Sekarang di sinilah aku berada. Ruangan ini berbentuk persegi empat, hampir sama dengan bangunan rumah Indonesia, biasa. Namun bedanya adalah, ruangan ini penuh dengan gambar-gambar simbol, yang sebagian besar aku tidak mengerti artinya. Mungkin, Hinia dan Hanai adalah manusia yang suka mengoleksi gambar dengan simbol. Diantara simbol yang aku maksud adalah gambar dengan ukuran 50x50 cm2. Di atas kanvas, atau apalah itu, tergambar sebuah kepala ular dengan tiga mutiara, bersinar terang. Ular itu tidak mirip dengan ular manapun di Indonesia, atau hanya aku saja yang belum pernah melihatnya. Dan masih banyak gambar-bambar aneh lainnya.
“Bagaimana? Kamu suka dengan ruangan ini?” tanya Hinia ramah.
“Iya, aku suka, banyak gambarnya.” Jawabku.
“Kamu tahu? Setiap gambar itu adalah mantra! Tidak sembarang orang bisa melihatnya.”
“Maksudnya?”
“Hanya sebagian orang yang bisa menggunakan mantra gambar itu dengan benar. Kalau sampai pada orang yang salah, maka akan berbahaya.”
Oh, begitu. Aku mengangguk-anggukkan kepala untuk yang kesekian kalinya. Meskipun tidak begitu mengerti dengan apa yang dia jelaskan, setidaknya sekarang aku menjadi mengerti tentang makna yang tersimpan dalam simbol gambar itu, bahwa maknanya adalah sebuah mantra.
“Kamu lihat gambar itu?” katanya dengan menunjuk pada sebuah gambar.
“Iya, aku tahu.”
“Itu adalah mantra yang digunakan untuk mengetahui kondisi suatu lokasi, jarak jauh.”
Di sana, pada sebuah bingkai kayu coklat, ukuran 20x202, tergambar semut sedang menggunakan teleskop, menggunakan kursi sebagai pijakan. Aneh sekali, kan? Aku juga masih bingung bagaimana arti semut menggunakan teleskop bisa sampai dihubungkan dengan mengetahui kondisi jarak jauh.
“Kamu pasti bingung.” Tebaknya.
Memang aku tengah membingungkan bagaimana simbol itu bisa berarti demikian. Namun sah-sah saja, karena simbol hanya sebagian orang saja yang bisa memahami, serta mengartikan. Untuk selanjutnya, pasti banyak lagi hal aneh yang akan aku jumpai, tidak hanya soal simbol itu.
“Semut adalah gambaran manusia, teleskop adalah alat jarak jauhnya, sedangkan kursi adalah ukuran dimensi. Jika kita menghendaki melihat suatu suasana, maka hanya dengan membayangkan tiga kali saja gambar simbol ini, dengan niat mengetahui, maka akan tergambar jelas dalam pikiran kita.”
Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala. Lalu apa gunanya kursi? Aku masih belum mengetahuinya. Nanti, kalau aku sudah mengetahui, akan aku ceritakan pada kalian semua. Maka, bersabarlah.
“Aku akan menjelaskan padamu satu gambar lagi.” Katanya tidak sabaran.
Tapi tiba-tiba bangunan bergetar hebar, seperti gempa bumi. Aku takut, bingung, lalu bertanya kepada Hinia.
“Apa yang sedang terjadi?”
“Tenang, ini hanya masalah kecil. Jangan takut. Mungkin diluar sedang terjadi tabrakan antara mobil terbang.”jelasnya padaku.
Tiga puluh detik kemudian getaran sudah berhenti. Aku kembali tenang, mungkin tragedi tabrakan di luar sana sudah usai. Sebegitu dahsyatnyakah tabrakan antar mobil terbang, sehingga melebihi ledakan gunung berapi skala sedang?
“Baiklah, aku akan menjelaskan kembali padamu satu simbol.” Lanjut Hinia.
Tapi, belum sempat Hinia menjelaskan tentang gambar simbol yang dia maksudkan, tiba-tiba Hanai datang terengah-engah, dengan wajah cemas tambah takut. Sepertinya, dia habis melihat hantu-hantu pada rumah hantu. Wajahnya jika seperti ini memang mengasihankan, berbeda jauh ketika dia marah. Ketika marah, rasanya ingin menjitak kepalanya dengan tangan kosongku.
“Bahaya, bahaya, Dewan Kota menyerang desa kita.” Tuturnya pada kami berdua.
Aku tidak paham. Apa maksudnya Dewan Kota menyerang desa? Seiring dengan kebingunganku tentang Dewan Kota, dari luar memang terdengar suara keributan, seperti suara pertempuran lebih tepatnya.
“Kita harus mencari tempat aman.” Tambah Hanai lagi.
“Baiklah, kemana kita harus menuju?” tanya Hinia tidak kalah cemas.
Sedangkan aku hanya melihat mereka berdua yang saling cemas-cemasan, mereka sepertinya sudah mendapatkan tempat untuk menghindar dari pertempuran.
