Beberapa saat sebelumnya.
"Abiii."
Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya.
"Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi."
Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya.
"Abi, Mas Ezra Bi."
Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut.
"Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut,
"Mas Ezra, Mas Ezra sadar Bi. Dia bangun dari komanya."
"Alhamdulillah," ucap Abi Hanan dan istrinya bersamaan.
Khansa melepaskan pelukan dan memperlihatkan pesan yang dikirim oleh salah satu perawat di rumah sakit. Selama satu bulan lamanya, Khansa memang sengaja meminta nomor salah satu perawat yang menjaga Ezra untuk mengabarinya jika terjadi sesuatu pada calon suaminya itu.
"Ayo antar Khansa ke rumah sakit Bi, ayo."
Sungguh Khansa tak sabar melihat Ezra yang kembali membuka mata, artinya penantiannya tidak sia-sia, ia teramat senang.
"Ini sudah malam Nak, besok pagi Inshaa Allah kita kesana ya," ucap Abi Hanan diangguki istrinya.
"Benar sayang, ini sudah malam kamu juga capek, lebih baik istirahat ya," bujuk sang Umi. Tetapi Khansa tetap menggeleng, menarik-narik lengan Abinya agar bersedia menemaninya ke rumah sakit.
"Sekarang Bi, ayo. Khansa mohon."
Melasnya wajah Khansa membuat kedua orang tuanya menghela nafas, berusaha memahami kebahagiaan yang kini sedang melanda putri mereka.
"Baiklah, izinkan Abi dan Umi bersiap-siap dulu. Kamu juga perlu bersiap bukan?" ucap Abi Hanan akhirnya.
"Terima kasih Abi, Umi."
Khansa langsung memeluk kedua orang tuanya, lantas melepaskan dengan senyuman. Tanpa kata lagi gadis yang biasanya anggun itu berlari-lari menuju kamarnya membuat kedua orang tuanya terkekeh akan tingkah Khansa.
"Sudah lama kita tidak melihat Khansa seperti itu ya Bi, rasanya baru kemarin dia main boneka lihat sekarang bahkan sudah mau jadi istri orang."
Abi Hanan merangkul pundak istrinya dan mengusap-usap perlahan, ia hanya tersenyum saja. Bahagia melihat sinar Khansa kembali seperti dulu.
***
Di rumah sakit
Khansa dan orang tuanya masuk setelah mengucapkan salam.
"Alhamdulillah ya Allah," ucap ketiganya saat melihat Clay melihat pada mereka.
Khansa sujud syukur (Ezra dalam pandangannya) telah sadar. Ia lalu memeluk Umi Salimah penuh haru.
"Mas Ezra sembuh Umi," ucapnya lirih.
"Iya sayang, calon suamimu sembuh."
Umi Salimah membelai puncak kepala Khansa. Meski dalam hatinya miris karena Ezra bukan lagi seperti Ezra yang mereka kenal dulu.
"Barokallah Kyai, akhirnya Ustad Ezra membuka matanya."
Umi dan Abi Hanan tersenyum dan bersalaman dengan calon besannya itu, Abi El tersenyum dan menganggukkan kepala. Tidak menyangka jika Khansa dan kedua orang tuanya datang secepat ini sebelum ia memberitahukan jika Ezra telah berbeda. Setelah itu Abi, Umi Hanan dan Khansa mendekati Clay yang membuat Abi El serta istrinya cemas.
"Alhamdulillah Ustad, akhirnya Allah mengijabah doa-doa kami. Kami senang Ustad sudah sadar," ucap Abi Hanan sambil tersenyum sedangkan Clay menatap jengah lagi-lagi ia dipanggil dengan sebutan Ezra.
Abi El hanya diam memperhatikan raut wajah Clay yang jelas menunjukkan ketidaksukaannya.
"Ustad sudah bangun. Khansa senang akhirnya bisa melihat Ustad membuka mata kembali. Ana masih menunggu kesembuhan Ustad. Tolong segera sembuh agar kita bisa melanjutkan kembali acara yang tertunda."
Suara Khansa membuat Clay membuka mata lebar melihat dan mendengar ucapan gadis yang mengajaknya berbicara. Gadis yang tersenyum manis dengan gurat kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Clay tak merespon tetapi tatapannya tajam seolah menelanjangi Khansa, membuat gadis itu tak nyaman. Ia tertunduk dan mencoba mengingatkan Clay.
"Astaqfirullah Ustad, tundukkan pandangannya. Ana belum halal untuk Ustad pandangi seperti itu."
"Ckk, siapa kamu berani mengatur? Mata-mataku tidak ada urusannya sama kamu. Pergi! Kalian menganggu tidurku," ketus Clay yang membuat Khansa dan orang tuanya terkejut.
"Ustad, ustad tidak mengenal ana?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Memangnya sepenting apa kamu? Hanya gadis kolot dengan pakaian yang tak menarik sama sekali."
"Ustad?" ucap Khansa masih dengan keterkejutannya.
"Apa? Aku tidak mengenal kamu jadi jangan menggangguku. Ini sudah larut tak sepantasnya kalian berkunjung di jam istirahat pasien," ujar Clay yang tak menurunkan nada suaranya sama sekali.
Clay memejamkan matanya kembali, berbeda dengan Khansa yang sangat syok. Binar bahagia yang baru saja ia terima, kini berubah sakit. Orang yang ia tunggu, lelaki penguasa hatinya berjanji mengucap akad di depan orang tuanya kini tidak mengenal dan mengusirnya? Umi Hanan memeluk putrinya. Sedang Abi Hanan melihat pada Abi El dan istrinya.
Umi Salimah dan Abi El pun mengerti, lalu mengajak Khansa beserta orang tuanya keluar ruangan. Begitu juga dengan Umi Salimah yang mengikuti suaminya. Ia belum berani hanya untuk berdua dengan Clay, rasa sakit akibat bentakan masih terasa dihatinya.
"Apa yang terjadi sebenarnya Umi, Abi kenapa Ustad tidak mengenaliku?"
Khansa dengan tak sabar bertanya setelah mereka berada di luar ruangan. Khansa memenggam jemari tangan Umi Hanan. Umi pun mengusap-usap punggung tangan putrinya itu. Umi Salimah berusaha tetap tersenyum walau kenyataannya cukup pahit untuk bisa ia terima.
"Ezra mengalami amnesia dan halusinasi," ucap Abi EL berusaha tegar.
Deg
"Maksudnya Abi?" tanya Khansa setelah beberapa saat terdiam mendengar informasi dari Abi El Haq. Abi mendesah kasar, gurat wajah tuanya yang biasanya teduh memancarkan kesedihan.
"Ezra menyebut dirinya Clay. Ia marah kala dipanggil Ustad Ezra. Tak hanya Nak Khansa , Abi dan Umi Hanan yang tidak dikenali, kami sebagai orang tuanya pun sama. Ezra bahkan tak ingat penyebab ia koma. Putra Abi berubah seperti orang lain. Orang asing yang tak pernah Abi kenal sebelumnya."
Suara Abi El bergetar, Khansa lalu melihat Umi dan wanita itu menganggukkan kepala seolah menyatakan apa yang dikatakan suaminya itu benar adanya.
"Ya Allah, kenapa bisa begitu," jerit Khansa sambil tangannya meremas jilbab yang ia kenakan.
"Umi juga sangat terkejut dan syok tapi mau bagaimana lagi. Kata Dokter kita tidak bisa memaksa Ezra untuk saat ini. Yang diperlukan adalah dukungan dari kita semua dan doa tentunya agar ia bisa kembali mengingat dirinya seperti sebelum kecelakaan itu terjadi."
"Ya Allah kenapa ujian ini tak kunjung berakhir," lirih Khansa disela isak tangisnya.
Awalnya ia sangat bahagia karena mendengar Ezra telah membuka mata dan mampu menggerakkan tangannya. Namun, kala melihat dan mendengar jika Ezra tidak mengenal dirinya bahkan ke dua orang tuanya membuat Khansa kembali terluka.
"Luaskan kesabaranmu Nak. Jika memang Ezra jodohmu maka ia akan menjadi pendampingmu. Tetapi jika tidak Allah sudah menyiapkan jodoh terbaik untukmu. Kini semua kembali pada keputusanmu Khansa. Apakah masih mau menunggu Ezra lagi atau menyerah dan mulai membuka hati untuk lelaki lainnya."
Abi El Haq tak kuasa melihat kesedihan gadis yang dikenal baik olehnya. Sesungguhnya ia pun tak rela jika Khansa dipersunting oleh lelaki lain. Abi El sudah merasa sangat cocok jika Khansa menjadi menantunya.
Tetapi takdir berkata lain, manusia hanya berencana Allah jualah yang memberi keputusan. Abi El tak ingin menahan Khansa untuk tetap setia berada di sisi putranya. Khansa berhak bahagia, cukup sudah kesedihan yang telah ditorehkan oleh Ezra. Walau tidak disengajakan tapi melihat betapa terlukanya Khansa membuat Abi El mencoba mengikhlaskan.
"Ezra tidak tahu kapan akan sembuh. Ia akan terus melakukan pengobatan selama efek halusinasi dan amnesianya masih ada. Tubuhnya juga belum bisa banyak bergerak, butuh proses untuk menyembuhkan semua itu.
Proses yang entah sampai kapan tiba waktunya Ezra kembali seperti dulu. Kembali menjadi sosok Ezra sebelum kecelakaan itu terjadi," ujar Abi El Haq.
Membuat isak tangis dua wanita dihadapannya terdengar lebih dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar taman hanya mampu menatap prihatin. Walau mereka tidak tau mengapa keduanya menangis, tapi sudah bisa dipastikan jika salah satu anggota keluarga mereka ada yang sedang dirawat di rumah sakit ini.
Sedangkan Abi Hanan dan istrinya bingung menyingkapi kondisi Ezra. Benar jika Abi El sudah menyerahkan segala keputusannya pada Khansa, tapi ia tahu betul putrinya itu keras kepala. Sebagai orang tua tentu ia tak ingin anaknya menunggu sesuatu yang tak pasti. Haruskah mulai sekarang ia mencarikan jodoh untuk putrinya itu?
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s
Di sebuah rumah sakit. Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun. Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezr
"Tangannya bergerak, Bi." Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak. "Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka. "Panggil Dokter lagi Bi." Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka. "Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah. Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra. "Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?" Kini giliran Abi El yang me
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
Suara-suara asing terus saja terdengar, membuat tidur nyenyak Clay terganggu. Padahal ia masih sangat mengantuk. Belum lagi tubuhnya yang belum bisa digerakkan membuatnya banyak mengeluarkan kata makian sejak kemarin. Dirinya marah atas ketidakberdayaan dan keterasingan saat ini. Ia berjanji jika sembuh akan membalas perbuatan Mafia Nostra. Juga kelompok mafia lainnya yang bisa menjadi musuh dirinya di masa depan. "Shut up!" teriaknya. Membuat dua orang yang sedang membaca alqur'an itu terjengkit dengan serempak mengucapkan kalimat istiqfar. "Astaqfirullah, astaqfirullah, astaqfirulla, astaqfirullah," dengan tangan yang mengurut dada. Kompak keduanya melihat kearah Clay. Abi El bangun, Umi Salimah menahan tangan suaminya. Feelingnya kuat jika suaminya akan dimarahi kembali. Ia hanya ingin mencengah dan meminta suaminya membiarkan saja. Namun, Abi El menolak lewat sorot matanya seolah mengatakan dia anak kita. Membuat Umi Salimah melepaskan genggamannya. Abi El lantas berjalan mend
Beberapa saat sebelumnya. "Abiii." Khansa yang baru saja naik ke kamarnya lantas turun kembali. Tanpa sadar sudah memanggil Abinya dengan berteriak karena terkejut akan kabar yang baru saja ia terima. Ia berlari-lari menuruni anak tangga mencari orang tuanya. "Astaqfirullahaladzhim itu kenapa putri kita teriak manggil-manggil Bi." Umi Hanan segera menggunakan jilbab yang baru saja dilepas, keduanya baru saja hendak tidur setelah berbicara panjang lebar dengan Khansa sepulangnya dari rumah sakit. Abi Hanan pun lekas bangkit dari pembaringan, keduanya lalu keluar kamar. Mereka terkejut saat melihat Khansa berlari langsung menubruk tubuh Abinya. "Abi, Mas Ezra Bi." Khansa menangis sesegukan, Abi Hanan melirik pada istrinya seolah bertanya tapi istrinya mengangkat kedua bahu tanda tak mengetahui apa-apa. Abi Hanan pun membelai rambut Khansa dengan lembut. "Ada kabar apa dengan Nak Ezra sampai-sampai putri Abi teriak-teriak begini," tanya Abi Hanan lembut, "Mas Ezra, Mas Ezra sa
Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. "Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya."Anda tidak ingat mereka?"Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati."
"Tangannya bergerak, Bi." Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak. "Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka. "Panggil Dokter lagi Bi." Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka. "Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah. Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra. "Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?" Kini giliran Abi El yang me
Di sebuah rumah sakit. Hujan deras dan petir sejak tadi tiada henti beriringan dan saling bersahut-sahutan. Tak jua reda sudah cukup lama. Seolah memberi tanda pada seorang gadis sedang menunggui lelaki yang berbaring koma sudah sebulan lamanya berada dalam duka. Gadis itu memandang ke arah luar jendela. Khansa namanya, calon istri lelaki yang mengalami kecelakaan mobil kala ia akan menggelar pernikahan dengannya. Gadis itu pun setia menemani hari-hari calon suaminya. Meski tak pernah menyentuh, tapi ia berharap dengan kehadirannya calon suaminya itu bisa merasakan dan bersemangat untuk bangun. Gadis itu sedih bukan karena pernikahannya saja yang tertunda atau bahkan terancam gagal akibat kecelakaan itu, tapi juga harapannya tipis. Setipis harapan hidup Syabil Ezra El Haq, begitu nama lengkap calon suaminya yang sering disapa Ezra atau Ustad Ezra. Membuat keluarga Kyai Hasal El Haq memintanya mencari lelaki lain. Karena menurut tim medis, hanya keajaiban Tuhan yang bisa membuat Ezr
"Tembak." Suara seruan disusul tembakan beruntun dari jenis senjata AK-12 sontak membuat lelaki yang berpakaian serba hitam berusaha berlari. Ia dikejar oleh puluhan orang musuh-musuhnya bersenjata lengkap sedangkan dirinya hanya sendirian. Mencoba lari menghindar karena tidak memungkinkan baginya melawan. Dikarenakan tubuhnya belum pulih benar akibat tembakan dari aksi balas dendam dengan anggota Mafia Zetas sebelumnya yang dikalahkan oleh kelompok mafia pimpinan dirinya. Niat hati ingin menyendiri di sebuah villa pinggir kota untuk pemulihan kaki tidak menyangka Mafia Nostra menemukan dan menyerangnya. Satu bulan sebelumnya pagi hari dalam perjalanan pulang. Clay mengemudikan mobil dengan santai, semalam ia bersama anak buahnya berpesta. Setelah berhasil menaklukkan Mafia Zetas dan menguasai bisnis haramnya. Walau sang ketua berhasil kabur dan sekarang masih diburu olehnya, tetap saja ia merasa bahagia atas pencapaiannya sebagai mafia. Bisnis senjata dan kasino kini dikuasai s