Sekitar lima jam perjalanan dengan moter, kami akhirnya sampai pada sebuah tempat, tempat paling eksotis menurutku selama beberapa hari di Kulstar ini. Bayangkan, rumah yang kami tempati saat ini, meskipun tidak terlalu besar, semua dindingnya berlapis emas, kuning mengkilap. Atapnya juga demikian, berbalut emas. Nampaknya bangunan ini hampir mirip dengan kelenteng orang Cina kebanyakan. Dominan dengan warna emas, tapi ini adalah emas asli, bukan pewarna yang mirip dengan emas.
Sepertinya kami sudah tidak berada di areal Kuil Damsaqie lagi. Kami sudah sangat jauh terbang tadi pagi menjelang siang dengan moter. Sekarang waktu hampir petang, lampu-lampu rumah mulai otomatis menyala. Waw, menambah indah bangunan yang tadinya hanya emas, sekarang menjadi emas menyala.
“Hai, anak-anak, ini adalah tempat terindah dalam hidupku. Tidak akan ada yang mengetahui tempat ini. Apalagi, kamera murahan buatan Dewan Keamanan tadi.” Kanisan berkata sambil tertawa lepas, sep
“Tuan, ada sinyal merah menyala disana!” kata salah satu anak buah Kalsti.Wajah Kalsti yang mulanya biasa-biasa saja, datar, sekarang berubah menjadi sangat antusias. Dia berdiri tegak di depan meja kerjanya. Sepintas, dia terlihat mengeluarkan sebuah remot kecil dari balik saku bajunya. Kemudian, dia mendekat kepada salah satu monitor besar yang belum dinyalakan. Segera dia menyalakan monitor itu, dan keluarlah gambar yang hampir sama dengan tangkapan monitor satu dan dua sebelumnya. Bedanya, monitor itu lebih besar dan lebih tajam gambarnya.“Mana titik merah yang kalian maksud?” tanya Kanisan tidak sabaran.“Pada titik kordinat 298-293 ribu kilo meter cahaya. Kalau kami melihat peta Kulstar, titik itu menunjukkan lokasi Kuil Damsaqie, Kuil yang sangat legendaris itu.” Jelas anak buah Kalsti sejelas-jelasnya.Terlihat disana, Kalsti mulai mengetikkan angka yang dimaksudkan anak buahnya. Dia, sangat cekatan mengetikka
Aku tidak banyak bercerita tentang keadaan Bumi kepada mereka bertiga. Aku hanya mengangkat satu cerita, itupun tidak lengkap, yang menunjukkan tentang betapa buruknya dewan kota Bumi.Adalah tentang bantuan yang salah sasaran. Atau, kita lebih memudahkan untuk belajar sebut saja dengan sebutan KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nespotismi. Kebanyakan, yang mendapatkan bantuan adalah orang-orang terdekat Dewan Kota. Aku tidak menceritakan kebobrokan Bumi pada masa Orde Baru, terlalu malu hanya sekedar untuk mengingat.“Nah, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Nai ketika aku selesai bercerita.“Yah, bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi.” Jawab Nia.“Bukan itu yang aku maksudkan, goblok.” Kata Nai lagi dalam sekali, “Ini tentang perjalanan kita selanjutnya. Kasihan Safa, pasti sudah rindu pulang.”Kanisan urun pendapat, “Menurut sejarah yang aku pelajari, bahwa seseorang yang datang pada Ku
“Gawat, Nai, Nia, safa, markas kita diserang.” Suara Kanisan mengagetkan diriku yang masih berada dalam alam mimpi.Aku segera keluar ruangan kamar. Disana, di luar ruangan, aku menemukan Nai dan Nia dengan kondisi yang sama, bangun tidur.“Ada apa?” kata Nia sambil menguap.“Rumah kita diserang orang tidak dikenal.” Kanisan mengulangi penjelasan. “Cepat, ambil barang-barang kalian dan kita meninggalkan tempat ini bersama-sama.”Setelah Kanisan berkata begitu, aku langsung ingat dengan buku ajaibku yang aku taruh di meja, setelah aku membacanya tadi sebelum tidur. Cepat-cepat aku berlari menuju kamar kembali, dan menemui buku dalam keadaan normal abadi. Syukurlah. Ucapku dalam hati.Aku segera memasukkan buku ke dalam kantong transparan milikku. Dan aku kembali keluar setelah mengambil tas.“Kau sudah siap, Safa?” Kanisan langsung bertanya setelah aku keluar kamar.“Sud
Keadaan sepi, ruangan ini benar-benar sepi. Gelap, dengan penerangan lampu berwarna merah. Nai, kemana dia? Nia, juga tidak bersama denganku. Bagaimana dengan keadaan mereka? Apakah baik-baik saja? Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini? Apa yang telah mereka lakukan kepadaku?Banyak pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya. Tidak ada saat ini yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Bagaimana dengan Kanisan? Apakah dia juga tertangkap?Belum sempat aku menjawab dengan mereka-reka apa yang terjadi, pintu ruangan terlihat ada yang membukanya. Suara pintu tua terdengar menggema pada seluruh ruangan kecil ini. Lampu menyala, terang, cerah, tidak merah lagi. Saat itu juga, aku melihat orang yang sama dengan orang yang keluar dari moter tadi, sebelum akhirnya aku tidak sadarkan diri.“Akhirnya kamu bangun juga, manusia asing.” Suara orang yang membuka pintu.Dia adalah orang yang berbadan kurus. Wajahnya berwibawa. Andai keadaannya berbeda
Aku terbangun entah pada pukul berapa. Ah, kenapa aku tidak melihat jam tanganku? Kan, aku membawa jam tangan dari bumi. Nah, benar, sekarang pukul sembilan malam. Tapi, Nai dan Nia masih belum sadar dari tidurnya. Rupanya, mereka berdua memang sangat lelah dan lemas. Saat-saat seperti inilah, rasa bersalahku kembali hadir menyelimuti. Tidak terasa, air mataku mengalir beberapa saat, bebas mengalir menuju tarikan gravitasi.Tidak lama aku menangis, dengan tidak mengeluarkan suara, akhirnya Nai dan Nia terbangun. Aku cepat-cepat menghapus air mata, sebelum mereka berdua mengetahui kelemahanku. Inilah kelemahanku satu-satunya, mudah merasa bersalah, tapi jarang menangis.“Kau sudah bangun?” tanya Nia yang mengerjap-ngerjapkan matanya.“Iya, baru saja bangun.” Jawabku lirih, dengan menunjukkan senyuman semu.Nampaknya memang tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan diri dari semua kejadian ini. Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali
Gubrakk …Kratakk … Brukk … Krasakk …Pagi hari, entah benar atau tidak, aku terbangunkan oleh suara-suara tidak beraturan dari luar ruangan. Sepertinya sedang berlangsung penggusuran rumah secara massal, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Jakarta beberapa tahun silam, sangat mengagetkan. Atau, sedang terjadi perang dunia ketiga?Segera aku membangunkan Nai dan Nia yang masih terlelap dalam mimpinya, tidak merasa terganggu sama sekali oleh suara kerusuhan di luar ruangan.“Nai, Nia, bangun! Sudah pagi. Kalian dengar suara apa itu?” kataku sambil menggerak-gerakkan tubuh mereka berdua.“Hem…” hanya kata itu yang keluar dari bibir Nia.Nai sudah terbangun, mengusap matanya, dan bertanya kepadaku, “Suara apa itu?”“Entah, aku juga baru bangun, Nai.” Jawabku.Suara kegaduhan semakin terdengar nyaring, semakin mendekat. Getaran-getaran juga terasa
Perjalanan kami akhirnya menemukan sebuah titik akhir. Kanisan memberikan kabar bahwa setengah jam lagi kita akan sampai pada lokasi tujuan. Kanisan kembali mengemudikan moternya, tapi dengan kecepatan yang tidak seperti biasanya. Kali ini, Kanisan mengemudikan moter dengan santai, 100km/jam.“Kita akan memasuki lokasi Hutan Perbatasan Kulstar.” Kata Kanisan kepada kami semua.Tidak ada yang membalas kata-katanya, kami sudah lelah dengan perjalanan yang begitu lama dan menegangkan. Apalagi Nai, dia kini terbaring di atas kursinya, nyaman sekali. Aku mengamati kanan-kiri, gelap, tidak ada pemandangan. Dan kini aku baru menyadari bahwa moter kami tidak pernah berpapasan dengan moter lain. Atau bahkan sangat jarang. Setengah jam memasuki lokasi yang dinamakan dengan Hutan Perbatasan oleh Kanisan, mataku merasakan ngantuk yang begitu dahsyatnya.“Kawan, ayolah nikmati perjalanan ini. Jangan sia-siakan waktu dan momen terindah ini. Kita tidak akan m
Sekitar pukul sepuluh malam kami sampai di tempat yang dijanjikan oleh Kanisan. Benar apa yang dikatakan oleh Kanisan, bahwa tempat ini adalah tempat teraman, sejuk, dan menenangkan jiwa. Angin malam mendengungkan kasih pada setiap manusia, membelas dada, dan menanamkan rasa cinta di sana. tempat ini beraroma pedesaan, tanpa teknologi tapi maju. Tidak ada lampu-lampu besar seperti di Kulstar bagian kota. Tidak ada moter-moter membingungkan mata. Semuanya serba damai. Bahkan, moter yang ada tidak berjalan dengan terbang, mereka berjalan dengan menggunakan roda-roda biasa.“Selanjutnya, apakah rencana yang akan kalian lakukan?” tanya Kanisan setelah kami selesai makan malam.Tempat yang kami diami saat ini hanya menggunakan penerangan dari benda semacam lilin, namun terbuat dari besi. Tadi aku sempat bertanya kepada Nia, tentang benda apakah itu. Dia menjawab bahwa benda itu adalah benda yang biasa digunakan sebagai penerang malam, terbuat dari besi, tanpa ba
Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s
READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat
Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara
Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam
MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran
Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i
Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga