damsaqie. Aku dibangunkan oleh Nai. Aku melihat matanya, merah, menahan rasa ngantuk. Sedangkan Kanisan, biasa saja.
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw
Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.
Pagi hari, mataku sudah terbuka lebar, terkena deburan sinar matahari. Nai, juga terlihat sudah bersiap dengan kegiatan hari ini. Nia, kemana dia? Apakah masih berada dalam ruangan kamarnya?Ah, sial sekali anak itu. Pagi seperti ini masih belum bangun. Mungkin dia lelah dengan mengemudikan moter selama seharian penuh.Ternyata tidak, Nia sudah bangun sejak tadi malahan. Dia, sekarang berolah raga ria di depan bangunan penginapan. Ceria sekali malahan dia. Entah mimpi apa yang dia lalui semalaman.“Safa, setelah sarapan nanti kita berangkat menuju Kuil Damsaqie kembali.” Kata Nai padaku ketika sarapan pagi.Sarapan kami lakukan dengan diam-diaman, tidak banyak perbincangan yang terjadi. Kanisan, entah kenapa pagi ini begitu diam. Hanya Nai, yang sekali-kali mengeluarkan suara, mengomentari masakan penunggu penginapan. “Terlalu banyak garam masakan ini.”***Setelah sarapan, benar-benar kami berangkat menuju Kuil Damsa
Kalsti telah mantap untuk meluncurkan kamera mikro ketika pagi datang. Saat itu, Safara dan teman-temannya tengah masak di dapur penginapan.Wajahnya cerah ceria, tidak merasakan letih yang tercip malam tadi. Kalsti, menamakan kamera mikro itu dengan sebutan ‘Gadiang Gioreng 23’. Sekarang, perwajahannya sudah sangat berbeda dengan kamera yang berada di tembok ruang kerjanya.“Alat ini sudah siap mengudara. Dan, tentunya aku sudah siap untuk diangkat menjadi Pemimpin Keamanan.” Katanya sendiri dalam hati.Dia mengambil moternya dengan bantuan beberapa kode dari ponselnya. Dari kejauhan, terdengar desingan mesin moter, pelan, tidak menyakitkan telinga. Moter Kalsti sungguh indah. Berwarna kuning kehijau-hijauan, dengan hiasan lampu hitam.Setelah sampai di depan rumahnya, segera dia mendekati moter, dan membuka pintu moter. Pertama-tama, dia membuka pintu belakang moter, dan meletakkan Gadiang Gioreng 23 pada kursi belakang. Setelah
“Apakah kamu sudah mendapatkan mantra untuk kembali pulang?” tiba-tiba Nai bertanya kepadaku.Aku dengan lantang menjawab belum mendapatkan. Bagaimana aku bisa mendapatkan? Bentuknya saja aku tidak mengerti. Sebenarnya, apakah dia berupa mantra dengan lukisan simbol, atau bahkan berupa benda yang menjadi peninggalan sejarah? Aku tidak tahu. Lebih tepatnya belum mengetahuinya.“Ah, mungkin jawaban yang kita inginkan tidak ada dalam Kuil ini.” Nia ikut numpang bicara.“Lalu, dimana lagi kita harus mencari?” Nai mengeluh, seperti tidak kuat menjalani hidup ini. Lebay.Lebih baik, sekarang aku pasrah saja. Aku sudah mencari dan tidak menemukan, berarti sudah saatnya berserah diri kepada Tuhan. Apakah Tuhan akan mengabulkan? Nanti dulu, kita akan menantikan bersama apakah Tuhan akan mengijinkan aku pulang kembali pada Bumi.Tuhan, ujian apa lagi sekarang yang harus aku tanggung? Apakah kurang berat ujian yang se
Sekitar lima jam perjalanan dengan moter, kami akhirnya sampai pada sebuah tempat, tempat paling eksotis menurutku selama beberapa hari di Kulstar ini. Bayangkan, rumah yang kami tempati saat ini, meskipun tidak terlalu besar, semua dindingnya berlapis emas, kuning mengkilap. Atapnya juga demikian, berbalut emas. Nampaknya bangunan ini hampir mirip dengan kelenteng orang Cina kebanyakan. Dominan dengan warna emas, tapi ini adalah emas asli, bukan pewarna yang mirip dengan emas.Sepertinya kami sudah tidak berada di areal Kuil Damsaqie lagi. Kami sudah sangat jauh terbang tadi pagi menjelang siang dengan moter. Sekarang waktu hampir petang, lampu-lampu rumah mulai otomatis menyala. Waw, menambah indah bangunan yang tadinya hanya emas, sekarang menjadi emas menyala.“Hai, anak-anak, ini adalah tempat terindah dalam hidupku. Tidak akan ada yang mengetahui tempat ini. Apalagi, kamera murahan buatan Dewan Keamanan tadi.” Kanisan berkata sambil tertawa lepas, sep
“Tuan, ada sinyal merah menyala disana!” kata salah satu anak buah Kalsti.Wajah Kalsti yang mulanya biasa-biasa saja, datar, sekarang berubah menjadi sangat antusias. Dia berdiri tegak di depan meja kerjanya. Sepintas, dia terlihat mengeluarkan sebuah remot kecil dari balik saku bajunya. Kemudian, dia mendekat kepada salah satu monitor besar yang belum dinyalakan. Segera dia menyalakan monitor itu, dan keluarlah gambar yang hampir sama dengan tangkapan monitor satu dan dua sebelumnya. Bedanya, monitor itu lebih besar dan lebih tajam gambarnya.“Mana titik merah yang kalian maksud?” tanya Kanisan tidak sabaran.“Pada titik kordinat 298-293 ribu kilo meter cahaya. Kalau kami melihat peta Kulstar, titik itu menunjukkan lokasi Kuil Damsaqie, Kuil yang sangat legendaris itu.” Jelas anak buah Kalsti sejelas-jelasnya.Terlihat disana, Kalsti mulai mengetikkan angka yang dimaksudkan anak buahnya. Dia, sangat cekatan mengetikka
Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s
READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat
Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara
Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam
MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran
Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i
Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga