Home / Fantasi / Terjebak Mantra! / Mulai Perjalanan

Share

Mulai Perjalanan

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-12-20 13:06:33

Siang harinya kami benar-benar berangkat menuju Kuil Damsaqie. Persiapan perjalanan cukup banyak. Untunya, Hanai mempunyai mantra untuk menyimpan barang pada alam ghoib, sehingga kami tidak keberatan membawa. Aku hanya membawa tas punggung kecil, berisi makanan dan air bersih.

“Untuk sampai menuju Kuil, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.” Hanai memimpin perjalanan.

“Sudah tahu, kali.” Hinia mencibir.

“Tapi, kan, Safara belum tahu.” Hanai membelalakkan mata pada Hinia.

Begitulah mereka berdua. Namanya juga adik-kakak. Kalau dekat bertengkar, tapi kalau jauh rindu mungkin. Memang, adik-kakak adalah dua spesies manusia yang sulit dimengerti. Tidak pula untuk dipisahkan.

“Jauh juga, ya.” Aku berkata sendiri.

“Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, nanti ada beberapa tempat pemeriksaan. Sedangkan kamu bukan spesies manusia Kulstar, maka kita akan melewati sebuah jalan tersembunyi.

“Apakah tidak berbahaya?” tanyaku.

“Dua kemungkinan. Jika ketahuan oleh Dewan kota, akan bahaya. Namun jika tidak ketahuan, aman-aman saja.” Hanai menjelaskan.

“Bagaimana kalau lewat jalan resmi saja?” usulku.

Aku kasihan dengan mereka. Jangan hanya kerena membawaku menuju Kuil Damsaqie, mereka tertangkap Dewan Kota. Aku tidak ingin menjadi pembawa masalah.

“Tidak bisa. Kalau pengawas tahu ada spesies manusia lain, mereka juga akan menangkap. Bahkan, mungkin lebih berat lagi hukumannya.” Hanai masih menjelaskan dengan sabar.

“Apakah semua tempat di sini ada pengawasnya?” tanyaku lagi.

“Tidak. Sebenarnya tidak. Hanya tempat-tempat ramai saja. Sebenarnya bukan spesies manusia lain yang menjadi masalah, tapi lebih pada keamanan kota tujuan. Kuil Damsaqie berada di kota Farzoqie, ibu kota Kulstar.” Hanai bertambah kesabarannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Oh, begitu. Mungkin sama dengan di Indonesia, ada sebuah kota yang dalam pengawasan jika memasukinya. Semacam Bali ketika terjadi peledakan bom di sana, semua orang yang masuk pelabuhan mendapatkan pengawasan ketat.

“Nia, jangan lupa tutup semua pintu, kunci, dan aktifkan semua sandi.” Hanai memberi perintah.

Orang yang diperintah, Hinia, langsung menjalankan tugas. Dia mengeluarkan remot kecil dari balik sakunya. Dan, selesailah tugas yang diperintahkan kakaknya.

“Selesai, saatnya kita berangkat.” Hinia semangat sekali.

“Baiklah, tinggal menunggu mobil terbang datang.” Hanai menambahi dengan gayanya yang dingin.

Mobil terbang? Apakah benar ada mobil terbang di sini? Aneh sekali, sepertinya semua teknologi yang diceritakan dalam novel Tere Liye, ada di sini. Termasuk kamera terbang yang sangat kecil ukurannya.

Beberapa saat terlihat mobil dari kejauhan. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan mobil di bumi. Haya saja terlihat lebih kecil, dan tidak terlalu tinggi.

“Nah, itu mobil kita sudah datang.” Hanai menyambut.

Aku benar-benar mengamati mobil itu. Bentuknya seperti mobil umum orang-orang Arab, indah, tidak terlalu tinggi. Di belakang mobil, ada sebuah pembuangan asap, namun mengeluarkan cahaya putih, semacam nose game balapan mobil. Mobilnya berwarna hitam pekat, mengkilap, bagaikan baru. Namun tidak ada kaca spion sama sekali. Sungguh sempurna.

“Sudah lama aku tidak jalan-jalan jauh.” Hinia gembira, layaknya burung keluar dari sangkar.

“Ayo, Safa, masuk. Tunggu apa lagi?” Hanai menyadarkan lamunanku.

Masuklah aku dengan perasaan senang, karena baru pertama kali aku masuk, serta takut, ragu-ragu, akankah jatuh nantinya? Ah, tidak mungkin tranportasi canggih seperti ini jatuh. Pasti sudah melewati uji tes yang ketat sekali.

Pelan-pelan, mobil berjalan. Tidak langsung terbang, tapi berjalan dengan roda biasa terlebih dahulu. Lalu, setelah beberapa meter maju kedepan, pelan-pelan mulai terbang, dan rodanya samar-samar hilang. Aku pegangan erat-erat. Bagaikan naik pesawat terbang mini.

“Safa, kenapa kamu tegang begitu?” kata Hinia yang menyadari ekspresiku.

Cepat-cepat aku melepaskan pegangan, duduk biasa. Rasanya juga masih sedikit tegang.

“Oh, tidak. Aku hanya takut saja kalau jatuh.” Jawabku polos.

“Tenanglah, mobil ini tidak akan jatuh.” Hanai ikut berkata.

“Apakah mobil terbang di bumi berbeda dengan mobil terbang kami?” Hinia bertanya.

Boro-boro, jangankan berbeda, ada saja hanya sebuah harapan. Dan mereka hanya terdiam mendengar jawabanku. Apakah di sini juga ada pesawat terbang?

“Ada, ada pesawat terbang. Namun yang menaikinya hanya anak-anak, hanya sebuah hiburan anak-anak. Ada juga yang untuk orang dewasa, tapi aku rasa sudah jarang dioperasikan, sudah ketinggalan jaman.” Hanai menjelaskan tentang pesawat terbang.

Aku melihat angka yang tertera pada mesin penghitung kecepatan. Sungguh luar biasa kecepatannya, 100 km/menit. Aku hanya geleng-geleng kepala.

“Apakah mobil ini tidak memerlukan kemudi?” tanyaku entah pada siapa.

“Hinia, jelaskan pada dia selebar-lebarnya.” Kata Hanai.

Aku hanya tertawa, mungkin mereka bosan dengan pertanyaan-pertanyaanku. Memang, aku suka bertanya jika mengenai hal yang aku belum mengetahui. Biarkan saja mereka bosan, yang penting aku senang.

“Begini, mobil ini mempunyai dua opsi perjalanan. Satu, kemudi otomatis. Kedua, kemudi manual. Nanti kamu bisa mencobanya kalau berani. Namun, opsi otomatis hanya digunakan ketika membutuhkan kecepatan prima, dan hanya pada arah lurus. Sudah paham?” Hinia, dengan kata-kata terakhir yang sebal.

Aku manggut-manggut saja. Bagaimana rasanya, ya, mengemudikan mobil di udara? Rasanya nanti aku ingin mencobanya.

Apa lebih baik aku tidur saja saat ini? Dari pada bertanya terus, dan manambahkan rasa sebal pada mereka, lebih baik aku tidur saja.

Tapi, belum sempat aku tertidur, ketika hanya menyandarkan kepala pada kursi, tiba-tiba Hanai berkata serius dari kursi depan.

“Sial, ada pemeriksaan di depan sana.” Suaranya berat, dan sedikit marah.

Menakutkan juga suaranya ketika serius seperti ini, dengan sedikit marah pula. Aku cemas juga. Sedangkan Hinia bingung sendiri, melihat kiri-kanan, depan-belakang, dan akhirnya menatap kedepan.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hinia.

“Sebentar ...” Hanai berpikir.

Mobil telah dialihkan menjadi kemudi manual. Hanai yang mengambil kemudi. Dia dengan cekatan mengarahkan mobil menjauh dari lokasi pemeriksaan terlebih dahulu.

“Padahal, sebelumnya disini tidak pernah ada pemeriksaan.” Kata Hanai lagi.

“Mungkin karena keadaan di luar sedang kacau, sebab Dewan Kota yang kurang ajar itu.” Hinia marah-marah sendiri.

“Kita tunggu beberapa menit lagi, apakah mereka akan berhenti bekerja.” Hanai berharap.

Akhirnya kami memilih menepi pada sebuah bangunan kuno, tepatnya di bawah bangunan itu. Mereka berdua keluar mobil, dan aku ikut-ikutan keluar.

“Safara, kamu jangan keluar dahulu. Bahaya.” Hanai mengingatkan.

Ah, aku kembali ke dalam mobil. Sebenarnya aku ingin melihat-lihat lingkungan di sini. Sepanjang perjalanan tadi saja, aku melihat hal-hal aneh yang ingin aku tanyakan pada mereka. Namun apalah daya, dari pada nanti tidak bisa pulang, lebih baik aku diam saja dalam mobil ini.

Aku kagum dengan bangunan yang mengambang sepanjang perjalanan tadi. Bangunan sebesar rumah, namun tidak menapak tanah. Entah apa alat yang digunakan untuk mengangkat bangunan besar itu.

Tadi sepertinya aku juga melihat pohon yang sangat-sangat aneh. Tidak pernah aku melihtnya, walaupun hanya sekedar di film-film kartun. Pohonnya sangat besar, daunnya kuning keemasan, dengan bunga indah berwarna hijau menyala, tingginya sekitar lima puluh meter, atau bahkan lebih.

“Bangsat. Rupanya mereka kerja setiap saat.” Hanai mengeluh marah.

“Lalu bagaimana? Apakah kita tidak jadi meneruskan perjalanan?” Hinia juga ikut was-was.

“Tidak, masih banyak jalan yang bisa kita tempuh. Walaupun sangat berbahaya.” Hanai percaya diri.

Aku hanya mendengarkan percakapan mereka berdua dari balik jendela kaca mobil yang terbuka. Sekarang, aku sungguh-sungguh menyesal, kenapa aku harus hadir di antara mereka.

“Baiklah, tidak ada harapan dari jalan pertama ini. Kita tempuh jalan selanjutnya.” Hanai memutuskan.

“Kemana, Nai?” Hinia berkata.

“Nia, kita harus menempuh jalan berbahaya itu.”

“Apakah kamu yakin?”

Dan Hanai mengangguk penuh dengan keyakinan. Begitu pula dengan Hinia, tersenyum antusias. Masuklah mereka kembali ke dalam mobil.

“Maafkan aku, kawan, telah membuat kalian susah.” Kataku pada mereka setelah duduk di kursinya.

Related chapters

  • Terjebak Mantra!   Kekuatan Super

    Kawan, perkenalkan namaku Safara Yunan. Aku adalah seoarang perempuan yang selalu ceria. Usia 20 tahun. Tidak ada yang perlu aku bebankan dalam hidupku, sehingga menjadikan langkah berat. Tidak, aku adalah wanita yang kuat.Teman, aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah ajaib dalam hidupku. Ini adalah tentang buku ajaib. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana. Tidak pernah aku meninggalkan dalam sedetikpun, tidak pernah setelah aku menemukannya.Lima tahun yang lalu, ketika aku jalan-jalan disebuah taman kota Madiun, aku menemukan sebuah buku antik. Lumayan antik, aku sangat menyukai bentuknya, warnanya, sampai aku menyukai isinya.Buku itu berwarna coklat tua, sangat gelap. Namun, judulnya sangat cerah, berwarna kuning keemas-emasan. Aku tidak paham dengan bahasa judulnya. Namun anehnya, dari sekian keanehan, terdapat bahasa Jawa di dalamnya.“Emm, buku apa itu?” tanyaku dalam hati ketika pertama melihat buku itu.Saat itu, aku mene

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Sebuah Jalan Rahasia

    Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”“Dia sedang tidur.”“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.Baiklah, mulai sekarang aku akan

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Lawan Atau Kawan?

    Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Dia Lagi

    Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Gerbang Damsaqie

    Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Dewan Kota II

    Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Sebuah Alat Canggih

    Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Lukisan Pintu Hitam

    Pagi hari, mataku sudah terbuka lebar, terkena deburan sinar matahari. Nai, juga terlihat sudah bersiap dengan kegiatan hari ini. Nia, kemana dia? Apakah masih berada dalam ruangan kamarnya?Ah, sial sekali anak itu. Pagi seperti ini masih belum bangun. Mungkin dia lelah dengan mengemudikan moter selama seharian penuh.Ternyata tidak, Nia sudah bangun sejak tadi malahan. Dia, sekarang berolah raga ria di depan bangunan penginapan. Ceria sekali malahan dia. Entah mimpi apa yang dia lalui semalaman.“Safa, setelah sarapan nanti kita berangkat menuju Kuil Damsaqie kembali.” Kata Nai padaku ketika sarapan pagi.Sarapan kami lakukan dengan diam-diaman, tidak banyak perbincangan yang terjadi. Kanisan, entah kenapa pagi ini begitu diam. Hanya Nai, yang sekali-kali mengeluarkan suara, mengomentari masakan penunggu penginapan. “Terlalu banyak garam masakan ini.”***Setelah sarapan, benar-benar kami berangkat menuju Kuil Damsa

    Last Updated : 2021-12-20

Latest chapter

  • Terjebak Mantra!   Kilas Balik

    Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te

  • Terjebak Mantra!   Visi Kemanusiaan

    Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s

  • Terjebak Mantra!   Islam Nusantara

    READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat

  • Terjebak Mantra!   Usman bin Affan

    Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa

  • Terjebak Mantra!   Ali bin Abi Tolib

    Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara

  • Terjebak Mantra!   Mak Lampir

    Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam

  • Terjebak Mantra!   Malin Kundang

    MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran

  • Terjebak Mantra!   Tangkuban Perahu

    Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i

  • Terjebak Mantra!   Kisah Jaka Tingkir

    Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga

DMCA.com Protection Status