Wah apa yang bakalan Pak Danis bilang? Boleh ya ramaikan dengan komentar. love love sekebon Bu Astuti ^^
Untuk sesaat, atmosfer di sekitar terasa berat dan menghimpit dada. Udara yang tadinya sejuk kini terasa lebih dingin, membuat Dewi menggenggam erat ujung kemejanya. Dari balik punggung lebar Ruslan, dia mengintip dengan napas tercekat saat melihat Danis menatapnya lekat. Ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya merinding. "Pak Ruslan, aku mau pulang," cicit Dewi, suaranya itu hampir tidak terdengar. Tubuh Dewi gemetar luar biasa, seolah setiap langkah yang diambil makin menenggelamkannya dalam ketidakpastian. Ruslan mengangguk dan segera mengiringi Dewi melewati Danis yang tetap memusatkan pandangannya pada gadis itu. Namun, tepat saat mereka hendak melangkah lebih jauh, suara rendah dan berat itu menghentikan mereka. "Dewi … lima menit saja." Langkah Dewi terhenti seketika. Dada kecil gadis itu naik turun tidak beraturan. Ada sesuatu dalam intonasi pria itu—hal yang membuat pertahanannya runtuh. Dia ingin terus berjalan dan mengabaikan panggilan itu, tetapi enta
Tubuh pria paruh baya itu segera dilarikan ke rumah sakit. Darius sudah menunggu di depan pintu IGD, napasnya memburu melihat wajah pucat Danis yang nyaris tidak menunjukkan tanda kehidupan."Om! Bertahanlah!" Darius menggenggam erat pergelangan tangan Danis, merasakan dinginnya kulit pria itu.Dada Danis naik-turun dengan berat, bibirnya membiru, dan matanya setengah terpejam.Darius bergegas membantu tim medis mendorong brankar masuk ke IGD, dengan rasa panik menjalar ke seluruh tubuhnya. Netra Darius tidak sekalipun beranjak dari layar monitor yang menggerakkan grafik serta angka-angka.Setelah dilakukan EKG dan pemeriksaan enzim jantung, rupanya Danis mengalami serangan jantung ringan. Beruntung tim medis cepat tanggap, dengan memberikan obat. Kini pria itu terbaring lemah dengan masker oksigen.Darius duduk di samping Danis dan menggenggam erat tangan pria itu, merasakan genggaman yang berubah melemah."Dewi ... apakah aku harus memanggilnya?" bisik Darius dengan suara tertahan, t
Untuk sekali lagi, Dewi membaca dengan seksama barisan kalimat demi kalimat. Jemarinya bergetar saat barisan kata-kata di kertas itu tetap sama, dia tidak salah baca. Pandangan netra sipitnya mulai kabur oleh genangan air mata. Napasnya tersengal, seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras."Tidak … ini tidak mungkin," bisiknya.Kertas itu terjatuh lagi dari tangannya, tetapi Dewi tidak bergerak untuk mengambilnya. Tubuh gadis itu seakan terasa lumpuh dan pikirannya kacau. Semua yang diyakini selama ini seketika berantakan dalam sekejap.Mata sipitnya terpejam, lantas mengingat bagaimana pertemuannya pertama kali bersama Danis, lalu cara pandang pria itu dan setiap ucapannya yang merasuk dalam hati. Pikiran Dewi dipenuhi pertanyaan yang belum tentu ingin dia tahu jawabannya.Ketika otaknya sedang kalut, pintu kamar diketuk pelan."Ibu makan duluan saja. Aku tidak lapar," jawabnya lemah, mencoba menenangkan gejolak di dada.Pintu itu terbuka, siluet tubuh tinggi terbalut
Sebelum Dewi sempat menanggapi permintaan Darius, telepon genggamnya berpindah tangan dengan kasar. Jari-jari gadis itu refleks ingin merebut kembali, tetapi Denver sudah lebih dulu menggenggamnya erat.Mata sipitnya membesar dan mulutnya sedikit terbuka karena terkejut dengan sikap impulsif pria itu."Dokter," ucap Dewi tanpa suara.Denver menatap layar ponsel dengan tatapan gelap. Rahang yang tanpa janggut mengeras dan buku-buku jarinya memutih saat menggenggam benda itu. Napasnya terdengar berat, seolah sedang menahan amarah yang mendidih."Untuk apa kamu menghubungi Dewi?" ucap Denver rendah, tetapi penuh ancaman. "Dia bukan pasienmu lagi!"Dewi menelan ludah dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tahu pria di hadapannya ini sedang cemburu, tetapi ini terasa berlebihan. Lagi pula, ada sesuatu yang ingin dia ketahui dari Darius.Mungkinkah ini tentang hasil tes DNA?Dewi mencoba meraih ponsel kembali, tetapi Denver menghindar. Dengan langkah lebar, dia keluar dari kedai mie, meni
Meskipun keraguan mendera, pada akhirnya Dewi memutuskan menemui Darius di rumah sakit. Bahkan, dia menitipkan pesan pada Astuti bahwa kemungkinan malam ini dia tidak pulang dan meminta agar hal ini dirahasiakan dari Denver.“Dokter Darius?” panggil Dewi sesaat tiba di rumah sakit. Langkahnya terasa berat, tubuhnya makin gemetaran saat bertemu pria itu. Ada sesuatu yang berbeda dibanding saat bersama Denver.Jujur, Dewi merasa tertarik pada Darius. Cara pandangnya yang meneduhkan, sikap yang menghormati sebagai wanita, semua begitu berbeda. Namun, di saat yang sama, batinnya berteriak. Dia terikat dengan Denver, ayah dari putranya. Tubuh dan hatinya enggan mengkhianati pria itu.Darius menyadari kegugupan Dewi. Senyumnya melebar saat pria itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangan.Dewi menatap uluran itu sesaat, lalu memilih tersenyum tipis tanpa menyambutnya. Tatapannya sekilas menunjukkan batas yang jelas.Darius tersenyum kecut. “Kalau begitu, ikuti aku,” ujarnya sambil berbalik
Dewi meremas jemarinya dengan erat hingga kuku-kuku hampir menembus kulit. Napas gadis itu pendek dan dadanya sesak. Bayangan saat tim medis berjuang menyelamatkan Danang berkelebat dalam kepalanya. Membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya."Tuhan … jangan biarkan aku kehilangan Pak Danis juga," bisik Dewi, suaranya bergetar.Mata sipitnya terpaku pada layar monitor yang menunjukkan angka-angka yang terus berfluktuasi. Para dokter dan perawat bergerak cepat, suara alat medis berbunyi nyaring, seakan berpacu dengan detak jantungnya sendiri.Getar ponsel dari dalam tas membuat Dewi makin kebingungan, antara fokus pada Danis atau menerima panggilan suara itu. Saat dia memeriksanya, itu adalah … Denver. Rupanya sudah lima kali pria itu menghubungi.Satu pesan dari Denver masuk.[Kamu sudah tidur? Mimpi indah, Sayang.]Malam ini bukan mimpi indah yang diterimanya, melainkan mimpi buruk yang harus dia lalui.“Kondisi Pak Danis tidak stabil, sebaiknya beliau tidak mendapat tekanan apa
"Sepagi ini kamu di sini?" tanya Denver yang lebih memperhatikan pakaian gadis itu. Denver mengenalnya karena semalam Dewi menggunakan baju yang sama.Gadis itu mengangguk dengan senyum mengembang dan wajah ayunya tampak manis. "Aku sengaja menunggu Dokter. Bisa sarapan sekarang? Perutku lapar," ujar Dewi dengan pelan, tetapi Dania bisa mendengarnya."Ayo, kamu mau makan di kantin atau café sekitar sini?" tanya Denver penuh perhatian."Kan—""Tapi Dokter Denver ada laporan yang harus kita selesaikan. Dokter residen yang lainnya juga sudah menunggu di ruangan Anda," potong Dania yang saat ini tangannya terkepal melihat kedekatan Dewi dan Denver.Denver tampak menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Dia menatap Dewinya dan membelai puncak kepala gadis itu."Kita sarapan sebentar, setelah itu aku harus ke ruangan," kata Denver setengah berbisik, membuat Dania tampak tidak senang.Dewi tersenyum kecil dan mengangguk. Meskipun singkat, setidaknya Denver masih meluangkan waktu un
“Apa yang kamu temukan, Ruslan?!” tanya Denver dengan suara agak meninggi.Tadi setelah mendapat pesan singkat dari Ruslan, dia bergegas menemui pria itu di Ta&Ma Café. Dia pun terpaksa mengulur waktu temunya bersama Dewi.“Ini Pak, setelah saya selidiki. Ternyata Dokter Darius sengaja dipindahkan ke Rumah Sakit JB atas permintaan Pak Danis,” tutur Ruslan sambil menyerahkan berkas tebal di atas meja.Denver mangut-mangut. Dia tidak terkejut mendengar hal itu, setidaknya dia tahu sejak awal kepindahan Darius untuk mengincar Dewi-nya. Bukan semata mengembangkan karir.Akan tetapi, pria itu tampak tidak puas dengan hasil kerja asistennya. Terbukti saat Denver membuka setiap lembaran kertas laporan, tidak ada yang menakjubkan. Semua hanya berisi kegiatan Darius sebelum dan setelah pindah.“Ini hasil kerjamu selama beberapa hari?” ketusnya, kemudian hendak menutup map. Namun, tepat di beberapa lembar terakhir, Denver menemukan sejumlah kegiatan Darius larut malam di rumah sakit. Bahkan pria
Denver merangkul bahu Darius dan menggiringnya keluar dari ruang sidang. Sikapnya mencerminkan kedekatan khas dua lelaki yang sudah seperti saudara. Bahkan postur tubuh mereka yang nyaris sama tinggi membuat keduanya tampak seperti kembar jika dilihat sepintas.Hanya saja, rambut cokelat kehitaman milik Denver tampak kontras dengan rambut Darius yang hitam legam dan selalu tertata rapi.“Lepas, Denver,” gerutu Darius, berusaha menyingkirkan lengan pria itu dari bahunya.“Minum kopi. Aku traktir,” ajak Denver spontan, tahu betul bahwa pikiran sahabatnya itu tengah kusut dan butuh pelarian sejenak.Darius mengangguk kecil dan menghela napas panjang. Setelah berhasil meloloskan diri dari genggaman Denver, dia langsung menuju mobilnya yang terparkir tepat di depan gedung pengadilan.Sementara itu, Denver harus berjalan sedikit lebih lama. Audi hitam miliknya tadi diparkir cukup jauh karena dia datang agak terlamb
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m