Setelah ayahnya keluar dari kamar, suasana kamar Lunna kembali tenang, meskipun keheningan itu segera pecah oleh suara gaduh dari dalam pikirannya.
"What!! Pesta lagi??! Kenapa sih orang kaya senang sekali berpesta? Dan apa kau benar-benar akan pergi ke pesta itu Lunna?" keluh Luna yang mendadak muncul, dengan suara penuh rasa ingin tahu.
Jujur! Saat ini Luna kesal—setidaknya dalam pikirannya sendiri—seolah tidak habis pikir mengapa pesta menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup keluarga kaya.
Sementara itu, Lunna, yang tengah duduk di depan cermin besar dan sibuk merias wajahnya, hanya bisa menghela napas panjang mendengar cerocosan Luna di dalam kepalanya. Dia tidak punya waktu untuk melayani ocehan Luna. Dengan nada ketus, Lunna berkata, "bisa tidak kau diam saja saat aku sedang merias wajahku? Aku butuh fokus!" Ia berharap dengan kata-katanya tersebut Luna bisa tenang walau untuk sesaat.
"Aku benar-benar tidak habis pikir! Untuk apa sih, para orang kaya ini menghamburkan uang hanya demi nongkrong-nongkrong nggak jelas seperti ini? Serius, apa mereka nggak bisa nongki sambil minum bandrek di tepi jalan aja? Coba bayangkan, satu gelas wine di pesta ini harganya berapa? Puluhan juta, Lunna! Puluhan juta! Kalau uang segitu dipakai buat beli bandrek, aku yakin bisa dapat satu gerobak penuh, lengkap sama abang-abangnya!" Luna mendramatisir sambil menggerakkan tangan seolah menghitung angka di udara.
Wajahnya merekah dengan ekspresi penuh semangat, namun tak ada yang tahu apakah itu murni sarkasme atau emosi yang terpendam. Ia mendesah dramatis lalu melanjutkan dengan nada lebih tinggi, "Aaaaah, jiwa misqueen-ku meronta-ronta kalau begini, Lunna! Ini keterlaluan! Mereka hidup di dunia lain apa gimana sih?" cerocosnya.
Lunna hanya memutar bola matanya. Sebenarnya dia malas menjelaskan hal ini untuk kesekian ratus kali pada Luna. Tapi kalau tidak dia jelaskan maka suara cempreng Luna akan memenuhi kepalanya.
“Bukankah kalian yang memintaku untuk mengambil alih tubuh ini? Kalau begitu sebaiknya kau tidur saja di dalam sana seperti Lukcy dan Lusy. Seperti biasa yang kalian lakukan saat ini menguasai tubuh ini. Toh aku juga melakukan hal yang sama.Aku sama sekali tidak tahu apa yang kau, Lucky ataupun Lucy lakukan saat aku ‘tidur’!" kata Lunna, kali ini dengan nada lebih tegas.
Luna mendengus kecil. “Ck... aku sebenarnya juga ingin begitu! Tapi terkadang jiwa kepo butuh dipuaskan. Aku juga ingin tahu seperti apa gaya hidup kaum orang kaya itu.”cerocos Luna dengan nada sewot.
Lunna menggelengkan kepala dengan kesal. “Kalau begitu, lihat dan nikmati saja. Tapi ingat satu hal, Luna, saat aku sedang bersama circle-ku, sesuai dengan perjanjian kita, kau atau yang lain tidak boleh muncul. Jangan sampai kemunculan kalian menghancurkan nama baikku atau membuatku terlihat aneh di mata mereka. Paham?" tekan Lunna.
Luna akhirnya menyerah dan bergumam, “Ah, tidak seru. Kalau begitu, aku lebih baik tidur atau bicara soal misi baru dengan Lucy dan Lucky.” Setelah itu, suara Luna menghilang dari pikiran Lunna, meninggalkan keheningan yang terasa sedikit mencurigakan.
“Apa dia bilang?? Misi baru?” gumam Lunna pelan sambil menatap wajahnya di cermin. "Luna??? Apa yang baru saja kau katakan?? Misi baru?? Misi apa?? Luna?? Luna??” Panggil Lunna pada dirinya sendiri di depan cermin bagai orang gila.
Tapi mau seberapa kalipun Lunna memanggil Luna, Luna tetap tidak menyahut.
“Apa dia benar-benar sudah pergi? Tapi rencana apa yang dia bicarakan?" Gumam Lunna bingung. Dia mencoba mengingat-ingat, namun tidak satu pun ingatan muncul tentang apa yang disebut Luna sebagai "misi baru."
Lunna mendesah, merasa lelah dengan intrik kecil yang datang dari sisi-sisi kepribadiannya sendiri. “Apa aku sedang tidur ketika mereka membahas ini? Ah, sudahlah!!! Apa pun itu, pasti tidak ada hubungannya denganku. Lagipula, tidak ada yang mengenal siapa aku di luar sana. Aku selalu keluar dengan topi seperti ini." Ucap Lunna pada dirinya sendiri sambil memegang tepian topinya.
Lunna tersenyum kecil pada bayangannya di cermin. Penampilannya saat ini adalah wujud sempurna dari seorang nona muda keluarga kaya yang misterius dan menawan. Namun, di balik itu, siapa sebenarnya Lunna bisa sangat berbeda tergantung pada kepribadian yang sedang menguasai tubuh itu.
Dalam wujud Luna, Lunna berubah menjadi seorang gadis yang sedikit bodoh, suka berbicara sembarangan, dan belagu. Namun, dia sangat ramah jika sudah mengenal seseorang lebih dekat. Luna adalah perwujudan dari jiwa yang selalu merasa miskin, fokus pada uang, dan tidak pernah puas tanpa perhitungan finansial yang logis.
Ketika menjadi Lucy, Lunna berubah total. Sosok Lucy adalah gadis berusia 18 tahun yang berpikiran bebas dan suka berpakaian seksi, dengan pemikiran liar yang sering kali melanggar norma.
Namun, yang paling menggemaskan adalah saat Lunna berubah menjadi Lucky. Di wujud ini, dia menjadi bocah berusia lima tahun yang manja dan menyusahkan, selalu membuat kekacauan dengan tingkah kekanak-kanakannya.
Setiap sisi ini memiliki karakteristik unik yang membuat kehidupan Lunna jauh lebih kompleks daripada kehidupan seorang nona muda biasa. Dan meskipun Lunna mencoba menjaga kendali di tengah kekacauan internal ini, dia tahu, tidak selamanya dia bisa sepenuhnya menguasai tubuhnya- atau mungkin ini bukan tubuhnya?
Albert menatap Damian dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apa kau sudah bertemu dengan Luna?” tanyanya, mencoba mengumpulkan informasi tentang kondisi putri sahabatnya itu.Damian, yang tampak sedikit lelah, mengangguk pelan. “Hmm... dia baru saja pulang dan saat ini sedang ada di kamarnya,” jawabnya dengan nada datar, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sepertinya dia baik-baik saja. Sepenglihatanku, tidak ada hal yang janggal saat kami bertemu tadi. Aku cukup yakin kalau tadi aku sedang berbicara dengan Lunna, bukan Luna atau pun karakter lain dalam dirinya.”Sebagai sahabat dekat sekaligus dokter pribadi keluarga Damian, Albert tahu persis apa yang sedang dihadapi oleh putri sahabatnya itu. Pasca kematian sang ibu, Luna mengalami kondisi yang tergolong jarang terjadi. Namun, penyakit itu jelas bukanlah sesuatu yang remeh seperti demam atau pilek.Awalnya, baik Damian maupun Albert menduga bahwa Luna mengidap Dissociative Identity Disorder (DID), atau yang lebih dikenal s
Pesta Dansa malam itu akhirnya dimulai. Cahaya lampu kristal menyinari ruangan yang dipenuhi tamu-tamu bangsawan, berpakaian mewah dengan senyum dan percakapan basa-basi. Musik klasik mengalun, menciptakan atmosfer elegan yang begitu khas dalam acara keluarga Smith dan Arberto.Di sudut ruangan, Hector menepuk bahu Darren dengan ringan, ekspresi wajahnya penuh kesungguhan. "Darren! Arah jam sembilan," ujarnya tegas. Ia tahu betul bahwa sahabatnya itu akan segera menikahi tunangannya, Mona, dalam waktu dekat. Namun, sebagai teman, Filip tidak tega membiarkan Darren masuk ke dalam perangkap wanita licik seperti Mona. Bagaimana mungkin ia tega melihat Darren terikat dengan wanita yang memiliki hubungan gelap dengan paman Darren sendiri, Giovani Smith?Darren, yang sedari tadi tampak santai dengan kaki bersilang, hanya terkekeh kecil sambil mengangkat gelas wine miliknya. "Kau benar-benar tidak lelah mencoba, Filip. Padahal kau tahu bahwa semua usaha mu itu adalah hal yang percuma. Aku da