Gedubrak ... krosak ... brukk ...
Suara-suara bangunan runtuh terdengar jelas. Bagaikan runtuhnya gedung putih yang terkena bom, bahkan ledakan runtuhan ini lebih keras lagi. Membuat telinga langsung berdenging.
“Kita sekarang menuju gua Saeu. Aktifkan semua sandi rumah, simbol rumah, kunci rapat. Aku akan membawa simbol mantra yang kiranya kita butuhkan nanti.” Hanai berbicara tanpa jeda.
“Apa yang bisa aku bantu?” aku menawarkan diri pada Hinia.
“Kamu tenang saja, tidak usah banyak bergerak.” Hinia menjawab tanpa melihatku.
Dari seluruh ruangan rumah terdengar alarm kebakaran. Apakah ini pertanda bahwa semua ruangan sudah dikunci? Sudah mendapatkan perlindungan? Sepertinya, iya.
“Hanai, sudahkah kau mempersiapkan mantranya?” tanya Hinia tidak sabaran.
“Sebentar lagi, masih kurang beberapa.”
“Butuhkah bantuan?”
“Tidak usah, ini sudah hampir selesai.”
Aku dan Hinia hanya menunggu dengan perasaan takut tidak menentu. Aku bingung, sebenarnya apa yang saat ini aku takutkan? Padahal, kebisingan yang terjadi ini entah dari mana. Tapi aku terlanjur percaya kepada mereka berdua, kepada Hanai dan Hinia.
“Selesai,” kata Hanai sambil berjalan, “Ayo kita berangkat. Mereka sudah sangat dekat.”
“Aku juga sudah mengunci semua ruangan, mengaktifkan sandi serta mantra.” Tambah Hinia.
Apa selanjutnya yang kami lakukan?
Hanai terlihat mengerluarkan sebuah kertas berukuran kecil, macam tiket bus malam. Warnanya biru, dengan tulisan entah apa di dalamnya.
“Kamu pegang tanganku!” kata Hanai padaku.
Aku ragu. Apa? Aku harus memegang tangan orang yang belum aku pahami ini? Ah, andai saja kondisinya tidak seperti ini, maka akan mematahkan tangan itu. Akhirnya aku memegang juga tangan Hanai. Dan ketika aku memegangnya, rasanya hampir sama dengan tangan manusia pada umumnya, ada rasa hangat, serta sedikit dingin. Saat itulah, saat aku merasakan hangat tangannya, dari luar ruangan terdengar ledakan super dahsyat.
Jebleeeerrr ... bruakkkkk .... krosak ....
Saat itu pula, aku mendengar Hanai dan Hinia menyuarakan sebuah mantra, yang terasa aneh sekali untuk telingaku.
“Ingusoen koeri niungke wesetye koqlion madkde.”
Dalam sekejap, tidak lebih dari satu detik, tubuh kami bertiga melenting ke belakang. Rasanya, seperti ada tarikan magnet yang memaksa kami untuk mengikuti arahnya. Anehnya, tarikan itu terasa sangat halus, terasa seperti menghentikan kerja otak. Awalnya tubuh kami memasuki sebuah lorong, semakin ke sana lorongnya semakin gelap. Bahkan, saat ini, mataku tidak kemasukan sinar sedikitpun. Yang ada hanya gelap, gelap, dan gelap. Tapi syukurlah dalam lorong gelap ini aku masih mendengarkan suara Hanai.
“Jangan lepaskan pegangan tanganmu sampai kita keluar lorong.”
Aku hanya diam, tidak membalas kata-katanya. Mungkin jika aku melepas pegangan tangannya, aku akan hilang dan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Aneh sekali memang. Mungkin ini adalah salah satu perkembangan teknologi transportasi modern, semacam kereta bawah tanah paling cepat di dunia. Indonesia sebaiknya jangan menggunakan teknologi semacam ini terlebih dahulu. Kenapa? Septik-septik tank di Indonesia letaknya sangat tidak terkontrol. Kasihan Masinis kereta apinya jika harus melewati kotoran manusia setiap harinya.
“Sebentar lagi kita akan sampai. Tutup matamu dari sekarang. Mata kita akan buta jika tetap terbuka ketika akan keluar lorong.” Hinia berkata.
Lagi-lagi aku hanya diam. Soalnya aku bingung, teman, apa yang harus aku ucapkan. Apakah benar jika aku mengucapkan ‘tidak mau’, ‘ah, sok pintar kamu’? Tidak, itu tidak benar. Walaupun selama ini aku sangat menyukai kata itu untuk temanku di Indonesia.
Lorong terasa seperti bergetar. Aku tidak berani membuka mata, sedikitpun. Kata Hinia, aku akan buta jika membuka mata ketika akan keluar lorong. Baiklah, tidak ada salahnya aku menutup mata untuk beberapa saat, daripada nanti aku buta selamanya. Dari arah depanku, terasa ada tarikan magnet yang berlawanan dengan magnet yang pertama tadi. Mungkin kami akan keluar dengan tarikan magnet dari depan ini.
Benar, tidak berselang lama dari angan-anganku, tubuhku merasakan sebuah tarikan halus dari arah depan.
“Kita sampai.” Kata Hinia ketika kami sudah keluar seluruhnya dari dalam lorong.
Ah, kenapa kami kembali lagi di hutan seperti awal pertama kali? Atau, memang hutan adalah tempat teraman untuk bersembunyi? Bisa saja jawabannya adalah, ‘iya’. Apakah memang ini adalah hutan tempat pertama kali aku datang?
“Ini adalah tempat teraman dari desa kami, saat ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk pada tempat ini.” Penjelasan dari Hanai.
Oh, begitu. Jadi, ini bukan hutan pertama kali aku datang?
“Hutan seperti ini masak tempat teraman?” aku bertanya dengan nada tidak percaya.
Ah, sial, sepertinya Hanai tersinggung dengan kata-kataku. Bagaimana ini? Matanya mulai mendelik-delik, menakutkan. Hilang sudah karisma yang dia miliki selama yang aku lihat, bahwa dia adalah manusia laki-laki yang bijaksana.
“Apa kamu bilang? Hutan?” benar, matanya mendelik.
Dia maju kedepan, ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Sepertinya, dia sangat tidak suka banyak bicara, lebih suka menunjukkan sesuatu dengan tindakan langsung, atau dengan bukti barang yang nyata.
“Kamu lihat mantra ini?” dia mengeluarkan selembar kertas dari balik saku bajunya, “Dengan mantra ini, maka gerbang hutan akan terbuka.” Hanai masih tidak terima sepertinya.
“Sudahlah, Nai, tidak usah diperpanjang. Mungkin dia hanya bercanda.” Hinia menyela sebelum Hanai bertindak lebih lanjut.
Hanai melihat Hinia sekejap, dan melanjutkan apa yang ingin dia tunjukkan padaku. Oh, keras kepala sekali orang ini. Atau, mungkin dia adalah orang yang terlalu berambisi?
“Baiklah, sekarang kita masuk gerbang kota. Persiapkan mantramu Hinia.” Akhirnya Hanai berubah pikiran.
“Bagaimana dengan Safara?” tanya Hinia.
“Kita tinggalkan dia di sini saja, biar menjadi makanan semut hutan.” Apa? Aku dia tinggalkan?
Bagaimana ini? Orang keras kepala itu ingin meninggalkanku di tempat aneh seperti ini? Ha, menjadi makanan semut hutan? Memang sebesar apa, sih, semut hutan di sini sehingga bisa makan tubuhku?
“Aku serius!” Hinia menimpali lagi.
“Aku juga serius.” Jawab Hanai dengan nada sebal.
“Ajari aku mantra itu terlebih dahulu.” Hinia masih ingin berdebat.
“Nanti saja, setelah sampai tujuan.”
“Lalu bagaimana dengan Safara?”
“Aku hanya bercanda, Nia. Dia akan tetap bersama kita,” dan Hanai melihat diriku, “Cepat, kamu pegang tanganku!” perintahnya dengan sinis padaku.
Cepat-cepat, aku segera mendekat padanya, dan memegang tangannya. Masih sama dengan rasa yang aku rasakan ketika pertama kali memegang. Tangannya hangat, sedikit dingin. Nyaman. Kenapa aku malah berpikiran demikian? Ah, biarkan saja dia marah, yang penting aku bisa pulang secepatnya.
“Jangan erat-erat, sakit, tahu!” bisiknya padaku, tapi dengan nada tetap sebal.
Aku melirik kepadanya, hampir saja memelototkan mata, tapi aku urungkan, samar nanti dia benar-benar meninggalkanku.
Bibirnya mulai bergerak-gerak, membaca mantra. Aku tidak mendengar sama sekali mantra yang dia bunyikan. Dan, dari arah belakang kami, terasa ada sebuah magnet raksaksa yang menarik tubuh kami bertiga, persis ketika awal kami berangkat menuju hutan ini. Dan akhirnya tubuh kami masuk kembali ke dalam lorong hitam, tiada merasa.
“Ketika akan keluar nanti, pejamkam matamu seperti yang sudah Nia beritahukan.” Ucap Hanai padaku disebelahnya.
Aku rasa, laki-laki di sebelahku ini tidak terlalu menyebalkan juga. Nyatanya, dia juga menghitungkan nasibku dalam perjalanan. Dia, memberitahukan kepadaku bahwa aku harus menutup mata ketika akan keluar lorong. Dengan begitu, aku mengira dia hanya seorang yang keras kepala, namun tidak jahat juga.
Pelan-pelan, setelah beberapa menit berada dalam lorong hitam gelap, terasa ada sebuah magnet raksaksa dengan kekuatan tarikan super, menarik dari arah depan kami. Lembut namun kuat, itulah gambaran tarikan yang dihasilkannya.
Sampailah kami pada tempat ini. Sebuah ruangan penuh dengan bangunan kuno, seperti kuil, klasik sekali. Aku belum pernah menyaksikan pemandangan bangunan seperti ini sebelumnya, bahkan ketika aku berkunjung pada sebuah museum bangunan klasik.
“Inilah tempat paling aman dalam hidukpu, penuh dengan kedamaian.” Kata Hanai setelah sampai.
Dia, langsung berjalan pada sebuah bangunan berwarna cokelat tua, dengan atap terbuat dari kayu hitam. Bangunan itu berukuran tidak lebih besar dari pada rumah manusia pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah bentuk bangunan dan bahan penyusun. Hanai membuka pintu dengan menggunakan kartu sebesar KTP yang pernah aku lihat sebelumnya untuk membuka gerbang kepala singa. Dia, menempelkan kartu itu pada pintu bangunan yang berbentuk segi tiga. Perlahan, pintu segi tiga terbuka.
“Ayo, masuk!” ajak dia pada kami berdua.
Aku berjalan bersebelahan dengan Hinia. Aku baru tahu, ternyata badanku lebih tinggi dari pada badannya. Kepalanya, sejajar dengan pundakku, atau bahkan jika aku mengukurnya dengan sebuah alat, rasanya sangat jauh berbeda antara tinggi kami. Sudahlah, tidak usah dipermasalahkan. Mungkin, memang kodrat perempuan adalah mempunyai tinggi badan yang lumayan pendek.
Ruangan dalam bangunan yang mirip kuil itu gelap, tidak ada penerangan. Mungkin belum ada yang menyalakan lampu di dalamnya. Atau, memang sengaja tidak diadakan sebuah penerangan?
Hanai sudah masuk terlebih dahulu. Entah kemana dia menuju, aku tidak dapat melihatnya. Hinia, rupanya juga telah memasuki ruangan, mendahuluiku. Kini, aku sendirian di luar pintu, mereka kurang ajar, meninggalkanku tanpa teman. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang tidak dikenal membawaku pergi, lalu membunuhku?
“Ayo masuk, tunggu apa lagi?” Hinia memanggil dari dalam.
Aku hanya dapat mendengarkan suaranya, sedangkan orangnya entah di mana. Kok, dia bisa saja masuk tanpa sebuah penerangan? Meskipun saat ini adalah siang hari, suasana dalam kuil terlihat sangat gelap. Apalagi, atap teras kuil berukuran lebih dari dua meter, menjadikan suasana ruangan dalam semakin gelap.
“Aku tidak bisa melihat.” Kataku dengan nada bingung.
“Oh, iya, aku lupa,” Hinia kembali keluar ruangan, “Aku belum memberikanmu mantra penerang ruang.” Kata dia sambil mengulurkan sebuah kertas kecil padaku.
Oh, begitu alasannya kenapa mereka berdua bisa masuk ruangan. Ternyata ada mantra untuk menerangi sebuah ruangan, aku baru tahu. Ini kabar baik. Harga listrik Indonesia sekarang cukup mahal, alangkah baiknya jika aku menggunakan mantra ini dan menghentikan penggunaan listrik. Ah, tidak, itu bukan ide yang baik. Bagaimana untuk menyalakan televisi?
“Padaiuong keneniuo.” Aku membaca mantra yang diberikan Hinia, pendek sekali mantranya.
Aku membaca mantra itu sebanyak tiga kali dengan niat memberikan penerangan. Sedikit kesulitan memang ketika awal mengucapkan, belum akrab dengan kata-katanya. Maka, setelah membaca mantra tersebut, ruangan dalam kuil terlihat terang sekali.
Aku masuk ke dalam ruangan, dan melihat Hinia serta Hanai sudah duduk manis pada sebuah kursi besar. Mereka terlihat sangat bahagia. Walaupun aku bukanlah bagian dari kehidupan mereka, atau bahkan keluarga, aku turut merasakan rasa bahagia pada mereka.
“Nah, sekarang, apakah kamu sudah bisa melihat?” tanya Hanai padaku dengan nada menyepelekan.
“Sudah, sekarang aku sudah bisa melihat wajah jelekmu.” Sengaja, agar dia marah.
Tapi ternyata dia tidak marah. Akupun menyusul mereka duduk.
“Siapa yang suruh kamu duduk?” Hanai masih menyebalkan.
“Tidak ada, aku ingin duduk sendiri.” Dan aku menganggap ruangan ini sebagai rumahku sendiri.
Kursinya empuk, mungkin terbuat dari kapas murni. Baru saja aku berada di atasnya, betah sudah menjadi sebuah rasa. Hilang sudah rasa sebal dengan Hanai.
Aku berniat melirik Hanai sebentar, tapi aku malah dibuat betah melihat bibirnya yang membaca sebuah mantra rupanya. Jadi, aku meliriknya lama-lama.
“Kenapa lirik-lirik?” tiba-tiba Hanai menyadari.
Apakah yang harus aku katakan? Apakah aku harus bilang pada dia aku ngefans sama kamu, aku suka kamu, padahal yang aku lirikkan adalah kesebalanku padanya.
Aku tidak menjawabnya, memilih untuk diam saja. Tidak tahu juga akan membalas dengan kata apa. Tapi, tiba-tiba aku dikagetatkan dengan kemunculan sebuah benda di depanku, tepatnya di atas meja.
“Astaghfirullah ...” kataku keras-keras dengan ekspresi terkejut.
“Hahahahah ...” Hinia dan Hanai tertawa bersama.
“Kenapa kalian tertawa?” bentakku.
“Kamu lucu.” Hinia yang menjawab.
Ternyata yang muncul di depanku itu adalah sebuah gelas, dengan minuman terisi penuh. Warna minuman itu merah tua, sepertinya minuman bersoda.
“Kamu harus terbiasa dengan kejadian seperti ini, Safara.” Hanai menambahkan.
“Apa ini?” tanyaku sidikit sebal.
“Itu minuman, muncul dengan hanya membaca sebuah mantra.” Hinia akhirnya menjelaskan.
“Apakah semua benda bisa keluar dengan mantra itu?” tanyaku semangat.
“Tidak, hanya benda-benda tertentu.” Jawab Hanai.
Ah, ini tidak seru. Masa hanya sebuah minuman yang bisa keluar dengan mantra itu? Kurang hebat aku rasa. Bahkan, di Indonesia sendiri, bisa mengeluarkan minuman hanya dengan menempelkan kartu kredit. Biasa saja, tidak hebat.
“Yang bisa keluar hanya benda-benda biasa, tertentu, seperti minuman ini.” Hinia menambahkan penjelasan.
Tapi menarik juga. Kapan-kapan, aku akan minta pada mereka untuk mengajari mantra itu padaku. Baik juga kalau hanya dengan membaca mantra, minuman bisa keluar.
“Kamu jangan senang dulu. Minuman tidak akan keluar begitu saja. Yang membaca mantra harus menyiapkan dahulu bahan minuman pada tempatnya. Jadi sesungguhnya tidak ada yang luar biasa. Hanya saja, dengan mantra kita tidak perlu repot-repot kerja.” Hanai menjelaskan lagi lebih detail.
Sekarang aku paham, bahwa minuman tidak akan keluar begitu saja. Tapi, kita harus menyiapkan bahan-bahannya terlebih dahulu. Jadi, kalau persediaan bahan yang kita siapkan sudah habis, maka sampai rusak bibis kita membaca mantra, minuman tidak akan pernah kaluar. Lalu, bagaimana sebenarnya cara kerja mantra? Aku tidak tahu.
“Safa, bagaimana caramu untuk pulang? Atau, kamu sudah betah di sini?” Hanai bertanya, sok perhatian sekali dia.
Ini yang aku bingungkan sampai sekarang. Aku belum menemukan tempat mantra untuk kembali pulang. Atau, jangan-jangan mereka berdua mempunyai mantra itu?
“Entahlah, aku masih bingung.” Jawabku.
“Aku rasa, harus secepatnya kamu mencari mantra itu.” Hinia ikut bicara.
“Apakah kalian tidak punya mantra itu?” tanyaku penuh kasihan.
“Tidak ...” jawab mereka bersamaan.
Ah, ini baru menyebalkan sekali. Dimana aku harus mencarinya lagi?
“Kami tidak punya mantra itu. Tempat asalmu sangat jauh dari sini. Jika menggunakan mantra kami, mantra perjalanan kami yang biasa kami gunakan, bisa satu tahun cahaya kamu sampai.” Itu penjelasan Hanai.
“Apakah kalian tidak tahu tempat mantra itu?”
“Tidak tahu. Tapi tenanglah, mungkin kami mempunyai kenalan yang bisa membantumu.” Kabar baik.
“Sudahlah, jangan dipikirkan dulu. Sekarang, kita minum minuman ini.” Kata Hanai sambil mengangkat gelasnya.
Benar saja, minuman ini adalah minuman strowberi dengan soda sangat kuat. Ungtungnya aku sudah terbiasa dengan minuman soda. Jadi, ekspresi wajahku tidak sangat memalukan ketika minum, ambyar.
