Pagi Kakak-Kakak. Untuk Bab berikutnya di update kemungkinan sore atau malam, ya. Makasih makasih makasih ^^ Jan lupa komen yang banyak biar otor satu ini semangat update ^^
Sebelum Dewi sempat menanggapi permintaan Darius, telepon genggamnya berpindah tangan dengan kasar. Jari-jari gadis itu refleks ingin merebut kembali, tetapi Denver sudah lebih dulu menggenggamnya erat.Mata sipitnya membesar dan mulutnya sedikit terbuka karena terkejut dengan sikap impulsif pria itu."Dokter," ucap Dewi tanpa suara.Denver menatap layar ponsel dengan tatapan gelap. Rahang yang tanpa janggut mengeras dan buku-buku jarinya memutih saat menggenggam benda itu. Napasnya terdengar berat, seolah sedang menahan amarah yang mendidih."Untuk apa kamu menghubungi Dewi?" ucap Denver rendah, tetapi penuh ancaman. "Dia bukan pasienmu lagi!"Dewi menelan ludah dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tahu pria di hadapannya ini sedang cemburu, tetapi ini terasa berlebihan. Lagi pula, ada sesuatu yang ingin dia ketahui dari Darius.Mungkinkah ini tentang hasil tes DNA?Dewi mencoba meraih ponsel kembali, tetapi Denver menghindar. Dengan langkah lebar, dia keluar dari kedai mie, meni
Meskipun keraguan mendera, pada akhirnya Dewi memutuskan menemui Darius di rumah sakit. Bahkan, dia menitipkan pesan pada Astuti bahwa kemungkinan malam ini dia tidak pulang dan meminta agar hal ini dirahasiakan dari Denver.“Dokter Darius?” panggil Dewi sesaat tiba di rumah sakit. Langkahnya terasa berat, tubuhnya makin gemetaran saat bertemu pria itu. Ada sesuatu yang berbeda dibanding saat bersama Denver.Jujur, Dewi merasa tertarik pada Darius. Cara pandangnya yang meneduhkan, sikap yang menghormati sebagai wanita, semua begitu berbeda. Namun, di saat yang sama, batinnya berteriak. Dia terikat dengan Denver, ayah dari putranya. Tubuh dan hatinya enggan mengkhianati pria itu.Darius menyadari kegugupan Dewi. Senyumnya melebar saat pria itu melangkah mendekat dan mengulurkan tangan.Dewi menatap uluran itu sesaat, lalu memilih tersenyum tipis tanpa menyambutnya. Tatapannya sekilas menunjukkan batas yang jelas.Darius tersenyum kecut. “Kalau begitu, ikuti aku,” ujarnya sambil berbalik
Dewi meremas jemarinya dengan erat hingga kuku-kuku hampir menembus kulit. Napas gadis itu pendek dan dadanya sesak. Bayangan saat tim medis berjuang menyelamatkan Danang berkelebat dalam kepalanya. Membuat keringat dingin mengalir di pelipisnya."Tuhan … jangan biarkan aku kehilangan Pak Danis juga," bisik Dewi, suaranya bergetar.Mata sipitnya terpaku pada layar monitor yang menunjukkan angka-angka yang terus berfluktuasi. Para dokter dan perawat bergerak cepat, suara alat medis berbunyi nyaring, seakan berpacu dengan detak jantungnya sendiri.Getar ponsel dari dalam tas membuat Dewi makin kebingungan, antara fokus pada Danis atau menerima panggilan suara itu. Saat dia memeriksanya, itu adalah … Denver. Rupanya sudah lima kali pria itu menghubungi.Satu pesan dari Denver masuk.[Kamu sudah tidur? Mimpi indah, Sayang.]Malam ini bukan mimpi indah yang diterimanya, melainkan mimpi buruk yang harus dia lalui.“Kondisi Pak Danis tidak stabil, sebaiknya beliau tidak mendapat tekanan apa
"Sepagi ini kamu di sini?" tanya Denver yang lebih memperhatikan pakaian gadis itu. Denver mengenalnya karena semalam Dewi menggunakan baju yang sama.Gadis itu mengangguk dengan senyum mengembang dan wajah ayunya tampak manis. "Aku sengaja menunggu Dokter. Bisa sarapan sekarang? Perutku lapar," ujar Dewi dengan pelan, tetapi Dania bisa mendengarnya."Ayo, kamu mau makan di kantin atau café sekitar sini?" tanya Denver penuh perhatian."Kan—""Tapi Dokter Denver ada laporan yang harus kita selesaikan. Dokter residen yang lainnya juga sudah menunggu di ruangan Anda," potong Dania yang saat ini tangannya terkepal melihat kedekatan Dewi dan Denver.Denver tampak menghela napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Dia menatap Dewinya dan membelai puncak kepala gadis itu."Kita sarapan sebentar, setelah itu aku harus ke ruangan," kata Denver setengah berbisik, membuat Dania tampak tidak senang.Dewi tersenyum kecil dan mengangguk. Meskipun singkat, setidaknya Denver masih meluangkan waktu un
“Apa yang kamu temukan, Ruslan?!” tanya Denver dengan suara agak meninggi.Tadi setelah mendapat pesan singkat dari Ruslan, dia bergegas menemui pria itu di Ta&Ma Café. Dia pun terpaksa mengulur waktu temunya bersama Dewi.“Ini Pak, setelah saya selidiki. Ternyata Dokter Darius sengaja dipindahkan ke Rumah Sakit JB atas permintaan Pak Danis,” tutur Ruslan sambil menyerahkan berkas tebal di atas meja.Denver mangut-mangut. Dia tidak terkejut mendengar hal itu, setidaknya dia tahu sejak awal kepindahan Darius untuk mengincar Dewi-nya. Bukan semata mengembangkan karir.Akan tetapi, pria itu tampak tidak puas dengan hasil kerja asistennya. Terbukti saat Denver membuka setiap lembaran kertas laporan, tidak ada yang menakjubkan. Semua hanya berisi kegiatan Darius sebelum dan setelah pindah.“Ini hasil kerjamu selama beberapa hari?” ketusnya, kemudian hendak menutup map. Namun, tepat di beberapa lembar terakhir, Denver menemukan sejumlah kegiatan Darius larut malam di rumah sakit. Bahkan pria
Dewi tergugu sambil menunduk dan meremas selimutnya. Dia benar-benar bingung sekarang, karena Denver mengetahuinya jauh lebih cepat dari dugaan. Di saat dia belum siap menerima kenyataan, dia harus dihadapkan pada desakan Denver.Sedangkan Denver melihat keterdiaman Dewi dengan sorot mata rumit dan satu sudut bibirnya berkedut samar. Rahangnya mengeras dan jemarinya mengepal di sisi tubuh.“Aku pikir sudah tidak ada lagi rahasia di antara kita,” sesal Denver, suaranya lebih dingin dari biasanya.Dengan tangan ragu-ragu, Dewi meraih jemari Denver untuk menjelaskannya. Namun, pria itu menghindar. Seakan ada jarak yang kini terbentuk di antara mereka.“Aku … karena ini terlalu mendadak,” ujarnya berharap Denver mengerti.Alih-alih menerima jawaban, Denver justru berdiri dan berbalik tanpa menatapnya lagi. Sesaat sebelum pergi, dia mengecup kening Dirga, lalu tanpa kata-kata lebih lanjut, dia meninggalkan Dewi dalam ruangan yang kini terasa makin dingin dan kosong.Dewi menatap punggung ke
“Mama ini bukan anak kecil yang bisa diajak bercanda, Denver!” tegas Dwyne, tetapi gestur tubuhnya tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Wanita itu gemetar membuat tangannya mengepal erat seolah berusaha menahan sesuatu.“Menurut Mama, apa aku sedang bercanda? Untuk apa?” sahut Denver sembari mendekati mereka yang berdiri terpaku di tempat.Sejenak pria itu menatap Dewi dalam, lantas memejamkan mata. Dia teringat percakapannya dengan Danis beberapa saat lalu.Tadi, selesai praktik, Denver sengaja menemui Danis secara langsung. Dia merasa harus mengetahui kebenaran ini dari berbagai sumber. Danis mengakuinya, bahkan memberikan Denver selembar foto usang.Dalam foto itu, seorang wanita tengah mengandung, dan wajahnya mirip sekali dengan Dewi. Namun, pria tampan di sampingnya bukanlah Denver—melainkan Danis sewaktu muda.Ya, dia tahu itu, sebab beberapa kali Dwyne dan mendiang ayahnya membawa Denver kecil berkunjung ke rumah pria itu. Masih jelas dalam ingatannya foto Danis muda.Termas
Tangan Denver yang terkepal tepat di depan dadanya menunjukkan garis-garis otot dan pembuluh darah, menandakan betapa tegangnya dia. Napas pria itu berat, nyaris tersendat, dan dia harus menyeka matanya yang hampir basah.Setelahnya, Denver turun dari ranjang pasien, lalu berdiri di samping ranjang sang mama, menatap penuh sayang sembari membelai bahunya.“Apa Dokter Mario sudah selesai operasi? Katakan padanya mamaku butuh pertolongan secepatnya!” tegas Denver dengan suara tegang.Seorang perawat bergegas mencari informasi.Bilik gawat darurat mulai lengang. Perawat dan beberapa dokter yang sempat memberikan pertolongan pertama kembali ke pos masing-masing. Tersisa Denver dan dokter umum.Beberapa saat kemudian, seorang perawat datang memberitahu, “Dokter Mario segera ke sini, Dok.”Denver tidak menyahut, hanya menatap layar monitor yang bergerak, menunjukkan angka-angka penunjuk kehidupan.Setelahnya, Dwyne menjalani pemeriksaan oleh tim dokter spesialis. Wanita itu didiagnosis menga
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit."Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu.Dewi tersenyum lembut.
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta