Home / Fantasi / Terjebak Mantra! / Sebuah Jalan Rahasia

Share

Sebuah Jalan Rahasia

Author: Azka Taslimi
last update Last Updated: 2021-12-20 13:07:38

Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.

“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.

“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.

“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”

“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”

“Dia sedang tidur.”

“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”

Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.

“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.

Baiklah, mulai sekarang aku akan menyebut namanya dengan sebutan Nai, Hanai. Aku tidak boleh malu lagi hanya untuk sekedar menyebut namanya.

“Iya, Nai, apakah tidak ada jalur lain?” aku mengulangi pertanyaan.

“Nah, begitu. Kamu lihat peta itu?” tanya dia sambil menunjuk sebuah peta digital depan kemudi.

“Iya, lihat.”

“Itu yang dinamakan dengan jalur untuk mobil terbang ini. Setiap mobil terbang, pasti dilengkapi dengan peta digital itu. Di sana, ada petunjuk jalur mana yang akan kita lewati. Di sana, ditunjukkan pula jika ada mobil terbang lain yang mendekat. Dengan begitu, otomatis kita akan terhindar dari tabrakan.” Penjelasannya panjang lebar.

Memang, dari tadi aku melihat banyak sekali mobil terbang, tapi seperti asyik dalam lintasan masing-masing. Warna mereka beragam, ada yang kuning, hijau, merah, dan warna-warna pada umumnya. Namun sayang, aku tidak bisa melihat orang di dalamnya. Semua kaca tidak tembus pandang dari luar. Hanya pandang satu arah.

“Kapan kita sampai, Nai.”

“Aku baru tahu, ternyata manusia bumi suka sekali bicara. Apalagi bertanya.”

“Kan, tidak ada salahnya kalau aku bertanya.”

“Andai saja kita lewat jalur tadi, kita akan sampai satu hari lagi. Namun, sayang, kita melewati jalur bahaya ini. Paling tidak, kita memerlukan waktu lebih lama, dua setengah hari.”

Aku mengeluh dalam hati, kenapa harus sepanjang ini. Apakah tidak ada jalur lain yang lebih dekat? Atau, mungkin manusia lain yang bisa mencari mantra untuk pulang?

“Sudahlah, kalau kamu lelah, ingin tidur, tidur saja.” Hanai memberi isyarat.

“Tidak, aku tidak ngantuk dan tidak lelah.”

Aku memilih berdiam diri, mengamati kiri-kanan dari kaca. Indah sekali kota ini. Penuh dengan gedung-gedung tinggi, tapi masih asri dengan pohon-pohonnya. Tidak seperti di Bumi. Setiap ada gedung tinggi, pasti kiri-kanan sudah hampir hilang lingkungan hijaunya.

Sepertinya kami sedang melewati bangunan pertokoan. Nampak dari dalam mobil berbagai toko perlengkapan. Mulai dari toko baju, makanan, perlengkapan bayi, dan entahlah, aku lelah melihatnya.

“Bangunkan Nia, kita akan makan sore dahulu.”

Segera aku menggoyang-goyangkan tubuh Hinia. Sulit sekali untuk membangunkannya. Sampai-sampai, aku kelewatan berteriak.

“Nia, bangun, kita sudah sampai.”

Dia terbelalak, seakan percaya begitu saja. Dan akhirnya tahu kalau aku membohonginya.

“Belum-belum, kita belum sampai. Kata kakakmu, kita akan makan sore dahulu.” Jelasku.

Begitulah perjalanan awal kami. sungguh sangat membosankan. Akankah ada yang menyeramkan? Nanti.

Mereka berdua turun, aku tidak turun, masih ingat dengan kata-kata Hanai yang melarangku ikut turun tadi siang. Tapi, rupanya tidak, aku diperbolehkan turun.

“Tidak apa-apa. Di sini tidak ada pengawas, kamu aman. Silahkan turun.” Hanai membukakan pintu yang aku tidak bisa membukanya.

Syukurlah, aku bisa menikmati udara bebas luar ruangan. Segera aku mengikuti mereka dari belakang. Kami masuk ke-dalam sebuah warung makanan, atau bahkan bisa disebut sebagia restoran. Tempatnya ramai. Disini barulah aku melihat manusia lain secara nyata. Sebenarnya aku juga sudah melihat dalam perjalanan tadi, namun dengan halangan kaca mobil.

“Kok, bahasa mereka berbeda dengan kita?” tanyaku pada Hinia.

“Iya, kami tidak hanya menggunakan satu bahasa, tapi banyak bahasa. Salah satunya adalah bahasa yang kami pelajari dari planetmu.” Jelas Hinia lagi.

Sepertinya Hanai sengaja mengambil tempat duduk yang jauh dari keramaian. Kami duduk di tempat paling ujung, namun juga masih lumayan ramai.

Setiap meja hanya sepertinya hanya dipasangi dua kursi. Jadi, kami membutuhkan dua meja. Baiklah, aku akan duduk terpisah diantara mereka. Aku tidak akan membiarkan persatuan mereka hilang, karena diriku.

Tapi tidak, Hinia sudah punya siasat lain. Dia menarik kursi dari meja sebelah. Aku suka ide itu. Tapi, Hinia kelihatannya adalah wanita yang ceroboh.

“Bangsait...” teriak seorang laki-laki.

Nah, itu yang aku maksud dengan ceroboh. Hinia menarik kursi tanpa melihat kanan-kiri, sehingga tabrakan dengan laki-laki yang lewat itu.

“Maaef, taek sengoje.” Kata Hinia.

Laki-laki itu bergegas pergi, dan Hinia memelototinya dari belakang, seakan tidak terima. Bagaimana anak ini, dia yang menabrak, tapi malah dia yang tidak terima.

Aku masih melihat laki-laki itu dari tempatku duduk. Dia tinggi, gempal, dan berisi. Perawakannya sangat gagah untuk ukuran laki-laki seusianya. Lalu, aku melihat dia yang duduk tidak jauh dari kami. Ah, kenapa laki-laki itu malah menghadap padaku? Sial, bagaimana kalau dia tahu aku bukan spesies manusia Kulstar?

“Hati-hati, Nia.” Hanai mengingatkan.

“Iya-iya, lagian tadi juga tidak sengaja.” Hinia tidak mau diingatkan sepertinya.

“Namanya juga kecelakaan, pasti tidak sengaja.” Hanai juga keras kepala.

Aku bingung, kenapa dua adik-kakak ini sama-sama keras kepala? Tidak ada yang mau mengalah sepertinya. Ah, mungkin ini adalah ciri khas dari mereka berdua.

“Tidak, aku rasa orang itu saja yang tidak lihat-lihat. Jalan tidak pakai mata.” Hinia lagi mengelak.

“Tapi, kalau...” Hanai tidak meneruskan.

Penjaga restoran tiba di-depan kami, dengan membawa daftar menu sepertinya. Dia memakai bawahan hitam, serta atasan putih. Hampir sama dengan pelayan di Bumi.

“Silahkan.” Kata dia sambil memberikan daftar menu pada kami.

“Aku daging makanan kera, dan sawi biasa.” Hinia sudah memesan.

“Aku juga.” Hanai ikut-ikutan.

“Kamu apa?” tanya Hinia padaku.

“Ha? Aku sama dengang yang tadi pagi saja.” Jawabku ragu.

“Disini tidak menyajikan makanan tradisiona, Safa. Coba kamu lihat dahulu daftar menunya.” Saran hanai.

Baiklah, aku melihat-lihat sejenak daftar menu. Aneh-aneh sekali nama makanannya. Mulai dari sop kerang, buntut merpati, daging kadal, umbi bakar, kentang mentah, dan masih banyak lagi kelihatannya.

Mana yang harus aku pilih? Dan akhirnya aku menyebutkan makanan yang sama dengan mereka saja. Tidak usah mengambil resiko dengan makan makanan yang belum aku kenal. Lagian, makanan ini terlalu aneh untuk diriku. Lebih baik ikut-ikutan seperti mereka saja.

“Aku sama dengan kalian saja.”

Hanai yang mengatakan pesanan kepada pelayan. Kami harus menunggu hingga beberapa saat, sebelum makanan itu akhirnya datang.

“Silahkan, makanan sudah siap.” Kata pelayan.

Nah, makanan apalagi ini? Bentuknya cukup aneh, apalagi rasanya nanti. Bentuknya seperti daging, tapi lebih kenyal sepertinya. Aku menusuk-nusuknya dengan sendok garpu, mengikuti apa yang dilakukan Hanai dan Hinia.

Baunya lumayan sedap, nikmat, menggugah selera juga. Ah, tidak usah manja. Sekarang aku berada di negeri orang, tidak usah pilih-pilih makanan. Yang penting bisa bertahan hidup untuk beberapa hari ke-depan, dan akhirnya pulang.

Ah, kenapa laki-laki yang bertabrakan dengan Hinia tadi melihatku seperti itu? Matanya seakan hanya melihatku. Dia, tidak berkedip sama sekali. Apakah dia tahu siapa aku sebenarnya? Bahaya, apa yang harus aku katakan kepada Hanai? Mungkin dia bisa membantu.

“Ayo cepat, kita meneruskan perjalanan.” Kataku tiba-tiba.

Nia dan Nai melihatku bergantian, seperti ikut merasakan apa yang aku rasakan. Hanai juga merubah caranya makan, dari yang tadinya pelan, menjadi cepat. Sedangkan Nia, yang tadinya cepat, sekarang menjadi semakin cepat. Sampailah aku yang menjadi paling terakhir diantara kami.

Setelah makan, minuman menjadi hidangan selanjutnya. Rupanya minumannya sama dengan ketika awal aku datang di rumah yang mirip kuil itu. Minuman bersodan warna merah.

Selesai makan, buru-buru Hanai mendatangi kasir, dan membayar. Aku dan Nia menunggu di meja dengan diam-diaman. Tidak ada percakapan lagi diantara kami, seperti merasakan atmosfer genting ini.

“Ayo, sudah selesai.” Hanai mengajak.

Aku dan Nia segera bangkit, mengikuti Nai dari belakang. Ketika melewati kursi laki-laki itu, rasanya ada sebuah aura berbeda menyelimuti tubuhku. Apakah Nia dan Nai juga merasakan apa yang aku rasakan?

Sesampainya di parkiran, Nia membukakan pintu mobil terbang untukku, kemudian menyusul masuk. Nai sudah berada pada posisi kemudi. Pelan-pelan, mobil terbang maju kedepan, kemudian terbang setelah beberapa meter berjalan normal.

Lega rasanya sudah meneruskan perjalanan seperti ini. Kenapa, ya, kok, aku tegang sekali tadi? Apakah ada yang salah denganku sehingga dia tahu bahwa aku bukan manusia Kulstar? Aku rasa tidak ada. Pakaianku hampir sama dengan manusia sini.

“Kenapa kamu tadi mengajak cepat-cepat?” Hanai bertanya.

Aku tidak lekas menjawab, menyiapkan kata-kata terbaik untuk menjawabnya. Kenapa pula aku perlu menyiapkan kata-kata untuk menjawab? Bukankah aku orang paling loss di dunia ini?

“Kalau ditanya jawab kali, Safa.” Hinia menyela pemikiranku.

“Aku tidak enak saja. Orang yang tadi tabrakan denganmu,” dan aku memandang Nia, “Terus saja melihatku. Aku rasa ada yang aneh dengan diriku, atau bahkan dengan orang itu.” Kataku sekenanya.

Tidak ada yang bicara lagi, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Nai mengeluarkan sebuah pertanyaan padaku.

“Apa yang kamu ketahui?”

“Entah, aku tidak mengetahui apa-apa. Hanya saja, aku merasakan hawa yang tidak enak.” Jelasku.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Mungkin itu tadi hanya sebuah prasangka burukmu.” Nia menjalan tengahi.

“Tapi kenapa kalian percaya begitu saja pas tadi makan?” tanyaku lagi.

“Aku selalu percaya dengan pandangan orang asing yang baru aku kenal. Biasanya orang asing itu pandangannya lebih tajam daripada penduduk asli.” Hanai menjelaskan.

“Nah, di depan itu kita akan memulai petualangan baru.” Hanai menghilangkan ketakutan.

Related chapters

  • Terjebak Mantra!   Lawan Atau Kawan?

    Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Dia Lagi

    Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Gerbang Damsaqie

    Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Dewan Kota II

    Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Sebuah Alat Canggih

    Setelah Kalsti berhenti bekerja pada sore itu, dia pulang menuju rumahnya. Dalam otaknya hanya ada satu angan-angan, satu keinginan, satu rencana, menangkap secepat mungkin makhluk aneh yang sedang menjadi berita terhangat.Bukan hanya soal keamanan Kulstar, tapi lebih pada sebuah pangkat. Andai dia segera mendapatkan cara terbaik, jitu, segera menangkap makhluk yang dipercaya adalah manusia, maka dia akan naik pangkat. Tidak akan hanya menjadi asisten saja seperti saat ini.Maka, setelah sampai rumah dia melupakan istirahat. Hanya makan, minum, mandi, setelah itu kembali bekerja pada ruangan pribadinya. Kalsti adalah orang yang sangat suka dengan perkembangan teknologi, selalu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tidak disanksikan lagi bahwa di rumahnya, disetiap sudut remahnya, terpapar sebuah alat-alat canggih.“Apa alat yang bisa aku gunakan untuk saat ini?” katanya dalam sepi ruangan kerja pribadinya.Dia berpikir, berpikir, dan berpikir.

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Lukisan Pintu Hitam

    Pagi hari, mataku sudah terbuka lebar, terkena deburan sinar matahari. Nai, juga terlihat sudah bersiap dengan kegiatan hari ini. Nia, kemana dia? Apakah masih berada dalam ruangan kamarnya?Ah, sial sekali anak itu. Pagi seperti ini masih belum bangun. Mungkin dia lelah dengan mengemudikan moter selama seharian penuh.Ternyata tidak, Nia sudah bangun sejak tadi malahan. Dia, sekarang berolah raga ria di depan bangunan penginapan. Ceria sekali malahan dia. Entah mimpi apa yang dia lalui semalaman.“Safa, setelah sarapan nanti kita berangkat menuju Kuil Damsaqie kembali.” Kata Nai padaku ketika sarapan pagi.Sarapan kami lakukan dengan diam-diaman, tidak banyak perbincangan yang terjadi. Kanisan, entah kenapa pagi ini begitu diam. Hanya Nai, yang sekali-kali mengeluarkan suara, mengomentari masakan penunggu penginapan. “Terlalu banyak garam masakan ini.”***Setelah sarapan, benar-benar kami berangkat menuju Kuil Damsa

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Gadiang Gioreng 23

    Kalsti telah mantap untuk meluncurkan kamera mikro ketika pagi datang. Saat itu, Safara dan teman-temannya tengah masak di dapur penginapan.Wajahnya cerah ceria, tidak merasakan letih yang tercip malam tadi. Kalsti, menamakan kamera mikro itu dengan sebutan ‘Gadiang Gioreng 23’. Sekarang, perwajahannya sudah sangat berbeda dengan kamera yang berada di tembok ruang kerjanya.“Alat ini sudah siap mengudara. Dan, tentunya aku sudah siap untuk diangkat menjadi Pemimpin Keamanan.” Katanya sendiri dalam hati.Dia mengambil moternya dengan bantuan beberapa kode dari ponselnya. Dari kejauhan, terdengar desingan mesin moter, pelan, tidak menyakitkan telinga. Moter Kalsti sungguh indah. Berwarna kuning kehijau-hijauan, dengan hiasan lampu hitam.Setelah sampai di depan rumahnya, segera dia mendekati moter, dan membuka pintu moter. Pertama-tama, dia membuka pintu belakang moter, dan meletakkan Gadiang Gioreng 23 pada kursi belakang. Setelah

    Last Updated : 2021-12-20
  • Terjebak Mantra!   Tidak Ada Jawaban

    “Apakah kamu sudah mendapatkan mantra untuk kembali pulang?” tiba-tiba Nai bertanya kepadaku.Aku dengan lantang menjawab belum mendapatkan. Bagaimana aku bisa mendapatkan? Bentuknya saja aku tidak mengerti. Sebenarnya, apakah dia berupa mantra dengan lukisan simbol, atau bahkan berupa benda yang menjadi peninggalan sejarah? Aku tidak tahu. Lebih tepatnya belum mengetahuinya.“Ah, mungkin jawaban yang kita inginkan tidak ada dalam Kuil ini.” Nia ikut numpang bicara.“Lalu, dimana lagi kita harus mencari?” Nai mengeluh, seperti tidak kuat menjalani hidup ini. Lebay.Lebih baik, sekarang aku pasrah saja. Aku sudah mencari dan tidak menemukan, berarti sudah saatnya berserah diri kepada Tuhan. Apakah Tuhan akan mengabulkan? Nanti dulu, kita akan menantikan bersama apakah Tuhan akan mengijinkan aku pulang kembali pada Bumi.Tuhan, ujian apa lagi sekarang yang harus aku tanggung? Apakah kurang berat ujian yang se

    Last Updated : 2021-12-20

Latest chapter

  • Terjebak Mantra!   Kilas Balik

    Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te

  • Terjebak Mantra!   Visi Kemanusiaan

    Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s

  • Terjebak Mantra!   Islam Nusantara

    READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat

  • Terjebak Mantra!   Usman bin Affan

    Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa

  • Terjebak Mantra!   Ali bin Abi Tolib

    Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara

  • Terjebak Mantra!   Mak Lampir

    Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam

  • Terjebak Mantra!   Malin Kundang

    MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran

  • Terjebak Mantra!   Tangkuban Perahu

    Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i

  • Terjebak Mantra!   Kisah Jaka Tingkir

    Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga

DMCA.com Protection Status