Di Dunia ini aku hanya menginap
Lalu, kenapa aku harus berlama-lama
Malam harinya, lebih baik aku menginap di sini dulu. Lagi pula, aku juga tidak tahu kemana harus pergi. Untunglah ada mereka berdua, yang bisa aku jadikan teman perjalanan mungkin.Aku mendapatkan kamar yang lumayan nyaman. Rasanya, kamarku di Indonesia tidak senyaman ini. Ruangan kamar sangat sederhana. Tadi, sebelum masuk, aku membayangkan jika aku akan mendapatkan kamar super mewah. Pasalnya, kuil ini bangunannya sangat megah, apalagi kamarnya? Dan ternyata tidak.Akhirnya hari ini bisa istirahat juga. Sebenarnya, kenapa aku bisa menjadi sebodoh ini? Menjadi permainan sebuah mantra. Atau, Tuhan sengaja mengirimkan buku mantra itu padaku karena sebuah alasan? Mungkin, iya.Aku pelan-pelan mengeluarkan buku ajaib dari balik bajuku. Akhirnya setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil menemukan mantra untuk menyimpan buku ajaib tanpa terlihat, dan tanpa membawa beban pula rasanya.Dan aku tertidur dalam kuil indah ini.***Pagi hari telah da
Siang harinya kami benar-benar berangkat menuju Kuil Damsaqie. Persiapan perjalanan cukup banyak. Untunya, Hanai mempunyai mantra untuk menyimpan barang pada alam ghoib, sehingga kami tidak keberatan membawa. Aku hanya membawa tas punggung kecil, berisi makanan dan air bersih.“Untuk sampai menuju Kuil, kita membutuhkan waktu sekitar satu setengah hari.” Hanai memimpin perjalanan.“Sudah tahu, kali.” Hinia mencibir.“Tapi, kan, Safara belum tahu.” Hanai membelalakkan mata pada Hinia.Begitulah mereka berdua. Namanya juga adik-kakak. Kalau dekat bertengkar, tapi kalau jauh rindu mungkin. Memang, adik-kakak adalah dua spesies manusia yang sulit dimengerti. Tidak pula untuk dipisahkan.“Jauh juga, ya.” Aku berkata sendiri.“Sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja, nanti ada beberapa tempat pemeriksaan. Sedangkan kamu bukan spesies manusia Kulstar, maka kita akan melewati sebuah ja
Kawan, perkenalkan namaku Safara Yunan. Aku adalah seoarang perempuan yang selalu ceria. Usia 20 tahun. Tidak ada yang perlu aku bebankan dalam hidupku, sehingga menjadikan langkah berat. Tidak, aku adalah wanita yang kuat.Teman, aku akan menceritakan kepadamu sebuah kisah ajaib dalam hidupku. Ini adalah tentang buku ajaib. Buku yang selalu aku bawa kemana-mana. Tidak pernah aku meninggalkan dalam sedetikpun, tidak pernah setelah aku menemukannya.Lima tahun yang lalu, ketika aku jalan-jalan disebuah taman kota Madiun, aku menemukan sebuah buku antik. Lumayan antik, aku sangat menyukai bentuknya, warnanya, sampai aku menyukai isinya.Buku itu berwarna coklat tua, sangat gelap. Namun, judulnya sangat cerah, berwarna kuning keemas-emasan. Aku tidak paham dengan bahasa judulnya. Namun anehnya, dari sekian keanehan, terdapat bahasa Jawa di dalamnya.“Emm, buku apa itu?” tanyaku dalam hati ketika pertama melihat buku itu.Saat itu, aku mene
Mobil terbang berjalan dengan kecepatan standar, 60 km/menit, menggunakan kemudi manual. Hanai, berhati-hati betul dalam mengemudikan mobil. Aku melihat kesamping, Hinia tidur lelap di atas kursinya yang dibuat seperti tempat tidur. Aku tidak jadi tidur, kasihan kepada Hanai kalau aku ikutan tidur.“Memangnya tidak ada jalur pasti untuk mobil terbang ini?” tanyaku pada Hanai.“Kamu bertanya pada siapa?” Hanai menjawab.“Ya, kamulah. Memangnya ada siapa lagi.”“Oh, aku kira bertanya kepada Nia.”“Dia sedang tidur.”“Kok, kamu tidak menyebut namaku?”Ha? Iya, aku baru sadar, bahwa aku belum pernah menyebutkan namanya. Entah kenapa, aku harus malu ketika akan menyebut namanya. Sehingga, sampai detik ini aku belum pernah menyebut namanya.“Kamu sebut saja namaku dengan sebutan Nai, gampang, kan?” perintahnya.Baiklah, mulai sekarang aku akan
Dua belas jam penuh kami mengudara bersama mobil terbang. Kadang, Nia yang menggantikan Nai, ketika dia lelah. Sebenarnya, aku ingin menggantikan, masalahnya aku belum bisa mengemudikan mobil terbang itu.Sekarang malam tiba, namun belum terlalu gelap. Atau mungkin, planet Kulstar tidak pernah gelap? Lampu-lampu menyala indah, dari berbagai atap rumah. Aku melihat jam tangan milikku, pukul setengah sepuluh malam.Kenapa, ya, jam tangan ini masih sesuai dengan waktu planet Kulstar? Apakah sama waktu Bumi dengan Kulstar? Kebingunganku terjawab ketika Hanai menjelaskan.“Jadi, semua mesin waktu dengan otomatis akan menganut waktu Kulstar. Belum lama sebenarnya alat pemersatu itu digunakan, baru sekitar lima tahunan. Jadi, jika kita melalui suatu wilayah yang waktunya berbeda, mesin waktu milik kita akan menyesuaikan dengan posisi.”“Tapi, kan, jamku ini bukan buatan Kulstar?” aku masih minat bertanya.“Ini untuk semua ala
Moter sudah mengudara dengan normal. Dan kali ini, rupanya Nai bertambah hati-hatinya. Dia menjaga jarak dengan moter lain, tidak terlalu dekat. Begitu pula dengan kecepatannya, tidak terlalu ganas lagi. Kemudi manual beroperasi.“Kenapa, Nai, bisa sampai tabrakan?” tanya Nia yang tidak tidur lagi.“Siapa yang tabrakan?” Nai menjawab.“Kita-lah.”“Tidak, hanya srempetan.”“Sama saja. Kenapa?”“Tidak sengaja. Terlalu cepat moternya.”Kemudian Nia melanjutkan tidurnya. Mudah sekali dia tidur. Padahal, aku yang dari tadi menginginkan tidur, tidak lekas juga menutup mata. Aku menyempatkan diri melihat jam tangan, pukul satu pagi.“Safa, lanjutkan tidurmu.” Nai berkata.“Tidak, belum ngantuk lagi.”“Kalau begitu ceritalah!”“Cerita apa?”“Kehidupanmu di Bumi.”“T
Benar, pukul delapan pagi aku dibangunkan oleh tangan lembut Nai. Matanya terlihat merah, wajah lesu. Mungkin tadi semalaman dia tidak tidur.“Silahkan, manusia Bumi itu harus segera masuk ruang rahasia.” Kata Kanisan.“Dimana?” tanya Nai.Kanisan mengetikkan sebuah kode pada layar depan moter. Lalu, setelah dia selesai menuliskan, keluar sebuah cahaya putih dari bagian belakang moter. Dari sana, terbentuk sebuah pintu besi, hitam. Apakah itu ruangan yang akan aku masuki?“Nah, itu, silahkan masuk, manusia.” Kanisan lagi.“Nanti, setelah dia masuk, dia akan dikemanaka-kan?” tanya Nai lagi.“Dia hanya berada di balik ruang moter ini. Tidak usah terlalu khawatir.” Kanisan tersenyum.“Safa, masuklah. Jangan takut.”Akhirnya aku menuruti apa yang dikatakan oleh Nai. Aku masuk ruangan itu tanpa adanya sebuah rasa takut. Tapi, rasa-rasanya aku juga takut.
Malam-malam Ketua Keamanan datang pada Pemimpin Keamanan. Dia melaporkan bahwa ada hal aneh beberapa hari terakhir ini.“Pai, sistem keamanan kota beberapa hari terakhir mendapatkan hasil pantauan kurang menyenang-kan.” Katanya pada Pemimpin Keamanan.Pemimpin Keamanan tidak bertanya begitu saja, melihat mimik wajah Ketua Keamanan dengan seksama, barulah mengeluarkan intrgasi.“Apa makudmu?” begitu.Pemimpin Keamanan itu berbadan tegap, meskipun dalam posisi duduk. Demikian, ketika berdiri badannya semakin tegap, semacam tentara. Wajahnya merah padam, selalu begitu. Namun dari wajah yang merah padam itu, keluar sebuah sinar kehalusan hati.Pimpai, adalah nama Pemimpin Keamanan itu. Sedangkan Ketuan Keamanan, yang badannya hampir sama dengan Ketua, tinggi besar, bernama Dolkai. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah orang kasar, tidak sabaran, namun teliti. Tidak gampang menyerah pula.“Sistem kami mendeteksi bahw
Kisah perjalanan Safa akan berlanjut pada novel kedua yang akan hadir. Buku itu akan segera hadir. ***Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan. Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang. Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini. Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu te
Alhamdulillah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Wasshalatu ‘ala rasulillahi ajma’in.Berlaksa unggun puji syukur senantiasa tak putusnya kami langitkan kehadirat Allah swt. Juga shalawat serta salam semoga terus tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad rasulillah ajma’in. Juga saya haturkan beribu curahan rasa terima-kasih kepada Yayasan Bentala, terutama mas Alam beserta jajaran pengurus yayasan, yang telah memberi tempat dan kesempatan yang sungguh berharga ini kepada kami untuk menyampaikan semacam “Pidato Kebudayaan” dalam rangka tasyakuran milad Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara ke-2 tahunnya.Saya sendiri sebenarnya, untuk yang pertama, tak benar-benar yakin, apakah apa yang saya sampaikan ini bisa memenuhi defenisi, tujuan, dan maksud yang diharapakan panitia. Kedua, saya juga merasa tak terlalu pantas berdiri di hadapan hadirin sekalian, yakni dalam posisi menyampaikan serangkaian refleksi situasi kebudayaan mutakhir, apalagi terkait relasinya dengan Islam, yang sebanarnya s
READ NEXTSaya & Buku: Sebuah Orasi Untuk Kampung Buku Jogja #4Tulisan ini berangkat dan dipantik dari pertanyaan-pertanyaan Ulil Abshar Abdalla pada status facebooknya terkait masalah ini, yakni Kenapa gagasan Islam Nusantara tidak terlalu diterima di kawasan Melayu? Saya akan berangkat dari analisis-analisis yang sebenarnya sudah saya sampaikan baik secara implisit maupun eksplisit di dalam karya-karya saya yang telah beredar maupun materi ceramah-ceramah diskusi saya di berbagai tempat, untuk tak lagi terlalu hanya berfokus pada jawaban pertanyaan ini semata, melainkan meluas ke problem terkait Islam Nusantara itu sendiri sebagai sebuah diskursus.Pertama, kenapa diskursus Islam Nusantara tak terlalu bergayung sambut di wilayah kawasan Melayu, mungkin dipantik dari hal sederhana tapi sekaligus sebenarnya merepresentasikan bangunan dan dasar teoritik awal bagaimana “Islam Nusantara”–yang senyatanya memang disorongkan oleh sebuah organisasi Islam tertentu itu–dintrodusir, maupun lat
Utsman bin Affan adalah Khulafaur Rasyidin yang berkuasa paling lama, yaitu selama 12 tahun (644-656). Ia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang menjadi Khulafaur Rasyidin ketiga, setelah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Di masa kekuasaannya, pemerintahan Islam memperluas wilayahnya ke Fars (sekarang Iran) pada 650, dan beberapa wilayah Khorasan (sekarang Afghanistan) pada 651. Pernikahannya berturut-turut dengan dua putri Nabi Muhammad dan Khadijah membuatnya mendapat julukan Dzunnurrain atau Pemilik Dua Cahaya. Baca juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Rasulullah yang Paling Utama Kehidupan awal Utsman bin Affan lahir di Thaif, Jazirah Arab, pada 579 Masehi atau 42 tahun sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW. Nama lengkap Utsman bin Affan adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab. Ia berasal dari Bani Umayyah, ayahnya bernama Affan bin Abi al-As dan ibu Khalifah Utsman bin Affan bernama Arwa binti Kuraiz. Utsman bin Affa
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib tinggal bersama Nabi Muhammad SAW. Ia dititipkan oleh ayahnya, Abu Thalib ketika masa paceklik menyerang Makkah. Saat itu, Abu Thalib sedang mengalami krisis ekonomi. Anak-anaknya ia titipkan kepada anggota keluarga besarnya yang lain. Anak bungsunya, Ali, jatuh ke tangan Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya, panggilan "Ali" ini diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama kecilnya adalah Haydar bin Abu Thalib. Kendati demikian, julukan Ali lebih populer daripada nama aslinya. Bahkan, banyak orang mengenal Ali bin Abi Thalib daripada Haydar bin Abu Thalib. Ali bin Abi Thalib lahir di daerah Hijaz, Jazirah Arab, 21 tahun sebelum hijrah atau 601 M. Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara
Nama Mak Lampir tentu tak ada yang tak mengenalnya di Indonesia. Tawanya yang terkekeh mengandung aura mistis akrab di telinga sejak era 80-an melalui sandiwara radio ''Misteri Gunung Merapi''.Cerita radio itu kemudian diadaptasi ke layar lebar di era 90-an dengan judul ''Perempuan Berambut Api'' dan ''Cambuk Api''.Kepopulerannya di layar lebar pun kemudian diteruskan melalui sinetron di era 2000-an dengan judul serupa, namun dalam latar era yang lebih modern.Lantas, siapa sebenarnya Mak Lampir? Mengapa ia begitu terkutuk di mata pemirsa atau pendengar radio? Berikut kisahnya yang kami sarikan dari berbagai sumber.Mak Lampir sang putri rajaKonon ceritanya, Mak Lampir merupakan seorang putri dari kerajaan kuno, yakni Champa (Chiem Thanh). Sebuah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam Tengah dan Selatan dan diperkirakan ada pada abad ke-7 hingga tahun 1832.Menurut beberapa cerita, nama Mak Lampir sebenarnya adalah Siti Lampir Maimunah. Legenda Mak Lam
MALIN KUNDANG ANAK DURHAKADahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari ibu dan seorang anaknyayang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harusbekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada iBunia yang sedari dulu bekerjakeras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan dikota besar.“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kataMalin.“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujarsang ibu berlinang ari mata.Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelahbeberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekaran
Alkisah pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara. Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon keladi hutan.Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi perempuan.Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya. Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan membawanya pulang ke istana kerajaan.Dayang Sunbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak perempuan Raja Sungging Perbangkara i
Pada zaman dulu di era Kerajaan Demak, hidup seorang tokoh yang cukup terkenal bernama Jaka Tingkir. Ia dilahirkan dengan nama Raden Mas Karebet karena saat ia lahir, sang ayah yang bernama Ki Ageng Pengging, menggelar pertunjukan wayang beber yang dalangnya Ki Ageng Tingkir.Saat pertunjukan wayang itu, terdengar suara yang “kerembet” tertiup angin dan jadilah sang bayi itu dinamai “Mas Karembet”. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. by Taboola Sponsored LinksHarga mobil bekas di Legok akan mengejutkan andaMobil Bekas | Cari IklanHadiah Besar untuk orang Indonesia yang lahir antara tahun 1941-1981Survey CompareSepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak pada Kerajaan Demak. Setelah kematian suaminya Nyi Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal dunia.Menjadi yatim piatu, Mas Karembet diangkat menjadi anak oleh Nyi Ageng Tingkir. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. BACA JUGA:Bikin Bangga