Rose menatap Luna dengan tatapan tajam, penuh dengan keraguan yang tersirat di matanya. Dia menghela napas sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di pikirannya.“Are you sure? Ini bukan misi sembarangan, Lun.” Peringatnya dengan nada serius.Namun, Luna, seperti biasa, menjawab dengan sikap santainya. Ia menyilangkan kakinya di ujung sofa, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Kalau aku jawab tidak yakin, apa kau sendiri yang akan menjalankan misi ini, Rose?” balasnya sambil menyunggingkan senyuman sinis.Rose hanya mengerlingkan matanya, sedikit kesal tetapi tak terlalu terkejut. Luna memang seringkali berbicara seenak jidatnya, belagu, dan itu! Terdengar seolah selalu meremehkan segalanya. Tapi Rose, sebagai teman baik sekaligus bos dalam bisnis rahasia ini, sudah terbiasa menghadapi karakter Luna yang lebih sering menyebalkan dari pada normalnya.“Ck… kau ini sedang meragukan kemampuanku?” tukas Rose, menatap Luna dengan ujung matanya.“Tidak! A
Luna melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil menuju mansion keluarga Alberto. Dentuman musik yang menggelegar dari stereo mobilnya tidak cukup untuk meredam kekesalan yang menggelayuti hatinya sejak menerima pesan dari ayahnya tadi malam.Ada pesta topeng di mansion itu malam ini, dan Luna diwajibkan hadir. Sungguh sebuah hal yang sangat tidak Luna sukai.“Kenapa aku juga harus ada di sana?” gumamnya kesal sambil terus menekan pedal gas. Wajahnya cemberut, dan tangannya menggenggam kemudi dengan erat. “Bukankah sudah ada si anak ular dan ratu ular? Tanpa aku, pesta itu pasti sudah cukup lengkap!”Luna terus mengomel pada dirinya sendiri. Namun, kegusaran itu rupanya memicu sesuatu yang lain. Karakter – karakter lain dalam dirinya mulai muncul, seperti biasa saat emosinya tak terkendali."Haruskah kita pulang, Kak Luna?" tanya suara lembut Lucky bergema di pikiran Luna."Kalau nggak pulang, memangnya kau mau ke mana, Lucky?" belum sempat Luna menjawab pertanyaan Lucky, Lucy sudah me
Pesta Dansa malam itu akhirnya dimulai. Cahaya lampu kristal menyinari ruangan yang dipenuhi tamu-tamu bangsawan, berpakaian mewah dengan senyum dan percakapan basa-basi. Musik klasik mengalun, menciptakan atmosfer elegan yang begitu khas dalam acara keluarga Smith dan Arberto.Di sudut ruangan, Hector menepuk bahu Darren dengan ringan, ekspresi wajahnya penuh kesungguhan. "Darren! Arah jam sembilan," ujarnya tegas. Ia tahu betul bahwa sahabatnya itu akan segera menikahi tunangannya, Mona, dalam waktu dekat. Namun, sebagai teman, Filip tidak tega membiarkan Darren masuk ke dalam perangkap wanita licik seperti Mona. Bagaimana mungkin ia tega melihat Darren terikat dengan wanita yang memiliki hubungan gelap dengan paman Darren sendiri, Giovani Smith?Darren, yang sedari tadi tampak santai dengan kaki bersilang, hanya terkekeh kecil sambil mengangkat gelas wine miliknya. "Kau benar-benar tidak lelah mencoba, Filip. Padahal kau tahu bahwa semua usaha mu itu adalah hal yang percuma. Aku da
Albert menatap Damian dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apa kau sudah bertemu dengan Luna?” tanyanya, mencoba mengumpulkan informasi tentang kondisi putri sahabatnya itu.Damian, yang tampak sedikit lelah, mengangguk pelan. “Hmm... dia baru saja pulang dan saat ini sedang ada di kamarnya,” jawabnya dengan nada datar, lalu menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sepertinya dia baik-baik saja. Sepenglihatanku, tidak ada hal yang janggal saat kami bertemu tadi. Aku cukup yakin kalau tadi aku sedang berbicara dengan Lunna, bukan Luna atau pun karakter lain dalam dirinya.”Sebagai sahabat dekat sekaligus dokter pribadi keluarga Damian, Albert tahu persis apa yang sedang dihadapi oleh putri sahabatnya itu. Pasca kematian sang ibu, Luna mengalami kondisi yang tergolong jarang terjadi. Namun, penyakit itu jelas bukanlah sesuatu yang remeh seperti demam atau pilek.Awalnya, baik Damian maupun Albert menduga bahwa Luna mengidap Dissociative Identity Disorder (DID), atau yang lebih dikenal s
Setelah ayahnya keluar dari kamar, suasana kamar Lunna kembali tenang, meskipun keheningan itu segera pecah oleh suara gaduh dari dalam pikirannya."What!! Pesta lagi??! Kenapa sih orang kaya senang sekali berpesta? Dan apa kau benar-benar akan pergi ke pesta itu Lunna?" keluh Luna yang mendadak muncul, dengan suara penuh rasa ingin tahu.Jujur! Saat ini Luna kesal—setidaknya dalam pikirannya sendiri—seolah tidak habis pikir mengapa pesta menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup keluarga kaya.Sementara itu, Lunna, yang tengah duduk di depan cermin besar dan sibuk merias wajahnya, hanya bisa menghela napas panjang mendengar cerocosan Luna di dalam kepalanya. Dia tidak punya waktu untuk melayani ocehan Luna. Dengan nada ketus, Lunna berkata, "bisa tidak kau diam saja saat aku sedang merias wajahku? Aku butuh fokus!" Ia berharap dengan kata-katanya tersebut Luna bisa tenang walau untuk sesaat."Aku benar-benar tidak habis pikir! Untuk apa sih, para orang kaya ini menghamburkan uan
Luna melajukan mobilnya dengan kecepatan stabil menuju mansion keluarga Alberto. Dentuman musik yang menggelegar dari stereo mobilnya tidak cukup untuk meredam kekesalan yang menggelayuti hatinya sejak menerima pesan dari ayahnya tadi malam.Ada pesta topeng di mansion itu malam ini, dan Luna diwajibkan hadir. Sungguh sebuah hal yang sangat tidak Luna sukai.“Kenapa aku juga harus ada di sana?” gumamnya kesal sambil terus menekan pedal gas. Wajahnya cemberut, dan tangannya menggenggam kemudi dengan erat. “Bukankah sudah ada si anak ular dan ratu ular? Tanpa aku, pesta itu pasti sudah cukup lengkap!”Luna terus mengomel pada dirinya sendiri. Namun, kegusaran itu rupanya memicu sesuatu yang lain. Karakter – karakter lain dalam dirinya mulai muncul, seperti biasa saat emosinya tak terkendali."Haruskah kita pulang, Kak Luna?" tanya suara lembut Lucky bergema di pikiran Luna."Kalau nggak pulang, memangnya kau mau ke mana, Lucky?" belum sempat Luna menjawab pertanyaan Lucky, Lucy sudah me
Rose menatap Luna dengan tatapan tajam, penuh dengan keraguan yang tersirat di matanya. Dia menghela napas sejenak sebelum melontarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di pikirannya.“Are you sure? Ini bukan misi sembarangan, Lun.” Peringatnya dengan nada serius.Namun, Luna, seperti biasa, menjawab dengan sikap santainya. Ia menyilangkan kakinya di ujung sofa, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Kalau aku jawab tidak yakin, apa kau sendiri yang akan menjalankan misi ini, Rose?” balasnya sambil menyunggingkan senyuman sinis.Rose hanya mengerlingkan matanya, sedikit kesal tetapi tak terlalu terkejut. Luna memang seringkali berbicara seenak jidatnya, belagu, dan itu! Terdengar seolah selalu meremehkan segalanya. Tapi Rose, sebagai teman baik sekaligus bos dalam bisnis rahasia ini, sudah terbiasa menghadapi karakter Luna yang lebih sering menyebalkan dari pada normalnya.“Ck… kau ini sedang meragukan kemampuanku?” tukas Rose, menatap Luna dengan ujung matanya.“Tidak! A