Pesta Dansa malam itu akhirnya dimulai. Cahaya lampu kristal menyinari ruangan yang dipenuhi tamu-tamu bangsawan, berpakaian mewah dengan senyum dan percakapan basa-basi. Musik klasik mengalun, menciptakan atmosfer elegan yang begitu khas dalam acara keluarga Smith dan Arberto.
Di sudut ruangan, Hector menepuk bahu Darren dengan ringan, ekspresi wajahnya penuh kesungguhan. "Darren! Arah jam sembilan," ujarnya tegas. Ia tahu betul bahwa sahabatnya itu akan segera menikahi tunangannya, Mona, dalam waktu dekat. Namun, sebagai teman, Hector tidak tega membiarkan Darren masuk ke dalam perangkap wanita licik seperti Mona. Bagaimana mungkin ia tega melihat Darren terikat dengan wanita yang memiliki hubungan gelap dengan Giovani Smith- paman Darren sendiri?
Darren, yang sedari tadi tampak santai dengan kaki bersilang, hanya terkekeh kecil sambil mengangkat gelas wine miliknya. "Kau benar-benar tidak lelah mencoba, Hector. Padahal kau tahu bahwa semua usaha mu itu adalah hal yang percuma. Aku dan Mona akan segera menikah. Semua kebiasaan buruk di masa lalu itu telah aku tinggalkan sejak mengenal Mona. Dan ya.. terserah kau mau memanggilku Cassanova insaf atau apa pun! I don’t care!" sebut Darren, lalu menyesap habis winenya.
Sebenarnya, Darren enggan datang ke pesta ini. Namun, karena acara ini juga menjadi ajang pengumuman pertunangan pamannya, Giovani Smith, dengan putri keluarga Arberto, Darren tidak punya pilihan selain menghadiri acara yang baginya tak lebih dari formalitas semata.
Di tempat lain dalam rumah besar itu, seorang wanita bernama Dian tampak panik. Matanya mencari-cari sosok yang tidak juga ditemukannya.
"Luna...? Apa kau melihat Andine?!" tanya Dian pada Lunna saat Lunna baru saja tiba di ruang pesta.
Lunna menatap Dian dengan tatapan datar. "Andine? Hmm, tidak..." jawabnya singkat. Seingatnya, ia memang sempat melihat Andine saat akan berjalan ke ruangan pesta, tapi setelah itu, gadis itu menghilang entah ke mana. Apa pedulinya.
Benar! Lagian sejak kapan Lunna peduli Andine mau pergi kemana. Mengurusi tiga dirinya yang lain saja sudah membuatnya pusing! Apatah lagi harus ditambah satu orang lagi!
"Sudah kau temukan?" tanya Damian dengan wajah yang sama paniknya dengan Dian. Dari sini saja terlihat jika Damian juga sedang mencari Andine.
Dian menggeleng cepat. Tangannya tak berhenti meremas, menunjukan kepanikan yang luar biasa.
“Astaga!!! Kemana anak itu!! Bagaimana mungkin dia tidak ada di mana pun! Bagaimana ini Damian??? Apa jangan-jangan? Shit! Jangan katakan dia kabur dengan pacarnya!" seru Dian frustasi.
"Andine!! Berani-beraninya kau melakukan ini kepada Ibu!" teriak Dian tertahan karena tidak ingin menarik perhatian tamu-tamu yang sudah berada di dalam ruang pesta.
Lunna sedari tadi berdiri hanya bisa melihat kepanikan sang ayah dan ibu tirinya. Dia sendirinya sebenarnya tidak tahu ada apa ini. Namun bila dilihat dari tingkat frustasi sang ayah dan sang ibu tiri, pasti kaburnya Andine ini akan menyebabkan masalah yang cukup besar. Bahkan mungkin saja masalah yang besar.
“Membosankan.” Gumam Lunna dalam hati. Dia yang tadinya ingin berkumpul dengan beberap gadis dari kalangannya malah tertahan di sini bersama ibu tirinya yang sedang frustasi untuk alasan yang sama sekali tidak penting baginya.
Di tengah keheningan Lunna, tiba-tiba Dian menangis. Sebuah tangisan terisak tertahan yang pecah begitu saja. "Bagaimana ini, sayang?Aku sudah sesumbar ke teman-teman sosialitaku bahwa putriku akan menikah dengan keluarga Smith! Kalau pertunangan ini sampai batal, aku akan menjadi bahan olokan mereka!" Ucap Dian merengek pada Damian.
“Seharusnya kau bisa mengurusi putrimu itu dengan baik, Dian! Ini semua karena kau terlalu memanjakannya! Dia jadi bertindak sesukanya!!” Ujar Damian marah.
Sebenarnya tidak hanya Dian saja yang pusing bila pertunangan ini batal, Damian pun juga akan pusing karena bisa saja keluarga Smith membatalkan investasi mereka pada proyek baru perusahaan Damian.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Aku sudah memanjakannya selama ini! Tapi lihatlah apa yang telah dia lakukan!!” Rutuk Dian dengan sangat marah, namun pastinya tetap dengan suara yang pelan.
Mau berkali-kali pun Dian memikirkannya, Dian tetap tidak habis pikir bagaimana mungkin Andine lebih memilih kabur dengan pria yang jelas-jelas adalah seorang berandalan dari pada menikahi pria yang telah dipilihkan oleh Dian sendiri, yaitu salah satu pewaris keluarga Smith.
“Jadi kita harus bagaimana, Damian??? Kalau kita tidak bisa menyeret Andine kemari, apa kata orang-orang nanti?”tanya Dian yang hanya fokus pada nama baiknya sendiri.
Damian menghela napas, mencoba menenangkan istrinya. "Dian tenanglah! Saat ini bukan hanya kau saja yang pusing! Aku juga pusing! Kalaulah hal ini hanya sampai sebatas mengembalikan semua barang-barang yang diberikan oleh keluarga Smith, aku bahkan rela mengembalikannya tiga kali lipat! Tapi hal ini lebih dari itu!!" Tekan Damian namun enggan mengatakan alasan sebenarnya pada Dian.
"Kau benar! Pertunangan ini tidak boleh dibatalkan! Apapun alasanya tidak boleh batal!!" seru Dian. Kemudian dia pun memutar otaknya, mencari solusi bagaimana agar pertunangan ini tetap terjadi walaupun putrinya telah kabur entah kemana.
Di tengah kesibukan isi kepalanya mencari solusi untuk permasalahan ini, tiba-tiba saja mata Dian tertuju pada sosok yang berdiri tak jauh darinya—Lunna.
Dan seketika itu juga, sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Benar!! Dia saja yang menggantikan Andine!" batin Dian, saat ide cemerlang itu hinggap di kepalanya.
"Aku rasa tidak ada salahnya menggantikan Andhine dengan Luna! Lagipula, aku belum pernah menyebutkan putriku yang mana yang akan menikah dengan Giovani!" Seru Dian dalam hati.
"Sayang, aku rasa aku menemukan cara agar pertunangan ini tetap bisa dilanjutkan.," ujar Dian dengan wajah penuh antusias.
“Apa kau sudah menemukan jalan keluarnya??” Tanya Damian, penasaran.
“Ya! Aku sudah menemukan solusinya. Tapi sebelum itu aku ingin kau tahu bahwa solusi ini aku pilih karena pertunangan ini bukan sekadar mengembalikan uang, seperti katamu tadi. Ini lebih tentang nama besar keluarga kita! Apa kata orang kalau pertunangan ini batal karena anak kita lari? Tidak! Aku tidak bisa membiarkan nama keluarga Arberto hancur begitu saja hanya karena Andine!" Terangnya menggebu-gebu sebelum menyampaikan solusi yang ada di dalam kepalanya.
Damian mengerutkan keningnya. Feelingnya sudah tidak enak. Biasanya kalau sang istri terlalu bertele-tele maka pasti ada hal yang sang istri sembunyikan.
"Jangan berbelit-belit, Dain. Katakan saja! Apa solusi yang kau miliki saat ini?! Karena jelas-jelas Andine sudah pergi tanpa memberi tahu kita. Jika pertunangan in tetap dilaksanakan, tidak mungkin Giovani berdiri sendirian di sana, bukan?" Desak Damian.
Dian kemudian tersenyum tipis dan berkata, "Giovani tidak akan berdiri sendirian, sayang. Luna-lah yang akan berdiri di sampingnya." Sorot mata bak seorang ibu peri kini terpancar dari mata Dian yang menatap Lunna dengan senyum yang makin menyembang.
Ekspresi Damian berubah drastis. Dia tidak pernah menyangka jika solusi yang Dian berikan adalah hal tersebut.
"Apa maksudmu? Kau ingin Luna berpura-pura menjadi Andine? Apa kau sudah gila, Dian?!" Tanya Damian, mengguncang kedua bahu Dian cukup keras.
"Sayang please tenang dulu. Kau dengarkan dulu! Aku sama sekali tidak berniat untuk meminta Luna berpura-pura menjadi Andine. No, sayang! No!! Hal yang ingin aku lakukan adalah aku ingin Luna-lah yang bertunangan dengan Giovani. Jadi tidak akan ada kebohongan di sini.” Terang Dian yang membuat Damian tercengang. Semua penjelasan Dian benar-benar tidak bisa Damian terima.
“Hey sayang! Coba kau jangan berat memikirkan masalah ini. Andine ataupun Luna, bukankah mereka berdua adalah putri kita? Jadi tidak masalah siapa yang akan bertunangan malam ini! Lagipula, bukankah selama ini kita bersusah payah mencari pria yang cocok untuk Luna? Dan ini mungkin adalah jalan Tuhan?? Tuhan lah yang sudah campur tangan langsung sayang?? Jika Tuhan saja sudah berkehendak, aku rasa tidak baik jika kita yang malah bersikeras menentang keinginan Tuhan ini? Jadi aku pikir eloknya Luna saja yang bertunangan dengan Giovani." Terang Dian panjang kali lebar, berusaha untuk membujuk suaminya agar bersedia membiarkan Luna mengambil alih tanggung jawab untuk menyelamatkan keluarga mereka malam ini.
Damian menatap istrinya dengan penuh rasa ketidakpercayaan. Ia lantas menarik Dian sedikit menjauh, khawatir jika Luna mendengar percakapan mereka. "Kau gila, Dian? Luna tidak akan setuju dengan ide gila mu itu! Dia baru saja kembali! Aku tidak ingin Luna pergi hanya karena ide gila mu ini!" Tegas Damian sambil berbicara pelan pada Dian agar putrinya tidak mendengar apa yang dia katakan pada Dian.
“Tapi sayang, hanya ini solusi yang ada.” Tukas Dian pada suaminya. Dia sendiripun sebenarnya tidak rela Luna yang menikah dengan Giovani. Tapi apa mau dikata, dari pada dia menanggung malu malam ini, lebih baik biarkan saja.
“Jawaban ku tetap tidak! Aku –“ Sebelum Damian bisa melanjutkan penolakannya, sebuah suara yang tak terduga terdengar.
“Aku rasa, aku tidak keberatan dengan hal itu papa.. " Sela Luna.
Damian terdiam. Ia menatap putrinya dengan penuh kebingungan. "Luna? Apa yang kau katakan, sayang? Kau setuju untuk menggantikan adikmu menikah dengan Giovani Smith? Kau tidak—" Kata-kata Damian terhenti. Ia tak ingin Dian mengetahui sesuatu yang selama ini ia rahasiakan—tentang penyakit Luna. Hatinya penuh keraguan. Apakah gadis di depannya benar-benar Luna? Atau Lunna? Atau karakter lain yang lain yang ada dalam diri putrinya? Karena bisa saja yang sedang berbicara ini bukan Luna. Bisa saja ini Lucy, atau Lucky atau bahkan kepribadian lain yang belum ia ketahui.
“Apakah dia Luna?” batin Damian sambil memperhatikan penampilan putrinya. Namun mau berapa kali pun dia memperhatikan, di matanya semua tetap sama. Wajah yang Damian kenal, dengan senyum yang sama serta mata yang penuh ketegasan- semua sama! Tapi walau semua sama, feeling Damian mengatakan ada yang berbeda! Sesuatu yang berbeda yang tidak Damian ketahui itu apa.
Dian menyentuh bahu Damian, menyadarkan Damian dari lamunannya. "Sayang, kenapa kau malah melamun?" Tanya Dian lembut.
"Pa, aku setuju untuk menggantikan Andine menikah dengan Giovani Smith," ulang Luna dengan nada yang terdengar ringan, seakan tak ada beban sama sekali.
“See? Kau dengar sendiri apa yang putri kita ini katakan, bukan?” Seru Dian tersenyum puas.
"Damian sayang, masalah ini sudah selesai! Aku akan bicara dengan keluarga Smith. Mereka pasti tidak akan menolak hal ini! Lagipula, sejak awal, mereka menginginkan Luna sebagai menantu mereka. Ayo, sayang, temani aku berbicara dengan mereka sebelum MC mengumumkan pertunangan. Dan kau, Luna, tetaplah di sini dan jangan ke mana-mana. Oke?" Sebut Dian penuh semangat dan ingin segera menyelesaikan semua permasalahan yang ada. Jangan sampai Luna berubah pikiran dan kabur seperti Andine.
Tanpa menunggu jawaban Damian, Dian menarik tangan Damian, meninggalkan Luna yang kini berdiri sendirian di tempatnya.
Damian, yang masih tenggelam dalam kebingungannya, hanya bisa menatap putrinya dengan kosong. Ada sesuatu yang mengusik hatinya.
Sementara itu, Luna tersenyum tipis, matanya kini tertuju pada Darren yang sedikit jauh dari tempatnya berdiri. Bibirnya bergerak pelan, hampir seperti sebuah bisikan.
"Giovani Smith... paman dari Darren Smith... Satu langkah lebih dekat untuk mencapai keberhasilan misiku." Gumamnya pelan, lalu ia mengangkat gelas winenya dan meneguk isinya perlahan. Sebuah ekspresi geli terlintas di wajahnya.
"Ggrrr! Jadi begini ya rasanya wine para orang kaya..."
Baru saja Luna mengira dirinya telah masuk dalam dunia kalangan atas, disaat yang sama sebuah rasa aneh mengalir di seluruh tubuhnya.“Bbrr! Bagaimana bisa Lunna menelan minuman tidak enak ini.” Seru Luna sambil memandangi gelas wine yang telah kosong.Sementara itu, di dalam tubuh yang sama, di dunia yang hanya bisa mereka rasakan, ketegangan tengah memuncak. Sebuah ketegangan yang sebenarnya telah ada sejak Luna menyetujui ide gila Dian namun masih bisa ditahan oleh Lucy dan Lucky dari dalam sana. Ya sebuah ketegangan yang lebih ke amukan amarah yang dirasakan oleh Lunna setelah di swith on dadakan oleh tiga karakter lainnya.Dan Boom!! Kinilah akhrinya ledakan amarah itu pun terjadi.“Apa kau sudah gila, Luna?!” bentak Lunna, suaranya penuh amarah. Ia berusaha memberontak untuk dapat mengambil alih tubuh Luna hanya saja sayangnya saat ini kendali Lucy dan Lucky dengan sekuat tenaga menahannya.“Kalian berdua cepat lepaskan aku! Aku harus segera membatalkan apa yang telah Luna setuju
Giovani terkejut dan marah mendengar kabar bahwa wanita yang akan dinikahkannya telah diganti. Tanpa melihat siapa penggantinya, ia protes keras. Seandainya saja Giovani tahu bahwa Lunna jauh lebih cantik daripada Andine, tentu ia tidak akan menolak. Bagaimanapun, Giovani memang mata keranjang.Ibunya, yang sekaligus nenek Darren, mencoba menenangkan Giovani. "Kau lihat dulu, Giovani! Baru kau protes." bujuk sang ibu.Giovani hanya bisa pasang muka masam. Bujukan sang ibu sama sekali tidak membuat moodnya kembali. Bahkan disaat seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan hal ini, Giovani sama sekali tidak memperlihatkan keinginannya untuk tahu lebih jauh mengenai pengganti tunangannya."Hei! Kenapa wajahmu masam seperti itu?" Sapa Mona, yang baru saja tiba dan langsung duduk di samping Giovani."Apa kau belum mendengarnya?" jawab Giovani ogah-ogahan."Mendengar apa? Ah iya! tentang calon tunangan mu yang kabur ya? Memangnya apa yang telah kau lakukan sehingga wanita itu kabur?" lan
Setelah melihat Luna, bukan hanya Giovani, bahkan Darren yang biasanya tegar pun goyah imannya. Padahal, sudah lama dia tidak goyah melihat wanita. Bahkan Mona, yang duduk tepat di sampingnya, tiba-tiba terlihat biasa saja dibandingkan dengan pesona Luna Arberto yang memancar.Sementara Giovani dan Darren terpana, reaksi Mona justru berbeda. Tangannya mengepal erat saat melihat dua pria yang dulu begitu tergila-gila padanya kini memandang Luna dengan penuh kekaguman. "Ini bahaya," pikir Mona. "Jika wanita ini berhasil masuk ke keluarga Smith, Giovani bisa jatuh cinta padanya. Dan Darren? Sepertinya dia pun terlihat terpesona. Aku harus menghentikan ini!"Mona berpikir keras untuk menghentikan hipnotis yang terpancar dari kecantikan Luna. Tapi permasalahannya, dia tidak tahu cara menghentikan semua kekacauan yang disebabkan oleh pesona Luna. Marah? Tapi Mona sendiri belum menjadi istri Darren, dia hanya calon. Dia tidak punya hak bicara banyak. Toh Darren juga tidak bertindak aneh-aneh
Satu minggu pun telah berlalu sejak pesta pertunangan itu. Tapi sungguh diluar prediksi Lunna bahwa Luna akan membuat satu masalah baru lagi. Sebuah masalah membuat kesabaran Lunna benar- benar diuji. "Apa? Yang benar saja!" Sekali lagi Lunna berteriak kencang. Baru seminggu yang lalu Lunna adu urat leher berdebat dengan Luna, hari ini Luna sudah membuat nya pusing lagi. Bisa-bisanya Luna setuju untuk tinggal bersama di rumah Giovani.Sebagai wanita konvensional, hal ini sungguh bertentangan dengan nilai-nilai yang Lunna anut. Makanya hari ini, seminggu setelah pertunangan itu, Lunna kembali mengamuk pada Luna."Lun, tenanglah! Tidak akan terjadi apa-apa di sana. Kamar kita dan kamar Giovani itu beda. Lagi pula, dia tidak akan bisa macam-macam! Dia sendiri sementara kita berempat," bujuk Luna sambil bercanda seperti biasanya."Sekali tidak, tetap tidak! Malah karena kita berempat itulah makanya situasi akan semakin kacau. Kau seperti tidak tahu saja sifat Lucy. Andaikan Giovani tidak
Giovani melirik Darren dan Luna bergantian. Entah apa yang ada di dalam kepalanya, tapi yang pasti saat ini sudah waktunya bagi Giovani untuk pergi karena ada sesuatu yang harus dia kerjakan."Aku tinggal ya, sayang. Aku masih ada urusan di kantor. Kau bisa berbincang-bincang dengan Mona dan Darren di sini," ucap Giovani kemudian mengecup kening Lunna.Dengan terpaksa Lunna menerima kecupan dari pria itu karena bagaimanapun status pria itu kini adalah tunangannya. Akan sangat aneh kelihatannya jika Lunna menghindar saat Giovani menciumnya."Paman? Apa kau akan ke perusahaan? Apa aku boleh menumpang? Darren dia tidak bisa mengantarku karena dia harus memeriksa beberapa berkas proyek di rumah," ujar Mona tiba-tiba. Mona memang suka memanggil Paman jika ada Darren di dekatnya. Hal itu pastinya karena dia tidak ingin Darren curiga akan kedekatannya dengan Giovani. Apalagi untuk tujuan pergi berduaan dengan Giovani sudah pasti Mona akan memanggil Giovani dengan panggilan Paman."Apa kau tid
Darren duduk di kamarnya, matanya menatap foto Luna Arberto yang diam-diam dia ambil tadi. Foto itu seolah memancarkan pesona yang sulit dia abaikan. Dalam benaknya, bayangan wajah Luna muncul begitu jelas—saat Luna melepas topi, wajah cantiknya terpampang utuh. Mata, hidung, dan bibirnya begitu sempurna, kulitnya seputih susu, membuat Darren ingin menyentuhnya lagi dan lagi."Haruskah aku menggagalkan rmenjadi bibiku?" pikir Darren sambil tersenyum sinis, seolah ada rencana jahat yang mulai terbentuk di kepalanya."Atau cukup kurasakan saja?" gumamnya lagi, senyumnya semakin lebar saat teringat keberaniannya mencium Luna tadi.Darren sendiri tak tahu dari mana dia mendapatkan keberanian itu. Tiba-tiba saja dia berani melakukan hal yang seharusnya tak boleh dilakukan pada calon istri pamannya. Tapi semuanya terjadi begitu saja, tanpa bisa dia kendalikan.Darren memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang hampir meledak karena memikirkan wanita yang seharusnya tak boleh disent
Malam telah larut, jarum jam menunjukkan pukul sepuluh. Di dalam kamar yang megah dan elegan, seorang gadis perlahan membuka matanya. Itu bukan lagi Lunna, melainkan Lucky—salah satu dari empat kepribadian yang dijanjikan berhak menggunakan tubuh Luna selama satu jam setiap malamnya.“Hmmm... bagus juga kamarnya. Tapi tidak ada boneka! Tidak seru!” gumam Lucky dengan nada kekanak-kanakan saat duduk di tepi tempat tidur.Wajahnya mengerut, merasa kecewa karena muncul di kamar yang membosankan di matanya.“Padahal Kak Lunna tahu kalau aku suka boneka. Tapi kenapa di kamar ini tidak ada boneka sama sekali? Tempat ini terlalu dewasa untuk anak kecil seperti aku,” celotehnya."Selain itu, es krim yang dijanjikan kak Luna pun tidak kelihatan." Serunya sewot setelah lelah matanya menyapu setiap sudut ruangan untuk melihat apakah di sana ada freezer atau tidak. Tapi ya begitulah nothing! Tidak ada satupun hal yang Lucky sukai ada di dalam kamar yang nan megah itu.Karena terlalu bosan, Lucky
Luna buru-buru turun dari tempat tidur, tetapi gerakannya masih kalah cepat dengan Darren yang segera menahannya dengan cara memeluknya dari belakang. Pria itu membisikkan sesuatu di telinga Luna, suaranya rendah dan begitu menggoda. "Kau mau ke mana, Bi? Kenapa sepertinya buru-buru sekali?"Bisikan itu sukses membuat seluruh bulu roma Luna berdiri. Wajah Luna memanas, apalagi saat menyadari bahwa punggungnya bersentuhan langsung dengan tubuh Darren yang tak berbalut pakaian."A-aku? Aku akan kembali ke kamarku," jawab Luna terbata. Jantungnya berdegup kencang, begitu kuat hingga ia sendiri tidak yakin apakah itu detaknya atau detak jantung Darren.Darren tersenyum kecil, lalu semakin mengeratkan pelukannya. "Memangnya kapan aku mengizinkanmu untuk keluar? Kau bahkan belum mendapatkan hukuman apa pun karena berani masuk ke ruang kerjaku dan memakan coklat-coklatku. Bukankah seorang pencuri yang tertangkap harus dihukum sebelum dibebaskan?" bisik Darren. Dan lagi dan lagi mujarab membua
Tidak banyak yang terjadi malam itu. Giovani dan Lunna hanya mengobrol santai sambil terus mengamati perkembangan Darren.Sehari...Dua hari ...Tiga hari pun berlalu. Darren yang telah sadar pada hari kedua perawatannya di rumah sakit akhirnya diizinkan pulang.Saat itu, Darren sempat merasa heran karena tidak melihat Luna barang sehari pun sejak ia terjaga. Ingin rasanya ia bertanya kepada Giovani tentang keberadaan gadis itu. Apakah Luna memang tidak datang sama sekali untuk melihat keadaannya? Namun, tentu saja Darren tidak bisa menanyakan hal tersebut. Atas dasar apa ia harus menanyakan Luna pada Giovani pula?? Bukankah kalau ada orang yang harus dia tanya, itu adalah Mona?***Satu jam setelah Giovani dan Darren tiba di mansion keluarga Smith, mereka disambut oleh Diana Smith dan Mona yang sudah menunggu di depan pintu. Namun, sekali lagi, Darren tidak melihat Luna. Di mana gadis itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya.Karena masih belum diperbolehkan dokter untuk banya
Ruangan itu terasa begitu sunyi, hanya menyisakan dua orang di dalamnya—Giovani dan Lunna.Keheningan yang menggantung di udara membuat Lunna merasa tak nyaman. Ia sadar, tak ada orang lain di sana selain dirinya dan pria itu."Kalau kupikir-pikir, selama ini kita bahkan belum pernah bicara berdua saja, kan, Luna?" suara Giovani memecah kesunyian.Pria itu yang tadinya berdiri di dekat pintu perlahan melangkah mendekat ke arah Lunna yang duduk di sofa. Tatapannya penuh makna, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa."Maafkan aku," lanjut Giovani, suaranya terdengar tulus. "Pekerjaan di kantor sedang sangat banyak. Ditambah lagi, ada beberapa janji yang sudah terlanjur terjadwal dan tidak bisa aku batalkan. Semua itu membuatku tak punya cukup waktu untuk dihabiskan bersamamu. Padahal, seharusnya kita berdua lebih sering bersama. Tapi lihatlah, karena diriku, kau jadi merasa kesepian."Giovani akhirnya duduk di samping Lunna, namun bukannya menjaga ja
Bunyi monitor kecil berdenging pelan di dalam ruangan, menciptakan ritme monoton yang bercampur dengan suara tarikan napas lemah dari ventilator. Darren terbaring diam di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak selain naik-turun halus di bawah pengaruh alat bantu napas. Delapan jam operasi telah berlalu sejak peluru yang hampir menyentuh jantungnya dikeluarkan. Namun, kesadarannya masih belum kembali.Mona berdiri di samping Giovani, matanya menatap Darren yang terbaring tak berdaya di balik dinding kaca ICU. Suaranya berbisik ketika akhirnya ia bertanya, "Apa Darren akan sadar?"Giovani tidak mengalihkan tatapannya dari Darren. Rahangnya mengeras, matanya tajam seakan berusaha menembus tabir ketidakpastian yang menyelimuti sahabatnya. "Dia harus sadar," jawabnya lirih, tetapi penuh keyakinan.Mona melirik Giovani dari sudut matanya, mengamati ekspresi pria itu dengan hati-hati. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, berusaha menekan kekesalan y
Giovani menarik tubuh ibunya ke belakangnya, tubuhnya menjadi tameng bagi wanita yang telah melahirkannya. Dua peluru yang bersarang di lengannya seolah bukan apa-apa baginya. Rasa sakit yang menjalar di otot dan tulangnya seolah tak cukup kuat untuk membuatnya mundur."Giovani?!" seru Diana, matanya berkaca-kaca saat melihat darah mengalir dari lengan putranya."Bu, tetaplah di belakangku! Putramu ini tidak akan roboh semudah itu!" ucap Giovani mantap, matanya tajam menatap sang penjahat di depannya.Diana mengangguk dengan penuh kepercayaan. "Ibu percaya, Nak."Di seberang ruangan, seorang pria bertopeng mengangkat pistolnya, seringai kejam tersungging di wajahnya. "Hah! Jangan banyak bicara! Kalian berdua akan segera aku kirim ke akhirat dengan cepat!" Tawanya meledak, merasa yakin bahwa dia dan komplotannya telah berhasil melumpuhkan semua orang di dalam mansion keluarga Smith.Giovani tetap menatap lurus ke arah penjahat itu. Otaknya bekerja cepat. Pria ini sendirian di ruangan in
Lunna kini mulai memahami situasi yang tengah mereka hadapi. Pikirannya dipenuhi kewaspadaan, dan matanya menatap Darren dengan penuh tanda tanya."Lalu bagaimana sekarang?" tanyanya dengan nada khawatir.Darren tak langsung menjawab. Ia berjalan cepat ke meja kerjanya, menghidupkan laptop untuk mengecek rekaman CCTV yang tersebar di seluruh mansion. Namun, begitu melihat sesuatu di layar, wajahnya langsung menegang."Sial!" makinya seraya berdiri dengan tergesa-gesa. Ia berlari menuju lemari di sudut ruangan, menarik laci dengan kasar, dan mengambil dua pistol. Dengan cekatan, ia menyelipkan senjata itu ke pinggangnya.Melihat perubahan sikap Darren yang tiba-tiba menjadi panik, Lunna ikut merasa cemas. Ia segera meraih tangan Darren, menahannya sebelum lelaki itu melangkah pergi."Apa yang terjadi? Dan kau mau ke mana?" tanya Lunna dengan penuh kegelisahan.Darren menatap Lunna sejenak sebelum menjawab dengan nada tegas. "Paman dan nenek sedang disandera oleh para penjahat di lantai
Kurama menatap Lunna dan Darren bergantian, wajahnya dipenuhi tawa ceria. “Hahaha, kalian sangat serasi! Sungguh!” katanya dengan suara lantang. “Nah, karena hatiku sangat senang hari ini, aku mengundang kalian berdua untuk makan siang denganku. Kalian tidak akan menolaknya, kan?”Darren segera merespons dengan penuh keyakinan. “Tentu saja tidak. Iya kan, sayang?” Nada suaranya sengaja dibuat lebih dalam, seolah menginginkan Lunna menegaskan kesediaannya.Lunna tersenyum, meski dalam hatinya ada sedikit keterpaksaan. “Ya! Tentu saja.”**Setelah makan siang usai, mereka akhirnya kembali ke mobil. Lunna duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dadanya, menatap Darren dengan tatapan yang penuh makna.“Kau memang sangat ahli memanfaatkan situasi, Darren,” katanya dengan nada sinis.Darren, yang tengah menyalakan mesin mobil, hanya tersenyum sambil melirik ke arah Lunna. “Tapi kau terlihat sangat menikmatinya, Bibi.” Ucapnya, lalu mengedipkan matanya dengan jenaka.Lunna mendengu
Meeting panjang bersama Kurama akhirnya selesai. Namun, di luar dugaan, tamu Darren ternyata adalah seorang pria Jepang yang fasih berbahasa Indonesia. Darren, yang awalnya mengandalkan Luna untuk membantunya berkomunikasi dalam bahasa Jepang, justru menemukan bahwa Tetsuji Kurama sangat memahami Bahasa Indonesia. Bahkan, selain mengucapkan "Ohayou Gozaimasu! / おはようございます", tak ada lagi kalimat dalam bahasa Jepang yang keluar dari mulut mereka bertiga—Luna, Darren, dan Kurama.Selama rapat berlangsung, ketiganya berbicara dengan lancar dalam Bahasa Indonesia."Tuan Kurama, aku sangat berharap kerja sama ini dapat benar-benar terwujud antara perusahaan mu dan perusahaan kami," ucap Darren dengan penuh keyakinan."Aku pun demikian, Tuan Darren. Namun, sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku terlibat dalam bisnis real estate," ungkap Kurama dengan jujur. "Tuan Kurama, Anda tidak perlu khawatir. Saat ini, bisnis real estate memiliki potensi yang sangat besar karena merupakan bentuk usah
Diana Smith menatap Lunna dengan ekspresi khas seorang nyonya besar yang sulit untuk ditolak. "Kau tidak keberatan, kan, Luna, kalau harus menemani Darren di kantor hari ini?" ulangnya dengan suara lembut namun penuh tekanan.Darren terdiam, tak peduli apa maksud sebenarnya dari sang nenek, tapi yang pasti hal ini sangat menguntungkannya. Namun tentunya Darren tidak bisa dengan bebas mengekspresikan rasa bahagianya yang tak terkira itu begitu saja. Dia harus tetap pasang wajah cool dan tenangnya di depan semua. Padahal di dalam hati, Darren bersorak kegirangan. n.Berbeda dengan Darren, Lunna justru merengut. Dia sama sekali tidak ingin berdekatan dengan Darren. Terjebak di rumah ini karena rencana si Luna biang kerok itu saja sudah membuat hari-hari Lunna penuh tekanan batin dan kewaspadaan tingkat tinggi. Ini malah ditambah harus ikut ke kantor dengan si Darren. Hal ini sungguh sangat menyebalkan baginya. "Kenapa harus begini sih?" gerutunya dalam hati, meskipun terpaksa harus pasa
"Dimana dia??"Setelah mengantar Mona ke kamar, Darren segera berlari menuju kamarnya. Sepanjang jalan Darren mengumpat kesal karena tadi dia lupa mengunci pintu. Hal ini karena dia terlalu bersemangat untuk mengirim Mona menjauh dari kamarnya. Tapi lihatlah akibatnya, Luna pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu untuk kabur. "Sial! Ternyata benar dia sudah kabur!" gerutu Darren, yang saking kesalnya memukul keras tepian tempat tidurnya. Darren melirik jam tangannya. Hari sudah menunjukan hampir pukul tiga pagi. Dengan cepat, ia mulai merapikan dokumen rapat yang berserakan di atas tempat tidur. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat ke kantor. Ada hal penting yang harus dia lakukan besok jadi urusannya dengan Luna dia cukupkan saja sampai di sini- untuk hari ini. Dia akan membuat perhitungan dengan Luna untuk ciuman itu setelah urusannya selesai.***Matahari mulai muncul, menyinari mansion megah keluarga Smith. Seluruh anggota keluarga yang tinggal di sana sudah berkumpu