Ketegangan itu menular pada Dewi. Dia menatap Dirga sekilas, lalu menghampiri Astuti di samping pintu.
"S—siapa yang datang, Bu?" tanyanya dengan suara pelan dan nyaris bergetar.
Astuti menelan ludah, matanya terpaku pada layar interkom.
"I—itu, Wi," tunjuknya, suara Astuti terdengar ragu. "Kenapa momennya tidak pas, ya?" gumamnya pada diri sendiri.
Dewi mengalihkan pandangan ke layar interkom, dan seketika napasnya tercekat. Dada yang sejak tadi terasa sesak kini makin menghimpit. Jemari ramping gadis itu refleks mencengkeram kuat kemeja putihnya.
Andai bisa, Dewi ingin menolak kedatangan wanita itu. Namun, naluri sebagai ibu tidak bisa mengizinkan dirinya melakukan hal itu. Dengan napas tertahan, dia mengangguk.
"Kamu serius, Wi? Kalau … Nyonya itu cari keributan bagaimana?" bisik Astuti hati-hati, takut didengar oleh Darius yang sejak tadi memperhatikan mereka dengan kening mengerut.
"Biarkan saja Bu Dwyne ketemu
Dewi merasakan seluruh darahnya mengalir dingin. Pandangan gadis itu sedikit kabur, dan untuk sesaat kakinya seperti kehilangan daya. Dirga. Anak yang baru beberapa jam lalu diambil darinya, kini berada dalam pelukan wanita lain.Lebih menyakitkan lagi, Dwyne menatap sosok itu dengan senyum lembut, sesuatu yang bahkan tidak pernah Dewi dapatkan.'Kenapa wanita itu yang menggendong Dirga?'Pertanyaan itu menjerat benaknya, membentuk simpul kusut tidak terurai dalam hati. Apakah ini sebuah pertanda … bahwa dia dan Dirga suatu hari nanti benar-benar akan terpisah?Akan tetapi, seolah membaca isi pikirannya, Dewi tiba-tiba merasakan sentuhan hangat menjalar pada setiap sela jemari rampingnya. Dia menoleh dan menurunkan pandangan pada genggaman erat tangan Denver."Dokter Denver …," lirih Dewi dengan mata bergetar.Denver menatap intens ekspresi sendu Dewi. Kemudian, pria itu mengukir senyum pada bibirnya dan disusul dengan sentuhan
Denver melangkah mantap mendekati mobil hitam yang terparkir di area khusus itu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah di bawahnya ikut merespons gejolak di dadanya.Mata Denver menajam dan mengunci sosok di balik kaca mobil dengan tatapan penuh kewaspadaan. Perasaan pria itu campur aduk, beberapa asumsi berkelebat dalam benaknya, menciptakan badai yang sulit diredam.Kini, Denver telah berdiri tepat di samping mobil hitam itu. Dia mengetuk kaca jendela dengan ujung jarinya, lalu berdeham."Selamat malam, Om Danis," sapa Denver, terdengar dalam dan penuh ketegangan. "Bisa kita bicara berdua?"Pria paruh baya di dalam mobil mengangkat dagunya sedikit dan sorot matanya tajam juga sulit ditebak. Dengan anggukan pelan, Danis memberi isyarat agar Denver masuk.Keduanya duduk di dalam mobil, suasana terasa lebih dingin dari sekadar embusan AC. Tidak ada kata yang langsung terucap, hanya napas berat yang sesekali terdengar.Denver menatap lurus ke depan, lalu akhirnya membuka suara. "A
"Sial, aku tidak ingat tentang itu!" gerutu Denver.Dia menutup laptop dengan kasar. Pikirannya terus dipenuhi oleh pertanyaan semalam dan jawaban Dewi yang membuat dada terasa sesak.‘Tapi … Dokter, a—aku tidak mau jadi istri simpanan dan … perceraianku dengan Mas Bima belum resmi.’Kata-kata itu terus terngiang di kepala dan menghantui pikiran Denver tanpa henti. Ditambah lagi, percakapannya dengan Danis semalam membuat kegelisahan makin menjadi. Jemari pria itu mengetuk meja dengan ritme cepat, menunjukkan keresahan yang tidak bisa dia sembunyikan.Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya."Dokter, boleh saya masuk?" tanya seorang wanita terdengar dari balik pintu."Ya, silakan."Saat pintu terbuka, seorang perawat masuk, membawa kabar tentang pasien yang ingin konsultasi bayi tabung. Denver mengangguk, lalu mempersilakan pasien masuk. Namun, matanya membulat seketika setelah melihat siapa yang berdiri di depannya.Dia pasangan Carissa yang baru!Pria itu duduk santai di kursi,
Untuk sesaat, atmosfer di sekitar terasa berat dan menghimpit dada. Udara yang tadinya sejuk kini terasa lebih dingin, membuat Dewi menggenggam erat ujung kemejanya. Dari balik punggung lebar Ruslan, dia mengintip dengan napas tercekat saat melihat Danis menatapnya lekat. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merinding. "Pak Ruslan, aku mau pulang," cicit Dewi, suaranya itu hampir tidak terdengar. Tubuh Dewi gemetar luar biasa, seolah setiap langkah yang diambil makin menenggelamkannya dalam ketidakpastian. Ruslan mengangguk dan segera mengiringi Dewi melewati Danis yang tetap memusatkan pandangannya pada gadis itu. Namun, tepat saat mereka hendak melangkah lebih jauh, suara rendah dan berat itu menghentikan mereka. "Dewi … lima menit saja." Langkah Dewi terhenti seketika. Dada kecil gadis itu naik turun tidak beraturan. Ada sesuatu dalam intonasi pria itu—hal yang membuat pertahanannya runtuh. Dia ingin terus berjalan dan mengabaikan panggilan itu, tetapi enta
Tubuh pria paruh baya itu segera dilarikan ke rumah sakit. Darius sudah menunggu di depan pintu IGD, napasnya memburu melihat wajah pucat Danis yang nyaris tidak menunjukkan tanda kehidupan."Om! Bertahanlah!" Darius menggenggam erat pergelangan tangan Danis, merasakan dinginnya kulit pria itu.Dada Danis naik-turun dengan berat, bibirnya membiru, dan matanya setengah terpejam.Darius bergegas membantu tim medis mendorong brankar masuk ke IGD, dengan rasa panik menjalar ke seluruh tubuhnya. Netra Darius tidak sekalipun beranjak dari layar monitor yang menggerakkan grafik serta angka-angka.Setelah dilakukan EKG dan pemeriksaan enzim jantung, rupanya Danis mengalami serangan jantung ringan. Beruntung tim medis cepat tanggap, dengan memberikan obat. Kini pria itu terbaring lemah dengan masker oksigen.Darius duduk di samping Danis dan menggenggam erat tangan pria itu, merasakan genggaman yang berubah melemah."Dewi ... apakah aku harus memanggilnya?" bisik Darius dengan suara tertahan, t
Untuk sekali lagi, Dewi membaca dengan seksama barisan kalimat demi kalimat. Jemarinya bergetar saat barisan kata-kata di kertas itu tetap sama, dia tidak salah baca. Pandangan netra sipitnya mulai kabur oleh genangan air mata. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras."Tidak … ini tidak mungkin," bisiknya.Kertas itu terjatuh lagi dari tangannya, tetapi Dewi tidak bergerak untuk mengambilnya. Tubuh gadis itu seakan terasa lumpuh dan pikirannya kacau. Semua yang diyakini selama ini seketika berantakan dalam sekejap.Mata sipitnya terpejam, lantas mengingat bagaimana pertemuannya pertama kali bersama Danis, lalu cara pandang pria itu dan setiap ucapannya yang merasuk dalam hati. Pikiran Dewi dipenuhi pertanyaan yang belum tentu ingin dia tahu jawabannya.Ketika otaknya sedang kalut, pintu kamar diketuk pelan."Ibu makan duluan saja. Aku tidak lapar," jawabnya lemah, mencoba menenangkan gejolak di dada.Pintu itu terbuka, siluet tubuh tinggi terbalut
Sebelum Dewi sempat menanggapi permintaan Darius, telepon genggamnya berpindah tangan dengan kasar. Jari-jari gadis itu refleks ingin merebut kembali, tetapi Denver sudah lebih dulu menggenggamnya erat.Mata sipitnya membesar dan mulutnya sedikit terbuka karena terkejut dengan sikap impulsif pria itu."Dokter," ucap Dewi tanpa suara.Denver menatap layar ponsel dengan tatapan gelap. Rahang yang tanpa janggut mengeras dan buku-buku jarinya memutih saat menggenggam benda itu. Napasnya terdengar berat, seolah sedang menahan amarah yang mendidih."Untuk apa kamu menghubungi Dewi?" ucap Denver rendah, tetapi penuh ancaman. "Dia bukan pasienmu lagi!"Dewi menelan ludah dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tahu pria di hadapannya ini sedang cemburu, tetapi ini terasa berlebihan. Lagi pula, ada sesuatu yang ingin dia ketahui dari Darius.Mungkinkah ini tentang hasil tes DNA?Dewi mencoba meraih ponsel kembali, tetapi Denver menghindar. Dengan langkah lebar, dia keluar dari kedai mie, meni
Meskipun keraguan mendera, pada akhirnya Dewi memutuskan menemui Darius di rumah sakit. Bahkan, dia menitipkan pesan pada Astuti bahwa kemungkinan malam ini dia tidak pulang dan meminta agar hal ini dirahasiakan dari Denver.“Dokter Darius?” panggil Dewi sesaat tiba di rumah sakit. Langkahnya terasa berat, tubuhnya makin gemetaran saat bertemu pria itu. Ada sesuatu yang berbeda dibanding saat bersama Denver.Jujur, Dewi merasa tertarik pada Darius. Cara pandangnya yang meneduhkan, sikap yang menghormati sebagai wanita, semua begitu berbeda. Namun, di saat yang sama, batinnya berteriak. Dia terikat dengan Denver, ayah dari putranya. Tubuh dan hatinya enggan mengkhianati pria itu.Darius menyadari kegugupan Dewi. Senyumnya melebar saat pria itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangan.Dewi menatap uluran itu sesaat, lalu memilih tersenyum tipis tanpa menyambutnya. Tatapannya sekilas menunjukkan batas yang jelas.Darius tersenyum kecut. “Kalau begitu, ikuti aku,” ujarnya sambil berbalik
"Bagaimana keadaan Dewi, Darius?" tanya Dwyne, langsung meraih tangan rekan putranya itu dengan gemetaran.Sejak diberitahu bahwa kondisi Dewi memburuk dan harus segera dilarikan ke ruang operasi, Dwyne bersama Oma Nayla segera bergegas ke rumah sakit. Termasuk Danis yang saat ini sedang dalam perjalanan menuju ibu kota. Sementara itu, Dirga menunggu di rumah, ditemani pengasuh dan Valerie.Di sisi lain, Darius pun menjadi panik setelah mendengar jadwal operasi Dewi dimajukan satu jam. Pria itu baru saja selesai dengan praktiknya. Karena rasa sayang sebagai sepupu, dia langsung mencari tahu informasi tentang kondisi Dewi.Darius baru saja keluar dari ruang tindakan. Dia melihat langsung bagaimana Dewi terbaring di dalam sana."Darius, kenapa kamu diam saja?" ulang Dwyne cemas. Wanita itu mendengkus kecil dan melirik jam tangannya. "Ini sudah lebih dari satu jam, tapi belum ada informasi tentang Dewi. Dia baik-baik saja, bukan?" desaknya.Darius menghela napas. "Aku tidak punya wewenan
Rupanya wanita yang mengidam, jika tidak dituruti akan membuat suasana hatinya buruk. Termasuk Dewi, ketika meminta dibelikan martabak telur tepat pada pukul tiga dini hari, itu karena dia melihat postingan di sosial media.Tentunya Denver dan Dirga dibuat kewalahan dengan permintaan itu. Dua lelaki beda usia tersebut lebih sering pergi mencari makanan yang diinginkan ibu hamil. Dirga memang ingin terlibat langsung dan dia akan mengamuk jika Denver mengabaikannya.Meskipun Denver bisa membuat martabak telur spesial di rumah, tetap saja Dewi ingin makanan itu dibeli dari pedagang langsung.Mengidam itu pun terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya, saat usia kandungan sang Dewi telah membesar dan membuatnya sulit bergerak. Bahkan dia mengajukan cuti lebih awal.“Sayang, kok lama banget? Aku ... aku tegang nunggu kamu,” adu wanita berperut buncit itu dengan suara bergetar.Dia ingin menghampiri Denver yang baru saja masuk ke kamar rawat, tetapi saluran infus di tangan membatasi gera
Denver merangkul bahu Darius dan menggiringnya keluar dari ruang sidang. Sikapnya mencerminkan kedekatan khas dua lelaki yang sudah seperti saudara. Bahkan postur tubuh mereka yang nyaris sama tinggi membuat keduanya tampak seperti kembar jika dilihat sepintas.Hanya saja, rambut cokelat kehitaman milik Denver tampak kontras dengan rambut Darius yang hitam legam dan selalu tertata rapi.“Lepas, Denver,” gerutu Darius, berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari bahunya.“Minum kopi. Aku traktir,” ajak Denver spontan, tahu betul bahwa pikiran sahabatnya itu tengah kusut dan butuh pelarian sejenak.Darius mengangguk kecil dan menghela napas panjang. Setelah berhasil meloloskan diri dari genggaman Denver, dia langsung menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan gedung pengadilan.Sementara itu, Denver harus berjalan sedikit lebih lama. Audi hitam miliknya tadi diparkir cukup jauh karena dia datang agak terlamb
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan